Senin, 06 Februari 2017

RITUAL HOMA SEBAGAI KELOMPOK AJARAN BHUMI [ WAISHNAWA ].

Dagang Banten Bali

Ada berbagai cara manusia genius menyusun sebuah ajaran, diantaranya digali dari adat istiadat sebuah suku bangsa yang didalamnya terikat hukum adat dan kebiasaan moral yang tak tercatat sebagai ajaran.
Ketika ajaran digali dari sebuah suku maka manusia pintar tidak bisa begitu saja memasukan penggalian pengetahuannya sebagai intisari ajaran, melainkan hanyalah sebagai penyempurnaan.....jangan sombong !
Sebagai contoh ajaran yang digali dari suku bali yang telah memiliki ajaran pokok yang dikenal dengan " gama ghumi/tirta ", maka sehebat apapun teolog datang untuk mengklaim ajaran miliknya, tetap saja leluhur bali tidak akan memberi tempat terdepan, melainkan hanyalah sebagai ajaran tambahan.
Ajaran Agni Mandala yang dikenal dengan Homa diklaim sebagai ajaran pemujaan api oleh sekelompok orang ( sampradaya ) dibawah panji hukum weda sebagai advokasinya. Bisa saja tampaknya sama, namun ketika praktek akan terlihat manfaat yg berbeda dan landasan spiritnya yang jauh menyimpang.
Ajaran Bali kuno dengan segenap ajaran yang digali dari kesadaran dirinya sebagai manusia (ajaran bhumi ) memaknai Homa adalah ajaran pembangkitan energi, bukan segampang begitu saja menerima ajaran lain ( ajaran langit/nabi ) yang melakukannya dengan memuja api ?#.
Maka kami sebagai penggali dan pengembang ajaran bhumi melakukan ritual homa pada landasan utamanya yakni ; penarikan energi dari bhumi, memiliki dewi pujaan adalah Dhurga, mandala surganya adalah dibhumi, tempat sucinya tetaplah pada gunung, danau dan samudra serta masih banyak lagi ciri ajaran bhumi yang sangat berkualitas dibandingkan dengan membawa ajaran langit yang jauh sekali dari mamfaat dibhumi.
Homa masyarakat bali kuno mengedepankan pada formulasi energi yang ditarik dari bhumi ( bhuta ), lalu disempurnakan dengan sifat kedewataan manusia melalui jambhala samadhi, barulah energi yang dikenal dengan divarupa tersebut dapat dijadikan sosok dewata atau bhatara sekala yang dilinggihkan disebuah tempat yang disebut sanggah.
Intisari dari ajaran bhumi tersebut adalah kesadaran yang tertinggi manusia terletak pada kesempurnaan yang melakoni kehidupan sebagai dewa, dalam bahasa standarnya adalah teladan dan pelayanan ( Seva ), lama-lama menjadi ajaran Siwa.......para kerbau ( Nandi ) menyembah sebagai tuhan.
Kesadaran utama pada diri sebagai insan atau urip yang sejati dalam rangka mengelola alam yang didalamnya terdapat kehidupan hewan dan tumbuhan, maka saat itu seharusnya manusia sadar bahwa dirinya adalah sang pemelihara, dalam bahasa teologinya adalah sanghyang wishnu, maka ajarannyapun dikenal dengan kawaishnawaan.
Kawaishnawaan inilah yang diabaikan oleh para kerbau sehingga lupa dirinya adalah manusia, manusia yang berkesadaran dewa, dewa yang melindungi dan membantu proses kehidupan seluruh mahluk dialam semesta. Ketika kesadaran ini muncul maka seluruh rahasia alam akan bisa diamati oleh para bhujangga, dan kesadarannya berbuah kebajikan yang dikenal kabuddhaan.
Ajaran langit yang dikenal dengan ajaran nabi/nabe pasti memiliki keterikatan pada ajaran nabenya maka itu tidak salah dinyatakan sebagai ajaran dogmatis, ajaran yang sangat dangkal pada ranah spiritual, penuh klaim pembenaran, dan selalu membawa konflik sepanjang sejarah.
Sebaliknya ajaran-ajaran yang digali dibhumi yang digali melalui sadhana spiritualitas yang matang serta disiplin moral yang sangat tinggi, dan menjamin kehidupannya pada jalur kedamaian dan kebahagiaan lahir bathin.
Ajaran ini juga selalu mengembangkan sistem keagamaannya pada kebudayaan yang teraplikasi pada tradisi dimasing-masing daerah, berbeda tradisi namun tetap pada kesamaan dasar yang menjaga kualitas keindahan ( sundaram ).
Bila Tuhan diyakini sebagai pemegang kuasa atas ajaran-ajarannya, maka apakah Tuhan sendiri yang menulis Weda sehingga manusia harus tunduk, demikianlah seharusnya para penyebar agama langit memiliki kesadaran, dan disana pula mereka harus mengakui bahwa mereka telah diperbudak oleh orang lain sebagai kerbau.
Tuhan pada pandangan pemegang ajaran bhumi ( kawaishnawaan ) adalah sebuah hukum sebab akibat ( karma ) dan sebuah sumber energi yang tak terbatas sebagai objek spiritual disaat mengemban tanggungjawabnya, demikianlah ajaran Bhujangga dan Bodha dimasa lalu.
Dari karakter yang berbeda inilah semestinya kita saling mengingatkan diri pada kualitas ajaran, bukan saling menyalahkan apalagi merendahkan ajaran orang lain, untuk itu perlu diadakan sebuah dialog atau diskusi sebelum menyebarkan ajaran pada suku atau kelompok masyarakat yang telah memiliki ajaran yang mendasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar