Dulu di desa-desa Bali aga tidak ada sanggah kamulan atau pura di rumah. Keberadaan sanggah kamulan berkembang setelah hadirnya rumah modern. Hal itu terjadi karena rumah Bali kuno di desa-desa menggunakan model pondok seka roras, yaitu rumah yang bertiang 12. Berbeda dengan masyarakat Bali selatan, hampir semua rumah memiliki sanggah kamulan atau lebih umum disebut sanggah. Sepintas kita melihat perbedaan yang sangat mencolok, seolah-olah konsep rumah masyarakat Bali Aga tak sesuai aturan. Akan tetapi ketika kita telaah ternyata esensinya sama saja. Pondok seka roras yang dikenal dalam masyarakat Bali merupakan miniatur dari umah gede. Dalam rumah seka roras ini terdapat ambe (di selatan), peluangan (halaman rumah di dalam ruangan), bedawan (bedauhan/barat), patokan (pusat/tengah), bedanginan (timur), dan pawan atau paon (dapur). Oleh karena tidak ada rong telu tempat stana leluhur di planggatan maka masyarakat yang memiliki atau mewarisi konsep rumah sekaa roras memiliki palinggih atau pesimpangan dewa Hyang, fungsi dan bentuknya hampir sama dengan sanggah kamulan. Bedanya, palinggih dewa hyang diempon oleh banyak orang (kurang lebih 20-50 kk), sedangkan sanggah kamulan hanya diempon oleh satu keluarga atau orang yang tinggal menetap dalam rumah bersangkutan.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar