Rabu, 14 Juli 2021

Matatah dan Sarana Upacara Berdasarkan Lontar Eka Prathama

 

Matatah dan Sarana Upacara Berdasarkan Lontar Eka Prathama

MATATAH: Matatah, salah satu upacara Manusa Yadnya yang termuat dalam Lontar Eka Prathama. I Wayan Titra Gunawijaya, S.Ag, M.Fil. H  (Putu Mardika/Bali Express)


Ada banyak lontar di Bali yang mengupas tentang pelaksanaan Panca Yadnya. Namun, bila ingin mengetahui tata cara yang spesifik tentang Manusa Yadnya, maka Lontar Eka Prathama merupakan salah satu rujukannya.

Anggota Ikatan Cendikiawan Hindu Indonesia Provinsi Bali, I Wayan Titra Gunawijaya, S.Ag, M.Fil. H mengatakan, Lontar Eka Prathama banyak membahas tentang tatanan dan banten yang dipergunakan dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya

Sebab, melirik dari isinya secara keseluruhan, menguraikan tentang tata upacara Manusa Yadnya dari upacara bayi baru lahir sampai upacara perkawinan. 

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Tingkatan upacara Manusa Yadnya yang dimaksud, adalah ketika bayi baru lahir ke dunia ada upacara yang harus dilaksanakan, yang dapat dilaksanakan secara nista, madya atau utama.

“Mulai dari saat bayi kepus pusar, setelah bayi berusia 42 hari, setelah bayi berusia enam bulan diselenggarakan upacara dengan sesajen tersendiri dalam tingkatan nista, madya atau utama. Nah itu dikupas dalam Lontar Eka Prathama tersebut,” jelasnya, kemarin.

Termasuk saat upacara perkawinan, lanjutnya, dalam Lontar Eka Prathama diuraikan ada semacam peringatan kepada mempelai yang dilarang keluar rumah dan sampai menginjakkan kakinya ke jalan raya, sebelum melaksanakan upacara perkawinan.

Khusus tentang pelaksanaan upacara Matatah dalam Lontar Eka Prathama mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Sebab enam buah taring yang ada di deretan gigi atas dikikir atau diratakan.

Upacara ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan tradisi yang masih terus dilakukan umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Dalam pelaksanaan upacara Matatah, Lontar Eka Prathama mengupas tentang etika yang harus dipatuhi saat Matatah, termasuk cara berpakaian, seperti dikutip : Walining wong atatah, yan lanang wastra cepuksari, sabhagya yan hana cepukmadhu, sabuknya bagus anom, lang wangsul kampuhnya kayu sugih. 

Yan wadon, kenya cepuk lubeng luwih, wastranya sukawredi, sabuknya taler bagus anom, lan-lan wangsul selendangnya kayu sugih. Nwah maka paturwanya, tekaning ulesnya, lakiba, sama pada mangkana. 



Paturwanya tikeh palasa, 1, sinurat smara ratih, kawos sirahnya kemit, pelangka gading, marangkub wangsul kemit, wangsul palangka gading, gedongan geringsing, klasanana pramadani, lan patawala sutra. Mwah ulesanya pakis lulut, lulut oneng, sudhamala, kayu sugih.

Jika diartikan, berikut pakaian orang potong gigi. Apabila laki-laki memakai kain cepuksari, berbahagialah bila ada cepukmadhu, ikat pinggang bagus anom, dan tali kapuhnya kayu sugih. 

Apabila perempuan kain dalamnya cepuk lubeng luwih, kain luarnya sukawredi, ikat pinggangnya juga bagus anom, dan tali selendangnya kayu sugih. Dan, sebagai tempat tidurnya beserta sprainya, baik yang laki maupun perempuan sama. 

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Tempat tidurnya tikar halus, satu lembar, digambari smara ratih, pelindung kapalanya, balai gading, ditutup dengan kain sebagai penutupnya, kain pada balai gading, kain gedingan geringsing, alasnya permadani dan patawalasutra. Pembungkusnya adalah pakis lulut. Lulut oneng, sudhamala dan kayu sugih. 

Dari kutipan teks lontar tersebut, dijelaskan pakaian orang yang akan Matatah harus sesuai, yaitu berisikan kain kuning, memakai kain cepuksari dan berbagai kain pendukung lainnya. Serta yang terpenting antara pakaian pria dan wanita dibedakan.

Selain cara berpakaian, dalam teks Lontar Eka Prathama juga disebutkan bagaimana cara berludah dan juga tempat ludah pada saat prosesi potong gigi berlangsung. 

Kutipan teks Lontar Eka Prathama menyebutkan : Mwah maka genahing widunya, cengkiring nyuh gading, kinasturi, rinajah Ardanareswari, lalamakan awangsul sabuh rah, wangsul nagasari, ikang widunya, pedem ring wingkinging sanggara agung. Mwang singganging waja, tebu malem 3 buku, lawan carang dapdap, wusnya mendem sarengan ring genahing wiku ika.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Bila diartikan :  lagi sebagai tempat ludahnya kelapa gading muda dikasturi. Digambari Ardanareswari, sebagai alas membuang ludah adalah kain nagasari, kemudian ludahnya itu ditanam di belakang sanggar agung, alat perenggang gigi (mulut) tebu malem 3 ruas dan ranting dapdap, setelah selesai tanam bersama-sama tempat ludah itu.

“Dari kutipan teks lontar tersebut dijelaskan, sarana yang dipakai untuk alas dan juga tempat air liur di tempat khusus. Termasuk sarana yang dipergunakan mendapat tempat khusus, sehingga tidak dibuang sembarangan,” paparnya. 

Dikatakannya, dalam teks Lontar Eka Prathama, penggunaan banten dalam upacara Potong Gigi atau Matatah sangat banyak sekali perannya. Jenis banten pun diulas secara detail.

Seperti yang tertulis : Nyan tingkahing babaline wong wus atatah, angadegaken sanggara tawang, ryarepning kabuyutan, genep sakramaning sanggar tawang, caru kang munggagi sanggar tawang, banten suci 4 dandanan, tekeng catur warna genep kadi kramaning suci kayng lagi. Ring sor tambehana caru, sakutu-kutuning walantaga, den jangkep kadi nguni.

Jika diartikan : Inilah tata cara orang potong gigi, mendirikan sanggar tawang, di depan sanggar kemulan, upakara sanggar lengkap. Banten yang dinaikkan di sanggar tawang banten suci empat perangkat, disertai dengan catur warba, lengkap sebagaimana suci biasanya. Di bawah tambahkan caru, peji, uduh, pisang lalung, agar lengkap seperti biasanya.

Dari kutipan teks lontar tersebut, telah mencerminkan keberagamaan di Bali. Dimana setiap pembuatan bangunan berupa sanggar pendukung, menempatkan banten sebagai simbolnya, kemudian di bawah meletakkan caru sebagai simbul keharmonisan.

“Ini menandakan tingkat religiusitas masyarakat Bali dari zaman kuno yang tertuang dalam teks Lontar Eka Prathama sangat tercermin sekali melalui perwujudan banten,” imbuh dosen di Prodi Teologi, STAHN Mpu Kuturan Singaraja tersebut.

Selain kutipan teks tersebut, dijelaskan pula secara detail banten yang dipergunakan dalam upacara potong gigi, sebagai berikut : Mwah paruk alit 4, maka catur kumba. Dyun pere, kumba carat 4, mwah caratan, pane, sasenden, kekeb, keren, dangdang lemah, kuskusan anyar, mesi sarwa rwi-rwi 108, palungan, suwir pepek, ilir, cucukin don, kalasa anyar, pada 1. 

Pari rong tenah, parahwatning anenun, kampil mesi beras. Malih panyukcuk itik belang kalung, ayam sudhamala, celeng muani, garboda, pungu-pungu, patlasan anut dina, kukusuk sudhamala.

Artinya :  periuk kecil empat buah untuk catur kumba, tempayan pere, kuba carat empat, dan kendi, panai, senden, tutup, keren, periuk tanah, kuskusan baru, berisi jenis-jenis duri sebanyak 108, lumpang, siwur pepek, kipas, pucuk daun, tikar halus masing-masing satu. 

Padi dua tenah, perlengkapan menenun, kampil berisi beras. Lagi sebagai pemucuk itik belang kalung, ayam sudhamala, babi jantan, garboda, pungu-pungu, patlasan sesuai dengan hari, kukusuk sudhamala.

Selain menempatkan banten secara detail, peletakan sarana banten juga disesuaikan dengan tattwa. Meskipun pada dasarnya umat Hindu di Bali beragama berdasarkan cara yaitu praktek, akan tetapi tidak terlepas dari tattwa dan susila sebagai tonggak ukur pelaksanaan kegiatan yadnya umat Hindu.

“Melalui penggunaan banten dapat dilihat secara gamblang mengenai pemaknaan relegius terkait dengan upacara potong gigi khususnya dalam teks Lontar Eka Prathama,” pungkasnya. 

(bx/dik/rin/JPR)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar