Senin, 30 November 2020

Korupsi Menurut Perspektif Hindu Dan Hukumnya

 Secara etimologi Korupsi dalam bahasa Yunani berarti “corruplate” yang artinya mengambil atau mencuri barang orang lain tampa ijin sang pemilik. Dalam bahasa latin Korupsi sama dengan “Corruptio” yang artinya rusak atau busuk atau menyogok, memutar balikkan, menggoyahkan. 



Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI.Online) Korupsi yaitu penyelewengan atau penyalagunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (KBBI Daring, Online. Diakses tanggal 14 Februari. Pukul 12:58 Wib)




Foto: Mutiarahindu.com
Dari penjelasan diatas, mutiara hindu dapat menyimpulkan bahwa Korupsi adalah tindakan mencuri, mengambil, merusak, barang orang lain tampa sehingga merugikan orang lain.


Korupsi Menurut Pandangan Hindu


Korupsi dalam agama hindu dapat dipandang sebagai tindakan yang melawan Dharma atau Hukum Rta. Dalam konsep Tri Kaya Parisudha, maka korupsi adalah tindakan yang tidak benar karena melanggar Manacika (berfikir yang benar), Wacika (berkata yang benar) dan Kayika (berbuat yang benar).


Kemudian jika kita memperhatikan etimologi diatas korupsi adalah bagian dari Panca Ma yaitu lima tindakan (perbuatan) yang dapat menjauhkan manusia dari jalan dharma sehingga terjerumus kedalam kegelapan. Ada pun dari kelima bagian-bagian Panca Ma adalah (1) Madat (mengisap candu seperti narkoba), (2) Memunyah (mabuk-mabukan akibat minuman keras atau sejenisnya), (3) Metoh atau juga disebut Memotoh yaitu perbuatan Judi, (4) Madon (gemar bermain perempuan, memitra atau bersina), dan Mamaling (mencuri atau korupsi).


Mamaling sama halnya dengan korupsi yaitu mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan sang pemilik. Mamaling juga dapat diartikan tindakan yang melanggar hukum negara maupun hukum rta sebab merugikan orang lain.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Korupsi dalam agama hindu juga merupakan tindakan yang melanggar Catur Purusa Artha dimana seseorang harus mengutamakan Dharma (kebenaran) untuk memperoleh Artha (harta benda) dan Kama (keinginan) demi mencapai tujuan hidup yakni Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma (kebahagian di dunia dan akhirat).


Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah kondisi yang terbangun karena melawan hokum kerja (rta) dimana sang koruptor ingin mendapatkan sesuatu bukan dari hasil kerja keras sehingga merugikan negara. (Sri Wedari.2015:14)


Penyebab Orang Korupsi Menurut Hindu


Perbuatan korupsi di Indonesia saat ini sangat banyak terjadi di kalangan pemerintah negara. Hal ini terjadi karena penggunaan wewenang dan kebijakan diluar hukum. Dampak dari hal ini adalah negara mengalami kerugian sehingga pembangunan sumber daya manusia semakin terhambat. Tindakan seperti ini tentunya tidak sesuai dengan ideology negara yakni mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.


Tindakan kejahatan seperti ini, bukan hal yang biasa, dalam kitab suci agama hindu telah diprediksi bahwa di Jaman Kali Yuga ini, kejahatan akan lebih banyak dari pada kebaikan dimana kejahatan 75 persen sedangkan kebaikan hanya 25 persen. Selain itu, penyebab orang korupsi yakni tidak adanya pengendalian terhadap Sad Ripu yang ada dalam diri setiap manusia. Ke enam musuh tersebut yakni (1) kama yaitu nafsu atau keinginan yang berlebihan sehingga melampau batas kemampuan; (2) Tamak atau sifat rakus yang ada pada diri manusia; (3) Krodha yaitu sifat marah yang terlalu berlebihan; (4) Moha yaitu sifat bingung atau awidya; (5) Mada yaitu sifat mabuk baik karena harta mau pun keinginan atau minuman; dan (6) Matsarya yaitu sifat dengki atau iri hati.


Ke enam sifat diatas dapat mengakibatkan runtuhnya kemulian (seperti Korupsi) manusia. Selain itu dugaan lain yang dapat membuat orang korupsi yakni, bahwa karena tingginya tingkat materialisme tanpa adanya kendali kerohanian ataupun sentuhan spiritual. Untuk itu, perlu adanya penegakan “dharma”. Sebab, Tanpa dharma, maka korupsi akan terus terjadi. Tanpa dharma maka manusia yang menyimpang dari undang-undang, peraturan dan sebagainya. Manusia akan berhadapan dengan polisi, jaksa, hakim dan pejabat justisi lainnya.


Hukum Pelaku Korupsi Menurut Pandangan Hindu


Telah dijelaskan diatas bahwa korupsi adalah tindakan yang melawan hukum rta atau dharma. Sehingga perlu adanya penegakan kembali seperti disebutkan dalam Bhagavad Gita IV.8 bahwa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran dan menegakkan kembali kebenaran (dharma), maka Tuhan sendiri akan turun kedunia.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dari sloka diatas dapat dijelaskan bahwa pelaku korupsi akan mendapatkan hukuman dari Tuhan itu sendiri. Namun, belum dipastikan kapan dia akan mendapat hukuman itu. Sebab dalam agama Hindu dikenal adanya tiga jenis karma yaitu sebagai berikut:

Sancita Karmaphala yaitu perbuatan kita yang lalu masih ada sehingga menentukan hidup kita sekarang. Misalnya dahulu anda melakukan korupsi yang merugikan negara sangat banyak, sehingga anda dipenjara, dan akhirnya meninggal di dalam penjara. Pada kehidupan hari ini anda hidup menderita sebab hukuman terhadap anda dahulu belum selesai dan harus ditanggung dikehidupan sekarang.
Prarabdha Karmaphala yaitu perbuatan sekarang hasilnya dinikmati sekarang. Contoh konkrit yang dapat kita lihat yakni banyak video di media social menampilkan seseorang melakukan perampokan dan pada saat lari menyelamatkan diri justru ditabrak kendaraan.
Kriyamana Karmaphala yaitu perbuatan kita hari ini atau sekarang hasilnya akan dinikmati pada kehidupan mendatang. Misalnya saat ini, anda melakukan korupsi tetapi karena kelicikan anda akhirnya lolos dari hukuman. Pada kelahiran berikutnya anda akan mendapatkan kesengsaraan seperti kekurangan ekonomi dan lainnya atau bisa saja menjadi orang hina.

Dagang Banten Bali


Ketiga jenis karma diatas diperkuat dengan kayakinan umat Hindu dengan adanya Hukum Karma Phala yaitu hokum sebab akibat setiap karma (perbuatan) akan mendatangkan hasil atau buah, apabila karma yang diperbuat adalah karma baik maka buah atau phala yang diperoleh adalah kebaikan. Demikian pula sebaliknya bila karma yang dibuat adalah karma yang buruk maka buah Karma Phala yang diterima adalah karma buruk yang diterimah adalah hasil keburukan.


Kemudian di dalam Sarasamuccaya 267 dikatakan bahwa 


“biarpun orang berketuruna mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain, maka hilanglah kearifanya karena kelobaannya; apabila telah hilang kearifannya itu itulah menghilangkan kemuliaanya, keindahannya dan seluruh kemegahanya”. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sloka diatas mempertegas bahwa hukuman terhadap pelaku korupsi tidak memandang status social seseorang, baik itu raja, presiden, menteri atau keturunan dari orang terpandang jika melakukan korupsi, maka kemuliannya akan hilang. Hal ini dipertegas lagi di dalam Sarasamuccaya 149 yang berbunyi demikian:


“Jika ada orang yang merampas kekayaan orang lain dengan berpegang kepada kekuatannya dan banyak pengikutnya, malahan bukan harga kekayaan hasil curianya saja yang terampas darinya, tetapi juga dharma, artha dan kamanya itu turut terampas oleh karena perbuatanya, (yang mencuri malahan kehilangan lebih banya)”.



RELATED:
Pandangan Hindu Mengenai Kehamilan dan Kelahiran
Konsep Arca Menurut Veda dan Susastra Veda
Perang Asimetris Dari Mahabharata Hingga Kini
Sloka Sarasamuccaya 149 mempertegas bahwa seseorang yang mengambil barang orang lain atau korupsi akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang dilakukan. Dikatakan berat karena bukan saja hartanya yang terampas tetapi juga, kehormatanya, keinginannya dan kepercayaanya. Contoh kecilnya dapat kita lihat sekarang yakni pejabat korupsi yang akhirnya kehilangan jabatan, kekuasaan dan kepercayaannya setelah tertangkap kpk.


Di dalam hukum Hindu memang tidak ada hukum yang tertulis yang langsung menjatuhkan vonis hukuman kepada para pelaku namun hukuman tersebut sifatnya niskala yang kita tidak tahu kapan dan bagaimana hukuman itu kita terima, bisa saja pada kehidupan sekarang bisa secara langsung dan bisa juga pada kehidupan yang akan datang.


Hukuman dalam veda adalah Rta dan Dharma yang keduanya merupakan hukum dalam ilmu hukum Hindu, Rta adalah hukum alam yang bersifat abadi sedangkan dharma adalah hukum duniawi baik ditetapkan maupun tidak ditetapkan. 


Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hendaknya seseorang tidak melakukan korupsi sebab akan berdampak pada luka yang mendalam. Dalam mencari artha dan kama harus mengutamakan dharma sebab tidak ada artinya artha yang diperoleh menyimpang dari jalan dharma.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/korupsi-menurut-perspektif-hindu-dan.html
Sri Wedari, Ni Nengah. 2015. Hukum Pelaku Korupsi Menurut Hindu. Dempasar: IHDN
Yani, Komang Sri. 2015. Hukum Pelaku Korupsi dalam Hindu.Mataram: STAH GDE PUDJA.
¬_. 1991. Sarasamuccaya. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.

Pengertian Indra Brata dan Penjelasannya

 Wiracarita Ramayana digubah oleh pujangga besar Indonesia di jaman dulu yaitu Mpu Yogiswara pada tahun 925 M . Sudah tua umumya tetapi mudah mudahan masih ada gunanya dalam masa pembangunan ini. Indpa Brata adalah salah satu sloka yang pertama dari delapan sloka yang dinamai Asga Brata yang ada pada sargha XXIV Ramayana itu. Kata ASTA berarti DELAPAN dan BRATA antara lain berarti TUGAS KEWAJIBAN, AZAS/LAKU UTAMA, KETEGUHAN HATI. Karena kata BRATA ini mempunyai sedikitnya tiga arti yang semuanya tepat dalam hubungan maksud istilah ini, untuk singkatnya penulis sebutkan saja ASTA BRATA (walaupun kata-kata ini berasal dari bahasa Sanskerta). Karena terlalu panjang untuk diterjemahkan dengan DELAPAN TUGAS KEWAJIBAN, DELAPAN AZAS/LAKU UTAMA, DELAPAN KETEGUHAN IMAN sekaligus, walau maksudnya mencakup sebaris kata-kata tersebut/penulis pakai saja istilah Agta Brata. Ajaran ASTA BRATA ini tercantum di dalam buku wira carita (epos) Ramayana Jawa Kuno gubahan pujangga besar Yogiswara pada Sargha XXIV sloka 52-60, (Sudharta, 2015:1).




Dewa Indra

Ajaran ini disampaikan Oleh Sri Rama kepada sang Wibhisana pada waktu Sri Rama telah dapat menaklukkan kerajaan Alengkapura. Beliau mengalahkan raja Rawana dalam pertarungan sengit pada perang tanding yang berakhirkan dengan tewasnya raja Rawana, Sri Rama ingin menyerahkan kerajaan Alengka kepada ahli warisnya yang masih hidup, Pangeran Wibhiwana. Betapapun sakit hati Pangeran Wibhisana terhadap kakaknya raja Rawana yang telah mengusirnya dari kerajaan Alengka, betapapun kesal hatinya terhadap kakaknya yang dianggapnya bersalah melanggar norma kesusilaan dengan menculik dewi Sita, permaisuri Rama. Namun wafatnya raja Rawana adalah suatu kejadian yang sangat menyedihkan hatinya, walaupun sebelumnya kejadian ini sudah diperkirakan olehnya. Apalagi kakaknya yang kedua yaitu Kumbhakarna telah pula meninggalkannya, gugur di medan laga sebagai putra sejati dari sebuah kerajaan yang berpegang teguh sampai akhir hayatnya kepada prinsip "right or wrong is my country". Benar atau salah, negara ini adalah negaraku yang harus ku bela dan ku pertahankan sampai titik darah yang penghabisan!. Kehancuran kerajaan Alengka adalah kehancuran yang menggundahkan perasaan Pangeran Wibhisana. Kematian kedua saudara tuanya adalah kematian yang merenyuhkan hatinya. Hal ini menyebabkan Pangeran Wibhisana tidak rela menerima permintaan Sri Rama agar ia mau menduduki tahta kerajaan yang ditinggalkan kedua kakaknya. Ia tidak ingin menikmati kehidupan di atas reruntuhan negaranya. Tetapi demi kelangsungan hidup dan eksistensi kerajaan Alengka yang pernah jaya itu Sri Rama mendesak agar Pangeran Wibhisana bersedia melanjutkan kepemimpinan kakaknya. Diharapkan membina rakyai Alengka dengan gaya dan corak yang lebih baik dari kakaknya. Memerintah dengan kepemimpinan yang dituntun oleh ajaran ajaran agama, antara lain ajaran ASTA BRATA, (Sudharta, 2015:1-2).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Memang benar nasihat Sri Rama dalam bentuk Asga Brata itu hanya ditujukan olehnya kepada Pangeran Wibhisana dalam memimpin kerajaan Alengka. Tetapi pada hakekatnya ajaran itu tidak hanya bagi Pangeran Wibhisana dan tidak hanya untuk memimpin kerajaan Alengka. Ajaran itu dapat juga diperlakukan oleh setiap orang yang hendak memimpin apa saja dan di mana saja serta kapan saja setelah disesuaikan dengan desa, kala, patra yaitu disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan yang dihadapi. Karena siapakah yang tidak merupakan PEMIMPIN dalam kehidupan ini? Setiap orang adalah PEMIMPIN. Apakah ia memimpin rumah tangga, memimpin kelompok lingkungan kecil, atau besar. Memimpin sekolah yang dasar ataupun yang tinggi. Memimpin masyarakat atau negara yang kecil maupun yang besar. Memimpin pemerintahan di tingkat apapun juga. Yang terutama adalah memimpin diri sendiri, (Sudharta, 2015:2).

Dengan demikian sebagai seorang pemimpin, ajaran Asta Brata ini dapat dipergunakan sebagai salah satu pegangan dalam mensukseskan mission dalam hidup ini. Antara lain ikut menciptakan kesejahteraan dan kedamaian yang menyeluruh lahir bathin di bidangnya masing masing. Perlu kami tekankan di sini bahwa ajaran Asta Brata dan agama Hindu ini hanyalah merupakan salah satu pegangan dan. bukan satusatunya pegangan karena pegangan pegangan lainnya masih banyak ada baik di dalam agama Hindu sendiri maupun di dalam agama lainnya. Ajaran yang perlu kita gali, kita persembahkan kepada bangsa dan negara kita yang sedang berada di dalam era pembangunan di scgala bidang dan khususnya di dalam Pelita yang akan datang yang menekankan pembangunan dalam mewujudkan keadilan sosial. Dan dalam hal ini kami tertarik akan pendapat Prof. Dr. Mubyarto yang mengatakan : 

"Berjalannya sistem ekonomi (apapun namanya) tidak terlepas dari manusia-manusia pelakunya. Dalam keadaan masyarakat kita yang bersifat majemuk, nampaknya pembahasan masalah keadilan sosial, perlu lebih dikaitkan pada masalah pcndidikan moral dan agama, dan bukan hanya masalah sistem ekonomi dan struktur sosial". 

Di samping adanya ajaran moral dari kelima agama yang diakui di Indonesia, kita sudah pula mempunyai Moral Pancasila sebagai sumber masukan dalam mewujudkan, membina masyarakat adil dan makmur melalui Pelita-Pelita yang kita buat bersama. Ajaran moral dan agama Hindu yang penulis sajikan ini ialah ajaran Asta Brata yang sebagai namanya menunjukkan berjumlah delapan butir. Mudah-mudahan ajaran Asta Brata yang disajikan ini masih ada arti dan gunanya pada masa ini karena ia ditulis di Indonesia oleh pujangga besar Yogiswara pada tahun 925 M, (Sudharta, 2015:3).

Dalam kekawin Ramayana Sargha (Bab) XXIV sloka (bait) 52 pujangga Yogiswara menuliskan sebagai ungkapan permulaan dari delapan bait syair yang mengandung ajaran Asta-Brata itu sebagai berikut :

"Hyang Indra Yama Suryya Candra-anila,

Kuwera Baruna-agni nahan wwalu, 

sira ta maka-angga sang bhupati, 

matang nira inisti agabrata".

Terjemahan:

"(Brata) dewa Indra, Yama, Suryya (Matahari), Candra (Bulan), Anila (Angin), Kuwera, Baruna, dan Agni (Api) adalah delapan (brata) yang bernama Asta-Brata yang seharusnya dihayati oleh seorang pemimpin agar meresap dalam jiwa raganya", (Sudharta, 2015:3). 



Kata Dewa dalam agama Hindu berasal dari kata Sanskerta Div yang berarti sinar, cahaya yang sama dengan kata Day (Inggris) atau Tag (Jerman) atau Daag (Belanda) yang berarti hari yaitu bagian waktu yang mempunyai cahaya. Dengan demikian kata Dewa berarti Ia yang mempunyai sinar atau memberi sinar atau merupakan sinar (Nur) dari Hyang Widhi (Illahi). Setiap Dewa (Nur Illahi) ini mempunyai sifat, tugas, kekuasaan dan kemampuannya masing-masing sebagai percikan dari Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Kedelapan Dewa tersebut masing-masing mempunyai sifat, kekuasaan dan tugasnya sendiri yang patut dipakai tauladan oleh seorang pemimpin. Misalnya , disebutkan dalam syair 53 :

"Nihan brata ni sang hyang Indra-alapen,

sira anghudanaken tumrepting jagat,

sirata tuladena Indrabrata,

sudana ya hudanta manglyabi rat"

Terjemahan:

"Beginilah brata dari dewa Indra yang harus diikuti yaitu memberi hujan kesejahteraan pada rakyat; anda hendaknya meniru brata Indra ini, SUDANA lah yang anda harus hujankan demi kesejahteraan rakyat". 

Disebutkan di sini bahwa hyang Indra sebagai dewa hujan. Ia mempunyai kekuasaan dan tugas untuk menghujani alam semesta, sehingga seorang pemimpin harus menghujani rakyat dengan suddna, pemberian yang baik. Dalam agama Hindu istilah DANA (Pemberian) tidak hanya berarti pemberian harta Benda (ARTHA DANA) tetapi juga pemberian PERLINDUNGAN DARI BAHAYA (ABHAYA DANA) serta pemberian PENGETAHUAN (BRAHMA DANA). Sehingga dengan demikian seorang pemimpin harus memikirkan dan "menghujani" mereka yang dipimpinnya dengan memenuhi kebutuhan mereka di bidang materi (antara lain sandang, pangan, papan). Juga memberikan perilindungan dari bahaya, memberikan rasa aman, menciptakan situasi keamanan yang mantap, sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan sehari-harinya dengan tidak ada kekhawatiran sama sekali, baik terhadap bahaya dari luar maupun yang ada di dalam lingkungannya sendiri. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Di samping itu merekapun harus dijamin atau "dihujani" dengan Pemberian Ilmu Pengetahuan. Pcndidikan mereka harus diselenggarakan, ada jaminan bahwa mereka pasti dapat pendidikan, mereka harus dapat memiliki ilmu pengetahuan yang setinggi tingginya dengan biaya yang semurah-murahnya kalau tidak dapat secara cuma-cuma. Tugas sebagai dewa Indra ialah menghujani kemakmuran, kesejahteraan lahir bathin pada rakyat. Di samping itu, sebagai sifat air hujan itu sendiri, sang pemimpin hendaknya dapat menyejukkan suasana kehidupan serta hati sanubari setiap bawahannya. Seorang pemimpin tidak boleh membiarkan hati sanubari dan kehidupan rakyat atau bawahannya menjadi gersang apalagi sampai kering kepanasan karena tidak pernah mendapatkan gerimisnya "hujan pemberian" sebagai tersebut di atas. Sebagai juga kodrat dari air hujan itu sendiri yang jalannya pasti ke bawah, hendaknya pemimpin meniru kodrat hujan itu, yaitu menyampaikan kesejukan, menyampaikan pemberian itu, tidak hanya sampai di tingkat atas saja tetapi harus juga sampai ke tingkat yang paling bawah. Dan malah kalau bisa tingkat yang paling bawah itulah yang seharusnya dapat yang paling banyak, dengan cara menghindarkan adanya kebocoran-kebocoran atau pcnyelewengan-penyelewengan di tingkat atas, (Sudharta, 2015:4). 

Di samping penyampaian segalanya itu supaya sampai ke bawah, hendaknya juga perhatian dan pengalaman pribadi supaya sampai juga ke bawah yaitu dengan seringnya pemimpin itu turun ke bawah, turun ke masyarakat. Tidak hanya menerima laporan di atas meja sambil duduk di atas kursi yang empuk. Sebagai juga sifat air hujan bisa menghanyutkan segala yang menghadang, bendungan-bendungan atau hambatan hambatan yang tidak teratur, yang diciptakan atau dibuat di luar ketentuan ketentuan yang berlaku. 

Karena itu pemimpin atau pemerintah hendaknya selalu memberi peringatan kepada semua pihak bahwa pemerintah akan bisa bertindak sebagai banjir menghantam mereka yang menghambat atau membendung jalannya pemerintahan. Baikpun dengan secara illegal apalagi dengan maksud untuk menimbulkan keresahan, ketidak amanan serta keadaan-keadaan lain yang negatif. Sebaliknya perlu diterangkan kepada mereka bahwa air atau hujan sebagai hyang Indra akan membawakan kemakmuran, kesuburan dan kesejukan hidup jika sifatnya itu dianut oleh pemimpin dan tidak dihambat-hambat oleh bawahan dengan sengaja atau tidak sengaja. Jadi dasarnya sifat, tugas dan kekuasaan dewa Indra yang perlu diikuti ialah : 


"menghujani" dengan tiga macam pemberian (dana) di atas : materi, pendidikan, keamanan; 
menyejukkan hati dan suasana masyarakat; 
menyampaikan segala "pemberian" dan perhatian sampai ke bawah; 
menghanyutkan segala rintangan dan hambatan yang dapat membahayakan. 



Inilah hakekat dari Indra Brata , brata kcpertama dari Agga Brata, (Sudharta, 2015:5).

Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2020/10/pengertian-indra-brata-dan-penjelasannya.html

Rai Sudharta, DR.Tjok. 2015. Asta Brata di abad Millenium. Denpasar: ESBE buku

Asta Brata di Keraton Surakarta Hadiningrat Solo

 Pada mulanya kraton Surakarta Hadiningrat dibangunsecara bertahap, tiap raja yang memerintah sesudah Paku Buwono II mengganti, menambah atau mengubah bangunan yang dirasa kurang cocok, disamping menambah beberapa perlengkapan yang belum ada. Panggung SONGGO BUWONO dibangun oleh raja Paku Buwono III terletak di dalam kompleks kraton serta berdekatan dengan Kori Sri Manganti. Pendirian Panggung Songgo Buwono bersamaan dengan pembangunan Kori Brojonolo dan Kori Sri Manganti. Panggung Songgo Buwono ditandai dengan titi mangsa yang menjadi tetenger atau tanda Sengkala yang terdapat dibagian atas bangunan tersebut sebagai "Nogo Muluk Tinitihan Jamna" disamping itu pada bagian atap terdapat hiasan "Nogo/ular dinaiki manusia" Sekala tulisan Jawa tersebut berarti : Nogo = 8, Muluk = 0, Nitih = 7, Jamna/manusia = 1, angka yang terkumpul adalah 8071 akan tetapi untuk dapat dipergunakan sebagai angka petunjuk tahun susunan tadi harus di balik menjadi 1708 tahun jawa atau 1782 tahun Masehi. Nama panggung Songgo Buwono tersebut juga merupakan suatu Candra Sengkala tersendiri yaitu : panggung = 8, duwur = 0, sangga = 7, buwono = 1 sehingga didapatkan 8071 dan harus di balik jika dipergunakan seabagai angka petunjuk tahun yaitu 1708 Jawa atau tahun 1782 Masehi, (Sudharta, 2015:viii).





Pura Tirtha Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Panggung Songgo Buwono merupakan penggambaran dari 8 sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja yang berkuasa agar dapat menjalankan pemerintahan secara baik. Kedelapan sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja tersebut terkenal sebagai ASTA BRATA yang merupakan suatu ajaran dari Prabu Ramawijaya kepada Bharata sebelum diwisuda menjadi raja. Asta Brata merupakan 8 pedoman pokok yang sangat ideal bagi raja yang berkuasa, kedelapan ajaran utama tersebut adalah:

1. Watak Matahari: matahari mempunyai sifat panas dan berfungsi sebagai pemberi sarana kehidupan. Seorang raja harus dapat berfungsi sebagai matahari yang dapat memberikan semangat dan kehidupan bagi rakyatnya.

2. Watak Bulan: Bulan berwujud indah serta menerangi dalam kegelapan. Seorang raja harus dapat berfungsi seperti bulan yaitu memberi penerangan serta dapat membimbing rakyatnya yang berada dalam kegelapan.

3. Watak Bintang: Bintang mempunyai bentuk yang manis serta dapat menjadi pedoman bagi mereka yang kehilangan arah. Dalam hal ini raja harus dapat berfungsi sebagai contoh/teladan serta menjadi panutan bagi masyarakat.



4. Watak Angin: Angin bersifat mengisi ruangan kosong. Seorang raja harus dapat bertindak secara teliti dan bijaksana disamping harus dapat menyelami kehidupan masyarakat.

5. Watak Mendung: Mendung merupakan sifat menakutkan akan tetapi bila hujan telah turun dapat bermanfaat bagi masyarakat. Seorang raja harus dapat berwibawa kepada rakyatnya.

6. Watak Api: api mempunyai sifat tegak serta dapat membakar apa saja. Seorang raja harus dapat bertindak adil, mempunyai prinsip disiplin, tegas dalam bertindak.

7. Watak Mamudra: Samudra bersifat luas dan mampu menampung segala macam bentuk isi. Seorang raja harus memiliki pandangan yang luas serta sanggup menerima segala macam persoalan. 

8. Watak Bumi : Bumi memiliki sifat suci serta sentosa. Dalam hal ini seorang raja harus mempunyai sifat yang jujur, berbudi luhur serta mau memberi anugerah kepada siapa saja yang telah berjasa kepada negara. 

Demikianlah 8 asas kepemimpinan yang terdapat dalam Asta Brata yang memiliki makna mendalam bagi setiap raja, sebab bila seorang raja tidak melaksanakan ASTA BRATA berarti dia sebagai raja yang tak bermahkota dan ini berarti dia sebagai raja yang tidak baik. 

Pendirian Panggung Songgo Buwono erat sekali hubungannya dengan ajaran Asta Brata ini, karena pendirian bangunan ini mengandung suatu tujuan untuk mengingatkan kepada raja yang memerintahkan akan adanya 8 sifat utama yang harus dimiliki. Pada bagian atas bangunan Panggung Songgo Buwono terdapat suatu ruangan yang disebut "Tutup Saji" di tempat ini merupakan tempat pertemuan antara raja Paku Buwono dengan Nyai Roro Kidul, (Sudharta, 2015:ix).

Dengan adanya perkawinan mistis tersebut kewibawaan raja menjadi bertambah besar. Adanya perkawinan ini telah menempatkan raja bukan hanya sebagai manusia biasa melainkan manusia yang memiliki kekuatan gaib "supra natural". Pembangunan Panggung Songgo Buwono tersebut erat sekali hubungannya dengan mithos tentang perkawinan antara Nyai Roro Kidul dengan raja-raja yang berkuasa di Surakarta. 


Demikianlah antara lain isi Kakawin Ramayana secara ringkas yang tidak sedikit mengandung ajaran-ajaran kesusilaan dan kebajikan. Di dalam 2.771 baitnya tersimpan ajaran-ajaran hidup yang sangat bernilai dalam bidang politik pemerintahan, strategi perang, amanat penderitaan rakyat, kehidupan sosial serta ajaran etika dan agama yang semuanya disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa wiracarita Ramayana merupakan satu sumber kepribadian bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Poerbatjaraka yang menyatakan bahwa dalam Ramayana "banyak pelajarannya, indah-indah perhiasannya, lagi gagah bahasanya. Seumur hidup belum pemah saya membaca kitab Jawa (Kuna) yang memadai kitab Ramayana", (Sudharta, 2015:ix).

Referensi:

Sudharta, Dr. Tjok Rai. 2015. Asta Brata di Abad Millenium. Denpasar: ESBE buku.

Pengertian Dāśa Mahāvidyā dan Bagian-Bagiannya

 CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Seperti halnya Śrī Visnu bertugas sebagai pemelihara turun ke dunia dengan mengambil peran sebagai avatāra. Śiva sebagai pelebur dengan 11 perbanyakan Rudranya. Begitu pula Śakti sebagai aspek kekuatan Brahman, personafikasi dari alam material, mother nature (prakriti) atau energi kosmos juga memiliki 10 perbanyakannya-sebagaimana dikumandangkan di dalam Markandeya Purāna dan Devī Bhāgavatam Purāna. 10 wujud devī ini diantaranya:
.

Foto; mutiarahindu.com

1. Kāli - Bentuk akhir dari Brahman, "Devourer of Time" (Hakekat Waktu)
.
2. Tārā - Devī sebagai Pemandu dan Pelindung, atau "Yang Menyimpan". Dalam tradisi Chinese Bhuddhist, Dewi Tārā dikenal sebagai Kwan Yin berpasangan dengan The Great Buddha, Avalokiteshvara.
.
3. Tripurā Sundari (Shodashi) - Sumber keberadaan keindahan dan kecantikan; "Tantric Parvati" atau "Moksha Mukta"
.
4. Bhuvaneshvari - Sebagai Ibu Dunia — alam kosmos ini adalah tubuh ilahi sang devī
.
5. Bhairavi - Penggambaran ibu Durga yang menakutkan.
.
6. Chinnamasta - Devī yang memenggal kepalanya sendiri dan juga meminum darahnya sendiri dari kucurannya. Sosok tubuh tanpa kepala adalah methapora yang digunakan dalam dunia spritual (methaphor yogic) dalam tantrisme.


.
7. Dhūmāvatī - Adalah kekuatan penderitaan (the power of suffering) — Dhūmāvatī muncul sebagai the negatif powers of life seperti: kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, ketidakjujuran, pertengkaran dan sejenisnya.
.
8. Bagalamukhi - Devī "penghipnotis", alam material ini ter-cover oleh ilusi (māyā) yang menyebabkan setiap insan hidup lupa akan kedudukan sejatinya.


9. Matangi - Inner knowledge, sumber pengetahuan; "Sarasvati devī"



10. Kamalatmika - Sebagai sumber dari kemahsyuran dan kemewahan; "Laksmī devī"
.
Guhyatiguyha-tantra dan Munda Mala Tantra mengkaitkan 10 Mahāvidyā dengan 10 Avatāra Visnu, dan menyatakan bahwa Mahāvidyā adalah sumber dari mana avatāra Visnu muncul.
.
1. Kāli = Krsna
2. Tārā = Rāma
3. Sundari = Kalki 
4. Bhuvaneshwari = Varaha 
5. Bhairavi = Narashima
6. Chinnamastha = Parasurama 
7. Dhūmāvathī = Vamana
8. Bhagalamukhi = Kurma
9. Mathangi = Buddha
10. Kamalathmika = Matsya



Reff https://www.mutiarahindu.com/2018/03/pengertian-dasa-mahavidya-dan-bagian.html
Filsafat Hindu
Markandeya Purāna dan Devī Bhāgavatam Purāna

Kisah Durga Mahishasura Mardini

 



Mahishasura Mardini adalah inkarnasi dari Devi Durga yang telah mengambil kelahiran membunuh RajaAsura, Mahishasura. Mahishasura adalah raja yang memerintah Kerajaan Mahisha atau Mahishaka. Dalam cerita pūraṇa, Mahisha adalah anak dari seorang asura, Raja Rambha, yang telah jatuh cinta dengan kerbau betina cantik bernama Shyamala. Shyamala adalah seorang putri yang menjadi kerbau karena kutukan. Rambha karena kekuatan gaibnya menjadi kerbau jantan. Mereka berubah rupa dan anak mereka, Mahisha, lahir dengan kepala kerbau dan tubuh manusia. Mahishasura memiliki kekuatan magis untuk mengambil bentuk kerbau dan manusia sesuai dengan keinginannya. Dalam bahasa Sanskṛta, mahisha berarti kerbau, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 130).

Baca: CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI






Mahishasura menghancurkan kehidupan manusia dan menaklukkan Bumi (Prithvi Lokam) serta Deva Loka (Swarga Lokam) dengan menyerang Deva Indra, Raja Deva. Semua deva dan devi mendekati Deva Viṣṇu untuk solusi. Dengan kekuasaan Tri Mūrti – Tri tunggal dari Deva Brahmā, Viṣṇu, dan Mahadeva, terjadilah penciptaan Devi Durga (Mahamaya).


Devi Durga yang menjelma dengan sepuluh lengan. Masing-masing lengan Devi Durga memiliki prajurit yang berbeda. Singa sebagai kendaraan Devi Durga menghancurkan Raksasa Mahisha. Devi Durga pergi bertarung dengan Mahisha dan pertarungan dimenangkan oleh Devi Durga. Kemenangan Devi Durga atas Mahishasura sehingga beliau dijuluki sebagai Mahishasuramardini (Orang yang membunuh iblis Mahisha). Devi Durga berhasil menyelamatkan dunia dari kehancuran. Devi Durga kemudian dikenal sebagai Bunda Alam Semesta yang mewujudkan sumber purba dari semua kekuasaan, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 131).


Dagang Banten Bali




Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/12/kisah-durga-mahishasura-mardini.html


Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.



RELATED:
Pengertian Budaya dan Jenis-Jenis Tari Keagaman
Pengertian dan Jenis-Jenis Tari Profan
Cerita Kalarau dan Terjadinya Bulan Terang (Purnama) dan Bulan Mati (Tilem)
Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Pengertian, Rangkaian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan

 



Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.





Hari raya Galungan merupakan hari suci agama hindu berdasarkan pawukon, deperingati setiap 210 hari (6 bulan) sekali yaitu pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan. Hari raya Galungan juga disebut hari Pawedalan Jagat mengandung makna untuk pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa karena telah diciptakan dunia dengan segala isinya. Selain itu juga Galungan merupakan hari kemenangan dharma melawan adharma. Hari raya Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sudah sejak abad XI. Hal ini didasasarkan antara lain :


Kidung panji malat rasmi dan pararaton kerajaan Majapahit. Perayaan semacam ini di India dinamakan hari raya Sradha Wijaya Dasami.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Di Bali sebelum pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, perayaan galungan pernah tidak dilaksanakan, oleh karena itu raja-raja pada jaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita dan umur raja-raja sangat pendek-pendek. Kemudian setelah Sri Haji Jaya Kusunu baik tahta dan juga setelah mendapatkan pawarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya, maka Galungan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan tidak ada Galungan Buwung atau tidak ada galungan batal.


Rangkaian Upacara Hari Raya Galunagan


1# Tumpek Wariga


Yaitu 25 hari sebelum Galungan yang jatuh pada hari sabtu kliwon Wuku Wariga. Tumpek wariga ini juga disebut dengan nama Tumpek Pengatag, pengarah, Bubuh, dan uduh, yang intinya mohon keselamatan pada semua jenis-jenis tumbuh-tumbuhan agar dapat hidup dengan sempurna dan dapat memberikan hasil bekal merayakan Galungan.


2# Hari Sugihan Jawa



Sugihan Jawa dilaksanakan setiap dua ratus sepuluh hari pada hari Kamis Wage wuku Sungsang yaitu 6 hari sebelum hari raya Galungan. Perayaan ini bermakna memohon kesucian terhadap bhuana agung(alam semesta). Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, jadi Hari Sugihan Jawa tersebut bukanlah hari Sugihan bagi para pengungsi leluhur-leluhur dari jawa pasca bubarnya Majapahit. Maksud sebenarnya adalah pembersihan Bhuana Agung - sekala-niskala. Dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.


3# Hari Sugihan Bali


Sugihan Bali dilaksanakan setiap 6 bulan skali pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu 5 hari sebelum perayaan Galungan. Perayaan ini bertujuan untuk memohon kesucian terhadap diri pribadi (bhuana Alit), sesuai dengan lontar Sundarigama: "Kalinggania amrestista raga tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.


4# Hari Penyeban


Penyekeban jatuh pada hari minggu/radite Paing Wuku Dunggulan yaitu 3 hari sebelum Galungan. Hari ini merupakan awal Wuku Dungulan yang bermakna patutu waspada, karena para bhuta kala (Sang Tiga Wisesa) mulai turun menggoda kemampuan dan keyakinan manusia dalam wujud bhuta Galungan. Dalam lontar sundarigama di sebutkan “anyengkuyung Jnana Sudha Nirmala” agar terhindar dari godaan-godaannya. Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang (biu) atau tape untuk bebantenan saja.


5# Hari Penyajaan Galungan


Hari penyajaan Galungan jatuh pada hari Senin Pon Wuku Dungulan, 2 hari sebelum hari raya Galunga. Hari ini dipergunakan sebagai hari persiapan membuat jajan. Juga dimaksudkan sebagai hari-hari yang patut diwaspadai terhadap godaan sangkala Tiga Wisesa dalam wujud Bhuta Dungulan. Hari penyajaan bermakna sebagai hari kesungguhan hati untuk menyambut dan merayakan Galungan. Pada hari ini umat mengadakan Tapa Brata Yoga Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajaan dalam lontar Sundarigama disebutkan : "Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.


6# Hari Penampahan Galungan


Penampahan Galungan jatuh pada hari Selasa Wage Wuku Dungulan yaitu sehari sebelum prayaan Galungan. Pada hari ini dilaksanakan untuk memotong hewan, membuat sate dan lawar untuk perlengkapan sesajen. Pada hari ini juga patut diwaspadai, karena merupakan hari terakhir bagi Sang Kala Tiga dalam wujud sebagai Amangkurat untuk menggangu manusia. Hindarkan diri dari pertengkaran agar terhindar dari godaannya. Bagi ibu-ibu dan remaja putri saat ini dipergunakan untuk mengatur sesajen yang akan dipersembahkan besoknya, sedangkan pada sore hari setelah selesai memasak diselenggarakan upacara Mabyakala yakni untuk memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri (Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll), dan bukan di luar diri kita termasuk sifat- sifat hewani tersebut.


Ini sesuai dengan lontar Sundarigama yaitu ; "Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri. Hari Penampahan Galungan inilah yang pada dewasa ini paling kehilangan makna spiritualnya yang paling penting. Konsentrasi kebanyakan keluarga membuat makanan yang enak-enak. Padahal ada upakara penting di Madya Mandala untuk Memohon Tirta dari Luhuring Akasa dalam rangka me-nyomia Buta Kala di Bhana Agung dan Alit yang sering terlewatkan. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri. Dan setelah itu dan lanjut para bapak-bapak atau pemudannya mulai memasang penjor.

Dagang Banten Bali


7# Hari Raya Galungan


Galungan jatuh pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan, merupakan puncak upacara peringatan kemenangan dharma melawan adharma sebagai hari Pawedalan Jagad dengan mempersembahkan upacara sesajen pada setiap tempat-tempat suci dilanjutkan dengan tempat sembahyang, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.


8# Manis Galungan


Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara mesima krama dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi pada hari ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia inilah misi umat Hindu Dharma. Cara menyampaikan ajaran kebenaran adalah dengan Satyam Vada yaitu mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.


9# Hari Pemaridan Guru


Pemaridan Guru jatuh pada hari Sabtu Pon Wuku Dungulan, hari terakhir Wuku Dungulan. Pada hari ini dipergunakan sebagai hari penyucian diri dan dilanjutkan dengan memohon keselamatan ditandi dengan memakan sisa yajna berupa tumpeng guru secara bersama-sama sekeluarga. Maknanya pada hari ini dilambangkan dengan kembalinya Dewata-dewati, pitara-pitari, para leluhur ke tempat payogannya masing-masing dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang, dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Di beberapa daerah dibali biasanya dilakukan dengan sarana banten "tegen-tegenan" yang berisi hasil bumi berupa padi, buah-buahan dan aneka rupa jajanan yang tujuannya diperuntukkan untuk memberikan bekal kepada para leluhur yang akan mantuk kembali ke sunya loka.


Pengertian Kuningan


Hari Kuningan merupakan hari suci agama Hindu yang dirayakan setip 6 bulan sekali atau 210 hari sekali, yaitu setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Kuningan, 10 hari setel;ah hari raya Galungan, dan Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditunjukan pada para dewa agar turun melaksanakan penycian serta mukti atau menikmati sesajen-sesajen yang dipersembahkan. Penyelenggaraan upacara kuningan disyaratkan supaya dilaksanakan semasih pagi dan tidak dibenarkan setelah matahari condong kebarat. Semua upacara sebagai simbul kesemarakan, kemeriahan, terdiri dari berbagai macam jejahitan yang mempunyai simbolis sebagai alat-alat perang yang diperadegkan seperti tamiyang kolem, ter, endogan, wayang-wayang, dan lain sejenisnya. Tujuan pelaksanaan upacara Kuningan ini adalah untuk memohon kemerosotan, kedirgahyun serta perlindungan dan tuntunan lahir batin.



RELATED:
Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati
Pengertian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu
Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu
Makna Hari Suci Galungan


Penjelasan Hari Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama, di mana hari raya ini dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata ‘Dungulan’ yang artinya menang atau unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan). Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.


Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.



Sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan, dan penampahan. Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu Budha Pon wuku Sungsang yang sering disebut Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut. Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah Sugian Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang yang bermakna sebagai media untuk menyucikan diri pribadi. Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan untuk memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan yang maknanya dalam hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Hari Raya Galungan. Perayaan ini biasanya diakukan persembahyangan di pagi hari dan setelah itu semua orang keluar ke jalan dengan berpakaian baru yang indah, mengunjungi sanak saudara dan handai tolan, sambil menikmati kebesaran hari raya tersebut dan bersyukur atas segala berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa.


Makna Hari Suci Kuningan


Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Di hari Raya Kuningan yang suci ini diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Masyarakat Hindu di Bali yakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan Pitara kembali ke sorga.


Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Ada beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.



Pada hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih kita sebagai umat manusia atas anugrah yang telah diberikan Hyang Widhi, sesajen itu berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Tamyang ini mengingatkan manusia pada hukum alam, bila alam lingkungan kita jaga dan pelihara itu semua akan mendatangkan anugerah dan kemakmuran, namun sebaliknya bila alam dirusak akan menimbulkan bencana dan petaka buat kita dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari Kuningan ini umat Hindu khususnya di bali, diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang Widhi.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Seluruh umat Hindu yang ada di Bali melakukan upacara adat Hari Raya Kuningan ini tidak di wajibkan melaksanakannya di pura, apa lagi bila jarak pura terlalu jauh dari tempat tinggal. Pelaksanaan upacara ini bisa dilakukan juga dirumah mengingat waktu nya yang terlalu singkat, kebiasaaan ini menjadi salah satu adat yang terus dilestarikan hingga saat ini, Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta bumi dan alam seisinya. Dengan demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari. Jadi inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri adalah memohon keselamatan, kemakmuran,kesejahteraan, perlindungan juga tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan terlaksana seijin Hyang Widhi.

Pengertian, Makna Dan Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan

 Sebagian besar umat Hindu Indonesia belum memahami ajaran agama sesuai dengan kerangka dasar agama Hindu yakni tatwa (filsafat), susila (etika) dan upakara (upacara). Salah satu contoh misalnya jika ditanya mengenai apakah itu Hari Raya Galungan? Jawaban yang paling terbanyak adalah “kemenangan Dharma Melawan Adharma”. Namun jika ditanya lebih lanjut tentang apa yang dimaksud kalimat tersebut. Kemungkinan, sebagian besar tidak dapat menjelaskan secara rinci. Untuk itu, dalam postingan artikel ini, kami berusaha untuk mejelaskan mengenai apa itu Galungan, makna dan tujuannya. Berikut ulasannya;




Pura Aditya Jaya Rawamangun: (foto; Mutiarahindu.com)



Pengertian Hari Raya Suci Galungan


Secara etimologi Galungan artinya “Peperangan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring), Galungan adalah hari raya umat Hindu Dharma setiap 210 hari sekali, jatuh pada hari Rabu Kliwon, dua kali dalam satu Tahun (KBBI Daring. 2018. Diakses 26 April, jam 22:11). Kemudian dalam Website PHDI.or.id, Galungan adalah hari raya besar bagi umat Hindu yang diperingati setiap 210 hari. Peringatan hari raya galungan menggunakan perhitungan Pawukon yang jatuh pada Rabu Pancawara Kliwon, Wuku Dungulan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dikatakan juga bahwa “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuno berarti “Menang / Bertarung”. Galungan juga sama penjelasannya dengan Dungulan yaitu Menang. Untuk itu wuku kesebelas di Jawa disebut Wuku Galunga dan di Bali disebut Wuku Dungulan.


Runtutan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan



Galungan sudah diperingati sejak abad ke-XI, hal ini di dasarkan atas kidung panji Malat Rasmi dan Pararaton kerajaan Majapahit (Tim Penyusun, 1995:137). Kemudian di dalam Lontar Purana Bali Dvipa disebutkan bahwa Galungan pertama kali dirayakan pada hari rabu Kliwon, wuku dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama Tahun 804 saka, saat itu pulau bali bagaikan Indra Loka, (Punang Aci Galungan Ika Ngawit Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur Tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya). Pada saat itulah hari raya galungan terus dilaksanakan. Perayaan hari raya galungan memiliki Sembilan tahapan, adapun ke-9 runtutan tersebut yakni sebagai berikut: 

Tumpek Warige
Hari Sugihan Jawa
Hari Raya Sugihan Bali
Hari Raya Penyekeban
Hari Penyajaan Galungan
Hari Penampahan Galungan
Hari Raya Galungan
Hari Pemaridan Guru, Ulihan dan Pemacekan Agung
Rabu Kliwon Pahang atau Upacara Akhir Galungan



Dari ke Sembilan (9) rangkaian Hari Raya Suci Galungan diatas mengandung makna yang luhur dalam upaya meningkatkan pembinaan mental spiritual umat Hindu guna terwujudnya umat yang tangguh dan tahan uji serta penuh tanggung jawab dalam menunaikan dharama agama dan dharma negara (Susila. Dkk. 2009:238).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan


Secara umum makna pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan adalah kemenangan dharama melawan adharma. Kemenanga dharma dapat berarti telah terlaksananya kewajiban dan pekerjaan-pekerjaan yang baik dalam upaya turut mensukseskann pembangunan Nasional (Susila. Dkk. 2009:236). Kemudian dalam lontar Sundarigama dijelaskan bahwa Hari Raya Suci Galungan umumnya dikaitkan kemenangan dharma (Kebaikan) melawan adharma (Ketidak Baikan), pandangan ini di kemungkinan didasarkan pada sarana upakara yang dipakai persembahan, terutama pada saat hari Panampahan, yakni adanya anjuran merapalkan japa mantra kekebalan (pragolan) dan mengenakan busana perang (saha bhusana ning paperangan) agar berhasil dalam peperangan (phalanya jaya prakoseng perang).


Ada kemungkinan peperangan yang dimaksud itu adalah peperangan kita melawan musuh-musuh di dalam diri kita, yang lasim disebut Sad Ripu yaitu enam musuh yang ada dalam diri manusia yakni Kama, Kroda, lobha, moha, mada dan matsarya sebagi wujud adharma. Dijelaskan juga bahwa:


“Galungan ngaran pabantenan, patitis ikang jnana galang apadang, muryakna sarwa byapara ning idep”


Artinya:



“Galungan adalah persembahan sesajen, pemusatan bathin menuju titik pusat yang terang benderang, melenyapkan segala kegalauan pikiran atau batin”


Dengan demikian, Makna pelaksanaan hari Raya Suci Galungan adalah melawan dan melenyapkan segala bentuk nafsu, kemarahan, kerakusan, kebingungan, kemabukan, irihari atau pun segala titah atau hendak (sakatuduh), cita-cita (saha citta), dan tindakan (saparikrama) dengan mengarahkan batin pada kebenaran tertinggi atau dharma (Suarka. 2014: 67-68).


Makna lain dari pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan adalah untuk mawas diri, kita harus terus merenungkan siapa diri kita sebenarnya karena rwa Bhineda akan selalu ada di dalam diri kita. Manusia akan selalu dilingkupi oleh sifat Deva ya, Manusa ya dan Bhuta ya. Untuk itu jiwa setiap manusia perlu di seimbangkan guna mencapai kehidupan anandam dan santi. Pada intinya, perayaan galungan merupakan bentuk keteguhan manusia untuk terus menegakkan kebenaran (dharma) dalam diri maupun di luar diri manusia.

Dagang Banten Bali


Jika kita melihat sejarah, maka Galungan juga bermakna untuk memohon kebahagian, kesejahteraan dan panjang umur. Hal ini merujut pada kejadian Tahun 1103 -1126 Saka dimana ketika Galungan tidak dirayakan, maka para raja berumur pendek. Untuk Raja Sri Eka Jaya sebagai pemegang tahtah kerjaan selanjutnya merasa heran kenapa pejabat sebelumnya berumur pendek. Maka beliau kemudian bersemedi dan mendapatkan petunjuk dari Dewi Durga bahwa penyebab leluhurnya berumur pendek karena tidak Merayakan Hari Raya Suci Galungan. Saat itulah galungan kembali dilaksanakan dengan tradisi memasang penjor sebagai tegaknya dharma.


Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan



RELATED:
Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati
Pengertian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu
Pengertian, Rangkaian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan
Ada pun tujuan dari pelaksanaan Hari Suci Galungan adalah mengucapkan rasa syukur karena kita telah mampu melewati rangkain pelaksanaan hari raya galungan dan terbebas dari godaan Sanghyang Kala Tiga. Selain itu, perayaan hari raya galungan juga bertujuan untuk memuja para dewa dan leluhur, karena diyakini bahwa pada saat Galungan para Dewa dan Roh Leluhur turun ke dunia Beryoga di berbagai tempat, seperti sanggar, Pura, di halaman rumah, di lumbung, di dapur, di jalan masuk rumah, tugu, penghulu kuburan, penghulu desa, penghulu sawah, di hutan, di gunung, di laut dan lain sebagainya. Pada saat ini umat Hindu akan melakukan persembahyangan dan membuat sesajen persembahan (Suarka. 2014: 67).


Perayaan Hari Raya Galungan juga bertujuan menghanturkan rasa syukur dan terimah kasih kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya kepada Umat. Baik itu berupa kehidupan, tempat tinggal, alam semesta, kebahagian dan lain sebagainya. Pada saat galungan juga sangat baik untuk memohon sesuatu terhadap para dewa dan leluhur serta mendoakan keluarga, saling mengunjungi satu sama lain, saling maaf memaafkan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kesimpulan


Inti dari pelaksanaan hari Raya Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani (dharma) agar terbebas dari pikiran tidak baik (adharma). Untuk itu pada saat galungan kita perlu mengarahkan pikiran ke hal-hal positif. Menjaga toleransi, dan mengendalikan enam musuh dalam diri manusia (Sad Ripu).


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/04/pengertian-makna-dan-tujuan-pelaksanaan.html
Ngurah Nala, I Gusti. Sudharta, Tjokorda Rai. 2009. Sanatana Hindu Dharma Ida Pedanda Gde Nyoman Jelantik Oka. Denpasar: Widya Dharma.
Tim Penyusun. 1995. Buku Pedoman Dosen Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha.
Suarka, I Nyoman. 2014. Sundarigama. Denpasar: ESBE
Susila, I Nyoman. Dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu