Jumat, 10 Februari 2017

Dvaita & Advaita

Dagang Banten Bali


Dalam sebuah Webinar, ada pertanyaan menarik dari peserta: apa definisi “moksa”? Apakah itu berarti “atman menyatu dengan Tuhan” atau “atman tinggal di satu planet dan menjadi pelayanNya”?
Ini sesungguhnya bukan pertanyaan baru. Sebagai agama sangat tua, pertanyaan2 mendasar seperti itu sudah diajukan dan diperdebatkan sejak ribuan tahun lalu. Pembahasannya secara mendalam telah melahirkan aliran2 filsafat Hindu. Sankara (788-820 M) mengajukan konsep bahwa Brahman sajalah yang nyata, dunia ini tidak nyata dan Atman tidak berbeda dengan Brahman. Karena tidak berbeda, atman akhirnya akan kembali menyatu dengan Brahman. Filsafat ini dikenal dengan non-dualisme, Advaita. Atman dan Brahman adalah 1.
Pendapat Sankara dibantah Madhva (1238–1317 M) yang menyatakan bahwa sebagaimana halnya Brahman, alam semesta ini juga nyata, sehingga juga disebut faham realisme. Madhva berpendapat Atman jumlahnya banyak dan berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan berbeda pula dengan Brahman. Karena berbeda, keduanya tak benar2 bersatu, karena tetap ada perbedaan kualitas diantara keduanya. Filsafat ini dikenal dengan dualisme, Dvaita. Atman dan Brahman adalah 2.
Kedua aliran filsafat ini kemudian juga berbeda dalam “menggambarkan” Tuhan. Advaita mengajukan konsep tuhan impersonal, nirgunam. Tidak ada bentuk bagi Brahman. Sementara Dvaita mengajukan konsep Tuhan personal, sagunam, dalam hal ini Sri Visnu dan awatara-awataranya (bukan hanya 10, melainkan sangat banyak). Tapi bahkan Advaitapun memerlukan bantuan idol, dan memuja ishta-dewata. Lebih ekstrim lagi, Sankara, mahaguru, filsuf Advaita, berkata “Bhaj Govindam Bhaj Govindam Bhaja Govindam — Pujalah Govinda, pujalah Govinda, pujalah Govinda”. Kita tahu Govinda adalah panggilan Krishna.
Seorang guru, ketika mengajarkan “Tuhan yang tidak terpikirkan” ditanya muridnya: bila Tuhan tidak terpikirkan, tanpa bentuk, mengapa kita memujanya bahkan dalam banyak sekali bentuk2 yg kita ciptakan? Sang guru tidak menjawab. Ia hanya minta murid mengambilkan air putih untuknya. Murid itu membawakan segelas air putih, lalu sang guru berkata “aku memintamu membawakan air, kenapa kamu bawakan gelas?”
Di ujung diskusi, peserta itu bertanya: lalu mana yang benar? Pembicara Webinar, seorang professor Hinduism dari Oxford, menjawab dengan bijak: “Karena kita bicara tentang DIA yang tidak terpikirkan, maka dua2nya benar”. Dan saya setuju dengan pembicara ini. Filsafat adalah metode pendekatan terhadap sesuatu, dan tentu saja Hindu memiliki tradisi sangat maju dalam menghormati setiap jalan, sebagaimana sabdaNya dalam Gita. Mirip seperti filsafat modern Materialisme dan Idealisme, dimana materialisme berpendapat, ide lahir dari materi. Materilah yang nyata dan dari materi muncul ide. Idealisme sebaliknya berpandangan, idelah yang muncul mendahului materi. Karena filsafat adalah metode berpikir, maka ia memungkinkan menerima kebenaran dari 2 yang nampak bertentangan.
Yang salah adalah bila kita menganggap hanya paham yang kita anut yang benar dan menuduh sesat yang lain. Apalagi sambil mencaci maki, tanpa mempelajari kedalaman kedua filsafat tersebut. Kalau kita ingin menangkap tikus, kita bisa memilih menggunakan kucing hitam atau kucing putih — tergantung warna kesukaan kita. Tapi jelas kalau kita bertengkar mana yang lebih baik diantara kucing hitam atau kucing putih, kemungkinan besar itu menjauhkan kita dari tujuan menangkap tikus.
Mari berlatih mengendalikan ego. Kurang2i mengadili. Perbanyak belajar. Semesta teramat luas untuk kita miliki sendiri. Tuhan teramat besar untuk kita klaim seorang diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar