Senin, 15 Maret 2021

Delapan Jenis Pernikahan, Dapatkan Anak Suputra






Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga (ISTIMEWA)





Anak Suputra bisa membuat orang tuanya bahagia di dunia dan akhirat. Namun, banyak orang tua cenderung lebih memperhatikan pendidikan tinggi yang diutamakan. Lantas, bagaimana bisa mendapatkan anak yang baik?


Anak Suputra adalah idaman setiap orang tua. Untuk mendapatkan anak baik yang berbakti itu, prosesnya sedari awal sebelum menikah. Sepasang kekasih yang hendak menikah harus mulai menjalani proses yang benar, jika ingin punya anak yang suputra.





Menurut Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga, 50, orang tua adalah Tuhan dalam dunia sekala (nyata). Ida Sang Hyang Widhi melalui orang tua menyebabkan adanya seorang anak. "Sama seperti penciptaan alam semesta, Tuhan tentu merancang dengan baik, sehingga alam ini bekerja dengan sistem yang sangat teratur walau kompleks sekali. Jadi, orang tua pun harus merencanakannya dengan matang," ujarnya saat ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) kemarin.


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI



Perkawinan salah satu tujuannya untuk mendaptkan seorang anak. Namun, umat Hindu harus memilah jenis perkawinan atau pernikahan mana yang bisa dilaksanakan, agar bisa mendapatkan anak yang Suputra. “Dalam Manawadharmasastra terdapat delapan jenis perkawinan. Sepasang calon mempelai bisa melihat mana kategori yang baik buat mereka,” tegasnya.


Delapan jenis perkawinan dalam Hindu adalah Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Arsa Wiwaha,
Prajapati Wiwaha, Asura Wiwaha, Gandharwa Wiwaha, Raksasa Wiwaha, Paisaca Wiwaha.
Brahma Wiwaha adalah perikahan dimana si wanita menikah dengan pria ahli Weda, sedangkan Daiwa Wiwaha, dimana orang tua menikahkan anaknya kepada pria yang sudah berjasa melaksanakan upacara yadnya ataupun jasa non material kepada si orang tua wanita itu. kemudian
Arsa Wiwaha adalah sebuah perkawinan yang dilakukan, dimana si pria memberikan sesuatu (material) kepada keluarga si wanita.


Selanjutnya, Prajapati Wiwaha adalah perkawinan yang dilakukan setelah orang tua si wanita berpesan dengan mantra (semoga kamu bisa melaksanakan kewajibanmu bersama). Berikutnya adalah Asura Wiwaha, yakni pernikahan dengan pria memberikan mas kawin sesuai kemampuannya dan oleh keinginannya sendiri alias tidak ada paksaan. Jenis berikutnya adalah Gandharwa Wiwaha, yakni sebuah perkawinan dengan dasar suka sama suka antara pria dan wanita. Ada juga Raksasa Wiwaha, pernikahan terjadi karena si pria menculik paksa si wanita. Kemudian Paisaca Wiwaha, yang berarti perkawinan dilakukan karena membuat bingung pasangan, contohnya dengan membuat dia 'mabuk'.


“Dari kedelapan itu, untuk masa sekarang yang paling bagus untuk kebanyakan orang, Arsa Wiwaha dan Asura Wiwaha. Kelemahan Arsa Wiwaha ini karena mas kawinnya bisa diluar kemampuan si pria, berbeda dengan Asura Wiwaha yang mas kawinnya sesuai kemampuan,” ungkapnya.


Jika sudah bisa memilih cara perkawinan yang baik, lanjutnya, maka proses mendapat anak suputra bisa dilanjutkan dengan mensahkan pernikahan. Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga memaparkan, di Bali sahnya perkawinan ada tiga, Manut Agama, yakni perkawinan dimulai dengan adanya upacara pernikahan seperti Makalan kalan. “Proses ini akan mensahkan secara niskala pernikahan mempelai,” terang sulinggih asal Griya Natar Agung, Banjar Laplap, Desa Penatih Dangin Puri, Denpasar.


Tahapan berikutnya adalah Manut Dresta, dimana mempelai dalam prosesi perkawinan akan mengundang pihak desa adat. Prajuru adat adalah orang yang tahu syarat dan aturan sahnya pernikahan secara adat. Terakhir adalah Manut Tata Suluh Hukum Panagara. Mempelai juga mengundang pihak dari kelian dinas di desanya, yang mengurus sahnya pernikahan di negara ini.

"Apabila syarat pernikahan sudah dipenuhi, maka sah pula pernikahannya di mata hukum.
Ingat juga persetujuan keluarga kedua belah pihak pun harus ada, agar perkawinan penuh keberkahan,” sambungnya.


Setelah sah, maka tahapan selanjutnya adalah membuat anak. Sebuah langkah, dimana nantinya sperma bertemu dengan sel telur sehingga terciptalah janin. “Jika sudah tebentuk janin, si jabang bayi mulai diupacarai dengan Magedong-gedongan,” urainya.


Kemudian prosesnya adalah ketika si bayi sudah lahir ke dunia. Dalam ajaran Hindu khusunya di Bali, ada berbagai upacara yang dilakukan. Mulai dari menanam ari-ari, kepus puser, ngalepas hawon (memberi nama pada usia 12 hari), tutug kambuan (usia 42 hari), tiga bulanan, otonan, dan lainnya. “Berbagai upacara ini dilakukan agar si anak kelak menjadi anak yang suputra melalui doa yang dipanjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa,” terang Ida Pandita Mpu Jaya Ashita Santi Yoga. Bayi yang sudah lahir diupacarai dan memanjatkan doa saja untuk mendapatkan anak yang Suputra, belumlah lengkap. Selanjutnya yang dibutuhkan adalah pola asuhnya yang baik.





(bx/sue/yes/JPR)

Jumat, 12 Maret 2021

Apa Perbedaan Tuhan, Dewa dan Bhatara




 1. Tuhan (Brahman)

Ṛegveda harus dipahami sedemikian rupa bahwa Bhagavatīśvara (Tuhan Yang Maha Esa) adalah penghuni batin semua dewa & oleh karena itu semua sūkta hanya ditujukan kepada Beliau — sūyavasād bhagavatī hi bhūyā (Ṛegveda 1.164.40)
Hindu memiliki 3 mazhab terbesar:
• Waiṣṇawa
Teologi = Viṣṇu adalah Tuhan Maha Kuasa
Filosofi = Viṣṇu bersemayam di hati semua dewa & di semua makhluk hidup sebagai Antaryāmin Ātmā (Roh Utama). Tat tvam asi berarti semua makhluk (ātmā) adalah tubuh-Nya, satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Nama-nama utama Viṣṇu = Kṛṣṇa, Rāma, Nārāyaṇa, Vāsudeva, Govinda, Nārasiṃha, dll.
• Śaiwa
Teologi = Śiva adalah Tuhan Maha Kuasa
Filosofi = Śiva bersemayam di hati semua dewa & makhluk hidup sebagai Ātmā (Roh Utama). Tat tvam asi berarti semua makhluk (ātmā) adalah Śiva Sendiri (monistik).
Nama-nama utama Śiva = Sadāśiva, Maheśvara, Śambhu, Rudra, Mahādevā, Mahākāla, dll.


• Śākta
Teologi = memuja Kekuatan Tertinggi Tuhan (Parāśakti)
Filosofi = para dewa & makhluk hidup tidak dapat bergerak atas kuasa dari śakti (energi feminim). Tat tvam asi berarti kehidupan ini adalah perwujudan dari śakti.
Nama-nama utama Śakti = Durgā, Lakṣmī, Śrī, Sarasvatī, Kālī, Maheśvarī, Māyā, Prakṛti, Gāyatrī, Bhuvaneśvarī, Tripuraśundarī, dll.
2. Devā
Secara sederhana "dev" berarti cahaya Tuhan. Secara teologi para devā adalah insan-insan atau perpanjangan tangan-tangan Tuhan dalam fungsi administrasi alam material.
Ada 33 devā (12 Āditya + 11 Rudra + 8 Vāsu + Indra + Prajāpati).
Viṣṇu dapat disebut devā karena Viṣṇu pernah turun sebagai bagian dari Āditya, Āditya adalah putra-putra Ṛṣi Kaśyapa dengan Aditi, Indra adalah putra tertuanya & berkedudukan sebagai raja surga. Viṣṇu turun menjadi Āditya sebagai Vāmana, yang bergelar Upendra (adik dewa Indra). Śiva dapat disebut devā karena 11 Rudra adalah aspek-aspek Śiva Sendiri.
3. Bhaṭāra
Bhaṭāra tidak selalu tertuju pada Tuhan dan dewa, bhaṭāra dapat merujuk pada setiap insan yang memberikan perlindungan. Atas kuasa dari Tuhan Sendiri (Tuhan sebagai Antaryāmin yang bersemayam di dalam batin bhaṭāra) memberikan berkah-berkah perlindungan kepada manusia melalui perantara bhaṭāra.

______________________________
𝗔𝗽𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗪𝗶𝘀𝗻𝘂, 𝗦𝗶𝘄𝗮, 𝗦𝗮𝗸𝘁𝗶 — 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗺𝗮? ⁣
"O raja yang terbaik, Śiva, Nārāyaṇa, dan Prakṛti Durgā semuanya abadi. Karena Puruṣa (Tuhan) pada waktu-waktu yang tepat mengambil wujud-wujud tertentu. Nārāyaṇa Sendiri adalah Śiva, dan kekuatan-Nya adalah Śakti (Lakṣmī atau Durgā)." — Brahma Vaivarta Purāṇa (2.54.111-112) ⁣
Ibarat 2 sisi mata uang, seperti itu pula kedudukan Mereka. Beberapa pemilik uang meletakkannya dengan posisi gambar pahlawan menghadap keatas, seperti itu pula umat Vaiṣṇava memposisikan Viṣṇu diatas Śiva, sebaliknya umat Śaiva memposisikan Śiva diatas Viṣṇu. ⁣
𝗔𝗽𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗹𝗶𝗿𝘂 𝗷𝗶𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗯𝘂𝘁 𝗱𝗲𝘄𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝗵𝗮𝘁𝗮𝗿𝗮 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗽𝗲𝗿𝘄𝘂𝗷𝘂𝗱𝗮𝗻 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 𝗶𝘁𝘂 𝗦𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶? ⁣
Ṛegveda (1.164.46):— Mereka menyebut-Nya sebagai Indra, Mitra, Varuna, Agni, Garutman — Satu Tuhan, orang bijaksana menyebut-Nya dengan bermacam nama. ⁣
Menurut filsafat Viśishṭādvaita Vedānta, Tuhan bersemayam di batin para dewa sebagai Antaryāmin (yang mengendalikan dari dalam) — karena itu Nārāyaṇa disebut Indra, Mitra, Agni olehsebab Nārāyaṇa bertindak sebagai batinnya dewa Indra, dewa Mitra, dan dewa Agni. ⁣
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗧𝗿𝗶𝗺𝘂𝗿𝘁𝗶? ⁣
Dalam mazhab Vaiṣṇava, Nārāyaṇa mengasumsikan wujud sebagai Brahmā (pencipta), Viṣṇu (pelestarian), Rudra (pelebur). Karena itu Trimūrti adalah wujud-wujud Saguṇa Tuhan ⁣
Dalam mazhab Śaiva, Sadāśiva mengasumsikan wujud sebagai Brahmā, Viṣṇu, Īśvara. Karena itu Trimūrti adalah wujud-wujud Saguṇa Tuhan. ⁣
𝗕𝗶𝘀𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗹𝗮𝗻𝗷𝘂𝘁 𝗱𝗶𝘂𝗿𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗶𝗮𝗽𝗮 𝟯𝟯 𝗱𝗲𝘄𝗮 𝘁𝗲𝗿𝘀𝗲𝗯𝘂𝘁? ⁣
• 12 Aditya = 12 bulan dalam kalender (Aditya = dewa-dewa matahari);⁣
• 11 Rudra = 10 indera + 1 pikiran⁣
• 8 Vasu = 8 prinsip dasar material (api, bumi, udara, atmosfer, matahari, langit, bulan dan bintang-bintang)⁣
• Prajāpati = pengurbanan suci⁣
• Indra = awan hujan (hasil pengurbanan) ⁣
Sumber: Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad Bab ke 3

Pemuja dewa akan pergi ke alam dewa; pemuja leluhur akan pergi ke alam leluhur




 Ada 1 rujukan sloka Bhagavad Gītā (9.25) yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat.

— Pemuja dewa akan pergi ke alam dewa; pemuja leluhur akan pergi ke alam leluhur; pemuja roh halus akan pergi ke alam bhūta; pemuja-Ku akan datang kepada-Ku.
Apakah ini bertentangan dengan Viṣṇu Dharmaśāstra (59.20)?
— Manusia harus melakukan 5 jenis pengurbanan suci dalam hidupnya: kepada guru (ṛṣi-yajñaṃ); dewa (deva-yajñaṃ); bhūta (bhūta-yajñaṃ); leluhur (pitṛya-yajñaṃ); & manusia (maṇusyāḥ-yajñaṃ).
Baik Bhagavad Gītā & Viṣṇu Dharmaśāstra keduanya disabdakan oleh 1 Īśvara yang sama, Viṣṇu. Lalu, mengapa terkesan saling bertolak belakang?
Tuhan adalah Parāma Ātmā (Roh Utama) yang bersemayam di batin para dewa (devāḥ-pitaraḥ), leluhur (manuṣyāḥ-pitaraḥ), hantu (devaḥ-bhūta), sesuhunan (devatā-pratimā) & di semua makhluk hidup (pasu). Bhagavad Gītā (9.16/23-24):


— Akulah ritual, Akulah kurban suci, persembahan kepada leluhur. Bahkan ia yang memuja dewa lain dengan penuh keyakinan—sebenarnya hanya memuja-Ku (karena Aku bersemayam di batin mereka). Satu-satunya aku yang menikmati & menguasai segala kurban suci.
Dengan demikian, menyembah dewa/leluhur—pada akhirnya juga menyembah Tuhan dengan mentalitas kesadaran kita bahwa Tuhan adalah Antaryāmin Ātmā yang bersemayam di batin mereka. Selaras dengan pernyataan Gong Besi (3a):— Pada Rong Telu, Aku adalah Sang Hyang Tunggal bergelar Sang Hyang Ātmā.
Mayaiva vihitān hi tān—"Sebenarnya hanya Aku Sendiri yang menganugerahkan berkah-berkah itu melalui perantara mereka." (Bhagavad Gītā 7.22)
Sebagai wujud sikap kerendahan hati umat manusia (tat-tvam-asi), menghormati dewa, bhūta, & leluhur dilakukan secara proporsional karena upāyatya, Tuhan adalah penghuni batin kepribadian-kepribadian agung tersebut. Menghormati leluhur tetapi melupakan Sang Pencipta justru akan mengarah sikap anti-theis. Mānava-Dharmaśāstra (3.205)⁣⁣:
— Hendaknya kau melakukan sembah bhakti kepada leluhur terlebih dahulu & berakhir dengan sembah bhakti kepada para dewa hingga memuncak kepada Tuhan Yang Maha Esa (pendakian spritual dari yang terendah ke yang lebih tinggi). Janganlah kau memulai & mengakhiri dengan upacara leluhur saja.
𝗝𝗮𝗱𝗶 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗗𝗵𝗮𝗿𝗺𝗮𝘀𝗮𝘀𝘁𝗿𝗮 𝗵𝗮𝗿𝗺𝗼𝗻𝗶 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗹𝗮𝗶𝗻𝗻𝘆𝗮?
Tidak ada kontradiksi antara Bhagavad Gītā (mokṣa-śāstra) dengan Viṣṇu Dharmaśāstra (aturan perilaku hidup sehari-hari). Gītā adalah pengetahuan hakikat (tattwa-jñāna), sedangkan Dharmaśāstra adalah pengetahuan terapannya (vijñāna).
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗶𝗺𝗽𝗹𝗶𝗺𝗲𝗻𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗱𝗶 𝗕𝗮𝗹𝗶?
Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memperkenalkan konsep kesatuan Tuhan (advaita-vāda) melalui kerangka Tripuruṣa & altar pemujaan Padmāsana, tetapi beliau tidak menggusur praktek ajaran Bali kuno yang sudah eksis sebelumnya (paham Trimūrti & penghormatan leluhur). Melalui tutur Gong Besi-nya, secara eksplisit menegaskan Sang Hyang Tunggal berganti nama ketika Beliau berpindah tempat.


Ketika beristana Pura Dalem, Tuhan bergelar Ida Bhaṭāra Dalem. Hengkang dari Pura Dalem, lalu beristana di Pura Puseh bergelar Sang Hyang Triodasa Sakti. Di Pura Deśa bergelar Sang Hyang Tri Upasedhana. Di Catus Pata (perempatan agung) bergelar Sang Hyang Catur Buana. Di pertigaan jalan bergelar Sang Hyang Sapuh Jagat. Di Rong Tiga, kiri (Tuhan yang bersemayam di batin leluhur laki-laki) bergelar Sang Hyang Parātmā, kanan (Tuhan yang bersemayam di batin leluhur perempuan) bergelar Sang Hyang Siwatma, & ditengah (yang bersemayam di batin diri kita) bergelar Sang Hyang Ātmā.
𝗝𝗮𝗱𝗶 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗿𝗵𝗮𝘁𝗶-𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗺𝗲𝗻𝗮𝗳𝘀𝗶𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮?
Bhagavad Gītā tidak dapat dipahami hanya dengan mencomot 1 śloka atau menerima/menolak Gītā berdasarkan selera (sentimen pribadi). Kesalahan tafsir pada Gītā dapat menjerumus pada doṣa atau pelanggaran berat yang disebut Aparādha.
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗮𝗹𝗶𝗿𝗮𝗻-𝗮𝗹𝗶𝗿𝗮𝗻 𝗛𝗶𝗻𝗱𝘂 𝗺𝗲𝗺𝗮𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮?
Siapapun yang mengklaim dirinya sebagai Vedāntīn, maka ajarannya tidak pernah lepas dari Praṣṭana-trayā yaitu kitab-kitab Upaniṣad, Bhagavad-gītā, & Brahma-sūtra. Apapun sekolah Vedānta / alirannya selalu ada bhāṣya (ulasan) tentang Bhagavad-gītā & Brahma-Sūtra, seperti halnya gula tidak dapat dipisahkan dari rasa manisnya.

Menurut keputusan seminar kesatuan tafsir. Brata Śiwarātri terdiri dari:

 


A. Utama, melaksanakan:
- Monobrata (berdiam diri)
- Upawāsa (tidak makan, tidak minum)
- Jāgra (berjaga, tidak tidur)
B. Madya, melaksanakan:
- Upawāsa
- Jāgra
C. Niṣṭha, hanya melaksanakan: Jāgra
Umat (seorang sādhakā) melaksanakan sesuai kemampuan masing-masing, jika tidak mampu melaksanakan tingkat utama, maka lakukan pada tingkat madya, jika tidak mampu melaksanakan madhya makan lakukan tingkat niṣṭha.

______________________________
1. Upawāsa
Puasa adalah dilatihnya indria lidah dari dorongan obyek-obyeknya. Berpuasa walaupun tidak sempurna namun diimbangi dengan jnāña (pengetahuan) lebih baik daripada semangat menggebu-gebu berpuasa sehari penuh namun pikirannya merenungkan obyek-obyek pemuas indria (game-online, film, novel, dsb).
Upawāsa dilaksanakan besok dari pagi hari saat matahari terbit (pukul 6 waktu setempat) sampai esok harinya pada pukul 6 pagi (Tilem Sasih Kepitu). Upawāsa Śiwarātri dilaksanakan selama 24 jam penuh.
2. Monobrata
Monobrata bukan berarti diam membisu, melainkan hendaknya melatih untuk tidak berbicara yang bukan-bukan (bergosip, ghibah, dsb). Sesungguhnya kita tidak bisa menjadi tanpa keinginan & kita tidak bisa menjadi diam. Keinginan-keinginan itu dapat disucikan, kita hendaknya berkeinginan menggunakan lidah & pikiran kita dengan aktifitas berjapa.


3. Jāgra
Jāgra artinya "sadar", kesadaran itu dalam pelaksanaan Brata Śiwarātri disimpulkan dengan melaksanakan melek semalam suntuk.
Cara ini sangat praktis. Kita dapat menjaga pikiran kita tetap terhubung dengan Śiwa dengan berpikir tentang Śiwa. Kita dapat menjaga telinga kita tetap terhubung dengan Śiwa dengan mendengar nyanyian rohani-Nya. Kita dapat menjaga lidah kita tetap terhubung dengan Śiwa dengan melafalkan Nama Suci Śiwa & memakan lungsuran (jika tidak berpuasa) — inilah yang disebut pelepasan ikatan terhadap segala sesuatu yang bersifat material, pelepasan ikatan bukanlah berarti menonaktifkan indria-indria.
Jāgra dilakukan besok mulai pukul 06.00 sampai esok harinya pukul 18.00 (36 jam).
Photo: @gdvibesbali

Tata cara Brata Siwaratri

 



Pada suatu hari, terjadi percakapan antara Hyang Girīndraduhita (Pārwatī) dengan Hyang Jagatpati (Śiwa).


Giriputri:— Atas kasih Paduka kepada-Ku, ajarkanlah tata cara pelaksanaan brata Śiwarātri yang ingin hamba lakukan, semoga brata ini kelak akan dipraktikkan oleh orang yang berjaga pada waktu bulan Magha malam keempatbelas gelap, prawanining tilĕm Kapitu. (Śiwarātri Kalpa, 36.2)

Jagatpati:— O Adinda Ku-sayang, senangnya hati Kakanda mendengarkan pertanyaan-Mu, Kakanda akan memberitahu Adinda cara melaksanakan brata yang luar biasa pahalanya. Dengarkanlah. Ia yang mematuhi kata-kata Kakanda oleh karenanya akan menuju Rudraloka, tidak akan memasuki kawah neraka. (Śiwarātri Kalpa, 36.3)


— Di waktu pagi sesudah menggelar pemusatan pikiran pada-Ku, datanglah kerumah guru, menghormatinya dan juga memohon diri melaksanakan brata, menjunjung kaki guru. Sesudah itu mandilah, membersihkan gigi, mengatur pelaksanaan pemujaan Hyang Śiwānala, disertai dengan berpuasa dan bersikap diam (tidak berbicara yang bukan-bukan) , hendaknya pakaian selalu dalam keadaan bersih. (Śiwarātri Kalpa, 37.1)

— Sesudah berakhirnya siang hari, pada waktu malam harinya hendaknya ia berjaga dan tidak tidur, sambil taat berpikir tentang-Ku senantiasa. Pujalah Hyang Kumāra (Kārtikeya) dan Hyang Gajendrawadana (Ganeṣa) meminta perestuan. Pada malam hari itu, selama 12 jam, laksanakan tata cara puja sesuai yang diperlukan. (Śiwarātri Kalpa, 37.2)

— Musik dan lagu-lagu rohani hendaknya dinyalakan untuk menggelakkan rasa kantuk di mata, atau bersama-sama mengucapkan kidung suci dalam keramaian (saṅkīrtana). Aku lebih berbahagia lagi kalau ia dapat menceritakan kisah si pemburu pada waktu itu. Ia pasti akan mendapatkan alam yang paling utama bagi dia yang menceritakan perjalanan ātmā si Lubdhaka. (Śiwarātri Kalpa, 37.5)

— Sesudah sirna malam itu pada esok harinya berikanlah derma (sumbangan) pada orang-orang yang berkumpul (yang melaksanakan brata Śiwarātri), persembahkanlah Śiwalingga emas kepada maha pandita yang bersusila tinggi dan paham akan Weda. Siapapun disana berilah derma dengan semampunya, selalu terbebaskan dari waktu jaga tidur siangnya, lakukanlah amanat itu. (Śiwarātri Kalpa, 37.6)


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

— Setelah selesai sempurna melaksanakan brata yang Ku-katakan, maka lanjutlah dengan kegiatan bertirtayatra. Seribu juta dosa laknat yang ia lakukan pada kelahiran terdahulunya seketika akan sirna ketika melaksanakan brata Śiwarātri yang serba utama. (Śiwarātri Kalpa, 37.7)

— Walaupun seluruh hidupnya ia berbuat kebatilan, menyakiti perasaaan orang lain, membunuh seorang brahmana, dan lagi tidak tahu berterima kasih, durhaka pada seorang guru, membunuh janin pada kandungan — semua dosa-dosa itu akan sirna oleh karena ia berjaga di waktu Śiwarātri yang sangat utama ini. (Śiwarātri Kalpa, 37.8)

— Walaupun tidak melaksanakan brata tetapi terjaga tidak tidur pada waktu-waktu demikian, seluruh kelahiran manusia, baik tua-muda, laki-perempuan, segera akan menuju Śiwālaya, menikmati kebahagiaan transedental tanpa berkeluh kesah. (Śiwarātri Kalpa, 37.9)

— Demikianlah wejangan Hyang Īśwara kepada para dewatā, Hyang Girīndratanaya memberi salam penghormatan dan mematuhi semua sabda Hyang Jagatpati yang telah diberikan, demikilanlah para hyang (dewatā) yang ikut mendengar diskusi Śiwa dan Śakti-Nya melaksanakan brata Śiwarātri sampai ke Triloka. (Śiwarātri Kalpa, 37.10)

SANGGAH KEMULAN (RONG TIGA)

 


Sanggah Kamulan berasal dari 2 kata, "sanggah" berarti tempat pemujaan, dan "kamulan" berasal dari kata mūla yang berarti awal atau sumber. Jadi Sanggah Kamulan adalah tempat untuk memuja asal mula darimana manusia itu diciptakan, siapakah Beliau?⁣

"Pada kamulan kanan adalah ayahmu, Sang Parātmā. Pada kamulan kiri adalah ibumu, Sang Śivātmā. Pada kamulan tengah adalah Bhaṭāra Dalem sebagai Hyang Ātmā (Tuhan), yaitu roh dari ayah dan ibu (yang telah) kembali ke Dalem (asal mula) menjadi Sang Hyang Tunggal" — Lontar: Tutur Gong Besi, lembar 3a⁣

Gong Besi lebih lanjut menyatakan:—

"Aku maraga lanang, meraga wadon, meraga daki, dadi aku meraga sawiji, nga. Aku Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Tunggal." — Aku berwujud laki-laki, juga berwujud perempuan, telah menjadi kotor (papā), beragalah Aku sebagai makhluk hidup. Namun sesungguhnya Aku esa tiada duanya. ⁣

Jadi, umat Hindu bersembahyang dihadapan Sanggah Kamulan tiada lain sedang memuja asal mula diri kita sendiri yaitu Bhaṭāra Hyang Guru (Tuhan Yang Maha Esa).⁣

"Demikianlah hendaknya ia menghaturkan penghormatan kepada Bhaṭāra Guru dan leluhur yang telah disucikan, dan itulah yang sedang kau puja di Kemulan." — Lontar Sundarigama


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

"Akulah kurban suci, ritus pengurbanan, Akulah apa yang kau persembahkan, Aku adalah kurban yang dikurbankan dan orang yang khusyuk dalam upacara kurban. Aku juga yang memberkahi pengurbanan itu. Siapakah ini? Siapakah kau? Siapakah kalian? Pada kenyataannya semua itu adalah Aku, Aku adalah realitas satu-satunya di alam semesta. — Śiva Mahāpurāṇa, 2.2.26.47-48

Adapun Lontar Śivāgama, lembar 328, menyiratkan begitu pentingnya Sanggah Kamulan dibangun sebagai satu-satunya pemujaan yang harus ada pada masing-masing pekarangan untuk memuja Bhaṭāra Dalem (Tuhan) sebagai Sang Hyang Ātmā.⁣

"Dia adalah Sang Hyang Paramawisesa Dalem Kawi. Kalian sehat berasal dari Dalem Kawi, sakit dari Dalem Kawi, hidup dari Dalem Kawi, kematian juga dari Dalem Kawi. Dari Sang Hyang Pemutering Jagat-lah asal mula segala sesuatu, menjadi beranekaragam oleh karena kehendak-Nya Sendiri." — Lontar: Tutur Gong Besi, lembar 3b.⁣

______________________________

yo devānām prabhavaś co'dbhavaś ca
vīśvādhipo rudro maharṣiḥ
hiraṇyagarbham paśyata jāyamānam
sa no buddhyā śubhayā samyunaktu

"Dia adalah sumber dan darimana para devatā itu berasal, penguasa segalanya, Mahaṛṣi Rudra (Bhaṭāra Guru), yang mengawasi segala ciptaan alam semesta (Hiraṇya-garbha). Semoga Dia memberikan cahaya pengetahuan kepada kita." — Śvetāśvatara Upaniṣad (4.12)⁣

______________________________ ⁣


Photo: @ayomoto.id

Kenapa Terawangan Balian Sering Salah




Dalam lontar Aji palayon dikatakan, bahwa jika hendak pergi kepada seorang balian, maka harus mengedepankan akal sehat. Jika sesuai dengan sastra agama dan logika, barulah dijalankan. Jika tidak, maka tinggalkan saja. Namun jika kita berbicara masalah logika, rasional atau nalar yang mengedepankan akal sehat, dalam tataran niskala, maka hal tersebut bukanlah sebuah hal yang mutlak diperlukan. Sebab dunia niskala berisikan banyak hal-hal di luar nalar namun itu terjadi.
Demikian pula, jangan sekali-kali menelan mentah-mentah apa yang diucapkan oleh seorang balian. Sebab jaman sekarang, tidak sedikit balian yang ngaku-ngaku ririh.
Berdasarkan Bhairawa Tantra, Manusia Terbagi atas 2 Golongan.
1. Prawerti adalah Hubungan Manusia dengan Tuhan dari Hati, mempelajari Agama Hindu, Filsafat, Paham mengenai Upakara dan folosopinya, paham dan menjalankan Weda.
2. Niwerti adalah Hubungan Manusia dengan Tuhan untuk dengan mengandalkan kekuatan, kesaktian, kewisesan, yang bermuara pada satu kekuatan supranatural, kekuatan magis, dan melebihi kekuatan normal lainnya. Kebalikan dari Prawerti. Niwerti adalah Golongan Manusia yang mengutamakan Hubungan Manusia dengan Tuhan menggunakan ritual.
Jika Prawerti, maka akan seperti berikut.


Jika seorang Hindu Bali meninggal dunia, maka kerabatnya akan melaksanakan upacara yang bernama ngaben. Maka seusai upacara ngaben, ia tidak usah pusing apakah yang diaben mendapatkan tempat atau malah dirajam di neraka. Ia yakin akan hukum karma yang ada di dunia sana dan ia sudah sangat puas melakukan ngaben dengan tuntunan sastra yang benar.
Jika Niwerti maka akan seperti berikut.
Setelah Ngaben. Orang bali akan bertanya kembali. Apakah kakek saya yang baru diaben mendapatkan tempat, apakah ia tidak sengsara di sana, atau banten apakah yang kurang dan jika ia menderita di alam sana. Apakah yang harus dilakukan agar hukumannya dapat dikurangi? Dengan tujuan itu, maka ia pergi ke tempat balian, untuk meluasang, apakah kakeknya mendapatkan tempat atau tidak.
Apakah yang harus dilakukan agar hukumannya dapat dikurangi? Dengan tujuan itu, maka ia pergi ke tempat balian, untuk meluasang, apakah kakeknya mendapatkan tempat atau tidak. Jika dihukum atau dalam keadaan susah, maka banten apa yang harus dibuat agar hukuman kakek bisa sedikit dikurangi. Dengan bertanya seperti itu, maka sang balian kerauhan dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi.


Perlu diperhatikan, bahwa balian adalah manusia. Sehebat apa pun manusia, maka ia pasti melakukan kesalahan. Ada sebuah kisah yang menarik mengapa balian tidak mungkin menerawang sisi niskala dengan tepat seratus persen.
Kok Bisa?
Saat manusia diciptakan, maka yang membungkus Atman adalah Citta(Pikiran), Buddhi(Kecerdasan), Ahamkara(Ego).
Sisi rohani dengan pancaran kekuatan supranatural adalah satu cerminan dari kekuatan Buddhi(Kecerdasan),jika Buddhi itu sedang bekerja, maka Ahamkara atau rasa Egonya akan membungkusnya kembali sama seperti saat manusia diciptakan.
Ahamkara ini memiliki lapisan yang tebal, sehingga sulit untuk melihat dengan terang. Sehingga, berdasarkan AJARAN HINDU, sangat sulit Manusia untuk bisa menerawang.
Balian dengan meneropong hal-hal berbau niskala, tidak akan mungkin mampu melihat seratus persen benar, terlebih lagi balian yang ngaku-ngaku sakti. Apa yang harus diperbuat? Yang perlu dilakukan adalah bahwa sesuatu kegiatan beragama kita jalankan saja dengan petunjuk sastra
atau dengan tuntunan sang pandita. Jika menemukan sebuah kejanggalan, maka barulah cari solusinya dengan jalan niskala, namun tetap dengan mengedepankan akal sehat sebagai sebuah Fllterisasi.
Sumber : @nafashindu
#infodewata #hindu