BEBERAPA MANTRA/SLOKA VEDA SEBAGAI SUMBER
-
DAN DASAR HUKUM PELAKSANAAN YAJNA (RITUAL/UPAKARA).
Oleh : Mendrajyothi ( I Nengah Sumendra )
Om Swastyastu,
Om ano badrah kratawo yantu wiswatah.
Acara Hindu sampai saat ini kerapkali menjadi buah bibir oleh pemeluknya sendiri maupun dari pihak lain yang mengomentari pelaksanaan Acara Hindu, terlebih-lebih Acara Hindu yang perwujudannya dalam bentuk ritual/upakara. Komentar ataupun penilaian yang diberikan menempatkan ritual/upakara Hindu pada kondisi nilai yang "underdog". Hal seperti ini tentu tak boleh dibiarkan berlarut-larut, terlebih-lebih dikembangkan yang dapat merusak pilar-pilar sraddha dalam beragama Hindu. Umat Hindu punya Dharma Agama untuk menempatkan Acara (Ritual/Upakara) adalah sebagai salah satu bentuk sadhana dalam kerangka dasar agama Hindu, mengingat Tiga Pilar yaitu Tattwa, Susila dan Acara Hindu adalah unsur pokok yang membangun bangunan Rumah dan Ajaran Hindu.
Sekelumit tulisan ini adalah kumpulan dari beberapa sumber hukum Hindu dan beberapa argumen yang dilandasi oleh sraddha dan bhakti terhadap kemuliaan dari pelaksanaan ritual/upakara itu. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai bahan renungan bagi pemeluk Hindu ataupun bagi pihak lain yang selama ini doyan sekali memberikan komentar ataupun penilaian yang tanpa dibarengi pengetahuan yang cukup terhadap sumber hukum Hindu yang menjadi dasar pelaksanaan ritual/upakara itu. Bukankah menilai tanpa menggunakan instrumen penilaian dan didahului dengan pengumpulan data yang yang baik dan benar pun komprehensif akan tergiring pada penilaian yang tidak obyektif dan Human Eror. Kalau boleh meminjam istilah lain dalam bahasa Arab-nya disebut dengan orang Sirik. Orang sirik sangat berdekatan dengan musrik, orang musrik konon katanya bersekutu dengan Saitan. Untuk apa memelihara karakter keraksasaan itu dalam diri-kita..?.
Dasar Pelaksanaan Yajna (Acara Hindu). Konsepsi Yajna tak terkecuali Acara Agama Hindu telah ada dalam kitab suci Veda sebagai sumber hukum tertinggi dalam ajaran Agama Hindu. Demikian Kitab suci Veda termasuk susastra suci-nya menjadi dasar dalam pelaksanaan Yajna (Acara Hindu). Berikut beberapa kutipan mantra/sloka Veda, diantaranya :
•Rg Weda X.10 : Alam ini ada adalah berdasarkan yajna-Nya.
•Atharwa Weda XII.1.1 menyebutkan : “Satyam behad rtam ugram, diksa tapa brahma yadnyah, prthiwim dharayanti, sa no bhutasya bhany asya patyanyurumlokam” Artinya : Kebenaran (satya) hukum yang agung, yang kokoh dan suci (rta), tapa brata, doa dan yajna inilah yang menegakkan bumi, semoga bumi ini, ibu kami sepanjang masa memberikan tempat yang melegakan bagi kami.
•Bhagawadgita III.11 : Dengan yajna itu para dewa akan memelihara manusia dan dengan yajna itu pula manusia memelihara para dewa. Jadi saling memelihara satu sama lain maka manusia akan mencapai kebahagiaan.
•Bhagawadgita III.12 : Ia yang hanya suka dipelihara tidak mau memelihara maka ia adalah pencuri.
•Manawa Dharmasatra, VI.35 : “Rinani trinyapakritya manomokse niwesayet, ana pakritya moksam tu sewama no wrajatyadhah” Artinya : Kalau ia telah membayar tiga macam hutangnya (kepada Tuhan, kepada leluhur, dan kepada orang tua) hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk mencapai kebebasan terakhir, ia yang mengejar kebebasan terakhir ini tanpa menyelesaikan tiga macam hutangnya akan tenggelam kebawah (neraka).
•Kitab Bhagawadgita III.10 disebutkan: “ Saha-yajnah prajah srstva, Purovaca prajapatih, Anena prasavisyadhvam, Esa vo ‘stv ista-kama-dhuk”. Artinya: Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan menusia melalui yajna, berkata : dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagai sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri).
Dari beberapa mantra/sloka di atas, bahwa yajna merupakan salah satu penyangga tegaknya kehidupan di dunia ini. Tuhan telah menciptakan manusia dengan yajna, dan dengan yajna pulalah manusia berkembang dan memelihara kehidupannya. Kesucian diri dan keikhlasan tentunya menjadi dasar dalam beryajna. Kualitas Yajna menurut Bhagawadgita tepatnya pada Adhyaya XVII sloka 11,12,13..., dan dijumpai pula dalam kitab Manava Dharmasastra, diuraikan bahwa yajna menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan oleh orang tanpa mengharap pahala dan percaya sepenuhnya upacara ini sebagai tugas kewajiban, adalah satvika”. Yajna yang satvika meliputi: Sradha: dengan keyakinan, Lascarya: tulus ikhlas, Sastra: berpedoman pada sastra Veda, Daksina : sesari ( tanpa daksina ibarat api tanpa panas ), Mantra gita : weda, genta, kidung, Anasewa: jamuan, Nasmita : tidak untuk pamer. Ada tiga sifat manusia yang disebut Tri Guna, Sattwika, Rajasa dan Tamasa. Masing-masing unsur Tri Guna ini berpengaruh pada gerak pikirannya. Bila manusia ingin hidup bersih dan suci, hendaknya memposisikan Sattwika menguasai rajasa dan tamasa. Setiap saat bila akan melaksanakan Yajna-ritual/upakara agama kecil maupun besar harus didahului dengan mensucikan diri maupun lingkungannya. Yajna-ritual/upakara merupakan sarana untuk mengadakan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi Nya. Melaksanakan ritual/upakara berarti melaksanakan yoga.
Kebijaksanaan yang tumbuh dan berkembang, hasil dari mempedomani pun memahami sumber-sumber hukum Hindu (Veda), ditengah-tengah masyarakat manusia pemeluk Agama Hindu dijumpai jenis-jenis dan bentuk-bentuk yajna dalam bentuk ritual-upakara, antara lain :
•Persembahan menggunakan sarana upakara ( sajen /banten)
•Persembahan dalam bentuk pengorbankan diri (pengendalian diri)
•Persembahan dalam bentuk mengorbankan segala aktifitas
•Persembahan dalam bentukharta benda (kekayaan).
•Persembahan dalam bentuk ilmu pengetahuan.
•Dst.
Oleh : Mendrajyothi ( I Nengah Sumendra )
Om Swastyastu,
Om ano badrah kratawo yantu wiswatah.
Acara Hindu sampai saat ini kerapkali menjadi buah bibir oleh pemeluknya sendiri maupun dari pihak lain yang mengomentari pelaksanaan Acara Hindu, terlebih-lebih Acara Hindu yang perwujudannya dalam bentuk ritual/upakara. Komentar ataupun penilaian yang diberikan menempatkan ritual/upakara Hindu pada kondisi nilai yang "underdog". Hal seperti ini tentu tak boleh dibiarkan berlarut-larut, terlebih-lebih dikembangkan yang dapat merusak pilar-pilar sraddha dalam beragama Hindu. Umat Hindu punya Dharma Agama untuk menempatkan Acara (Ritual/Upakara) adalah sebagai salah satu bentuk sadhana dalam kerangka dasar agama Hindu, mengingat Tiga Pilar yaitu Tattwa, Susila dan Acara Hindu adalah unsur pokok yang membangun bangunan Rumah dan Ajaran Hindu.
Sekelumit tulisan ini adalah kumpulan dari beberapa sumber hukum Hindu dan beberapa argumen yang dilandasi oleh sraddha dan bhakti terhadap kemuliaan dari pelaksanaan ritual/upakara itu. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai bahan renungan bagi pemeluk Hindu ataupun bagi pihak lain yang selama ini doyan sekali memberikan komentar ataupun penilaian yang tanpa dibarengi pengetahuan yang cukup terhadap sumber hukum Hindu yang menjadi dasar pelaksanaan ritual/upakara itu. Bukankah menilai tanpa menggunakan instrumen penilaian dan didahului dengan pengumpulan data yang yang baik dan benar pun komprehensif akan tergiring pada penilaian yang tidak obyektif dan Human Eror. Kalau boleh meminjam istilah lain dalam bahasa Arab-nya disebut dengan orang Sirik. Orang sirik sangat berdekatan dengan musrik, orang musrik konon katanya bersekutu dengan Saitan. Untuk apa memelihara karakter keraksasaan itu dalam diri-kita..?.
Dasar Pelaksanaan Yajna (Acara Hindu). Konsepsi Yajna tak terkecuali Acara Agama Hindu telah ada dalam kitab suci Veda sebagai sumber hukum tertinggi dalam ajaran Agama Hindu. Demikian Kitab suci Veda termasuk susastra suci-nya menjadi dasar dalam pelaksanaan Yajna (Acara Hindu). Berikut beberapa kutipan mantra/sloka Veda, diantaranya :
•Rg Weda X.10 : Alam ini ada adalah berdasarkan yajna-Nya.
•Atharwa Weda XII.1.1 menyebutkan : “Satyam behad rtam ugram, diksa tapa brahma yadnyah, prthiwim dharayanti, sa no bhutasya bhany asya patyanyurumlokam” Artinya : Kebenaran (satya) hukum yang agung, yang kokoh dan suci (rta), tapa brata, doa dan yajna inilah yang menegakkan bumi, semoga bumi ini, ibu kami sepanjang masa memberikan tempat yang melegakan bagi kami.
•Bhagawadgita III.11 : Dengan yajna itu para dewa akan memelihara manusia dan dengan yajna itu pula manusia memelihara para dewa. Jadi saling memelihara satu sama lain maka manusia akan mencapai kebahagiaan.
•Bhagawadgita III.12 : Ia yang hanya suka dipelihara tidak mau memelihara maka ia adalah pencuri.
•Manawa Dharmasatra, VI.35 : “Rinani trinyapakritya manomokse niwesayet, ana pakritya moksam tu sewama no wrajatyadhah” Artinya : Kalau ia telah membayar tiga macam hutangnya (kepada Tuhan, kepada leluhur, dan kepada orang tua) hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk mencapai kebebasan terakhir, ia yang mengejar kebebasan terakhir ini tanpa menyelesaikan tiga macam hutangnya akan tenggelam kebawah (neraka).
•Kitab Bhagawadgita III.10 disebutkan: “ Saha-yajnah prajah srstva, Purovaca prajapatih, Anena prasavisyadhvam, Esa vo ‘stv ista-kama-dhuk”. Artinya: Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan menusia melalui yajna, berkata : dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagai sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri).
Dari beberapa mantra/sloka di atas, bahwa yajna merupakan salah satu penyangga tegaknya kehidupan di dunia ini. Tuhan telah menciptakan manusia dengan yajna, dan dengan yajna pulalah manusia berkembang dan memelihara kehidupannya. Kesucian diri dan keikhlasan tentunya menjadi dasar dalam beryajna. Kualitas Yajna menurut Bhagawadgita tepatnya pada Adhyaya XVII sloka 11,12,13..., dan dijumpai pula dalam kitab Manava Dharmasastra, diuraikan bahwa yajna menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan oleh orang tanpa mengharap pahala dan percaya sepenuhnya upacara ini sebagai tugas kewajiban, adalah satvika”. Yajna yang satvika meliputi: Sradha: dengan keyakinan, Lascarya: tulus ikhlas, Sastra: berpedoman pada sastra Veda, Daksina : sesari ( tanpa daksina ibarat api tanpa panas ), Mantra gita : weda, genta, kidung, Anasewa: jamuan, Nasmita : tidak untuk pamer. Ada tiga sifat manusia yang disebut Tri Guna, Sattwika, Rajasa dan Tamasa. Masing-masing unsur Tri Guna ini berpengaruh pada gerak pikirannya. Bila manusia ingin hidup bersih dan suci, hendaknya memposisikan Sattwika menguasai rajasa dan tamasa. Setiap saat bila akan melaksanakan Yajna-ritual/upakara agama kecil maupun besar harus didahului dengan mensucikan diri maupun lingkungannya. Yajna-ritual/upakara merupakan sarana untuk mengadakan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi Nya. Melaksanakan ritual/upakara berarti melaksanakan yoga.
Kebijaksanaan yang tumbuh dan berkembang, hasil dari mempedomani pun memahami sumber-sumber hukum Hindu (Veda), ditengah-tengah masyarakat manusia pemeluk Agama Hindu dijumpai jenis-jenis dan bentuk-bentuk yajna dalam bentuk ritual-upakara, antara lain :
•Persembahan menggunakan sarana upakara ( sajen /banten)
•Persembahan dalam bentuk pengorbankan diri (pengendalian diri)
•Persembahan dalam bentuk mengorbankan segala aktifitas
•Persembahan dalam bentukharta benda (kekayaan).
•Persembahan dalam bentuk ilmu pengetahuan.
•Dst.
Dari beberapa macam yang dapat disebutkan tersebut di atas, argumen
yang dapat dikembangkan untuk memberikan penguatan terhadap keragaman
sadhana dalam bentuk ritual/upakara, yaitu sumber hukum Hindu yang lain
dan menjadi spirit dasar pelaksanaan yajna tak terkecuali dasar dari
pelaksanaan ritual/upakara itu yaitu, sebagai berikut:
•Kitab Rg Weda X.71.11 : “Ream tvah posagste pupusvam, Goyatram tvo gayati savavarisu Brahmatvo vadati jatavidyam, Yadnyasyamatram vi mimita u tvah “ Artinya : Seorang bertugas mengucapkan sloka-sloka Veda, seorang melakukan nyanyian-nyanyian pujian dalam Sakwari, seorang lagi yang menguasai pengetahuan Veda, mengajarkan isi Weda, yang lain mengajarkan tata cara melaksanakan korban suci (Yajna).
•Kitab Manawa Dharmasastra V. 109 menyebutkan : “Adbhirgatrani suddhayanti manah satyena suddhayanti, Widyatapobhyam bhutatma buddhir jnanena suddhayanti” Artinya: Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dibersihkan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dibersihkan dengan pengetahuan yang benar.
•Bhagawadgita VII.16 menyebutkan : “Chaturvidha bhayante mam Janah sukrtino ,rjuna Arto jijnasur artharthi Jnani ca bharatasabha” Artinya : Ada empat macam orang yang baik hati memuja padaku, wahai Bharatasabha, mereka yang sengsara, yang mengejar ilmu, yang mengejar artha dan yang berbudi Arjuna.
DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Kitab Suci Veda sebagai sumber tertinggi dalam ajaran Agama Hindu selalu menjelaskan perlunya kesucian hati. Maka setiap Yajna apapun itu tak terkecuali pelaksanaan ritual/upakara agama Hindu akan menjadi berarti pun bermakna bila pelaksanaannya didasari oleh kesiapan dan kesucian rohani, jasmani suci, pikiran, perkataan dan perbuatan suci, berhati suci, kehidupan suci sesuai ketentuan moral dan spiritual untuk sarana berhubungan dengan Tuhan. Cara mengungkapkan ajaran Veda adalah dengan yajna. Pengungkapannya dalam bentuk symbol-simbol atau niyasa. Simbol-simbol ini untuk mempermudah menghayati ajaran Veda. Orang yang memuja Tuhan dikatakan baik hati, untuk memuja Tuhan dapat dilakukan dalam berbagai cara. Untuk meningkatkan diri Makhluk hidup didunia ini dikelompokkan tiga golongan yaitu :
•Tumbuh-tumbuhan yang memiliki bayu (eka pramana)
•Binatang memiliki bayu dan sabda (dwi pramana)
•Manusia memiliki bayu, sabda dan idep (tri pramana)
Manusia diciptakan sebagai mahkluk yang paling sempurna, dengan memiliki idep atau disebut manu yaitu mental power, kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir itulah dapat mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia yang mulia, dapat membebaskan dirinya dalam berbagai beban hidup. Dalam kitab Sarasamucaya 81 disebutkan dalam terjemahannya sbb.: Demikianlah hakikatnya pikiran tidak menentu jalannya, banyak yang dicita-citakan terkadang berkeinginan, terkadang penuh keragu-raguan, demikianlah kenyataanya, jika ada orang yang dapat mengendalikan pikiran pasti orang itu memperoleh kebahagiaan baik sekarang maupun didunia lain. Karena sifat pikiran demikian rumit maka manusia perlu beragama. Dalam agama ada ajaran pengendalian diri, manusia perlu mengendalikan pikirannya agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Yajna dalam bentuk ritual/upakara sebagai salah satu ajaran agama yang bertujuan untuk mengurangi rasa egois menghilangkan rasa keakuan dan dorongan nafsu yang meledak-ledak untuk mencapai kebahagiaan yang lebih sempurna. Berbagai macam upacara atau yajna pada bagian-bagian tertentu dari pelaksanaannya mengandung tujuan dan makna pensucian. Seperti diantaranya; Pedudusan, caru, tawur, prayascita, pelukatan disamping sebagai persembahan juga bermakna sebagai pebersihan atau penyucian. Berikut beberapa sloka yang menjadi dasar hukum yang digunakan oleh beberapa pemeluk agama Hindu untuk melakukan pembersihan ataupun penyucian dengan cara ataupun laku agama dalam bentuk ritual/upakara, tak terkecuali upakara Agama Hindu yang menggunakan sarana Hewan, diantaranya, sbb:
a.Kitab suci bhagavadgita, IX.26 : `patram puspam phalam toyam, Yo me bhaktya prayacchtai, Tad aham bhaktya-upahrtam, Asnami prayatatmanah. Atinya : Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.
b.Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-5 Sloka 22, 23, 28, 29, 31, 35, 39, 40, 41, 42, penyembelihan binatang dibolehkan. Lihat Sloka-Sloka berikut ini:
•Sloka 39 : Yajnartham pasawah sristah swamewa sayambhawa, yajnasya bhutyai sarwasya tasmadyajne wadho wadha. Artinya: Swayambhu telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara-upacara kurban. Upacara-upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti yang lumrah saja.
•Kitab Rg Weda X.71.11 : “Ream tvah posagste pupusvam, Goyatram tvo gayati savavarisu Brahmatvo vadati jatavidyam, Yadnyasyamatram vi mimita u tvah “ Artinya : Seorang bertugas mengucapkan sloka-sloka Veda, seorang melakukan nyanyian-nyanyian pujian dalam Sakwari, seorang lagi yang menguasai pengetahuan Veda, mengajarkan isi Weda, yang lain mengajarkan tata cara melaksanakan korban suci (Yajna).
•Kitab Manawa Dharmasastra V. 109 menyebutkan : “Adbhirgatrani suddhayanti manah satyena suddhayanti, Widyatapobhyam bhutatma buddhir jnanena suddhayanti” Artinya: Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dibersihkan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dibersihkan dengan pengetahuan yang benar.
•Bhagawadgita VII.16 menyebutkan : “Chaturvidha bhayante mam Janah sukrtino ,rjuna Arto jijnasur artharthi Jnani ca bharatasabha” Artinya : Ada empat macam orang yang baik hati memuja padaku, wahai Bharatasabha, mereka yang sengsara, yang mengejar ilmu, yang mengejar artha dan yang berbudi Arjuna.
DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Kitab Suci Veda sebagai sumber tertinggi dalam ajaran Agama Hindu selalu menjelaskan perlunya kesucian hati. Maka setiap Yajna apapun itu tak terkecuali pelaksanaan ritual/upakara agama Hindu akan menjadi berarti pun bermakna bila pelaksanaannya didasari oleh kesiapan dan kesucian rohani, jasmani suci, pikiran, perkataan dan perbuatan suci, berhati suci, kehidupan suci sesuai ketentuan moral dan spiritual untuk sarana berhubungan dengan Tuhan. Cara mengungkapkan ajaran Veda adalah dengan yajna. Pengungkapannya dalam bentuk symbol-simbol atau niyasa. Simbol-simbol ini untuk mempermudah menghayati ajaran Veda. Orang yang memuja Tuhan dikatakan baik hati, untuk memuja Tuhan dapat dilakukan dalam berbagai cara. Untuk meningkatkan diri Makhluk hidup didunia ini dikelompokkan tiga golongan yaitu :
•Tumbuh-tumbuhan yang memiliki bayu (eka pramana)
•Binatang memiliki bayu dan sabda (dwi pramana)
•Manusia memiliki bayu, sabda dan idep (tri pramana)
Manusia diciptakan sebagai mahkluk yang paling sempurna, dengan memiliki idep atau disebut manu yaitu mental power, kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir itulah dapat mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia yang mulia, dapat membebaskan dirinya dalam berbagai beban hidup. Dalam kitab Sarasamucaya 81 disebutkan dalam terjemahannya sbb.: Demikianlah hakikatnya pikiran tidak menentu jalannya, banyak yang dicita-citakan terkadang berkeinginan, terkadang penuh keragu-raguan, demikianlah kenyataanya, jika ada orang yang dapat mengendalikan pikiran pasti orang itu memperoleh kebahagiaan baik sekarang maupun didunia lain. Karena sifat pikiran demikian rumit maka manusia perlu beragama. Dalam agama ada ajaran pengendalian diri, manusia perlu mengendalikan pikirannya agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Yajna dalam bentuk ritual/upakara sebagai salah satu ajaran agama yang bertujuan untuk mengurangi rasa egois menghilangkan rasa keakuan dan dorongan nafsu yang meledak-ledak untuk mencapai kebahagiaan yang lebih sempurna. Berbagai macam upacara atau yajna pada bagian-bagian tertentu dari pelaksanaannya mengandung tujuan dan makna pensucian. Seperti diantaranya; Pedudusan, caru, tawur, prayascita, pelukatan disamping sebagai persembahan juga bermakna sebagai pebersihan atau penyucian. Berikut beberapa sloka yang menjadi dasar hukum yang digunakan oleh beberapa pemeluk agama Hindu untuk melakukan pembersihan ataupun penyucian dengan cara ataupun laku agama dalam bentuk ritual/upakara, tak terkecuali upakara Agama Hindu yang menggunakan sarana Hewan, diantaranya, sbb:
a.Kitab suci bhagavadgita, IX.26 : `patram puspam phalam toyam, Yo me bhaktya prayacchtai, Tad aham bhaktya-upahrtam, Asnami prayatatmanah. Atinya : Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.
b.Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-5 Sloka 22, 23, 28, 29, 31, 35, 39, 40, 41, 42, penyembelihan binatang dibolehkan. Lihat Sloka-Sloka berikut ini:
•Sloka 39 : Yajnartham pasawah sristah swamewa sayambhawa, yajnasya bhutyai sarwasya tasmadyajne wadho wadha. Artinya: Swayambhu telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara-upacara kurban. Upacara-upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti yang lumrah saja.
•Sloka 40 :
Osadhyah pasawo wriksastir yancah paksinastatha, yajnartham nidhanam
praptah prapnu wantyutsitih punah. Artinya : Tumbuh-tumbuhan,
semak-semak, pohon-pohon, ternak-ternak, burung-burung dan lain-lain
yang telah dipakai untuk upacara, akan lahir dalam tingkatan yang lebih
tinggi pada kelahirannya yang akan datang.
•Sloka 35 : Niyuktastu yathanyayam yo mamsam natti manawah, sa pretya pasutam yati sambhawaneka wimsatim. Artinya: Tetapi seseorang yang memang tugasnya memimpin upacara atau memang tugasnya makan dalam upacara-upacara suci, lalu ia menolak memakan daging, malah setelah matinya ia menjadi binatang selama dua puluh satu kali putaran kelahirannya.
•Sloka 42 : Eswarthesu pacunhimsan weda tattwarthawid dwijah, atmanam ca pasum caiwa gamayatyuttamam gatim. Artinya: Seorang Dwijati (Brahmana) yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan tersebut diatas menyebabkan dirinya sendiri bersama-sama hewan itu masuk keadaan yang sangat membahagiakan.
c.Dalam kitab Bhagavad Gita Bab IV Sloka (11) disebutkan : ye yatha mam prapadyante, tams tathai ‘va bhajamy aham, mama vartma ‘nuvartante, manushyah partha sarvasah, Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua, mereka menuju jalan-Ku, oh Parta.
Mencermati beberapa sloka diatas ini, maka Tumbuh-tumbuhan yang memiliki bayu (eka pramana), Binatang memiliki bayu dan sabda (dwi pramana), merupakan salah satu sarana dalam ritual/upakara yajna. Bahkan dalam kitab-kitab Ithasa dan purana ada yang dikisahkan bahkan Manusia yang memiliki bayu, sabda dan idep (tri pramana) juga melakukan tapa yang sangat kuat dan bersedia mengorbankan dirinya sebagai pesembahan. Seperti dalam purana yang digubah oleh paramuni di nusantara ini, yaitu kisah dalam Lontar Bubuksah.
Selanjutnya, mengartikan sloka di atas haruslah kita lebih dalam menyimak hakekat apa yang tersirat didalamnya? Apa pengertian kata jalan mana dari sloka di atas, apakah yang dimaksudkan itu keyakinan/agama, cara menuju, atau laku yang harus dilaksanakan?. Beberapa pendapat tentang hal ini, yang dimaksudkan dengan kata jalan mana adalah lebih cendrung kepada persoalan keyakinan/agama tak terkecuali pula cara pun laku Agama, Artinya, keyakinan apapun atau agama apapun serta laku agama apapun yang dianut seseorang dalam tujuan mencari Tuhan, diterima oleh Nya. Bhagawad Gita Bab VII sloka (21), mempertegas makna dari sloka di atas yang berbunyi : yo-yo yam-yam tanum bhaktah, sraddhaya ‘rchitum achchhati, tasya-tasya ‘chalam sraddham, tam eva vidadhamy aham. Artinya: Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera. Sloka ini, disamping sifatnya memberi penegasan terhadap sloka di atas, juga mempunyai makna yang sangat universal yaitu; bahwa Avatara Visnu bersabda kepada umat manusia, bahwa di dunia ini akan ada agama ataupun cara atau laku agama lebih dari satu dan Tuhan mempersilahkan kepada manusia untuk memilih, mana yang akan dijadikan dasar kayakinannya. Dan oleh setiap agama akan diajarkan bagaimana cara sembahyang, berdoa, mantra-mantra, pujian-pujian, dan sadhana agama dalam bentuk Acara Hindu yang menuju kepada Tuhan. Sloka ini juga mengajarkan kepada kita untuk saling menghormati sesama pemeluk agama pun cara atau laku agama yang berbeda janganlah saling menghina, saling menyombongkannya. Karena apabila ada orang yang menghina atau melecehkan agama lain, sebenarnya orang tersebut sangat tidak mengerti secara mendalam tentang keberadaan agamanya sendiri. Maka dari itu sebagai orang yang memeluk agama Hindu sudah seharusnya mendalami ajaran kitab suci Veda, agar kita dapat mewartakan kepada kaum catur varna dan menjelaskan kepada pemeluk agama lain sesuai dengan pesan Yayur Veda.
Demikianlah kemuliaan dari pelaksanaan Yajna-Ritual/Upakara Hindu sesuai dengan beberapa sumber yang sempat dikutip dalam tulisan ini, termasuk argumen yang dapat ditelusuri yang merupakan kebijaksanaan yang tumbuh dan berkembang bagi pemeluk agama Hindu yang mempedomani Veda sebagai sumber hukum tertinggi dalam melakoni kehidupan beragamanya di dunia ini. Menurut tradisi beragama Hindu di Bali, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Manawa Dharmasastra itu ditambah dengan Lontar-lontar antara lain Yadnya Prakerti, maka penyembelihan binatang untuk tujuan upacara dan makan, dibolehkan. Dengan syarat, terlebih dahulu mohon kepada Bhatara Brahma ‘ijin untuk membunuh’ yang dinamakan upacara ‘pati wenang’. Yang berdosa adalah membunuh binatang atau tumbuh-tumbuhan bukan untuk keperluan makan dan upacara, tetapi untuk kesenangan. Apakah kitab-kitab yang seolah-olah kontradiktif ini akan membuat kita bingung? Saya rasa tidak. Kitab-kitab tersebut mesti ‘dibaca’ secara mendalam bukan sekedar yang terlihat, kemudian disesuaikan dengan guna karma kita masing-masing. Kalau kita hubungkan dengan ilmu medis modern, bahkan setiap individu mempunyai kecenderungan dalam kecocokan makanan. Bagi yang masih merasa nyaman dengan makanan yang mengorbankan binatang, maupun yang memilih untuk tidak mengorbankan binatang semestinya dapat saling memahami. Yang jauh lebih penting, bagaimana sloka-sloka dalam kitab suci tersebut bisa memberikan tuntunan bagi kita semua untuk menjadi lebih baik dalam kehidupan di dunia ini. Baik buruknya perbuatan kita itulah nantinya yang akan menjadi nilai rapor dalam menentukan apakah kita naik kelas pada kehidupan berikutnya, atau bahkan bisa mencapai tingkatan Moksa.
Wasana kata, mari sama-sama siapkan wadah/wadag badan ini tak ubahnya seperti tempayan menerima air suci Amertha, dalam tempayan yang berisi air yang jernihlah akan nampak bayangan bulan. Sepatutnya hindari arah gerak pikiran, perkataan dan tindakan yang menjatuhkan kualitas rohani kita. Masihkah kita harus ribut-ribut tentang fenomena keragaman laku Acara Hindu di tengah-tengah keberagamaan kita secara bersama-sama..?, Dimana segudang mantra/sloka Veda dan susastranya memberikan kebijaksanaan untuk memperkuat sraddha bhakti sesuai dengan atmanastusti dalam Bingkai Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dengan Tri Pramana sebagai parameter untuk merenunginya secara lebih mendalam, integral dan komprehensip.
Semogalah kita semua ada dalam Dharma Agama. Salah satu paramo dharmah dari pemeluk Hindu adalah BERLAJAR KITAB SUCI VEDA DAN SUSASTRA SUCINYA, LALU WARTAKAN KEPADA KAUM CATUR VARNA PUN KEPADA DILUAR DIRINYA. Selamat Rahinan Tilem.
Unaaha, 18 Desember 2017.
Om Subhamastu.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
Pranam.🙏🙏🙏🙏 ( Mendrajyothi).
Pada ranah beragama individu/personal SRADDHA-lah yang dipermantap, selanjutnya secara personal Tri Pramana sebagai parameter untuk menuju : Kebenaran, Kesucian dan Keharmonisan dalam bingkai Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Pergerakan seperti ini saatnya kelak akan mendewasakan para bhakta itu sendiri pada sebuah pilihan laku ataupun sadhana sesuai dengan Tattwa, Susila dan Acara Hindu yang disesuaikan dengan Atmanastusti dan tingkat spirtual yang dicapai-nya. Kondisi seperti inilah yang membentuk keragaman dalam keberagamaan Hindu, tak ubahnya warna cahaya yang beragam yang membentuk satu kesatuan Cahaya, menjadi Cahaya Pelangi. Pesan ini sama dengan Bait Pertama Syair GEGURITAN SUCITA-SUBUDI. Sedangkan pada konteks kehidupan beragama dalam kehidupan sosial atau agama yang dibumikan dalam kehidupan sosial tentu pergerakannya berbeda, karena memang masyarakat realitasnya adalah berangkat dari kumpulan perbedaan. Pesan yang hendak titiang sampaikan pada konteks beragama dalam kehidupan sosial di Intern pemeluk Hindu ini adalah Membangun Sraddha Bhakti dalam rasa persaudaran seperti amanah dalam Mantra/Sloka "Sam Gacadwam Sam Vadadwam...dst, Samanivakutih, ...dst. dalam Bingkai Rumah Hindu. Rumah Hindu tidak akan dapat terawat dan berkembang dengan baik bilamana manusia-manusia yang ada dalam rumah-nya ribut-ribut karena perbedaan tingkat kemampuan dan spirtualitas dalam mempossisikan dirinya pada Tattwa, Susila dan Acara Hindu. (Bukankah Ribut-ribut, dalam Bhagavadgita adalah Tiket Masuk Neraka dan lebih kejam dari Himsa karena musak generasi dari masa-kemasa karena dendam yang tidak berkesudahan : Tri Vidham Naraka Syadam, Dwaram Nasanam Atamanh, Kamah, Krodhah, tatah lobah..dst). Biarkan Tuhan Menjadi Hakim tertinggi terhadap pilihan laku pun sadhana keagamaan yang diyakini sesuai dengan Tattwa, Susila dan Acara Hindu yang dipedomani. CATUR MAHA YUGA TERUS BERPUTAR, RTAM TELAH DICIPTAKAN OLEH TUHAN. Manusia beragama hanyalah beriktiar untuk menyempurnakan hidupnya dan menemukan jati dirinya. Unity in diversity adalah pesan moral untuk menciptakan Satyam, Sivam, Sundharam dalam Kehidupan Sosial beragama yang dibutuhkan oleh masyarakat manusia dewasa ini. Pranam. Om Nama Sivaya, Om Agniya Namah..
BEBERAPA MANTRA/SLOKA VEDA SEBAGAI SUMBER
DAN DASAR HUKUM PELAKSANAAN YAJNA (RITUAL/UPAKARA).
Oleh : Mendrajyothi ( I Nengah Sumendra )
...
semua
upacara/upakara Yajna punya ikhtiar untuk penyucian, penebusan,
penyelamatan, pemuliaan, penyatuan dan pembebasan yg tetap memperhatikan
satyam, sivam dan sundaram...Untuk hal ini dharma sidhiarta telah
menyebutkan unsur unsurnya dlm MDS, BG dan Lontar Widhisastra, Lontar
Silakramaning Yajna..•Sloka 35 : Niyuktastu yathanyayam yo mamsam natti manawah, sa pretya pasutam yati sambhawaneka wimsatim. Artinya: Tetapi seseorang yang memang tugasnya memimpin upacara atau memang tugasnya makan dalam upacara-upacara suci, lalu ia menolak memakan daging, malah setelah matinya ia menjadi binatang selama dua puluh satu kali putaran kelahirannya.
•Sloka 42 : Eswarthesu pacunhimsan weda tattwarthawid dwijah, atmanam ca pasum caiwa gamayatyuttamam gatim. Artinya: Seorang Dwijati (Brahmana) yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan tersebut diatas menyebabkan dirinya sendiri bersama-sama hewan itu masuk keadaan yang sangat membahagiakan.
c.Dalam kitab Bhagavad Gita Bab IV Sloka (11) disebutkan : ye yatha mam prapadyante, tams tathai ‘va bhajamy aham, mama vartma ‘nuvartante, manushyah partha sarvasah, Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua, mereka menuju jalan-Ku, oh Parta.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
BACA JUGA :
Mencermati beberapa sloka diatas ini, maka Tumbuh-tumbuhan yang memiliki bayu (eka pramana), Binatang memiliki bayu dan sabda (dwi pramana), merupakan salah satu sarana dalam ritual/upakara yajna. Bahkan dalam kitab-kitab Ithasa dan purana ada yang dikisahkan bahkan Manusia yang memiliki bayu, sabda dan idep (tri pramana) juga melakukan tapa yang sangat kuat dan bersedia mengorbankan dirinya sebagai pesembahan. Seperti dalam purana yang digubah oleh paramuni di nusantara ini, yaitu kisah dalam Lontar Bubuksah.
Selanjutnya, mengartikan sloka di atas haruslah kita lebih dalam menyimak hakekat apa yang tersirat didalamnya? Apa pengertian kata jalan mana dari sloka di atas, apakah yang dimaksudkan itu keyakinan/agama, cara menuju, atau laku yang harus dilaksanakan?. Beberapa pendapat tentang hal ini, yang dimaksudkan dengan kata jalan mana adalah lebih cendrung kepada persoalan keyakinan/agama tak terkecuali pula cara pun laku Agama, Artinya, keyakinan apapun atau agama apapun serta laku agama apapun yang dianut seseorang dalam tujuan mencari Tuhan, diterima oleh Nya. Bhagawad Gita Bab VII sloka (21), mempertegas makna dari sloka di atas yang berbunyi : yo-yo yam-yam tanum bhaktah, sraddhaya ‘rchitum achchhati, tasya-tasya ‘chalam sraddham, tam eva vidadhamy aham. Artinya: Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera. Sloka ini, disamping sifatnya memberi penegasan terhadap sloka di atas, juga mempunyai makna yang sangat universal yaitu; bahwa Avatara Visnu bersabda kepada umat manusia, bahwa di dunia ini akan ada agama ataupun cara atau laku agama lebih dari satu dan Tuhan mempersilahkan kepada manusia untuk memilih, mana yang akan dijadikan dasar kayakinannya. Dan oleh setiap agama akan diajarkan bagaimana cara sembahyang, berdoa, mantra-mantra, pujian-pujian, dan sadhana agama dalam bentuk Acara Hindu yang menuju kepada Tuhan. Sloka ini juga mengajarkan kepada kita untuk saling menghormati sesama pemeluk agama pun cara atau laku agama yang berbeda janganlah saling menghina, saling menyombongkannya. Karena apabila ada orang yang menghina atau melecehkan agama lain, sebenarnya orang tersebut sangat tidak mengerti secara mendalam tentang keberadaan agamanya sendiri. Maka dari itu sebagai orang yang memeluk agama Hindu sudah seharusnya mendalami ajaran kitab suci Veda, agar kita dapat mewartakan kepada kaum catur varna dan menjelaskan kepada pemeluk agama lain sesuai dengan pesan Yayur Veda.
Demikianlah kemuliaan dari pelaksanaan Yajna-Ritual/Upakara Hindu sesuai dengan beberapa sumber yang sempat dikutip dalam tulisan ini, termasuk argumen yang dapat ditelusuri yang merupakan kebijaksanaan yang tumbuh dan berkembang bagi pemeluk agama Hindu yang mempedomani Veda sebagai sumber hukum tertinggi dalam melakoni kehidupan beragamanya di dunia ini. Menurut tradisi beragama Hindu di Bali, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Manawa Dharmasastra itu ditambah dengan Lontar-lontar antara lain Yadnya Prakerti, maka penyembelihan binatang untuk tujuan upacara dan makan, dibolehkan. Dengan syarat, terlebih dahulu mohon kepada Bhatara Brahma ‘ijin untuk membunuh’ yang dinamakan upacara ‘pati wenang’. Yang berdosa adalah membunuh binatang atau tumbuh-tumbuhan bukan untuk keperluan makan dan upacara, tetapi untuk kesenangan. Apakah kitab-kitab yang seolah-olah kontradiktif ini akan membuat kita bingung? Saya rasa tidak. Kitab-kitab tersebut mesti ‘dibaca’ secara mendalam bukan sekedar yang terlihat, kemudian disesuaikan dengan guna karma kita masing-masing. Kalau kita hubungkan dengan ilmu medis modern, bahkan setiap individu mempunyai kecenderungan dalam kecocokan makanan. Bagi yang masih merasa nyaman dengan makanan yang mengorbankan binatang, maupun yang memilih untuk tidak mengorbankan binatang semestinya dapat saling memahami. Yang jauh lebih penting, bagaimana sloka-sloka dalam kitab suci tersebut bisa memberikan tuntunan bagi kita semua untuk menjadi lebih baik dalam kehidupan di dunia ini. Baik buruknya perbuatan kita itulah nantinya yang akan menjadi nilai rapor dalam menentukan apakah kita naik kelas pada kehidupan berikutnya, atau bahkan bisa mencapai tingkatan Moksa.
Wasana kata, mari sama-sama siapkan wadah/wadag badan ini tak ubahnya seperti tempayan menerima air suci Amertha, dalam tempayan yang berisi air yang jernihlah akan nampak bayangan bulan. Sepatutnya hindari arah gerak pikiran, perkataan dan tindakan yang menjatuhkan kualitas rohani kita. Masihkah kita harus ribut-ribut tentang fenomena keragaman laku Acara Hindu di tengah-tengah keberagamaan kita secara bersama-sama..?, Dimana segudang mantra/sloka Veda dan susastranya memberikan kebijaksanaan untuk memperkuat sraddha bhakti sesuai dengan atmanastusti dalam Bingkai Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dengan Tri Pramana sebagai parameter untuk merenunginya secara lebih mendalam, integral dan komprehensip.
Semogalah kita semua ada dalam Dharma Agama. Salah satu paramo dharmah dari pemeluk Hindu adalah BERLAJAR KITAB SUCI VEDA DAN SUSASTRA SUCINYA, LALU WARTAKAN KEPADA KAUM CATUR VARNA PUN KEPADA DILUAR DIRINYA. Selamat Rahinan Tilem.
Unaaha, 18 Desember 2017.
Om Subhamastu.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
Pranam.🙏🙏🙏🙏 ( Mendrajyothi).
Pada ranah beragama individu/personal SRADDHA-lah yang dipermantap, selanjutnya secara personal Tri Pramana sebagai parameter untuk menuju : Kebenaran, Kesucian dan Keharmonisan dalam bingkai Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Pergerakan seperti ini saatnya kelak akan mendewasakan para bhakta itu sendiri pada sebuah pilihan laku ataupun sadhana sesuai dengan Tattwa, Susila dan Acara Hindu yang disesuaikan dengan Atmanastusti dan tingkat spirtual yang dicapai-nya. Kondisi seperti inilah yang membentuk keragaman dalam keberagamaan Hindu, tak ubahnya warna cahaya yang beragam yang membentuk satu kesatuan Cahaya, menjadi Cahaya Pelangi. Pesan ini sama dengan Bait Pertama Syair GEGURITAN SUCITA-SUBUDI. Sedangkan pada konteks kehidupan beragama dalam kehidupan sosial atau agama yang dibumikan dalam kehidupan sosial tentu pergerakannya berbeda, karena memang masyarakat realitasnya adalah berangkat dari kumpulan perbedaan. Pesan yang hendak titiang sampaikan pada konteks beragama dalam kehidupan sosial di Intern pemeluk Hindu ini adalah Membangun Sraddha Bhakti dalam rasa persaudaran seperti amanah dalam Mantra/Sloka "Sam Gacadwam Sam Vadadwam...dst, Samanivakutih, ...dst. dalam Bingkai Rumah Hindu. Rumah Hindu tidak akan dapat terawat dan berkembang dengan baik bilamana manusia-manusia yang ada dalam rumah-nya ribut-ribut karena perbedaan tingkat kemampuan dan spirtualitas dalam mempossisikan dirinya pada Tattwa, Susila dan Acara Hindu. (Bukankah Ribut-ribut, dalam Bhagavadgita adalah Tiket Masuk Neraka dan lebih kejam dari Himsa karena musak generasi dari masa-kemasa karena dendam yang tidak berkesudahan : Tri Vidham Naraka Syadam, Dwaram Nasanam Atamanh, Kamah, Krodhah, tatah lobah..dst). Biarkan Tuhan Menjadi Hakim tertinggi terhadap pilihan laku pun sadhana keagamaan yang diyakini sesuai dengan Tattwa, Susila dan Acara Hindu yang dipedomani. CATUR MAHA YUGA TERUS BERPUTAR, RTAM TELAH DICIPTAKAN OLEH TUHAN. Manusia beragama hanyalah beriktiar untuk menyempurnakan hidupnya dan menemukan jati dirinya. Unity in diversity adalah pesan moral untuk menciptakan Satyam, Sivam, Sundharam dalam Kehidupan Sosial beragama yang dibutuhkan oleh masyarakat manusia dewasa ini. Pranam. Om Nama Sivaya, Om Agniya Namah..
BEBERAPA MANTRA/SLOKA VEDA SEBAGAI SUMBER
DAN DASAR HUKUM PELAKSANAAN YAJNA (RITUAL/UPAKARA).
Oleh : Mendrajyothi ( I Nengah Sumendra )
...
-
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar