Minggu, 31 Desember 2017

Tebasan pengenteg bayu

Peras pengambean



peras pengambean
dulang, aled kiri, kulit sayut kanan, 2 kojong rasmen
4 raka yi dapetan, pengambean, peras, sayut
kiri atas dapetan yi diatas aled raka (pisang, bantal, tape, tebu, jaja begina), 1 tumpeng, sampyan nagasari
krir bawah peras yi diatas aled kasi sejumput beras, porosan, kulit peras, nasi penek/nasin peras, raka, sampyan peras
kanan atas pengambean yi diatas kulit sayut raka, 2 tumpeng, tulung pengambean, tipat pengambean, sampyan pengambean
kanan bawah sayut yi diatas kulit sayut, 1 nasin sodan, raka, sampyan nagasari



ini tulung pengambean




ini peras pengambean untuk tumpeng 5 diisi penyeneng


Sabtu, 30 Desember 2017

TANTRA




Dagang Banten Bali


Andira Puspita Sharma
PENGERTIAN TANTRA
'Tantra' berasal dari akar kata 'tan' (menyebarkan) dengan sufiks 'strana' ditambahkan. Ada juga mengatakan berasal dari akar kata 'tatri' atau 'tantri' (mengetahui), sementara dua akar kata 'tan' dan 'tantri' dimaknai sebagai 'menyebarkan' atau 'merajut'. Dalam pengertiannya yang umum, 'tantra' bermakna sekelompok kesusastraan yang menyebarkan pengetahuan, khususnya pengetahuan mengenai hal-hal yang mendalam dengan bantuan diagram-diagram mistik (yantra) dan kata-kata yang mempunyai makna-makna esotorik (mantra), dan membantu di dalam mencapai pembebasan (moksa). Penggunaan kata 'tantra' untuk pertama kalinya ditemukan di dalam Srauta Sutra, Harivamsa, Susruta, dan Sankhya.
Tantra sastra merupakan kitab suci untuk zaman Kaliyuga. Namun, Tantra itu tetap merupakan transformasi dari Waidika Karmakanda yang dirumuskan untuk memenuhi tuntutan zaman. Siwa telah besabda, "Untuk menyempurnakan manusia di zaman Kaliyuga, ketika manusia menjadi sangat lemah dan hidupnya hanya bergantung kepada makanan, maka O Dewi, dirumuskanlah ajaran Kaula (Bab. IX, bait 12 Maha Nirvana Tantra)". Dengan pengetahuan Tantra kita akan memahami apa arti ritual, yoga dan berbagai bentuk sadhana yang lain, demikian pun memahami sebagai prinsip dan praktek yang bernilai ekspresif objektif.
Wahyu kitab suci dari paham Saiwa disebut Tantra, dan tindakan-tindakan yang dilakukan menurut aturan-aturan mereka, oleh karena itu, disebut tantrika. Istilah 'tantra' bermakna sebuah sistem ritual atau ajaran-ajaran esensial; tetapi ketika diterapkan dalam konteks spesial ini, maka ia membedakan dirinya dari tradisi yang menurunkan otoritasnya dari Weda (wahyu langsung: sruti) dan seperangkat teks-teks belakangan yang mengklim dirinya sebagai berdasarkan Weda (wahyu tidak langsung: smrti). Korpus sruti dan smrti ini menjelaskan ritus-ritus, kewajiban dan kepercayaan yang membentuk tatanan dasar atau ortodoks dan steorologi masyarakat Hindu. Orang-orang pengikut paham tantra melihat teks-teksnya sendiri sebagai wahyu tambahan dan mengkhusus (visesasastra) yang menawarkan sebuah steorologi yang lebih kuat bagi mereka yang lahir dalam tatanan eksotorik ini. Ritual-ritual tantrik tentang inisiasi (diksa) dilaksanakan untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menyebabkan lahir kembali dari karma seseorang di masa lalu di dalam skup nilai-nilai Weda.;

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


WEDA DAN TANTRAYANA
Baik Weda (nigama) maupun Tantra (agama) diterima sebagai wahyu (revelation) yang mengungkapkan pengetahuan ekstra impirik atau esotorik tentang realitas. Tantra jelas mempunyai nilai yang sangat berarti bagi peradaban India, karena ia tidak hanya bersifat teoritas tetapi juga pragmatik, menggabungkan antara Niwrtti (kebahagiaan rohani) dan Prawrtti (kebahagiaan dunia).
Menurut Weda dan Tantra, Realitas atau Prinsip Tertinggi adalah kesadaran (citi atau samvit) yang disebut Brahman atau Siwa. Hakikat Tertinggi yang disebut Brahman adalah pasif; namun Tantra memahami kekuatan tertinggi sebagai kekuatan yang aktif, memancar (vimarsa). Oleh karena itu, dunia ini dipandang sebagai pancaran sinar Siwa. Tantrayana memandang dunia sebagai sesuatu yang suci, bukan sebagai ilusi (maya), bukan pula sebagai superimposisi Brahman (adhyasa), tetapi suci karena sesungguhnya adalah vibrasi kekuatan tertinggi tersebut. Sikap Tantrayana sangat positif terhadap dunia. Kesadaran tersebut adalah pengetahuan (jñana) dan aktivitas atau dinamika spontan (kriya atau spanda) dan aspek dinamika inilah yang bertanggung jawab atas proses evolusi dan involusi alam semesta beserta segala isinya. Dinamika ini disebut juga sakti atau kriya. Hal ini berimplikasi bahwa prinsip tertinggi tersebut tidak hanya mengetahui tetapi juga bertindak atau aktif. Jika Adwaita Wedanta menganut paham Wiwarta Wada, dimana dunia dipandang sebagai maya, tidak rill sebagai superimposisi Brahman, maka Tantrayana menganut paham Abhasawada, yaitu dunia sebagai pancaran sinar kekuatan tertinggi. Kesadaran ini disimbulkan dengan wanita; dan aspek pengetahuan (jñana) dengan laki-laki. Itulah sebabnya aspek Sakti (energi) sering disebut sebagai nama-nama wanita, seperti Vama, Tripura, Bhairawi, Sundari, Sodasi, Durga, Kali, Uma, Parwati, Radha, Sita, dan sebagainya. Oleh karena itu Tantra menerima Realitas sebagai pengetahuan dan aktivitas di dalam satu konsep. Itulah sebabnya Realitas disebut Siwa-Sakti. Secara simbolis, Realitas digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai aspek laki-laki dan wanita di dalam satu figur. Konsep ini disebut Ardhanareswara di dalam ajaran Tantrisme Siwa, Yuganaddha di dalam Tantrisme Buddha dan Radha-Krsna atau Sita-Rama di dalam Tantrisme Waisnawa.
Menurut pandangan Tantrayana dunia ini bukanlah ilusi atau riil, namun adalah sebuah sinar (prakasa) dari sumber sinar yang Maha Agung (disebut Siwa). Teks-teks Tantra, seperti Tantraloka mengistilahkan hubungan dunia dengan kekuatan tertinggi sebagai sinar dengan bayangan benda pada cermin. Bayangan yang nampak di cermin tidaklah ilusi, atau riil, namun dia rill pada cermin tersebut. Di dalam teks-teks Tantra maupun Siwa dikenal dengan istilah Utpethi, Shtiti dan Pralina. Konsep dinamika (kriya) ini disajikan secara implisit di dalam kitab-kitab Upanisad, namun eksplisit di dalam teks-teks Tantra. Upanisad belum membahas aspek dinamika ini dan ini diambil oleh Tantra.
Tantra tidak bertentangan bahkan saling melengkapi dengan Weda. Weda disebut nigama atau nigamana yang berarti "deduksi"; sementara Tantra disebut agama atau agamana yang berarti "induksi". Weda diyakini sebagai bentuk wahyu dari sumber yang lebih tinggi para Rsi bukanlah penulis atau pencipta Weda; mereka semata-mata menerimanya. Oleh karena itu, ujaran-ujaran Weda dipandang sebagai hukum-hukum yang diterima dari mana konkluksi-konkluksi dideduksi. Dengan demikian pengetahuan Weda adalah deduksi (nigamana) dari hukum-hukum yang telah diterima melalui wahyu. Pada sisi lainnya, agama atau Tantra berdasarkan pada bukti-bukti pengalaman para Rsi dan Yogi. Tantra sesungguhnya adalah sebuah tradisi yoga, karena pada intinya mengandung praktek-praktek yoga. Tantra menyajikan yoga dalam berbagai bentuk, tidak satu saja. Kebhinnekaan dan kemampuan manusia di dalam mencari Prinsip Tertinggi sangat dihargai. Sebagai sebuah "teknologi spiritual", yoga dapat diterapkan di dalam berbagai keadaan dan tingkat kemampuan manusia. Oleh karena itu kedudukan dan fungsi tubuh manusia menjadi sangat sentral. Semua pencarian kebenaran melalui tubuh (bhuana alit) dan dimasyarakatkan dalam skupnya yang lebih luas. Hasil-hasil temuan di dalam Tantra tidak diungkapkan di dalam bahasa ilmiah prosaik, namun diungkapkan di dalam istilah-istilah puitik menggunakan metafora, simbol dan alegori. Para kawi-wiku sangat suka menggunakan ragam bahasa ini untuk memuja dewa pujaannya. Tradisi Tantra sangat kaya dengan simbol-simbol yang sarat dengan makna religius. Begitu kita mendengar kata 'tantra' terbayanglah simbol-simbol: seperti diagram, warna, aksara, mantra, arca, upakara, dan lain-lain.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

DEWATA NAWA SANGHA




CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI


DEWATA NAWA SANGHA
Dewata Nawa Sangha adalah sembilan gelar kemahakuasaan atau perwujudan Sang Hyang Widhi dalam fungsi dan tugas beliau sebagai penguasa alam semesta. Kesembilan kemahakuasaan Sang Hyang Widhi inilah menjaga agar dunia ini selalu sejahtera, subur dan lestari. Kesembilan kemahakuasaan Sang Hyang Widhi ini menempati kesembilan penjuru mata angin. Tiap penjuru mata angin mempunyai senjata tertentu dan urip (nilai) tertentu juga dan juga mempunyai aksara suci masing-masing. Kesembilan kemahakuasaan Sang Hyang Widhi beserta arah mata angin yang dijaga yaitu :
1. TIMUR
Dewata Penguasa Daerahnya : ISWARA.
Warnanya : Putih.
Uripnya (Nilainya) : 5 (Lima).
Senjatanya : Bajra.
Aksara Sucinya : SA.
2. TENGGARA
Dewata Penguasa Daerahnya : MAHESORA.
Warnanya : Dadu.
Uripnya (Nilainya) : 8 (Delapan).
Senjatanya : Dupa.
Aksara Sucinya : NA.
3. SELATAN
Dewata Penguasa Daerahnya : BRAHMA.
Warnanya : Merah.
Uripnya (Nilainya) : 9 (Sembilan).
Senjatanya : Gada.
Aksara Sucinya : BA.
4. BARAT DAYA
Dewata Penguasa Daerahnya : RUDRA.
Warnanya : Jingga.
Uripnya (Nilainya) : 3 (Tiga).
Senjatanya : Mosala.
Aksara Sucinya : MA.



5. BARAT
Dewata Penguasa Daerahnya : MAHADEWA.
Warnanya : Kuning.
Uripnya (Nilainya) : 7 (Tujuh)
Senjatanya : Nagapasa.
Aksara Sucinya : TA.
6. BARAT LAUT
Dewata Penguasa Daerahnya : SANGKARA.
Warnanya : Hijau.
Uripnya (Nilainya) : 1 (Satu).
Senjatanya : Angkus.
Aksara Sucinya : SI.
7. UTARA
Dewata Penguasa Daerahnya : WISNU.
Warnanya : Hitam.
Uripnya (Nilainya) : 4 (Empat).
Senjatanya : Cakra.
Aksara Sucinya : A.
8. TIMUR LAUT
Dewata Penguasa Daerahnya : SAMBU.
Warnanya : Biru.
Uripnya (Nilainya) : 6 (Enam).
Senjatanya : Trisula.
Aksara Sucinya : WA.
9. TENGAH
Dewata Penguasa Daerahnya : SIWA.
Warnanya : Pancawarna.
Uripnya (Nilainya) : 8 (Delapan).
Senjatanya : Padma.
Aksara Sucinya : I dan YA.


Men Tiwas lan Men Sugih

Dagang Banten Bali

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Men Tiwas teken Men Sugih
#menggalisatuabali
Ada katuturan satua Men Tiwas teken Men Sugih. Men Tiwas buka adane Ia mula tiwas pisan. Gegaene tuah ngalih saang kaalase. Kerana Ia tuah megae ngalih saang, apa tuara gelahanga. Kadirasa baas lakar jakan jani Ia tuara ngelah.
Yadin Ia tiwas buka keto nanging solahne melah, demen ia matetulung, jemet maturan, lan setata mabikas sane beneh. Len pesan teken Men Sugih. Men Sugih mula saja buka adane Ia sugih pesan nanging bikasne jele. Sombong, demit, jail teken anak tiwas, miwah setata mabikas jele.
Sedek dina anu ritatkala Men Tiwas nyakan, ia tusing ngelah api. Kemu lantas Ia ka umah Men Sugihe ngidih api.
“Mbok mbok ngidih ja tiang apine” keto Men Tiwas makaukan
“Ngujang nyai mai ngdidih api? Kanti api nyai sing ngelah?” keto pasutne Men Sugih sada bangras pesu uling jumahan umahnee.
“Tiang lakar nyakan mbok nanging tusing ngelah api jumah”


“Nah lakar kebaang nyai api, kewala opin malu ngaliin kutu di sirah wakene. Aliin nganti kedas sirah wakene nyanan baanga ja upah baas acrongcong” keto pesautne Men Sugih. Nyak lantas Men Tiwas ngaliin kutune Men Sugih nganti tengai mare suud. Men Tiwas lantas baanga upah baas acrongcong teked jumahne baase ento jakana. Sesampune Men Tiwas mulih, Men Sugih nyiksikin sirahne lan bakatanga kutu aukud. Gedeg basange Men Sugih kerana makatang kutu aukud. Kemu lantas Ia ka umah Men Tiwase.
“Eh Nyai jelema tiwas, tolih ne wake makatang kutu aukud di sirah wakene. Mai jak baase ne baang wake busan!” keto Men Sugih ngomong neked jumahne Men Tiwas.
“Baase busan suba bakat jakan tiang mbok” Men Tiwas nyautin.
“Nah ento suba mai aba, kadong ja suba dadi nasi!” lantas Men Sugih nyemak baase ane lakar lebeng dadi nasi ento.
“Nyai masi busan ngidih api teken wake, jani saange ne misi api ene jemak wake aba mulih!” Men Sugih merondong nasine Men Tiwas ane makiken lebeng lan saange ane misi api abane ke umahne. Men Tiwas tusing ngidaang ngomong apa. Ia tuah ngidaang bengong ningalin tingkahne Men Sugih sambilanga naanang basangne seduk.
Buin manine Men Sugih nundenin Men Tiwas ngopin nebukang padi lan nyanjiang upah baas duang crongcong. Men Tiwas nyak nebukang padine Men Sugih. Nganti tengai mare ia suud lan baanga upah baas duang crongcong teken Men Sugih. Sesampune Men Tiwas mulih, Men Sugih maliin baasne lan bakatanga latah dadua. Gedeg pisan Men Sugih lantas Ia kemu ka umah Men Tiwase lakar nuntun Men Tiwas.
“Eh nyai Men Tiwas, mula saja nyai tusing bisa magarapan. Ibi tunden ngaliin kutu tusing kedas. Jani tunden nebuk padi, ne tolih wake maan latah dadua. Kerana nyai tusing melah nyemak gae, jani mai aba baase ane wake baang teken nyai I nuni semeng!” keto omongne Men Sugih dawa malemad.
“Kenkenang tiang nguliang mbok, baase suba jakan tiang lan mekiken lebeng” Men Tiwas mesaut.
“Nah ento suba mai aba!” Men Sugih merondong baase ane mekiken lebeng ke umahne. Men Tiwas engsek atine ningalin tingkah Men Sugihe buka keto. Sing kerasa ngetel yeh paningalane ngenehang basang seduk uli semengan tusing misi apa, jani buin kajailin olih Men sugih.
Sedek dina anu Men Tiwas kemu ka alase ngalih saang teken paku. Sedek iteha ngalih paku di bet-bete saget teka kidang kencana.
“Eh Men Tiwas, apa kaalih ditu?” keto Sang Kidang metakon. Men Tiwas makesiab nepukin ada kidang bisa ngomong.
“Tiang ngalih saang teken paku nika jero Kidang” pesautne Men Tiwas sada ngejer.
“Anggon gena ngalih keketo?”.
“Lakar adep tiang nika, yen ada sisa wawu ja anggen tiang jumah”.
“Eh Men Tiwas, yen nyai nyak nyeluk jit nirane, ditu ada pabaang nira tekening nyai!”. Men tiwas lantas nyak nyeluk jit kidange ento. Mara kedenga limane bek misi emas. Kendel pesan Men Tiwas maan mas bek pesan. Mara konanga Men Tiwas lakar ngaturang suksma teken Sang Kidang, lautan Sang Kidang suba ilang.
Men Tiwas ngaba emase ento mulih. Prejani Men Tiwas dadi anak sugih. Ia teken pianakne mekejang nganggo bungah dugase mablanja ka peken. Men Sugih iri ningalin Men Tiwas lan pianakne makejang makronyoh nganggo mas. Kisi-kisi ia matakon teken Men Tiwas.
“Men Tiwas, dija nyai maan emas kene ebekne?”
“Kene mbok, ibi tiang ngalih saang teken paku. Saget teka kidang bisa ngomong nunden nyelek jitne. Nyak lantas tiang, mara kedeng adi bek limane misi emas” keto Men Tiwas nyatuaang undukne ibi. Ningeh satuane Men Tiwas buka keto, ngencolang ia mulih lan mapanganggo buka anak tiwas. Men Sugih lantas kemu ke alase lan manyaru buka anak tiwas. Teka lantas Sang Kidang lan nakonin Men Sugih.
“Eh jadma tiwas ngudiang nyai ditu krasak-krosok? Apa kaaliah?”.
“Uduh jero Kidang, tiang niki durung ngajeng. Awinan nika tiang driki ngalih saang lan paku lakar adep tiang lan pipisne anggon tiang meli baas” Men Sugih melog-melogin Kidang Kencana.
“Lamun keto lan seluk jit nirane, ditu ada pabaang nira”. Nyak lantas Men Sugih nyelek jit kidange ento. Kendel pesan kenehne kadenanga lakar maan mas. Nanging pas seluka jit kidange, Sang Kidang ngijemang jitne. Men Sugih paida abana ka dui-duine nganti awakne telah matatu.
“Uduh tulung tulung! Tiang kapok, tiang kapok!” keto Men Sugih makuuk kesakitan. Mare neked di pangkunge mare elebanga Men Sugih. Men Sugih tusing nyidaang naanang sakit lantas ia pingsan. Disubane ingetan megaang ia mulih. Teked jumahne ia gelem keras lantas ngemasin ia mati.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Jumat, 29 Desember 2017

Doa selesai makan Hindu




Dagang Banten Bali

Doa selesai menilmati makanan 

Om OM, Dhirgayurastu, Awighnamastu, Subham Astu

Eklavya

Dagang Banten Bali




Eklavya. Ayahnya adalah seorang kepala suku di kerajaan Hastinapura. Eklavya adalah anak yang sangat pemberani dan selalu jujur serta adil. Meskipun semua orang yang mengenalnya mencintainya, namun ekalavya tetap merasa tidak bahagia.
Tak lama kemudian ayahnya menyadari ada sesuatu yang membuat Eklavya merasa tidak bahagia. Dia sering mendapati anaknya termenung dalam pikiran, meski seolah - olah Ekalavya sedang melakukan sesuatu yang dia sukai. Suatu hari dia bertanya kepada anaknya, 'Eklavya, mengapa kamu tidak bahagia? Apakah kamu tidak tertarik untuk berburu? Kenapa kamu tidak pergi dengan teman-temanmu dan menikmati hari dengan bermain dan berburu di hutan? "
Eklavya terdiam beberapa saat, lalu dia berkata, Ayah, aku ingin menjadi pemanah dan ingin diajari oleh guru besar Hastinapura yang hebat, yaitu Guru Dronacharya. Gurukul adalah tempat dimana Guru Dronacharya mengajar, tempat dimana penuh keajaiban, tempat di mana dia mengajar anak laki-laki sederhana seperti diriku dan segera mengubahnya menjadi pejuang yang pemberani dan gagah perkasa.
Ayah Eklavya kemudian terdiam. Melihat wajah ayahnya yang termenung Ekalavya segera berkata, "Ayah, aku tahu apa yang engkau pikirkan. Kita berasal dari suku yang hidup dari berburu, tapi aku tidak ingin tetap menjadi pemburu sepanjang hidupku. Aku ingin menjadi seorang pejuang yang gagah perkasa. Maukah engkau mengizinkanku untuk meninggalkan rumah dan pergi menuju Guru Dronacharya di Gurukul ?
Ayah Eklavya khawatir. Dia tahu bahwa apa yang diimpikan anaknya tidak akan menjadi sesuatu yang mudah. Dan pada kenyataannya hal itu bisa menjadi sesuatu yang tidak pernah dia miliki. Tapi dia sangat mencintai anaknya dan tidak mau menolak keinginannya. Jadi dia memberkati anaknya serta mendoakannya untuk menjadi sukses dan kemudian ia pun memberikan restu Eklavya untuk pergi ke gurukul , belajar dari Guru Dronacharya sendiri.
Eklavya berangkat ke gurukul dan segera sampai di sebuah tempat, dimana tempat itu adalah hutan tempat dimana Guru Dronacharya sedang mengajar memanah kepada para pangeran kerajaan Hastinapura.
Pada masa yang lalu, gurukul adalah tempat belajar yang paling sakral. Tidak ada sekolah atau perguruan tinggi menyamai kesakralan tempat ini, dan gurukul adalah tempat para guru dan murid tinggal bersama. Saat Eklavya sampai di Gurukul, dia bisa melihat beberapa gubuk yang dikelilingi beberapa pohon dan memiliki halaman yang dimaksudkan untuk latihan memanah. Murid-murid Dronacharya sedang berlatih menembakkan anak panah dengan menggunakan busur mereka di dalam halaman latihan. Eklavya terpesona saat melihat tapi dia masih mencari Guru Dronacharya. Dimana calon gurunya itu? Apakah dia bisa bertemu pemanah terbaik di kerajaan pada akhirnya? Jika tidak bisa bertemu Guru Dronacharya, tidak akan ada artinya bagi Eklavya untuk berada di gurukul. Bahkan saat Eklavya khawatir dengan pikiran ini, kegelisahannya berhenti saat dia melihat idolanya Guru Dronacharya berdiri diam di dekat pohon. Dia memberi instruksi kepada salah satu muridnya. Murid itu adalah kesayangan Guru Dronacharya, meskipun Eklavya tidak mengetahuinya saat itu, dia adalah pangeran Arjuna, yang merupakan pangeran Pandava yang ketiga. Eklavya menuju Guru Dronacharya, dan saat berhadapan dengannya ia pun segera memberikan hormat seraya membungkuk.
Guru Dronacharya sangat terkejut melihat seorang anak laki-laki asing di gurukul. Dia bertanya kepada Ekalavya "siapa kamu?'
Eklavya menjawab, 'Saya Eklavya, dan saya adalah putra seorang kepala suku. Ayah saya adalah seorang kepala suku yang mendiami hutan di belahan barat Kerajaan Hastinapura. Saya datang ke sini hendak belajar darimu wahai Guru Dronacharya, jadi mohon terimalah saya sebagai muridnya dan ajari saya bagaimana menjadi kesatria yang ahli dalam memanah".
Tapi Guru Dronacharya tidaklah terkesan dengan apa yang disampaikan oleh Ekalavya, segera ia berkata dengan lantang "Eklavya, jika kau adalah putra kepala suku, itu berarti kau berasal dari kasta Shudra. Ini adalah kasta manusia terendah sesuai dengan sistem kasta Hindu. Aku adalah seorang Brahmana, dan Aku berasal dari kasta tertinggi, aku tidak bisa mengajarimu, karena kau berasal dari kasta terendah....!"
Mendengar ini, Pangeran Arjuna berkata, " Guru Dronacharya adalah seorang guru kerajaan. Raja sendiri telah menunjuknya sebagai guru kami, Beliau hanya melatih mereka yang lahir dari keluarga kerajaan, seperti raja dan pangeran, bukan Shudras sepertimu. Bagaimana mungkin kau berani masuk ke dalam Gurukul? Arjuna marah karena Eklavya telah mengganggu latihannya dan meneriaki bocah itu.
Eklavya kaget akan reaksi kedua orang itu, Sebagai putra kepala suku, dia tidak pernah menghina siapapun yang berada di bawahnya saat berdiri. Dia menatap Dronacharya, mengharapkan beberapa kata motivasi darinya. Tapi guru Dronacharya tetap diam dan menolak untuk berbicara, dia telah menjelaskan dengan sangat jelas bahwa dia tidak ingin mengajar Eklavya, seorang anak laki-laki shudra.
Eklavya sangat terluka oleh ketidakadilan tersebut. 'Tuhan tidak pernah membedakan siapapun jika menyampaikan pengetahuan,' pikirnya. "Hanya manusia yang saling membedakan satu sama lain."
Ekalavya segera pergi dari Gurukul , tapi meski dia sangat sedih, dia tahu dia tidak akan pernah melepaskan keinginannya untuk menjadi seorang ahli dalam memanah, walaupun ia adalah seorang shudra. Ekalavya pun berkata dalam hatinya , "Aku harus berlatih setiap hari. Lalu aku akan menjadi seorang pemanah yang berani dan hebat seperti para pangeran yang telah diajari oleh Guru Dronacharya".
Begitu kembali ke hutannya, Eklavya membuat patung Dronacharya dan mulai berlatih memanah setiap hari. Dia percaya bahwa patung Guru Dronacharya itu nyata dan gurunya sedang mengawasi dan menginspirasinya. Dengan latihan yang rajin dan sungguh sungguh , Eklavya segera menjadi salah satu pemanah terbaik dan yakin bahwa dia lebih baik dari pada Pangeran Arjuna, murid terbaik Guru Dronacharya.
Suatu hari saat berlatih, suara gonggongan seekor anjing telah mengganggunya. Segera Ekalavya menembakkan tujuh anak panah ke arah mulut sang anjing, tanpa menyakitinya sama sekali. Anjing itu segera pergi, dengan panah masih ada di mulutnya. Pada saat itu para Pangeran Pandava, bersama Guru Dronacharya, telah tiba di bagian hutan itu untuk pergi berburu, dan tanpa sengaja melihat anjing itu. Mereka tercengang dan mulai mencari orang yang telah melakukan prestasi ini. Mereka segera sampai di tempat dimana Eklavya berlatih.
Dronacharya bertanya kepadanya 'Kau memiliki keahlian yang menakjubkan, siapakah gurumu?' Eklavya pun menjawab, 'Engkaulah adalah guru saya, saya telah belajar darimu.'
Guru Dronacharya sekarang ingat semua tentang anak laki-laki yang telah dia tolak menjadi muridnya. Dia bertanya kepada Eklavya apa maksudnya, dan dia mengatakan kepada guru segala sesuatu yang telah terjadi. Arjuna sangat marah, karena Dronacharya telah berjanji kepadanya bahwa dia akan menjadi pemanah terbaik. Dronacharya juga diam. Melihat Pangeran Arjuna marah, dia berpikir untuk menghukum Eklavya.
"Jika kau menganggap diriku sebagai gurumu, Kau harus memberi ku 'Guru Dakshina' sebagai wujud bahktimu kepadaku.' Eklavya sangat bahagia dan bertanya apa yang diinginkan gurunya.
'Berikan ibu jari tangan kananmu sebagai Guru Dakshina' katanya.
Semua orang diam. Eklavya tahu tanpa ibu jari, dia tidak akan bisa menembak lagi. Sambil mengambil pisaunya, dia memotong ibu jarinya tanpa ragu sedikit pun dan memberikannya pada Guru Dronacharya.
Guru Dronacharya tersentuh hatinya. Dia pun memberkati anak laki-laki itu, meskipun dia tidak memiliki ibu jari, namun dia tetap akan bisa menembakkan anak panah, dan kelak dunia akan mengenalnya sebagai pemanah yang lebih besar dari pada Arjuna.