Senin, 09 Juli 2018

Yadnya Kurban Hewan





Pasu Yadnya ke-6
Weda adalah merupakan sumber tertua daripada tradisi intelektual orang Asia khususnya India dan pada umumnya Dunia. Para insan intelektual saat ini memiliki tafsiran beragam atas kapan kebudayaan Weda yang muncul pertamakali di India (Jambu Dwipa/Hindustan) ini dimulai. Weda tersebut disebutkan didapat oleh Para Maharsi berbeda-beda dalam samadinya.
Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa Weda ini mulai dikumpulkan dan dirangkum atau dikompilasi pada masa 5000/4000 tahun sebelum masehi dan paling akhir adalah 1000 tahun sebelum masehi. Sedangkan kita ketahui bahwa usaha merangkum Weda ini dilakukan oleh Bhagawan Wyasa menjadi Catur Weda. Jadi penerimaan Para Maharsi berbeda dibagi dalam 4 Weda: Rig, Sama, Yayur dan yang terakhir disebut Atharwa Weda karena disebut datang dari Atharwan.
Weda sebenarnya adalah Yajna (Yadnya) hanya saja Yadnya yang dimaksud disini adalah bukan bermakna Yadnya Kurban Hewan seperti yang akan saya bahas saat ini. Yadnya Weda bermakna sangat luas dan disebutkan bahwa Yang Agung juga melakukan Yadnya sehingga Dunia Material ini terbentuk atau terlahirkan dan juga akan mengalami akhir disuatu masa adalah merupakan dalam siklus Yadnya dari Sang Pencipta yang telah menjadi tanpa awal dan tanpa akhir.
Rig Weda ada memuat berbagai stanza yang menyebut masalah persembahan yang dihaturkan saat Yadnya dijalankan dan dimaklumi bahwa pemujaan yang bersifat murni adalah amat sangat jarang muncul sebagai landasan dari Yadnya sebab umumnya kita ajukan harapan dan permintaan pada proses Yadnya tersebut. Sama Weda dan Yayur Weda lebih dikaitkan pada ritual daripada Yadnya. Kemudian sloka-sloka text Brahmana menerangkan berbagai hal mengenai Yadnya Kurban dengan umumnya berisi perbandingan dan hubungannya sebagai contoh untuk mudah dimengerti. Misalkan Kurban dibandingkan atau di indentifikasi sebagai pakaian atau Wastra, Kijang dibandingkan dengan sebuah kendaraan, dst.
Pada bekas reruntuhan Kota Mohenjodaro dan Harrapa di lembah sungai Sindu ditemukan altar pemujaan homa atau hotra yang juga berisi persembahan Kurban Hewan sesuai juga yang tersurat pada Atharwa Weda. Juga dari hasil temuan bukti arkeologi dapat dikatakan dengan pasti bahwa ada praktek Yoga dan pemujaan kepada Dewi.
Yadnya dalam artian diluar daripada apa yang dimaknai Kurban Suci Hewan adalah merupakan aspek penting dari tradisi Weda. Yadnya bermakna mempersembahkan dan juga diperkenankan untuk berisi permintaan dan permohonan. Karena Yadnya yang murni tersebut adalah amat sangat jarang.
Untuk di Bali persembahan Kurban Yadnya Hewan kemungkinan dimulai dari Era Kertarajasa, Maharaja dari Singosari Jawa yang telah mengakusisi Bali pada masanya. Beliau disebut sebagai Bhakta Bhairawa yang sangat taat. Dan sejak saat itu Bali kemudian juga memiliki penganut Hindu atau Sanatana Dharma agama Siwa Bhairawa. Sedangkan bila dilihat masih dipertahankannya persembahan sate tanpa daging oleh penduduk desa-desa tertua di Bali maka dapat dipastikan bahwa Hindu atau Sanatana Dharma dari agama Waisnawisme dan Buddhisme adalah yang pertamakali dianut di Bali (Dugaan Para Ahli juga demikian).
Istilah Kurban Hewan di Bali adalah juga berasal dari Sanskerta yaitu kini disebut Jatah. Jatah sendiri sebenarnya bermakna penyembelihan hewan sehingga pada persembahan yang disebut Jatah akan berisi sebelumnya proses penyembelihan hewan dan umumnya dari Babi dan Hewan yang dianggap suci lainnya. Daging dan kepala hewan itu kemudian dirangkai sebagai persembahan. Istilah Jejatah kini lebih umum bermakna sate dari daging kurban hewan pada persembahan tersebut. Kemudian Gayah adalah persembahan dari tulang Hewan Kurban atau dari hasil Jatah. Akan tetapi untuk dibeberapa tempat di Bali istilah Gayah dan Jatah adalah disamakan.
Pada aspek banten Bali yang dibagi dua maka persembahan ini termasuk rangkaian Yadnya harapan atau permohonan penyucian kepada aspek Bhutakala serta penyucian bagi hal-hal yang bersifat lahiriyah dan duniawi.
Sangat disayangkan kini juga ada yang ikut latah dalam mispersepsi prihal Siwa Bhairawa. Sebagaimana dengan masalah perbantenan di Bali yang dimana juga kebanyakan orang tidak bisa menyebutkan maknanya kecuali dengan istilah “memang demikian” atau “mule keto”. Pemahaman tentang Bhairawapun juga ada yang semena-mena melihatnya dari sudut ketidak tahuan dan bahkan menjurus penghakiman negatif. Hal demikian sangat dimaklumi karena terbatasnya pengetahuan kita akan sejarah masa lalu. Konon Pura dengan juga disematkan nama Siwi disebut adalah Pura yang didedikasikan bagi Bhairawa dimasa lalu. Sebab nama Siwi tersebut adalah nama lain dari Bhairawa.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar