Kamis, 11 Maret 2021

Mengungkap Misteri 108 Nasi Cacah Saat Tawur Kasanga






NASI CACAH: Wujud dan bentuk Nasi Cacah yang dihaturkan saat Tawur Kasanga. (istimewa)





Nyepi merupakan Hari Raya Umat Hindu yang diperingati tiap tahun. Sehari sebelum peringatan Tahun Baru Saka ini, dilaksanakan Tawur Agung Kasanga. Nah, dalam Tawur ini salah satu sarana ritual atau upakaranya adalah 108 Nasi Cacah yang dirangkai sedemikian rupa. Mengapa harus 108?


Menurut kajian Pasraman Sastra Kencana, angka tersebut bukanlah suatu kebetulan, melainkan berkaitan dengan rangkaian energi. Hal ini tak lepas dari konsep Aksara. Kelahiran angka 108 dari laba Nasi Cacah itu bersumber dari urip masing-masing aksara.




Mulai dari Ang dan Ah yang memiliki urip masing-masing 8. Kemudian aksara Sa, Ba, Ta, A, I, dengan urip 33. Lalu Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, dengan jumlah urip 59. “Maka total menjadi 108,” ungkap Guru Nabe Budiarsa, Pinisepuh Pasraman Sastra Kencana yang beralamat di Banjar Tegak Gede, Desa Yehembang Kangin, Mendoyo, Jembrana, belum lama ini.


PINISEPUH : Pinisepuh Pasaraman Sastra Kencana, Guru Nabe Budiarsa (istimewa)



CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Dijelaskan lebih lanjut, menurut tatwa filsafat Hindu Bali yang berdasarkan pada ajaran sastra Hindu Bali, yang bertitik tolak pada Wreastra, Dasa Aksara, dan Kanda Empat, dapat dijelaskan secara rinci dan detail tentang lahirnya kekuatan yang disebut dengan 108 Butha Kala.

Dikatakannya, 108 Bhuta Kala ini harus mendapat perlakuan dan stabilisasi atau harus dinetralisasi lewat Caru Tawur Agung Kasanga, khususnya di perumahan setiap umat Hindu di Bali. Tujuannya, agar alam Bali benar-benar suci menurut dasar keyakinan umat Hindu di Bali, khususnya.

Diterangkannya, angka 108 itu dapat ditemukan lewat kajian sastra Dasa Aksara dan Kanda Empat. “Dalam Dasa Aksara mengenal sastra Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya. Sedangkan dalam ajaran Kanda Empat mengenal sastra Sa, Ba, Ta, A, dan I,” paparnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Sastra Dasa Aksara, lanjutnya, adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang langit dan cakrawala, atau Bwah Loka dan Swah Loka. Bentuknya bulat kosong dan hampa, namun terdapat tebaran benda-benda langit, seperti matahari, bulan, bintang dan planet-planet yang memiliki sifat kekuatan dan pengaruh yang berbeda-beda. Ada yang memiliki energi panas, dingin, netral, dan sebagainya.

Dalam siklus perputaran Galaksi Antariksa yang dipengaruhi oleh energi benda-benda itu, langit melahirkan sifat-sifat energi yang berbeda. Di samping itu pula, dipengaruhi juga oleh energi bumi yang memiliki kekuatan lima unsur, yaitu angin, api, sinar, air, dan bumi itu sendiri.

Kelima energi ini dipengaruhi oleh energi panas bumi pada titik magma di dasar bumi. “Akibat dari adanya energi panas dasar bumi ini, maka kelima energi ini menjadi panas yang setiap waktu atau kala, akan mengalami peningkatan panas sampai titik pemanasan global, dan terbentuklah lima energi panas di bumi ini, yaitu angin panas atau Gni Petak, api panas atau Gni Bang, sinar panas atau Gni Jenar, air panas atau Gni Ireng, dan tanah panas atau Gni Mancawarna,” terang Pinisepuh Perguruan Wahyu Siwa Mukti ini.

Panas bumi ini kemudian memengaruhi energi langit yang juga memiliki sumber panas pada matahari. Nah, pertemuan panas inilah yang diberikan proses ritual agar bisa kembali netral dengan melakukan laba Tawur Kasanga, menurunkan energi langit ke muka bumi, agar bumi menjadi netral lalu disebut bersih dan suci.

“Dalam melakukan pembersihan dan penyucian di bumi ini, dilakukan dalam semua kegiatan tanpa kecuali, baik yang ada di Buana Agung maupun di Buana Alit,” katanya.

Pada Buana Agung, lanjutnya, tidak boleh melakukan kegiatan apapun terhadap alam, baik perusakan maupun menciptakan polusi terhadap alam. Lalu memberikan kesempatan pada bumi, langit dan cakrawala berevolusi melakukan proses sinergi antara energi langit dengan energi bumi.

Oleh karena itu, umat manusia, khususnya yang meyakini, terutama umat Hindu di Bali melakukan penghentian aktivitas apapun di atas bumi di bawah langit. Bahkan, gelombang energi yang menggunakan frekuensi satelit pun dibatasi dengan mengurangi penyiaran radio, televisi bahkan internet, demi tak terganggunya sinergi alam bumi dan langit.

Kemudian pada Buana Alit dilakukan pembersihan dan penyucian diri lahir-batin tanpa menikmati apapun, agar jiwa tenang dan terbebas dari nafsu. Lalu menghentikan aktivitas jasmani dengan istirahat total. Maka langkah Catur Brata Panyepian pun dilakukan.

Kembali ke sastra, energi langit dengan 10 unsur alam Akasa yang bertitik tumpu pada 7 lapisan langit atau Sapta Loka dipaparkan oleh sastra Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa Ya. Setiap sastra dinyatakan memiliki kekuatan atau kehidupan yang disebut dengan urip.

 

Sa memiliki urip 5, Ba urip 9, Ta urip 7, A urip 4, I urip 8, Na urip 8, Ma urip 3, Si urip 1, Wa urip 6, dan Ya urip 8. Sehingga total urip adalah 5 + 9 + 7 + 4 + 8 + 8 + 3 + 1 + 6 + 8 = 59. “Itulah urip dari Dasa Aksara. Karena sastra ini belum mendapatkan kekuatan sinar dari matahari, bulan, dan bintang, maka sastra ini belum memiliki sinar atau kekuatan suci.

Sinar itu sama dengan Div (diw), dan Div itu sama dengan Dewa. Karena itu disebut sastra Butha atau sastra yang belum memiliki sinar kekuatan suci,” jelasnya.

Maka, lanjut Guru Nabe, dari unsur Dasa Aksara energi langit yang terkontaminasi oleh energi bumi yang panas, menimbulkan pengaruh negatif pada alam. Lalu ke-10 energi alam langit ini yang memiliki 59 kekuatan disucikan secara ritual.

Karena 10 kekuatan langit ini yang disatupadukan di merajan, dari 10 sastra menjadi 5 sastra, dan dari 5 sastra disatupadukan menjadi 3 sastra, maka lahirlah sastra Ang, Ung, Mang dengan kekuatan Api, Air, dan Angin dengan masing-masing dewanya, yaitu Brahmana, Wisnu, dan Iswara.

Lantaran energi langit turun ke bumi, maka 10 sastra, salah satunya menyatu menjadi 9 sastra, lalu disebut Nawa Sanga. Pengaruh negatif dari Nawa Sanga ini disebut Butha Nawa Sanga dan pengaruh positifnya disebut Dewa Nawa Sanga.

“Dewa Nawa Sanga menyatu menjadi Tri Dewata, Buta Nawa Sanga menjadi Butha Angga Tiga Sakti,” ucapnya. Berkenaan dengan itu, di merajan dinetralisasi dengan laba 9 tanding yang merupakan perwujudan dari Butha Nawa Sanga dengan kekuatan atau urip 59.

"Butha Nawa Sanga ini berputar sesuai siklus alam selama 24 jam yang merupakan satu putaran alam penuh. Perputaran ini melahirkan pengaruh positif dan negatif yang merupakan Bala Bela Langit Niskala lalu disimbolkan dengan istilah Sang Kala Bela atau Sang Kala Bala,” katanya.

Jadi, pengendali dari Butha Nawa Sanga ini adalah Sang Kala Bala atau Sang Kala Bela. Dikarenakan sebagai pengendali langit yang memiliki 8 penjuru, maka urip atau kekuatan dari Sang Kala Bela itu adalah 8 dan memiliki unsur langit atau Maha I Bapa. “Maka pada unsur langit memiliki kekuatan Butha Nawa Sanga dengan urip 59 dan Sang Kala Bela dengan urip 8,” jelasnya.

Selanjutnya di bumi ada 5 unsur energi yang berpusat pada Sapta Petala dan bertitik tumpu di dasar bumi, yang memiliki kekuatan api sangat panas pada titik magma, yang bila keluar ke permukaan bumi menjadi lava pijar penghancur nomor satu di muka bumi.

Panas ini memengaruhi energi lima unsur, yakni angin, api, sinar, air, dan bumi menjadi angin panas, api panas, sinar panas, air panas, dan bumi panas, lalu disebut Panca Brahma.

“Sifat panas ini bersumber dari Sapta Petala yang divisualisasikan dan sebagai unsur Dhurga, maka terciptalah istilah Sapta Dhurga. Lima Dhurga yang memengaruhi lima unsur menjadi Panca Dhurga. Penyatuan lima unsur Dhurga menjadi Bhatari Dhurga. Sedangkan pancaran sinar panas dari Bhatari Dhurga ini disebut Dewi Dhurga,” paparnya.

Dikatakan Guru Nabe, di bumi ini ada kekuatan ratu atau rajanya panas. Dikarenakan panas itu bersumber dari lima cikal bakal energi, maka energi ini diistilahkan dengan Panca Maha Butha. Kekuatan Panca Maha Butha ini merupakan perwujudan Butha yang keluar sewaktu-waktu atau kala tertentu sesuai siklusnya, sehingga disebut dengan istilah Butha Kala.

“Kekuatan tertinggi dari Butha ini dinyatakan sebagai Raja dan Ratunya Butha, dari kata Raja dan Ratu ini muncul istilah Ratu Ayu dan Raja Butha,” terangnya.

Kemudian, Butha yang ada di bumi, akibat pengaruh energi langit menyebabkan Panca Maha Butha ini sangat kuat. Energi langit yang datang dari 8 penjuru menjadi satu kesatuan pada energi bumi 5 unsur. Oleh karena itu, Raja Butha ini memiliki kekuatan urip 8 penjuru, maka lahir istilah Sang Kala Raja dengan urip 8.

Sedangkan Sang Panca Maha Buthanya memiliki urip, yakni Sa, berupa angin, letaknya di Timur dengan urip 5. Lalu Ba, berupa api, letaknya di Selatan dengan urip 9. Ta, berupa sinar, letaknya di Barat dengan urip 7. A, berupa air, letaknya di Utara dengan urip 4. I, berupa pertiwi, letaknya di tengah dengan urip 8. Sehingga 5 + 9 + 7 + 4 + 8 = 33. Lalu urip Sang Kala Raja adalah 8, maka urip bumi menjadi 33 + 8 = 41. Akibat perpaduan urip bumi dan urip langit maka, 33 + 8 = 41. Lalu 59 + 8 = 67. Sehingga 41+ 67 = 108.


Berdasarkan perhitungan tersebut, maka di lebuh atau pintu pekarangan rumah dekat jalan dibuat nasi cacah dengan ketentuan, paling bawah unsur bumi, 8 Nasi Cacah menjadi 1 tanding. Di atasnya Panca Maha Bhuta, 33 Nasi Cacah jadi 1 tanding. “Itu semua unsur bumi, Sang Kala Raja kairing sang Panca Maha Butha dari manca desa, lalu di pempatan mendapat Caru Manca Sata,” ujarnya.

Kemudian untuk unsur langit, Butha Nawa Sanga dengan urip 59 dibuatkan nasi cacah isi 59 jadi satu atau dapat pula dipecah. Satu isi 33 satu lagi isi 26, lalu Nasi Cacah urip 8 untuk Sang Kala Bela. Maka jika disusun dalam bentuk laba Nasi Cacah, menjadi Nasi Cacah 8, Nasi Cacah 33, Nasi Cacah 59, dan kembali Nasi Cacah 8. Sehingga jumlahnya 108 Nasi Cacah.

Di atas Nasi Cacah ini, kemudian disatukan oleh Caru Ayam Brumbun sebagai unsur penyatuan bumi dan langit, penyelarasan unsur 10 menjadi 5 agar bumi dan langit bisa bersinergi.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Unsur langit dinyatakan Maha I Bapa dengan sastra Ah dan unsur bumi disebut Maha Ibu dengan sastra Ang. “Hal ini tidak boleh salah apalagi keliru. Kalau salah, maka pembentukan energi akan berubah, dari niat ingin menghilangkan energi panas malah menjadi tambah panas,” tegasnya.

Dengan menggabungkan keseluruhan urip itu akan ketemu angka 108 sebagai perwujudan Butha kala, yang mana para Butha Kala itu diilustrasikan dan divisualisasikan dalam wujud makhluk-makhluk gaib, seperti Jin, Samar, Gamang, memedi, atau Setan, Iblis, dan Berhala. Karena Bhuta Kala itu masuk dalam kelompok Gamang, maka nasi cacah itu sering disebut Nasi Gamang.

Dijelaskan Guru Nabe, sesungguhnya persembahan adalah sebuah rangkaian sastra untuk melahirkan energi. Hal ini sangat kelihatan pada proses paringkesan sastra Dasa Aksara menjadi Panca Aksara untuk menciptakan dua sifat kelompok energi. Yakni kelompok energi panas disebut Panca Brahma, dan kelompok dingin disebut Panca Amerta atau Panca Tirta atau Panca Suda.

“Jika ini tak dipahami, maka kita akan mengatakan Butha Kala itu makan enak dan lahap tak boleh kurang. Kalau kurang bisa ngamuk kesurupan. Padahal sesungguhnya kita salah merangkai upacara ataupun merangkai doa, akibat kurang pahamnya sifat-sifat energi secara sastra," ujarnya.

Ketika unsur api kurang, lanjutnya, maka bisa saja minta api perapak atau api dupa. "Ketika butuh unsur air bisa saja minta babi butuhan atau ayam hitam, begitu seterusnya,” pungkasnya.



(bx/adi/rin/JPR)

Selasa, 09 Maret 2021

Tri Sadhaka (3 jenis sulinggih) beserta gelarnya"

 


"AGAR TIDAK SESAT, apa itu ida pedanda, IDA SRI BHAGAWAN, empu,rsi,mangku,dll.. Ini dia Tri Sadhaka (3 jenis sulinggih) beserta gelarnya"

Sebelumnya sy ingin menerangkan dl bahwa IDA PEDANDA & IDA SRI BHAGAWAN itu sulinggih NAMUN "berasal" dr GOLONGAN (trah/kasta/gelar) yg BERBEDA.Ida Pedanda brasal dr golongan Brahmana,& Sri Empu,Bhagawan dll itu "berasal" dr golongan yg BUKAN BRAHMANA.Langsung saja Tri Sadhaka yaitu:
1.Sulinggih Siwa > beliau memiliki kewenangan untuk menghaturkan yadnya dengan pesaksi sanggah surya, menyucikan ALAM ATAS dengan menurunkan kekuatan Sanghyang Widhi.
2. Sulinggih Buddha > beliau memiliki kewenangan menghaturkan yadnya untuk menyucikan alam tengah atau awang-awang dengan mempertemukan kekuatan suci dari Sanghyang Widhi dengan kekuatan Bhuta Kala yang telah di Somya.
3.Sulinggih Bujangga > beliau memiliki kewenangan untuk mengaturkan yadnya untuk membersihkan alam bawah ( bumi dan jagat ), nyupat Butha Kala sehingga beliau menjadi Somya.


Adapun gelarnya diantaranya:
a.Pedanda/Ratu Peranda, adalah gelar kesulinggihan dari Brahmana wangsa yg telah melalui upacara diksa.Dan leluhur para Brahmana Wangsa sekaligus jadi guru besar dalam keagamaan krn telah berjasa terhadap keselamatan umat dlm menumbuh kembangkan & menjaga keagamaan diberi gelar DANG HYANG,seperti Danghyang Dwijendra/Nirartha yg sering disebut PEDANDA SAKTI WAWU RAWUH.

b. Rsi atau Bhagawan, adalah gelar kesulinggihan dari Wangsa Kesatria, beliau telah dipandang suci dan terhormat dalam masyarakat. { kata bhagawan berasal dari kata bhaga yang berarti bagian, kata wan berarti yang mempunyai. Bhagawan berarti yang mempunyai bagian}

c. Empu, adalah sebutan kesulinggihan dari wangsa Pasek, Pande. Beliau dipandang dan dihormati karena beliau berhak melakukan Loka Phala Sraya di masyarakat. { Kata empu berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti tuan, empunya, mempunyai, yang memiliki. Kata empu dipakai sebagai sebutan kehormatan kepada pandhita, pujangga, sang sujjana.}


d. Sengguhu adalah gelar kesulinggihan dimana beliau ahli dalam tugas untuk muput upacara seperti Bhuta Yadnya.

e. Dukuh, sebagai gelar kesulinggihan yang kedudukan beliau dipandang dan dihormati dalam masyarakat. Beliau juga berhak muput upacara agama.

f. Pemangku sebagai gelar kesulinggihan hanya saja ruang lingkup tugas beliau berkait pada suatu pura tertentu. Seperti : mangku pura puseh, mangku pura desa, mangku pura dalem, dsb.

g. Wasi pemangku untuk umat Hindu di Jawa.

Dan disini jg ditarik kesimpulan perbedaan antara Pandita dg Pinandita,perbedaan antara Dwijati dg Eka jati.Yg tergolong Pandita adlh yg di Dwijati sperti Pedanda, Sri Bhagawan, Empu dll
Dan yg tergolong Pinandita adlh yg di Eka Jati seperti Pemangku, Balian, Mangku Dalang dll.

Karena bnyk yg bertanya tentang Brahmana, maka tiang tambahkan lg sedikit, mari belajar bersama.Sepengetahuan tiang pada jaman dahulu sebutan Brahmana memang benar untk orang2 suci contohnya sperti empu markandya,baradah,dll. Dan datanglah Danghyang Nirartha k Bali pd masa Raja Dalem Waturengong,kemudian beliau menyempurnakan dan menata sistem kasta,upakara,dll,yg dilaksanakan sampai detik ini.Dan saat itulah yg disebut dg Trah Brahmana hanyalah orng2 yg bergelar ida ayu dan ida bagus atau Trah(keturunan langsung) dr Danghyang Nirartha,sperti Brahmana Manuaba,Keniten, Kemenuh,dll yaitu anak2 dari Dang Hyang Nirartha atau sering disebut Pedanda Sakti Wawu Rawuh.

https://web.facebook.com/photo?fbid=4411051422243589&set=a.104035579611883

Minggu, 07 Maret 2021

Pura Luhur Pucak Rsi Bukit Sangkur

Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur terletak Desa Pakraman Kembang Merta, Kecamatan Baturiti, Tabanan di salah satu bukitnya terdapat pura yang disebut Pura Luhur Puncak Sangkur yang juga disebut Pura Puncak Resi. Mengapa disebut Pura Pucak Sangkur karena pura itu berdiri di Bukit Sangkur. Yang dipuja di Pura Pucak Sangkur ini adalah Ida Batara Hyang Pasupati atau Batara Siwa. Dengan tanpa banyak mengubah kondisi alas (hutan) disana, menambah keheningan dan keangkeran Pura Puncak Sangkur.
Sejarah Pura Luhur Puncak Bukit Sangkur
Pura ini sendiri di Bukit Sangkur yang merupakan kawasan hutan yang kental dengan aura magis, yang digunakan oleh Rsi Segening, melakukan yoga, tapa dan samadhi sehingga dikenal dengan hutan Tapa Wana. Konon di sinilah beliau mencapai kesempurnaan dan moksa ke jalan Tuhan.
Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur merupakan kawasan tapa wana, dilestarikan sehingga tidak ada bangunan lain di lokasi ini kecuali terkait dengan pemujaan. Lokasi pura ini dulunya dikenal dengan tempat pertapaan Resi Segening. Seringkali orang datang memohon jabatan ataupun taksu sebagai pemimpin. Seorang spiritual yang betul-betul mendambakan suasana sunyi dan damai, Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur bisa menjadi salah satu tempat pilihan untuk melaksanakan tapa yoga semedhi. Keunikan dari pura ini adalah keberadaan Juuk Linglang (sejenis jeruk). Jeruk ini konon sudah tumbuh ratusan tahun dan diyakini memiliki khasiat tertentu yang ajaib, jarang sekali orang yang bisa mendapatkan buahnya.
Pura Pucak Bukit Sangkur ini ada kaitannya dengan berbagai Pura Kahyangan Jagat di Bali. Dalam Lontar Tantu Pagelaran diceritakan secara mitologis Gunung Maha Meru di India, puncaknya menjulang sangat tinggi hampir menyentuh langit. Kalau langit sampai tersentuh oleh puncak Gunung Maha Meru itu maka alam ini pun akan hancur lebur. Saat itu Jawa dan Bali dalam keadaan guncang atau disebut enggang enggung.
Hyang Pasupati memotong puncak Maha Meru tersebut terus dibawa ke Jawa. Pecahan puncak tersebut ditaburkan dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Pecahan Maha Meru itulah yang menjadi gunung-gunung yang berderet dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Di Jawa Timur puncak Maha Meru itulah menjadi Gunung Semeru. Setelah itu Pulau Jawa menjadi tenang. Tetapi Bali masih enggang-enggung atau guncang. Karena itu, Hyang Pasupati terbang ke Bali membawa puncak Gunung Maha Meru tersebut.


Puncaknya sekali menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan dasarnya menjadi Gunung Rinjani di Lombok. Serpihan-serpihannya menjadi gunung-gunung kecil dan bukit-bukit yang mengelilingi Pulau Bali. Setelah itu Bali menjadi tenang. Gunung-gunung kecil itu antara lain menjadi puncak Mangu, Teratai Bang, Gunung Tampud, Lempuhyang, termasuk Bukit Pucak Sangkur tempat didirikannya Pura Pucak Resi itu.
Dalam Lontar Purana Pura Pucak Resi diceritakan di zaman dahulu ada seorang suci bernama Ida Sang Resi Madura berasal dari Gunung Raung, Jawa Timur. Beliau Sang Resi juga disebut sebagai Acarya Kering. Ida Sang Resi Madura ini sering mengadakan perjalanan bolak-balik Jawa-Bali. Suatu hari dalam Yoga Semadinya Sang Resi mendapatkan suara niskala yang menugaskan Sang Resi agar menuju Danau Beratan. Sang Resi pun mengikuti suara gaib tersebut. Sang Resi diiringi oleh pembantunya bernama I Patiga. Sampai di Bali, Sang Resi menuju puncak bukit.
Di puncak bukit itulah Ida Sang Resi Madura membangun pura dengan nama Parhyangan Pucak Resi sebagai pemujaan Batara Hyang Siwa Pasupati. Setelah itu Sang Resi Madura ini mengadakan perjalanan menuju ke puncak Teratai Bang, Bukit Watusesa sampai ke Bukit Asah.


Diceritakan I Ratu Ayu Mas Maketel di Nusa Penida saat mengadakan upacara Ngeraja Sewala mendatangkan seorang pandita dari Maja Langu untuk memimpin upacara tersebut. Pandita ini bernama Ida Resi Sagening ke daratan Bali dan bermukim di Munduk Guling Klungkung. Di tempat ini beliau banyak punya pengikut. Sang Resi kena fitnah dan dikatakan akan merebut kekuasaan raja di Linggarsapura. Sang Resi pun mau dihukum mati.
Untuk menghindari hukuman itu, Ida Resi Sagening pindah ke Bukit Asah diiringi oleh sisya-sisya (murid-murid-red)-nya. Di Bukit Asah inilah beliau membangun pasraman. Atas petunjuk niskala yang diterima oleh Ida Ratu Ngurah Wayan Sakti agar Pura Puncak Asah di-pralina. Karena demikian halnya Ida Resi Sagening mohon dibuatkan Siwapakarana dan disimpan di Pasraman Taman Sari. Di pura inilah juga Ida Resi Sagening mencapai moksha.


Di sini ada bentang persekutuan gugusan kelompok Gunung Sanghyang-Gunung Lesong-Gunung Pucuk serta gugusan kelompok Gunung Adeng-Gunung Pohen – Gunung Tapak yang berada di sisi selatan Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Lalu ada lagi persekutuan gugusan kelompok Gunung (Pucak) Bon-Gunung (Pucak) Mangu/Pangelengan – Gunung (Pucak) Sangkur berada di sebelah barat Danau Buyan.
Pucak Mangu sendiri memiliki pasanakan (berkerabat) dengan Pucak Sangkur dan Terate Bang. Uniknya, masing-masing gugusan kelompok gunung itu memiliki satu palinggih pangayatan (semacam perwakilan) di Pura Pucak Mangu di ujung ketinggian puncak Gunung Mangu.
Hal yang unik dan menarik dari kawasan ini adalah keberadaan juuk linglang (sejenis jeruk) yang terletak di utama mandala. Jeruk yang konon keberadaannya telah ratusan tahun ini memiliki cerita tersendiri. Untuk saat ini juuk linglang hanya menjadi legenda yang sering diceritakan dalam drama gong. Namun, legenda itu dianggap nyata oleh masyarakat setempat.
Sebelum dilakukan rehab pura sekitar tahun 2004-2005 lalu, jeruk dengan ukuran batang besar ini berada peResis di tebing pada bagian samping lokasi pura yang saat itu masih sempit. Namun, ketika dilakukan penimbunan timbul pawisik agar jeruk ini tidak dimatikan. Akhirnya dibuatkan lubang yang bertrali agar jeruk ini dapat terus tumbuh. Uniknya batang kecil yang muncul sering hilang dan timbul kembali pada waktu tertentu.
Masyarakat sangat meyakini juuk linglang memiliki khasiat tertentu yang sifatnya ajaib. Dari buah, daun hingga kulit batang diyakini ampuh menyembuhkan berbagai penyakit, baik medis maupun nonmedis. Penanganan penyakit nonmedis paling banyak. Namun buah dari jeruk ini sukar untuk didapatkan dan konon tidak semua orang bisa mendapatkan sebagaimana halnya memetik buah jeruk biasa. Diyakini orang yang bisa memiliki buah jeruk ini merupakan orang pilihan.
Para pemedek biasanya merasa sangat beruntung ketika melihat batang kecil dengan beberapa helai daun menyembul ke permukaan. Sebab, tidak semua pemedek beruntung melihat keberadaannya yang sering hilang tersebut. Masyarakat setempat yang sering mengamati keberadaannya pada mulanya merasa heran ketika jeruk itu hilang. Saat tertentu jeruk ini menghilang dan dalam waktu yang sulit diketahui muncul kembali dengan posisi dan kondisi yang sama ketika menghilang.
Pangider Penataran Beratan Penataan bangunan pura sudah terlihat bagus. Dari wantilan, berjalan menaiki tangga yang cukup panjang barulah memasuki jaba tengah pura. Dari sini terlihat pohon besar dalam (di jeroan) pura, tak lain adalah pohon bunut dengan bentuk unik, seolah-olah menyerupai goa pada bagian batangnya.
Sesekali terlihat sekelompok kecil kera bergelantungan di diantara ranting pohon yang kokoh. Di bawah pohon ini terdapat pelinggih merupakan pelinggih pertama yang ditemukan di pura ini. Sementara pada palinggih utama di areal pura ini terdapat patung Siwa Pasupati dengan menggunakan busana kuning.
Semoga berkenan, kurang lebihnya mohon dimaklumi…Ampura Suksma Rahayu… 
Reference
1. Image : https://www.google.com/maps/
2. Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur @ https://yanartha.wordpress.com/

Sabtu, 06 Maret 2021

Ini Acuan Baik dan Buruk Hari Bila Mau Menikah






PAWIWAHAN: Upacara Pawiwahan yang dilangsungkan umat Hindu Bali beberapa waktu lalu. (dok Bali Express)





Pandemi Covid-19 yang masih merebak di tahun 2021 ini tidak menyurutkan niat umat Hindu, khususnya di Bali untuk menggelar upacara (yadnya), termasuk Pawiwahan atau pernikahan. Selain mesti ketat melaksanakan protokol kesehatan, juga harus memperhatikan hari baik (Dewasa Ayu), agar biduk rumah tangga berjalan dengan baik. Apa saja acuan menentukan baik buruknya hari pernikahan?


Ada sejumlah padewasaan yang bisa menjadi rujukan dalam upacara Pawiwahan. Pertimbangannya memperhatikan ala ayuning dewasa, lantaran pawiwahan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis. Tetapi juga bertujuan mendapatakan keturunan yang suputra.





Penyusun Kalender, Bali Gede Marayana mengatakan, penentuan dewasa Pawiwahan didasari oleh perhitungan berbagai unsur. Diantaranya wewaran, pawukon, tanggal, sasih, dan dauh. Atau biasa diistilahkan dengan Wapatangsada.


“Artinya wewaran harus baik, pawukon harus baik, tanggalnya juga baik, sasih harus baik, dan dauhnya juga baik,” ujar Gede Marayana kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (3/4) siang.

Wewaran yang baik dikatakan Gede Marayana, adalah menitikberatkan pada Saptawara atau hari-hari dalam seminggu. Diantara Saptawara yang dipilih adalah Senin, Rabu, Kamis, dan Jumat. “Hari-hari itu diyakini mengandung unsur kebaikan,” ungkapnya.

Sedangkan perhitungan Pawukon yang wajib dihindari, jika ingin menggelar upacara Pawiwahan adalah Ingkel Wong, Was Panganten, Rangda Tiga, Nguncal Balung, dan paling dihindari adalah Wuku Wayang.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI 

“Itu wajib dihindari. Apalagi Wuku Wayang dianggap cemer (kotor) untuk Pawiwahan,” imbuhnya.

Sedangkan Rangda Tiga merupakan wuku tertentu yang dianggap buruk untuk melangsungkan pernikahan. Wuku-wuku itu yakni Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail, dan Prangbakat. Ada keyakinan, jika menikah pada saat Rangda Tiga, perkawinan bisa berakhir dengan perceraian.

“Rangda itu artinya janda atau duda. Rangda Tiga artinya tiga kali menjadi janda atau duda. Artinya pernikahan akan selalu gagal,” beber Marayana.

Kemudian Was Panganten merupakan hari-hari tertentu, seperti Minggu Kliwon dan Jumat Pon wuku Tolu, Minggu Wage dan Sabtu Kliwon wuku Dungulan, Minggu Umanis dan Sabtu Pahing wuku Menail, serta Minggu Pon dan Sabtu Wage wuku Dukut. Hari-hari ini juga dianggap kurang baik untuk melangsungkan pernikahan.

Sedangkan Nguncal Balung, yakni hari sepanjang 35 hari, sejak Buda Pon Sungsang atau sehari sebelum Sugihan Jawa atau seminggu sebelum Galungan, hingga Buda Kliwon Wuku Pahang yang juga kerap disebut sebagai Buda Kliwon Pegat Wakan.

Marayana menegaskan, pada hari itu, umat Hindu biasanya dipantangkan untuk melaksanakan upacara-upacara besar, utamanya yang bersifat ngawangun, seperti Ngaben dan pernikahan.

Begitupun dengan Ingkel Wong, artinya hari-hari naas bagi manusia. “Karenanya, saat itu tidak baik melaksanakan kegiatan atau upacara yang berkaitan dengan manusia termasuk pernikahan,” imbuhnya.

Selain itu, perhitungan sasih tidak boleh diabaikan dalam menentukan hari baik melaksanakan upacara perkawinan. Disebutkan Marayana, dari 12 sasih dalam setahun, umat Hindu di Bali meyakini pelaksanaan upacara Panca Yadnya hanya boleh dilaksanakan dari Sasih Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kaulu, Kasanga, dan Kadasa.

Sedangkan Sasih Jyestha dan Sadha dikatakan sasih sebel, sehingga dihindari untuk menggelar upacara Panca Yadnya, termasuk Pawiwahan.

Tetapi untuk melaksanakan Pawiwahan, sasih yang direkomendasikan adalah Sasih Katiga, Kapat, Kalima, Kapitu, dan Kadasa.

“Sasih Katiga itu bulan Agustus-September, Kapat itu bulan September-Oktober, Sasih Kalima adalah Oktober-November. Lalu untuk Sasih Kapitu adalah Desember-Januari, dan Sasih Kadasa antara bulan Maret-April,” beber Marayana.

Kemudian terkait perhitungan dauh untuk menentukan padewasaan. “Dauh itu hanya satu hari saja. Jadi sering diabaikan,” pungkasnya.

Hari Baik Menikah 2021






Penyusun Kalender Bali, Gede Marayana. (Putu Mardika/Bali Express)

Bila ingin melaksanakan Pawiwahan (menikah) di tahun 2021, ada sejumlah hari baik (Dewasa Ayu) yang bisa jadi pertimbangan.


Penyusun Kalender, Bali Gede Marayana merekomendasikan ada beberapa tanggal yang baik bagi umat Hindu untuk melaksanakan upacara Pawiwahan di tahun 2021 ini.





Ia menyebut, khusus di Bulan Januari dan Februari memang tidak ada padewasan yang sesuai dengan wewaran, pawukon, tanggal sasih, dauh. Sedangkan di bulan Maret, yang merupakan Sasih Kedasa, ia menyebut hanya ada pada tanggal 31 Maret. “Sasih baik, hari baik, wuku baik. Hanya saja pangelong,” jelasnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (3/4) siang.


Sedangkan di bulan April, dewasa Nganten ada pada tanggal 2 April. Dimana kasusnya sama seperti Maret. Wuku, hari, dan sasihnya baik. “Nanti bisa disempurnakan padewasaannya dengan banten Pamarisudha atau Carun Dewasa,” jelasnya.

Sedangkan untuk Mei, Juni dan Juli tahun 2021 disebutnya tidak ada satupun padewasaan yang disarankan. “Sasih Karo yang biasanya bulan Juli juga belum tepat untuk upacara Pawiwahan,” imbuhnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Lanjut di Bulan Agustus, dikatakan Marayana ada sejumlah padewasaan yang direkomendasikan. Diantaranya tanggal 9, 12, dan 20 Agustus 2021. Di tanggal tersebut dikatakan Marayana, memiliki unsur yang baik. “Hanya saja tanggal 20 Agustus itu ada Was Penganten,” bebernya.

Selanjutnya di bulan September atau sasih Kapat. Ia menyebut ada dua tanggal yang dianjurkan, yakni tanggal 9 dan 16 September. Kemudian di bulan Oktober ada tanggal 8 Oktober. “Sedangkan di bulan November itu sudah tidak ada. Memang sasihnya bagus. Hanya saja Nguncal Balung. Begitu juga Desember tidak ada dewasa Nganten,” katanya.

Namun, Marayana kembali menegaskan, tradisi padewasan di Bali tidaklah kaku. Tradisi padewasan bisa diberlakukan secara luwes, sesuai dengan kepentingan yang lebih besar. “Nanti akan menyesuaikan jika ada hal-hal yang sifatnya sangat mendesak. Kembali ke iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), dan kala (waktu),” tutupnya.



Tuntunan Prosesi Pacaruan di Rumah Saat Pengrupukan






Prof. Sudiana (ISTIMEWA)





Dalam runtutan Tawur Agung Kasanga, ada prosesi upakara yang harus dijalankan di masing - masing pekarangan rumah.


Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, MSi mengungkapkan, telah mengeluarkan wewaran yang didistribusikan lewat banjar masing - masing. “Sudah ada kok pengumumannya kemarin. Tapi, jika masih ada yang belum dapat mungkin bisa saya paparkan,” jelasnya.







Untuk pacaruan di merajan atau sanggah, masyarakat diwajibkan menghaturkan banten saka sidan atau pajati di kemulan. Di ajengan palinggih menghaturkan segehan agung dan segehan cacah sebanyak 33 tanding. Segehan tersebut dihaturkan kepada Bhuta Bucari. “Itu banten untuk di sanggah ya, untuk di halaman rumah masyarakat harus menghaturkan segehan manca warna sebanyak 9 tanding. Segehan itu maulam siap brumbun, boleh yang lebeng atau makaput. Lalu, segehan itu matabuh arak berem dan toya anyar. Nah segehan dan siap brumbun itu dihaturkan kepada Sang Bhuta Raja dan Kala Raja,”terangnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Ia juga menambahkan, di pintu masuk atau gerbang rumah masyarakat diimbau menancapkan sebuah sanggah cucuk dan dihaturkan banten peras, daksina , tipat kelan, dan arak berem serta toya anyar. Lalu, di bawah dihaturkan segehan cacah sebanyak 100 tanding maulam jejeroan matah dan segehan agung matabuh arak berem dan toya anyar. “Untuk banten di depan rumah dihaturkan kepada Sang Kala Bala dan Sang Bhuta Bala,” terangnya.

Usai maturan pacaruan di lingkungan rumah dan merajan, lanjutnya, masyarakat yang telah menek kelih harus natab banten pabeyakala, prayascita, dan sasayut di halaman rumah. Kenapa diwajibkan natab? “Natab itu sebagai prasarana pembersihan. Setelah natab, barulah melaksanakan Mabuu buu. Caranya dengan menyulut kraras atau obor dan membuat berbagai bunyi - bunyian ,” tandasnya.



(bx/tya/yes/JPR)

Rabu, 03 Maret 2021

Pelaku dan Saksi Pembunuhan Wajib Bikin Palinggih Dewa Hyang






MIRIP : Bangunan Palinggih Dewa Hyang di Desa Kayuputih, Buleleng, mirip seperti bangunan perumahan. (Dian Suryantini/Bali Express)



Selain memiliki tradisi unik seperti perayaan Imlek, masyarakat Hindu Desa Kayuputih di tiga klan di Buleleng, juga punya kepercayaan yang hingga kini dipegang tegu, yakni menyungsung atau memuja Hyang Dewa. Jadi, Hyang Dewa yang dimaksud adalah manusia. Bukanlah Dewa.


Kepercayaan memuja Hyang Dewa ini, hingga kini asal usul munculnya kepercayaan tersebut belum ditemukan referensinya. Namun, masyarakat di Desa Kayuputih sangat mempercayainya hingga kini.



Ketika Bali Express (Jawa Pos Grup) berkeliling di desa Kayuputih, hampir setiap rumah memiliki Palinggih Dewa Hyang. Uniknya, palinggih tersebut tidak seperti palinggih yang dibuat seperti di pura atau merajan. Namun, lebih mirip seperti sebuah rumah.


Dalam satu bangunan palinggih Dewa Hyang itu, ada yang memiliki dua kamar. Ada pula yang satu kamar. Dalam satu kamar itu bisa terdiri dari satu atau dua Bale Pamereman. Tempat itu diibaratkan sebagai tempat tidur atau tempat peristirahatan Dewa Hyang.

Konon menurut cerita para tetua, pemujaan terhadap Dewa Hyang itu muncul ketika ada kasus pembunuhan. Dan, yang dibunuh merupakan orang yang tidak bersalah. Rohnya akan mengganggu setiap orang yang terlibat dalam tragedi itu. Semisal, ada seorang pria yang dibunuh oleh seseorang yang sedang mabuk minuman keras (alkohol).

Tersangka yang mabuk tersebut meminjam sesuatu kepada warga lain yang digunakan untuk membunuh. Kemudian aksi pembunuhan tersebut disaksikan oleh beberapa orang warga lainnya. Secara otomatis, tersangka, warga yang dipinjami alatnya, dan yang menyaksikan akan menyungsung atau memuja roh dari korban itu.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Meskipun tidak terlibat langsung, walau hanya melihat saja, itu sudah harus nyungsung juga. Walau tidak sengaja. Yang jelas tau, melihat atau sekadar lewat. Itu sudah dianggap terlibat walau sebenarnya tidak tau apa-apa,” tutur Klian/Bendesa Adat Kayuputih Ida Bagus Wisnem.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Jro Mangku Parmi, pemangku Konco di Desa Kayuputih. Hampir sebagian masyarakat di desa Kayuputih memiliki Palinggih Dewa Hyang. Mereka yang memiliki palinggih tersebut diyakini sebelumnya mengalami sakit dan diharuskan untuk menyungsung Dewa Hyang. Jika menolak, roh tersebut akan ters mengganggu dan tidak akan membiarkannya hidup tenang.

“Yang punya palinggih itu pasti sebelumnya mengalami sesuatu. Pasti itu. Saya pun juga punya. Tapi dari silsilah keluarga kami, tidak ada seorang pembunuh. Kemungkinan leluhur kami di zaman dahulu sekali pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan. Itu akan kelihatan sekarang. Semua dicari. Kalau tidak mau buat palinggih atau nyungsung ya mau tidak mau, harus rela kesakitan terus. Bahkan sampai ada yang meninggal,” tuturnya.

Salah satu warga di Desa Kayuputih, yang namanya tak mau disebutkan lengka, Kadek, tak luput dari kepercayaan itu. Nampak di rumahnya terdapat satu Palinggih Dewa Hyang.

Menurut ceritanya, ada salah satu keluarga yang sakit. Telah berobat ke dokter, namun tidak sembuh. Setelah ditanyakan ke orang pintar atau dukun, ternyata minta dibuatkan Palinggih Panyungsungan Dewa Hyang.

“Saya punya satu. Dahulu ada keluarga yang kesakitan juga. Entah bagaimana ceritanya, keluarga saya bisa nyungsung. Yang jelas setelah ditanyakan ternyata ketagihan nyungsung. Maka kami buatkan satu. Baru-baru ini kami buat. Astungkara setelah dibuatkan, keluarga saya jadi tenang,” terangnya.

Palinggih Dewa Hyang tidak saja dibangun di pekarangan rumah. Namun ada yang membuatnya di lahan khusus. Sehingga dari luar nampak seperti bangunan perumahan yang dihuni oleh warga. Bentuknya sangat mirip dengan rumah. Ukurannya pun hampir sama dengan rumah-rumah subsidi yang dibangun oleh pengembang perumahan.