Rabu, 15 Februari 2017

Sang Sadhaka Sidhi, Sidha, Sadhu




Dagang Banten Bali

----- Lahir dari rahim ibu, lahir dari weda. Pendakian spiritual seorang Walaka (biasa) untuk mencapai pengetahuan kesucian yang disebut Sadhaka (sadhu / suci). Sang Sadhaka menguasai Sastra Weda sehingga menyandang gelar “Brahmana”.
----- Sang Sadhaka terikat “sesana kawikon” yang disebut “catur bandana brata”. “Amari Aran”, berubah nama menjadi abhiseka (Pandita, Pedanda, Sulinggih, Bhujangga, Resi, Bagawan, Wiku, Empu, Dukuh). “Amari Wesa” berubah perilaku. “Amari busana” berubah tata busana. “Amari Wisaya”, meninggalkan hobi duniawi.
----- Sang Sadaka “tan cedaangga” tidak cacat fisik dan mental. “Tan keneng ujar ala” tidak boleh mencaci maki. “Tan wenang adol-atuku” tidak boleh transaksi bisnis. “Tan keneng pattita” tidak boleh tersangkut masalah hukum. Bebas dari tugas sosial seperti ayahan banjar. Tidak terkena cuntaka, kecuali yang wanita pada saat haid. Tidak “nyuntakain” (tidak menyebabkan cuntaka / sebel) karena beliau telah menjalankan kesucian, sehingga ketika “lebar” (meninggal) boleh diupacarai di luar kuburan.
----- Sang Sadhaka mesti menjalankan “dharmaning kawikon, sasana kawikon, serta dasadharma kapanditaan”. “Asing angelung sasana angewetaken sanghara bhumi”, apabila melanggar sesana akan berakibat sengsara dan kacau dunia ini.
----- Dalam Tutur Kasuksman, sadhaka adalah “paragan” (perwujudan) Sang Hyang Dharma. Lambang kebenaran dan penegak dharma. Membawa tongkat (teteken) lambang “dhandastra” (senjata Brahma), simbol “ketuaan” karena meninggalkan kehidupan grhasta.
----- Sang Sadhaka senantiasa “ngerastiti jagat”, mendoakan alam semesta rahayu. Sang Sadaka yang “sida, sidhi, sadhu”, segala ucapan dan kehendaknya terjadi atas dasar kesucian. Ampura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar