Jumat, 12 Maret 2021

Pemuja dewa akan pergi ke alam dewa; pemuja leluhur akan pergi ke alam leluhur




 Ada 1 rujukan sloka Bhagavad Gītā (9.25) yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat.

— Pemuja dewa akan pergi ke alam dewa; pemuja leluhur akan pergi ke alam leluhur; pemuja roh halus akan pergi ke alam bhūta; pemuja-Ku akan datang kepada-Ku.
Apakah ini bertentangan dengan Viṣṇu Dharmaśāstra (59.20)?
— Manusia harus melakukan 5 jenis pengurbanan suci dalam hidupnya: kepada guru (ṛṣi-yajñaṃ); dewa (deva-yajñaṃ); bhūta (bhūta-yajñaṃ); leluhur (pitṛya-yajñaṃ); & manusia (maṇusyāḥ-yajñaṃ).
Baik Bhagavad Gītā & Viṣṇu Dharmaśāstra keduanya disabdakan oleh 1 Īśvara yang sama, Viṣṇu. Lalu, mengapa terkesan saling bertolak belakang?
Tuhan adalah Parāma Ātmā (Roh Utama) yang bersemayam di batin para dewa (devāḥ-pitaraḥ), leluhur (manuṣyāḥ-pitaraḥ), hantu (devaḥ-bhūta), sesuhunan (devatā-pratimā) & di semua makhluk hidup (pasu). Bhagavad Gītā (9.16/23-24):


— Akulah ritual, Akulah kurban suci, persembahan kepada leluhur. Bahkan ia yang memuja dewa lain dengan penuh keyakinan—sebenarnya hanya memuja-Ku (karena Aku bersemayam di batin mereka). Satu-satunya aku yang menikmati & menguasai segala kurban suci.
Dengan demikian, menyembah dewa/leluhur—pada akhirnya juga menyembah Tuhan dengan mentalitas kesadaran kita bahwa Tuhan adalah Antaryāmin Ātmā yang bersemayam di batin mereka. Selaras dengan pernyataan Gong Besi (3a):— Pada Rong Telu, Aku adalah Sang Hyang Tunggal bergelar Sang Hyang Ātmā.
Mayaiva vihitān hi tān—"Sebenarnya hanya Aku Sendiri yang menganugerahkan berkah-berkah itu melalui perantara mereka." (Bhagavad Gītā 7.22)
Sebagai wujud sikap kerendahan hati umat manusia (tat-tvam-asi), menghormati dewa, bhūta, & leluhur dilakukan secara proporsional karena upāyatya, Tuhan adalah penghuni batin kepribadian-kepribadian agung tersebut. Menghormati leluhur tetapi melupakan Sang Pencipta justru akan mengarah sikap anti-theis. Mānava-Dharmaśāstra (3.205)⁣⁣:
— Hendaknya kau melakukan sembah bhakti kepada leluhur terlebih dahulu & berakhir dengan sembah bhakti kepada para dewa hingga memuncak kepada Tuhan Yang Maha Esa (pendakian spritual dari yang terendah ke yang lebih tinggi). Janganlah kau memulai & mengakhiri dengan upacara leluhur saja.
𝗝𝗮𝗱𝗶 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗗𝗵𝗮𝗿𝗺𝗮𝘀𝗮𝘀𝘁𝗿𝗮 𝗵𝗮𝗿𝗺𝗼𝗻𝗶 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗹𝗮𝗶𝗻𝗻𝘆𝗮?
Tidak ada kontradiksi antara Bhagavad Gītā (mokṣa-śāstra) dengan Viṣṇu Dharmaśāstra (aturan perilaku hidup sehari-hari). Gītā adalah pengetahuan hakikat (tattwa-jñāna), sedangkan Dharmaśāstra adalah pengetahuan terapannya (vijñāna).
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗶𝗺𝗽𝗹𝗶𝗺𝗲𝗻𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗱𝗶 𝗕𝗮𝗹𝗶?
Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memperkenalkan konsep kesatuan Tuhan (advaita-vāda) melalui kerangka Tripuruṣa & altar pemujaan Padmāsana, tetapi beliau tidak menggusur praktek ajaran Bali kuno yang sudah eksis sebelumnya (paham Trimūrti & penghormatan leluhur). Melalui tutur Gong Besi-nya, secara eksplisit menegaskan Sang Hyang Tunggal berganti nama ketika Beliau berpindah tempat.


Ketika beristana Pura Dalem, Tuhan bergelar Ida Bhaṭāra Dalem. Hengkang dari Pura Dalem, lalu beristana di Pura Puseh bergelar Sang Hyang Triodasa Sakti. Di Pura Deśa bergelar Sang Hyang Tri Upasedhana. Di Catus Pata (perempatan agung) bergelar Sang Hyang Catur Buana. Di pertigaan jalan bergelar Sang Hyang Sapuh Jagat. Di Rong Tiga, kiri (Tuhan yang bersemayam di batin leluhur laki-laki) bergelar Sang Hyang Parātmā, kanan (Tuhan yang bersemayam di batin leluhur perempuan) bergelar Sang Hyang Siwatma, & ditengah (yang bersemayam di batin diri kita) bergelar Sang Hyang Ātmā.
𝗝𝗮𝗱𝗶 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗿𝗵𝗮𝘁𝗶-𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗺𝗲𝗻𝗮𝗳𝘀𝗶𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮?
Bhagavad Gītā tidak dapat dipahami hanya dengan mencomot 1 śloka atau menerima/menolak Gītā berdasarkan selera (sentimen pribadi). Kesalahan tafsir pada Gītā dapat menjerumus pada doṣa atau pelanggaran berat yang disebut Aparādha.
𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗮𝗹𝗶𝗿𝗮𝗻-𝗮𝗹𝗶𝗿𝗮𝗻 𝗛𝗶𝗻𝗱𝘂 𝗺𝗲𝗺𝗮𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗵𝗮𝗴𝗮𝘃𝗮𝗱 𝗚𝗶𝘁𝗮?
Siapapun yang mengklaim dirinya sebagai Vedāntīn, maka ajarannya tidak pernah lepas dari Praṣṭana-trayā yaitu kitab-kitab Upaniṣad, Bhagavad-gītā, & Brahma-sūtra. Apapun sekolah Vedānta / alirannya selalu ada bhāṣya (ulasan) tentang Bhagavad-gītā & Brahma-Sūtra, seperti halnya gula tidak dapat dipisahkan dari rasa manisnya.

Menurut keputusan seminar kesatuan tafsir. Brata Śiwarātri terdiri dari:

 


A. Utama, melaksanakan:
- Monobrata (berdiam diri)
- Upawāsa (tidak makan, tidak minum)
- Jāgra (berjaga, tidak tidur)
B. Madya, melaksanakan:
- Upawāsa
- Jāgra
C. Niṣṭha, hanya melaksanakan: Jāgra
Umat (seorang sādhakā) melaksanakan sesuai kemampuan masing-masing, jika tidak mampu melaksanakan tingkat utama, maka lakukan pada tingkat madya, jika tidak mampu melaksanakan madhya makan lakukan tingkat niṣṭha.

______________________________
1. Upawāsa
Puasa adalah dilatihnya indria lidah dari dorongan obyek-obyeknya. Berpuasa walaupun tidak sempurna namun diimbangi dengan jnāña (pengetahuan) lebih baik daripada semangat menggebu-gebu berpuasa sehari penuh namun pikirannya merenungkan obyek-obyek pemuas indria (game-online, film, novel, dsb).
Upawāsa dilaksanakan besok dari pagi hari saat matahari terbit (pukul 6 waktu setempat) sampai esok harinya pada pukul 6 pagi (Tilem Sasih Kepitu). Upawāsa Śiwarātri dilaksanakan selama 24 jam penuh.
2. Monobrata
Monobrata bukan berarti diam membisu, melainkan hendaknya melatih untuk tidak berbicara yang bukan-bukan (bergosip, ghibah, dsb). Sesungguhnya kita tidak bisa menjadi tanpa keinginan & kita tidak bisa menjadi diam. Keinginan-keinginan itu dapat disucikan, kita hendaknya berkeinginan menggunakan lidah & pikiran kita dengan aktifitas berjapa.


3. Jāgra
Jāgra artinya "sadar", kesadaran itu dalam pelaksanaan Brata Śiwarātri disimpulkan dengan melaksanakan melek semalam suntuk.
Cara ini sangat praktis. Kita dapat menjaga pikiran kita tetap terhubung dengan Śiwa dengan berpikir tentang Śiwa. Kita dapat menjaga telinga kita tetap terhubung dengan Śiwa dengan mendengar nyanyian rohani-Nya. Kita dapat menjaga lidah kita tetap terhubung dengan Śiwa dengan melafalkan Nama Suci Śiwa & memakan lungsuran (jika tidak berpuasa) — inilah yang disebut pelepasan ikatan terhadap segala sesuatu yang bersifat material, pelepasan ikatan bukanlah berarti menonaktifkan indria-indria.
Jāgra dilakukan besok mulai pukul 06.00 sampai esok harinya pukul 18.00 (36 jam).
Photo: @gdvibesbali

Tata cara Brata Siwaratri

 



Pada suatu hari, terjadi percakapan antara Hyang Girīndraduhita (Pārwatī) dengan Hyang Jagatpati (Śiwa).


Giriputri:— Atas kasih Paduka kepada-Ku, ajarkanlah tata cara pelaksanaan brata Śiwarātri yang ingin hamba lakukan, semoga brata ini kelak akan dipraktikkan oleh orang yang berjaga pada waktu bulan Magha malam keempatbelas gelap, prawanining tilĕm Kapitu. (Śiwarātri Kalpa, 36.2)

Jagatpati:— O Adinda Ku-sayang, senangnya hati Kakanda mendengarkan pertanyaan-Mu, Kakanda akan memberitahu Adinda cara melaksanakan brata yang luar biasa pahalanya. Dengarkanlah. Ia yang mematuhi kata-kata Kakanda oleh karenanya akan menuju Rudraloka, tidak akan memasuki kawah neraka. (Śiwarātri Kalpa, 36.3)


— Di waktu pagi sesudah menggelar pemusatan pikiran pada-Ku, datanglah kerumah guru, menghormatinya dan juga memohon diri melaksanakan brata, menjunjung kaki guru. Sesudah itu mandilah, membersihkan gigi, mengatur pelaksanaan pemujaan Hyang Śiwānala, disertai dengan berpuasa dan bersikap diam (tidak berbicara yang bukan-bukan) , hendaknya pakaian selalu dalam keadaan bersih. (Śiwarātri Kalpa, 37.1)

— Sesudah berakhirnya siang hari, pada waktu malam harinya hendaknya ia berjaga dan tidak tidur, sambil taat berpikir tentang-Ku senantiasa. Pujalah Hyang Kumāra (Kārtikeya) dan Hyang Gajendrawadana (Ganeṣa) meminta perestuan. Pada malam hari itu, selama 12 jam, laksanakan tata cara puja sesuai yang diperlukan. (Śiwarātri Kalpa, 37.2)

— Musik dan lagu-lagu rohani hendaknya dinyalakan untuk menggelakkan rasa kantuk di mata, atau bersama-sama mengucapkan kidung suci dalam keramaian (saṅkīrtana). Aku lebih berbahagia lagi kalau ia dapat menceritakan kisah si pemburu pada waktu itu. Ia pasti akan mendapatkan alam yang paling utama bagi dia yang menceritakan perjalanan ātmā si Lubdhaka. (Śiwarātri Kalpa, 37.5)

— Sesudah sirna malam itu pada esok harinya berikanlah derma (sumbangan) pada orang-orang yang berkumpul (yang melaksanakan brata Śiwarātri), persembahkanlah Śiwalingga emas kepada maha pandita yang bersusila tinggi dan paham akan Weda. Siapapun disana berilah derma dengan semampunya, selalu terbebaskan dari waktu jaga tidur siangnya, lakukanlah amanat itu. (Śiwarātri Kalpa, 37.6)


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

— Setelah selesai sempurna melaksanakan brata yang Ku-katakan, maka lanjutlah dengan kegiatan bertirtayatra. Seribu juta dosa laknat yang ia lakukan pada kelahiran terdahulunya seketika akan sirna ketika melaksanakan brata Śiwarātri yang serba utama. (Śiwarātri Kalpa, 37.7)

— Walaupun seluruh hidupnya ia berbuat kebatilan, menyakiti perasaaan orang lain, membunuh seorang brahmana, dan lagi tidak tahu berterima kasih, durhaka pada seorang guru, membunuh janin pada kandungan — semua dosa-dosa itu akan sirna oleh karena ia berjaga di waktu Śiwarātri yang sangat utama ini. (Śiwarātri Kalpa, 37.8)

— Walaupun tidak melaksanakan brata tetapi terjaga tidak tidur pada waktu-waktu demikian, seluruh kelahiran manusia, baik tua-muda, laki-perempuan, segera akan menuju Śiwālaya, menikmati kebahagiaan transedental tanpa berkeluh kesah. (Śiwarātri Kalpa, 37.9)

— Demikianlah wejangan Hyang Īśwara kepada para dewatā, Hyang Girīndratanaya memberi salam penghormatan dan mematuhi semua sabda Hyang Jagatpati yang telah diberikan, demikilanlah para hyang (dewatā) yang ikut mendengar diskusi Śiwa dan Śakti-Nya melaksanakan brata Śiwarātri sampai ke Triloka. (Śiwarātri Kalpa, 37.10)

SANGGAH KEMULAN (RONG TIGA)

 


Sanggah Kamulan berasal dari 2 kata, "sanggah" berarti tempat pemujaan, dan "kamulan" berasal dari kata mūla yang berarti awal atau sumber. Jadi Sanggah Kamulan adalah tempat untuk memuja asal mula darimana manusia itu diciptakan, siapakah Beliau?⁣

"Pada kamulan kanan adalah ayahmu, Sang Parātmā. Pada kamulan kiri adalah ibumu, Sang Śivātmā. Pada kamulan tengah adalah Bhaṭāra Dalem sebagai Hyang Ātmā (Tuhan), yaitu roh dari ayah dan ibu (yang telah) kembali ke Dalem (asal mula) menjadi Sang Hyang Tunggal" — Lontar: Tutur Gong Besi, lembar 3a⁣

Gong Besi lebih lanjut menyatakan:—

"Aku maraga lanang, meraga wadon, meraga daki, dadi aku meraga sawiji, nga. Aku Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Tunggal." — Aku berwujud laki-laki, juga berwujud perempuan, telah menjadi kotor (papā), beragalah Aku sebagai makhluk hidup. Namun sesungguhnya Aku esa tiada duanya. ⁣

Jadi, umat Hindu bersembahyang dihadapan Sanggah Kamulan tiada lain sedang memuja asal mula diri kita sendiri yaitu Bhaṭāra Hyang Guru (Tuhan Yang Maha Esa).⁣

"Demikianlah hendaknya ia menghaturkan penghormatan kepada Bhaṭāra Guru dan leluhur yang telah disucikan, dan itulah yang sedang kau puja di Kemulan." — Lontar Sundarigama


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

"Akulah kurban suci, ritus pengurbanan, Akulah apa yang kau persembahkan, Aku adalah kurban yang dikurbankan dan orang yang khusyuk dalam upacara kurban. Aku juga yang memberkahi pengurbanan itu. Siapakah ini? Siapakah kau? Siapakah kalian? Pada kenyataannya semua itu adalah Aku, Aku adalah realitas satu-satunya di alam semesta. — Śiva Mahāpurāṇa, 2.2.26.47-48

Adapun Lontar Śivāgama, lembar 328, menyiratkan begitu pentingnya Sanggah Kamulan dibangun sebagai satu-satunya pemujaan yang harus ada pada masing-masing pekarangan untuk memuja Bhaṭāra Dalem (Tuhan) sebagai Sang Hyang Ātmā.⁣

"Dia adalah Sang Hyang Paramawisesa Dalem Kawi. Kalian sehat berasal dari Dalem Kawi, sakit dari Dalem Kawi, hidup dari Dalem Kawi, kematian juga dari Dalem Kawi. Dari Sang Hyang Pemutering Jagat-lah asal mula segala sesuatu, menjadi beranekaragam oleh karena kehendak-Nya Sendiri." — Lontar: Tutur Gong Besi, lembar 3b.⁣

______________________________

yo devānām prabhavaś co'dbhavaś ca
vīśvādhipo rudro maharṣiḥ
hiraṇyagarbham paśyata jāyamānam
sa no buddhyā śubhayā samyunaktu

"Dia adalah sumber dan darimana para devatā itu berasal, penguasa segalanya, Mahaṛṣi Rudra (Bhaṭāra Guru), yang mengawasi segala ciptaan alam semesta (Hiraṇya-garbha). Semoga Dia memberikan cahaya pengetahuan kepada kita." — Śvetāśvatara Upaniṣad (4.12)⁣

______________________________ ⁣


Photo: @ayomoto.id

Kenapa Terawangan Balian Sering Salah




Dalam lontar Aji palayon dikatakan, bahwa jika hendak pergi kepada seorang balian, maka harus mengedepankan akal sehat. Jika sesuai dengan sastra agama dan logika, barulah dijalankan. Jika tidak, maka tinggalkan saja. Namun jika kita berbicara masalah logika, rasional atau nalar yang mengedepankan akal sehat, dalam tataran niskala, maka hal tersebut bukanlah sebuah hal yang mutlak diperlukan. Sebab dunia niskala berisikan banyak hal-hal di luar nalar namun itu terjadi.
Demikian pula, jangan sekali-kali menelan mentah-mentah apa yang diucapkan oleh seorang balian. Sebab jaman sekarang, tidak sedikit balian yang ngaku-ngaku ririh.
Berdasarkan Bhairawa Tantra, Manusia Terbagi atas 2 Golongan.
1. Prawerti adalah Hubungan Manusia dengan Tuhan dari Hati, mempelajari Agama Hindu, Filsafat, Paham mengenai Upakara dan folosopinya, paham dan menjalankan Weda.
2. Niwerti adalah Hubungan Manusia dengan Tuhan untuk dengan mengandalkan kekuatan, kesaktian, kewisesan, yang bermuara pada satu kekuatan supranatural, kekuatan magis, dan melebihi kekuatan normal lainnya. Kebalikan dari Prawerti. Niwerti adalah Golongan Manusia yang mengutamakan Hubungan Manusia dengan Tuhan menggunakan ritual.
Jika Prawerti, maka akan seperti berikut.


Jika seorang Hindu Bali meninggal dunia, maka kerabatnya akan melaksanakan upacara yang bernama ngaben. Maka seusai upacara ngaben, ia tidak usah pusing apakah yang diaben mendapatkan tempat atau malah dirajam di neraka. Ia yakin akan hukum karma yang ada di dunia sana dan ia sudah sangat puas melakukan ngaben dengan tuntunan sastra yang benar.
Jika Niwerti maka akan seperti berikut.
Setelah Ngaben. Orang bali akan bertanya kembali. Apakah kakek saya yang baru diaben mendapatkan tempat, apakah ia tidak sengsara di sana, atau banten apakah yang kurang dan jika ia menderita di alam sana. Apakah yang harus dilakukan agar hukumannya dapat dikurangi? Dengan tujuan itu, maka ia pergi ke tempat balian, untuk meluasang, apakah kakeknya mendapatkan tempat atau tidak.
Apakah yang harus dilakukan agar hukumannya dapat dikurangi? Dengan tujuan itu, maka ia pergi ke tempat balian, untuk meluasang, apakah kakeknya mendapatkan tempat atau tidak. Jika dihukum atau dalam keadaan susah, maka banten apa yang harus dibuat agar hukuman kakek bisa sedikit dikurangi. Dengan bertanya seperti itu, maka sang balian kerauhan dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi.


Perlu diperhatikan, bahwa balian adalah manusia. Sehebat apa pun manusia, maka ia pasti melakukan kesalahan. Ada sebuah kisah yang menarik mengapa balian tidak mungkin menerawang sisi niskala dengan tepat seratus persen.
Kok Bisa?
Saat manusia diciptakan, maka yang membungkus Atman adalah Citta(Pikiran), Buddhi(Kecerdasan), Ahamkara(Ego).
Sisi rohani dengan pancaran kekuatan supranatural adalah satu cerminan dari kekuatan Buddhi(Kecerdasan),jika Buddhi itu sedang bekerja, maka Ahamkara atau rasa Egonya akan membungkusnya kembali sama seperti saat manusia diciptakan.
Ahamkara ini memiliki lapisan yang tebal, sehingga sulit untuk melihat dengan terang. Sehingga, berdasarkan AJARAN HINDU, sangat sulit Manusia untuk bisa menerawang.
Balian dengan meneropong hal-hal berbau niskala, tidak akan mungkin mampu melihat seratus persen benar, terlebih lagi balian yang ngaku-ngaku sakti. Apa yang harus diperbuat? Yang perlu dilakukan adalah bahwa sesuatu kegiatan beragama kita jalankan saja dengan petunjuk sastra
atau dengan tuntunan sang pandita. Jika menemukan sebuah kejanggalan, maka barulah cari solusinya dengan jalan niskala, namun tetap dengan mengedepankan akal sehat sebagai sebuah Fllterisasi.
Sumber : @nafashindu
#infodewata #hindu





Makna Pedanda Baka

 



Pedanda Baka, hampir semua masyarakat Bali pasti pernah mendengar cerita ini sewaktu kecil, kisah Sang Cangak Maketu, atau Bangau Bermahkota Pendeta, dongeng sederhana, namun bermakna sangat dalam, kisah yang mempertanyakan kesucian dari seseorang yang berperilaku suci.

.
Kisah ini tergolong kedalam Cerita Tantri atau Pañchatantra, kumpulan dongeng India Kuno yang menggunakan binatang sebagai tokoh utamanya, yang secara tidak langsung menggambarkan perilaku masyarakat, penguasa, bahkan para pemuka agama kala itu. Kisah Pedanda Baka merupakan dongeng di dalam dongeng, kisah ini diceritakan oleh Patih Sembhada, seekor serigala, ketika memprovokasi seekor Singa yang bernama Raja Candha Pinggala dengan Resi Nandhaka, seekor banteng, dan Sembadha berhasil membuat mereka saling membunuh.
.
Secara singkat dongeng ini mengisahkan, seekor bangau tua yang mengenakan mahkota pendeta dengan bulu putih yang bersinar cerah seperti kain sutra, ia berdiri dengan satu kaki selama berjam-jam di tepi Telaga Kemudasara, seperti sedang bermeditasi, membuat seluruh ikan merasa takjub dengannya, kemudian ia berkata bahwa ia sudah mendapat pencerahan dan diutus oleh Hyang Kuasa untuk menyelamatkan semua ikan, karena telaga itu akan surut, namun pada akhirnya ia memangsa semua ikan lugu dan polos itu yang percaya dengan tipuan Sang bangau.
.

Sederhananya, kisah ini mengajarkan, banyak sekali orang yang kelihatannya berperilaku baik dan tulus ternyata memiliki niat tertentu untuk kepentingannya sendiri dengan memperdaya orang-orang yang mempercayainya. Namun, disisi lain kisah ini menjadi sindiran perilaku para Pendeta pada zaman kerajaan yang berperan sebagai penjabat penting dalam sistem politik kerajaan. Bahkan saat itu cerita ini sempat dilarang untuk diceritakan karena dianggap merendahkan kaum Pendeta.
.

Dalam istilah Bali, Pedanda Baka, berarti pendeta yang sebetulnya palsu, sehingga gampang untuk melanggar swadarma. penyebab dari fenomena ini, karena sebagian masyarakat yang tak peduli dengan ajaran agama dan menyerahkan sikap keagamaan kepada pendeta, termasuk para pedanda baka.
.
Dirangkum oleh @calonarangtaksu @global.bali #pedandabaka #sangcangak


Kamis, 11 Maret 2021

Ida Mas Dalem Segara, Sulinggih Berusia 23 Tahun, Ini Kisahnya






MUPUT : Ida Mas Dalem Segara dengan pakaian kebesarannya ketika muput upacara. (IDA MAS DALEM SEGARA FOR BALI EXPRESS)





Apa yang tergambar dalam benak Anda ketika menyebut kata Sulinggih? Tentu yang terbayang adalah seorang pendeta suci yang berpakaian serba putih, berambut panjang yang diperucut, juga berjenggot putih. Namun, bayangan sosok seperti itu akan buyar, bila melihat Sulinggih Ida Mas Dalem Segara yang ala kids zaman now. Kenapa buyar? Karena pasti berseberangan dengan yang dibayangkan.





Ida Mas Dalem Segara, seorang Sulinggih muda berperawakan gagah. Tak seperti Sulinggih pada umumnya, Ida Mas Dalem Segara membiarkan rambut hitam bergelombangnya terurai. Gaya bicaranya yang santai, membuatnya cepat akrab dengan para pamedek yang tangkil ke griyanya di kawasan Jalan Drupadi XIV Denpasar.


Usai melayani para pemedek yang malukat, Sulinggih berusia 23 tahun ini pamit mohon izin untuk berganti pakaian. Beberapa saat kemudian, pria tamatan SMA ini sudah terlihat dengan santai duduk di atas sebuah Bale Pangiring yang terletak di pelataran griyanya.

“Ampura nggih, saya lebih suka berpenampilan begini jika di rumah. Apa adanya, yang terpenting bukan apa yang saya kenakan. Tapi, seperti apa jiwa dan karma yang saya lakukan,” ujar Sulinggih asal Peguyangan, Buleleng, ketika menerima kunjungan Bali Express (Jawa Pos Group), kemarin. Melihat penampilannya, Sulinggih ini mirip idola kids zaman now, bila melihat model rambutnya, pakaiannya yang modis, ditopang posturnya yang semampai plus wajahnya yang rupawan.


Pria yang sejak kecil menetap di Denpasar ini, mengaku cukup berat menjalankan takdirnya menjadi seorang Sulinggih. Bahkan, tak pernah menyangka perjalanan hidupnya akan sejauh ini. “Dari kecil saya memang dekat dengan hal - hal spiritual. Beliau benar – benar menuntun saya lewat berbagai cobaan dalam hidup,” ungkapnya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Ida Mas Dalem Segara bercerita, sejak kecil tak pernah merasakan kasih sayang ayahnya sebagai orang tua. Ia tumbuh dan dibesarkan oleh ibunya. “Bisa dibilang saya seorang yatim. Tidak memiliki ayah, saya sepenuhnya bergantung pada ibu. Ibu merawat saya dari kecil hingga tamat SMA,” paparnya.
Ketika SMA, Ida Mas Dalem Segara memutuskan untuk memulai membangun usaha di bidang pakaian. Di luar perkiraan, usaha yang dirintisnya ternyata tumbuh dengan pesat. Ia mulai menerima banyak orderan, sehingga terus melebarkan sayap bisnisnya hingga memiliki toko dan cabang di sejumlah daerah.


Merasa ada di atas angin, ia terus mengembangkan usahanya hingga benar – benar maju.
“Suatu malam ada sosok gaib yang datang menyampaikan bagaimana seharusnya jalan saya kedepan. Awalnya saya belum bisa menerima untuk menjadi seorang Sulinggih. Sebab, bisnis saya sedang maju. Jika saya menerima, artinya saya harus siap melepaskan usaha dan segala bentuk keduniawian lainnya," akunya. Namun bayangan agar menjadi seorang Sulinggih, terus berkecamuk di benaknya.
Setahun sebelum ia bersedia melaksanakan proses madwijati, Ida Mas Dalem Segara bermimpi masuk ke sebuah dimensi ruang, di mana ia melihat masa depan.

“Saya melihat sekelebat kejadian yang berganti ganti, saya juga melihat diri saya ketika di umur lanjut usia, tengah berdiri di utara rumah dengan pakaian serba putih. Dan anehnya, setelah mimpi tersebut, orang – orang mulai datang silih berganti, nunas ini dan itu. Minta petunjuk dan tuntunan dalam setiap persoalan hidup mereka," bebernya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Lantas, ia berbagi cerita dengan Ida Nabe Giri Natha dari Griya Gede Penida Bangli. "Berkat tuntunan beliau lah saya akhirnya mantap menerima jalan ini,” ujarnya.


Dengan segala bentuk pertimbangan, keyakinan dan cobaan yang terus menerus datang, akhirnya Ida Mas Dalem Segara menerima takdirnya sebagai seorang Sulinggih. “Ada satu titik balik kenapa saya menerima ini sebagai jalan hidup saya. Ketika saya harus kehilangan segalanya, segala hal yang menurut saya sangat penting dalam hidup saya waktu itu. Kira – kira hampir setahun saya harus terpuruk, dan bertingkah seperti orang gila. Tapi perlahan saya bisa bangkit dan pasrah,” paparnya.


Titik balik yang dimaksud adalah ketika ia harus kehilangan beberapa orang yang dikasihinya.
“Saya sudah ngiring dari cenik, ketika kecil saya harus menerima kehilangan ayah sebagai tulang punggung. Setelah ayah tiada, otomatis ibu menggantikannya menjadi tulang punggung keluarga. Jadi, saya secara tidak langsung juga kehilangan kasih sayang ibu. Beranjak remaja, rasa kesepian yang dalam itu mulai terobati. Saya punya pacar ketika itu, sangat dalam rasa cinta saya. Tapi sayangnya memang tidak jodoh, nah dari situ lah saya merasa tidak punya harapan, dan merasa sangat hancur,” tuturnya.


Berbagai cara ia lakukan untuk mengobati rasa sakit dan kesepian. Pergi ke berbagai tempat untuk membersihkan diri dan berguru, namun tak juga hilang sepenuhnya berbagai masalah.

“Sampai satu titik akhirnya saya menemukan sebuah jawaban. Yah ini, memang harus begini yang saya jalani. Setelah bulat dengan keputusan saya, akhirnya saya menjalani setiap prosesnya. Saya akui sangat berat,” ungkapnya.


Menurutnya, pertimbangan terberat yang harus ia pikirkan sebelum melaksanakan proses Dwijati adalah anak dan istrinya. “Saya memiliki istri jauh sebelum proses madiksa dilakukan. Anak saya lahir pun, jauh sebelum saya melewati proses Dwijati," terangnya.


Dikatakan berat, lanjutnya, karena ia punya tanggung jawab terhadap keberlangsungan kebutuhan istri, anak, dan keluarga. "Ketika kita bersedia menjadi suci, artinya harus benar – benar melepas keduniawian. Kita harus benar – benar beryadnya kepada masyarakat," ujarnya. Dikatakannya, semua keraguan itu terjawab. "Ada saja rezeki, bahkan saya mampu ngayahin para pamedek dengan cara membuat upacara ngaben massal, mapandes massal gratis untuk masyarakat,” ungkapnya.


Dengan senyum teduh khas anak muda, Ida Mas Dalem Segara memang sudah mantap menjalankan tugasnya sebagai orang yang disucikan. “Saya memang masih muda. Namun saya percaya Tuhan tidak sembarangan memberikan jalan. Walaupun ada saja yang mencemooh, ada saja yang tidak setuju. Jika memang ini jalan saya, harus saya jalani. Saya sendiri pun tak kuasa menolaknya,” ujarnya.

Meski menuai banyak pro dan kontra, ia tetap yakin dan memegang teguh prinsip dalam menjalankan yadnya. Putra sulung dari dua bersaudara ini, sebelum memutuskan untuk madwijati ia sempat menjadi seorang pengusadha, membantu orang – orang di sekitarnya. Sulinggih murah senyum ini, dikenal sangat murah hati. Tak jarang ia tak menerima sasari dari upacara yang dipuputnya. Sebelum menjadi Sulinggih, Ida Mas Dalem Segara juga sempat didiksa menjadi Ida Bhawati.

Dengan menjalankan proses panjang, akhirnya ia melaksanakan proses madwijati yang dilaksanakan oleh Ida Nabe Giri Natha dari Griya Gede Penida Bangli, Ida Nabe dari Griya Medahan Gianyar, Ida Nabe Ratu Bagus dari Griya Muncan Karangasem, dan Ida Nabe Rsi Lokanantha dari Griya Agung Denpasar. Namun, hingga kini Ida Mas Dalem Segara belum menggunakan Bhawa, karena Ida mapulang lingga pada saat sasih kapat di bulan september 2017 di Griya Gede Penida Bangli. Jadi, saat ini statusnya masih Malingga Bhawati sampai pada saat waktu yang ditentukan karena mengikuti struktur dari trah Pasek.


Makanya, namanya masih Ida Mas Dalem Segara, di mana seharusnya ada nama Bhagawannya.
"Semua itu karena dalam struktur trah pasek, ikut trah dari nabe.Setelah jangka waktu yang ditentukan, baru bisa menggunakan Bhawa dan menyandang gelar Bhagawad," bebernya.