Minggu, 19 Mei 2024

SANG HYANG CANDRA Dewa Bulan

  


Ini adalah kidung yang sangat sering dikumandangkan ketika ada persembahyangan dan upacara lainnya. Maknanya begitu medalam, dan sangat relevan dengan kehidupan kita. Sangat cocok bukan saja untuk orang tua, tapi juga bagi anak-anak, generasi yang akan datang..
Sang hyang Candra taraanggana pinaka dipa
Memadangi ri kaala ning wengi
Sang hyang Surya sedeng prabhasa maka dipa memadangi ri bhumi mandala
Widya sastra sudharma dipanikanang tri bhuvana sumene prabhaasvara
Yaning putra suputra saadhu gunawaan memadangi kula wandhu wandhawa
(Sumber: Kekawin Nitisastra sarga IV.1)
Seperti Bulan dan bintang menerangi pada waktu malam.
Matahari yang sedang bersinar menerangi wilayah Bumi.
Ilmu pengetahuan, ajaran dan Dharma (Kebenaran/Aturan) memberikan penerangan pada ke tiga Jagat Raya.
Anak baik, yang berbudi luhur dan berguna, menerangi keluarga dan kerabat.
Sumber dari kidung atau nyanyian ini termuat dalam Kekawin Nitisastra yang banyak berisi berbagai ajaran, etika, tuntutan, dll ibarat sebagai penerang dalam menjalani kehidupan.. dan diri kita yang penuh dengan kegelapan..
Sebagai awal, saya mencoba menterjemahkan kata-per-kata yang saya ambil dari buku/referensi dalam Daftar Pustaka, sbb:
Arti kata per kata
Sang hyang Candra – Dewa Bulan; taraanggana – bintang ; pinaka – sebagai; dipa – lampu, cahaya;
Memadangi – menerangi; ri kaala – pada saat; ning – di saat; wengi – malam;
Sang hyang Surya – Dewa Surya, Matahari; sedeng – sedang; prabhasa – menjadi terang; maka – oleh karena; dipa - lampu, cahaya memadangi - menerangi ; ri bhumi – di Bumi; mandala – lingkaran, wilayah
Widya – ilmu pengathuan; sastra – ajaran Sastra (agama); sudharma – kebenaran, hukum; dipanikanang – sebagai lampu, cahaya; tri bhuvana - tiga dunia; sumene – menerangi; prabhaasvara – bersinar;
Yaning – jika; putra – anak; suputra – anak yang baik; saadhu – suci, berbudi luhur; gunawaan – berguna, pandai; memadangi – menerangi; kula – kulawarga/keluarga; wandhu wandhawa – sanak saudara, kerabat.
Bandingkan dengan lontar Slokantara, yang mengandung hal yang sama:
Sarwaridiipakarscandrah prabhate rawadipakah,
Trilokye dipako dharmah suputerah kuladipakah
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Kawi
Kalinganya, yan ing wengi Sang Hyang Candra sira pinaka damar, Yan ring rahina, Sang Hyang Rawi pinaka damar, Yan ring tri loka, Sang Hyang Dharma pinaka damar, Kunang yan ing kula, ikang anak suputra puika damar, ling ning aji
(Slokantara 24 (52))
Terjemahan Bahasa Sansekerta
Bulan itu lampu malam, Surya itu lampu dunia di siang hari, Dharma ialah lampu bagi ke tiga dunia ini, dan putra yang baik itu cahaya keluarga.
Terjemahan Bahasa Kawinya
Waktu malam, Bulanlah sebagai lampunya, di siang hari Mataharilah lampunya, di ketiga dunia ini, Dharma lah sebagai lampunya; dan dalam keluarga, putera yang baik itulah cahayanya. Demikian kata kitab suci.
Kedua lontar Bali/Nusantara: Kekawin Niti sastra dan lontar Slokantara, sepertinya bersumber dari Canakya Nitisatra, berbahasa Sansekerta.
Ekenapi suputrena
Vidya yuktena sadhuna
Ahladitam kulam sarvam
Yatha candrena sarvari
(Canakya Nitisastra, sloka 16)
Sebagaimana Bulan menerangi malam hari dengan cahayanya yang terang menyejukkan,
Begitulah seorang anak suputra yang berpengatuhuan rokhani, insaf akan dirinya, dan bijaksana. Anak suputra ini menyebabkan seluruh keluarganya selalu dalam kebahagiaan.

Rasanya perlu sedikit ada ulasan, untuk lebih memahamami makna spiritualnya..
Bulan, Matahari dan Bintang sebagai penerang kehidupan kita, baik ketika malam maupun pada siang hari. Jika tidak ada Matahari... maka bumi akan selalu gelap, ya tidak ada siang-maupun malam.. yang ada hanyalah malam gelap gulita.
Peranan Bulan-Matahari dan Bintang adalah sebagai kalender.. baik yang didasarkan peredaran Bulan mengelilingi Bumi kita yang lamanya 1 bulan, dikenal dengan Sasih – Sasi (Bulan) atau Month yang juga artinya Bulan. Sitem kalender yang atas dasar bulan ini dikenal dengan Sistem Lunar. Kita banyak merayakan upacara.. pada sasih tertentu.. terutama Purnama pada Sasih tertentu. Misalnya Sasih Kapat, Sasih Ke dasa, dll. Purnama-Tilem dan Gerhana Bulan, adalah waktu yang dipandang suci untuk sembahyang. Matahari juga dijadikan sebagai kalender, dikenal dengan Solar Sistem, dimana Bumi mengitari Matahari selama 1 tahun. Bintang juga, misalnya Bintang Kartika, juga dipakai pedoman dalam kehidupan kita. Dari ke tiga benda langit ini dijadikan sebagai pedoman dalam sembahyang, ala-ayuning devasa.. dll jadi tepatlah Bulan-Matahari-Bintang sebagai penerang dalam kehidupan kita.
Vidya atau ilmu pengetahuan, Sastra atau ajaran agama dan Dharma... inilah pedoman, petunjuk dan patokan.. sebagai penerang dalam menjali kehidupan di ketiga dunia termasuk di dunia ini dan kelak pada dunia lain. Tiga dunia tsb adalah Bhur, Bhuwah dan Swah.. dikenal sebagai Tri Loka.. yang mengawali mantra Gayatri. Ilmu Pengetahuan dan teknologi seperti Sosial – Ekonomi, Politik, Seni.. Teknologi, Fisika, dll adalah Vidya, pengetahuan untuk kehidupan material, sementara untuk kehidupan agama-spiritual adalah sastra dan penerapannya yng dikenal dengan Dharma.
Pustaka suci Brahma Sutra atau Vedanta Sutra yang ditulis oleh Badanarayana atau Maha Rsi Vyasa yang menulis wiracarita Mahabharata dan banyak Purana, menyatakan sastra lah yang yang seharusnya menjadi petunjuk dan pegangan dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama
Sastrayonitvat
(Brahma sutra, sutra 3)
Sastra atau kitab suci (sajalah) jalan menuju kepada pengetahuan yang benar
Jadi sastra atau kitab suci lah yang dipakai pegangan utama yang menuntun manusia Hindu dalam kehidupan sehari-hari dan bidang agama, bukan sekedar olah pikir, spekulatif dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa saja bertentangan dengan agama atau Dharma. Atau kadang lebih percaya kepada pewisik, kerawuhan, dll yang mungkin belum tentu adalah sabda Betara atau Dewa.
Pandangan sastra Bali-Nusantara
Bagaimana dengan pelaksanaan agama (dan adat) terutama di Bali?
Secara umum, seperti dimuat dalam lontar Aji Dresti Loka Kretih, menyatakan bahwa dalam menjalankan agama dan adat, khususnya di Bali, hendaknya berpedoman pada Catur Dresta: Niti Agama, Purwwa Dresta, Loka Dresta dan Desa Dresta.
Mangkana temahan ira, apan karaketan letuh sariranya, hetunya yatna pwa sira aniti kramaning Agama Siwa Tirtha, hetuya Sang Hyang Siwaagni juga maka pamari puurnna ning merana kabeh, hana ring sang pandhita, apan sang pandhita Siwa Dharmma putusing tatwa ajnaana, wruhing pasurupaning gring marana, kabeh, anggawe kretta supuurnnaning raat, anresti upapatting wwang kabeh, de nira padha trepti Niti Agama, manuting Purwwa Dresta, Loka Dresta, Desa Dresta, ika tang Catur Dresta, maka sipating wwang amrinh hayuning nagara, wwang sariranya samangke, wwang katekaning kapatyanya, haywa tan weruh ri katatwaning sariranya, mwang sangkan paranya, bhuwanaagung mwang bhuvanaalit.
(lontar Aji Dresta Loka Kretih)
Demikian jadinya, karena dilekati kekotoran tubuhnya, karena itu waspadalah mengikuti peraturannya Agama Siwa Tirta, sebab itu Sang Hyang Siwagni juga sebagai penyempurnaannya (pembasmiannya) hama semuanya, ada pada sang pendeta, karena sang pendeta Siwa Dharma telah sempurna dalam tatwajnana (pengetahuan filsafat), mengetahui penyusupan penyakit hama semua, menjadikan aman tenteram lebih sempurna dunia ini, menjadi hakim semua orang, oleh karenanya sama-sama puas mengikuti Agama, Purwwa Dresta (tradisi kuna), Loka Dresta (tradisi dunia), Desa Dresta (tradisi setempat), itu disebut Catur Dresta (empat tradisi), sebagai patokan mengusahakan kesejahteraan negara, dan dirinya sekarang san sampai kematiannya, janganlah tidak mengetahui akan sejatinya diri, dan asal serta tujuannya, bhuwan agung (jagat raya) dan bhuwana alit (diri manusia).
Jadi menurut lontar Aji Dresta Loka Kretih, untuk mensejahterakan dunia dan diri manusia, hendaknya berpedoman pada Agama (Sastra agama), dan berbagai dresta (pandangan atau tradisi), seperti Purwwa Dresta (tradisi kuna), Loka dresta (tradisi dunia), dan Desa Dresta (tradisi desa setempa).
Dilihat dari kedudukan, dan otoritasi atau kewenangan perincian dari catur dresta tersebut, maka Sastra Dresta berada dalam keduduklan tertinggi begitupula dengan memiliki kewenangan yang tertinggi dalam menentukan benar-salah, baik-buruk, patut-tidak patut dalam mematuhi agama, baru kemudian diikuti dengan dresta yang kedudukannya lebih rendah: Loka Dresta, Purwwa Dresta dan terakhir Desa Dresta. Bukan sebaliknya, yang mana Desa Dresta atau tradisi setempat desa ”mengalahkan” sastra dresta atau agama.
Sebaliknya, ada peringatan bagi yang tidak mengindahkan ajaran Veda, apalagi yang melecehkannya.
Bahkan pustaka Chanakya Nitisastra, lebih tegas lagi memberikan peringatan bagi orang-orang yang melalaikan Veda, apalagi sampai meremehkan atau menghina ajaran Veda:
aanyatha vedapandityam
sastramacaramansyatha
anyatha vadacchantam
lokah klisyanti canyathad
(Chanakya Nitisastra, sloka V.10)
Meremehkan kebijaksanaan ajaran Veda, menghina tingkah laku/kegiatan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Sastra / Veda, menjelekkan orang yang selalu berkata lembut bijaksana, tidak ada lain lagi inilah yang menyebabkan kekalutan Dunia.
Kembali pada baris terakhir dari kidung Kekawin Nitisastra tersebut,
Seorang anak, seorang Putra yang suputra, sepatutnya adalah orang yang berguna, bermanfaat bagi keluarga, masyarakat dan negara. Bukan yang menjadi beban, bersifat konsumtif, yang selalu memenuhi kama (nafsu – keinginan) dan harta, tetapi sebaliknya adalah anak yang produktif, yang bekerja dan menghasilkan sesuatu yang berguna. Disamping itu, seorang anak yang sadhu, orang yang suci karena mampu mengendalikan indrianya. Orang sadhu, adalah orang yang sidha, orang yang berhasil dan memiliki sidhi, karena telah menjalankan sadhana dengan tekun. Konon, seorang anak disebut Putraka, karena anak yang suputra akan membebaskan leluhurnya dari siksa neraka.
Astungkara !!
Made Astana
Daftar Pustaka
1. Miwanto”Kekawin Nitisatra – teks, terjemahan dan komentra”, Penerbit Paramita Surabaya, 2015.
2. I Made Darmayasa “Canakya Nitisastra “, Yayasan Dharma Narada, 1995
3. Prof Dr. Tjok Rai Sudharta, M.A. “Slokantara – Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjemahan dan Ulasan”, Upada Sstra, 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar