Jumat, 10 Februari 2017

Dvaita & Advaita

Dagang Banten Bali


Dalam sebuah Webinar, ada pertanyaan menarik dari peserta: apa definisi “moksa”? Apakah itu berarti “atman menyatu dengan Tuhan” atau “atman tinggal di satu planet dan menjadi pelayanNya”?
Ini sesungguhnya bukan pertanyaan baru. Sebagai agama sangat tua, pertanyaan2 mendasar seperti itu sudah diajukan dan diperdebatkan sejak ribuan tahun lalu. Pembahasannya secara mendalam telah melahirkan aliran2 filsafat Hindu. Sankara (788-820 M) mengajukan konsep bahwa Brahman sajalah yang nyata, dunia ini tidak nyata dan Atman tidak berbeda dengan Brahman. Karena tidak berbeda, atman akhirnya akan kembali menyatu dengan Brahman. Filsafat ini dikenal dengan non-dualisme, Advaita. Atman dan Brahman adalah 1.
Pendapat Sankara dibantah Madhva (1238–1317 M) yang menyatakan bahwa sebagaimana halnya Brahman, alam semesta ini juga nyata, sehingga juga disebut faham realisme. Madhva berpendapat Atman jumlahnya banyak dan berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan berbeda pula dengan Brahman. Karena berbeda, keduanya tak benar2 bersatu, karena tetap ada perbedaan kualitas diantara keduanya. Filsafat ini dikenal dengan dualisme, Dvaita. Atman dan Brahman adalah 2.
Kedua aliran filsafat ini kemudian juga berbeda dalam “menggambarkan” Tuhan. Advaita mengajukan konsep tuhan impersonal, nirgunam. Tidak ada bentuk bagi Brahman. Sementara Dvaita mengajukan konsep Tuhan personal, sagunam, dalam hal ini Sri Visnu dan awatara-awataranya (bukan hanya 10, melainkan sangat banyak). Tapi bahkan Advaitapun memerlukan bantuan idol, dan memuja ishta-dewata. Lebih ekstrim lagi, Sankara, mahaguru, filsuf Advaita, berkata “Bhaj Govindam Bhaj Govindam Bhaja Govindam — Pujalah Govinda, pujalah Govinda, pujalah Govinda”. Kita tahu Govinda adalah panggilan Krishna.
Seorang guru, ketika mengajarkan “Tuhan yang tidak terpikirkan” ditanya muridnya: bila Tuhan tidak terpikirkan, tanpa bentuk, mengapa kita memujanya bahkan dalam banyak sekali bentuk2 yg kita ciptakan? Sang guru tidak menjawab. Ia hanya minta murid mengambilkan air putih untuknya. Murid itu membawakan segelas air putih, lalu sang guru berkata “aku memintamu membawakan air, kenapa kamu bawakan gelas?”
Di ujung diskusi, peserta itu bertanya: lalu mana yang benar? Pembicara Webinar, seorang professor Hinduism dari Oxford, menjawab dengan bijak: “Karena kita bicara tentang DIA yang tidak terpikirkan, maka dua2nya benar”. Dan saya setuju dengan pembicara ini. Filsafat adalah metode pendekatan terhadap sesuatu, dan tentu saja Hindu memiliki tradisi sangat maju dalam menghormati setiap jalan, sebagaimana sabdaNya dalam Gita. Mirip seperti filsafat modern Materialisme dan Idealisme, dimana materialisme berpendapat, ide lahir dari materi. Materilah yang nyata dan dari materi muncul ide. Idealisme sebaliknya berpandangan, idelah yang muncul mendahului materi. Karena filsafat adalah metode berpikir, maka ia memungkinkan menerima kebenaran dari 2 yang nampak bertentangan.
Yang salah adalah bila kita menganggap hanya paham yang kita anut yang benar dan menuduh sesat yang lain. Apalagi sambil mencaci maki, tanpa mempelajari kedalaman kedua filsafat tersebut. Kalau kita ingin menangkap tikus, kita bisa memilih menggunakan kucing hitam atau kucing putih — tergantung warna kesukaan kita. Tapi jelas kalau kita bertengkar mana yang lebih baik diantara kucing hitam atau kucing putih, kemungkinan besar itu menjauhkan kita dari tujuan menangkap tikus.
Mari berlatih mengendalikan ego. Kurang2i mengadili. Perbanyak belajar. Semesta teramat luas untuk kita miliki sendiri. Tuhan teramat besar untuk kita klaim seorang diri.

Senin, 06 Februari 2017

RITUAL HOMA SEBAGAI KELOMPOK AJARAN BHUMI [ WAISHNAWA ].

Dagang Banten Bali

Ada berbagai cara manusia genius menyusun sebuah ajaran, diantaranya digali dari adat istiadat sebuah suku bangsa yang didalamnya terikat hukum adat dan kebiasaan moral yang tak tercatat sebagai ajaran.
Ketika ajaran digali dari sebuah suku maka manusia pintar tidak bisa begitu saja memasukan penggalian pengetahuannya sebagai intisari ajaran, melainkan hanyalah sebagai penyempurnaan.....jangan sombong !
Sebagai contoh ajaran yang digali dari suku bali yang telah memiliki ajaran pokok yang dikenal dengan " gama ghumi/tirta ", maka sehebat apapun teolog datang untuk mengklaim ajaran miliknya, tetap saja leluhur bali tidak akan memberi tempat terdepan, melainkan hanyalah sebagai ajaran tambahan.
Ajaran Agni Mandala yang dikenal dengan Homa diklaim sebagai ajaran pemujaan api oleh sekelompok orang ( sampradaya ) dibawah panji hukum weda sebagai advokasinya. Bisa saja tampaknya sama, namun ketika praktek akan terlihat manfaat yg berbeda dan landasan spiritnya yang jauh menyimpang.
Ajaran Bali kuno dengan segenap ajaran yang digali dari kesadaran dirinya sebagai manusia (ajaran bhumi ) memaknai Homa adalah ajaran pembangkitan energi, bukan segampang begitu saja menerima ajaran lain ( ajaran langit/nabi ) yang melakukannya dengan memuja api ?#.
Maka kami sebagai penggali dan pengembang ajaran bhumi melakukan ritual homa pada landasan utamanya yakni ; penarikan energi dari bhumi, memiliki dewi pujaan adalah Dhurga, mandala surganya adalah dibhumi, tempat sucinya tetaplah pada gunung, danau dan samudra serta masih banyak lagi ciri ajaran bhumi yang sangat berkualitas dibandingkan dengan membawa ajaran langit yang jauh sekali dari mamfaat dibhumi.
Homa masyarakat bali kuno mengedepankan pada formulasi energi yang ditarik dari bhumi ( bhuta ), lalu disempurnakan dengan sifat kedewataan manusia melalui jambhala samadhi, barulah energi yang dikenal dengan divarupa tersebut dapat dijadikan sosok dewata atau bhatara sekala yang dilinggihkan disebuah tempat yang disebut sanggah.
Intisari dari ajaran bhumi tersebut adalah kesadaran yang tertinggi manusia terletak pada kesempurnaan yang melakoni kehidupan sebagai dewa, dalam bahasa standarnya adalah teladan dan pelayanan ( Seva ), lama-lama menjadi ajaran Siwa.......para kerbau ( Nandi ) menyembah sebagai tuhan.
Kesadaran utama pada diri sebagai insan atau urip yang sejati dalam rangka mengelola alam yang didalamnya terdapat kehidupan hewan dan tumbuhan, maka saat itu seharusnya manusia sadar bahwa dirinya adalah sang pemelihara, dalam bahasa teologinya adalah sanghyang wishnu, maka ajarannyapun dikenal dengan kawaishnawaan.
Kawaishnawaan inilah yang diabaikan oleh para kerbau sehingga lupa dirinya adalah manusia, manusia yang berkesadaran dewa, dewa yang melindungi dan membantu proses kehidupan seluruh mahluk dialam semesta. Ketika kesadaran ini muncul maka seluruh rahasia alam akan bisa diamati oleh para bhujangga, dan kesadarannya berbuah kebajikan yang dikenal kabuddhaan.
Ajaran langit yang dikenal dengan ajaran nabi/nabe pasti memiliki keterikatan pada ajaran nabenya maka itu tidak salah dinyatakan sebagai ajaran dogmatis, ajaran yang sangat dangkal pada ranah spiritual, penuh klaim pembenaran, dan selalu membawa konflik sepanjang sejarah.
Sebaliknya ajaran-ajaran yang digali dibhumi yang digali melalui sadhana spiritualitas yang matang serta disiplin moral yang sangat tinggi, dan menjamin kehidupannya pada jalur kedamaian dan kebahagiaan lahir bathin.
Ajaran ini juga selalu mengembangkan sistem keagamaannya pada kebudayaan yang teraplikasi pada tradisi dimasing-masing daerah, berbeda tradisi namun tetap pada kesamaan dasar yang menjaga kualitas keindahan ( sundaram ).
Bila Tuhan diyakini sebagai pemegang kuasa atas ajaran-ajarannya, maka apakah Tuhan sendiri yang menulis Weda sehingga manusia harus tunduk, demikianlah seharusnya para penyebar agama langit memiliki kesadaran, dan disana pula mereka harus mengakui bahwa mereka telah diperbudak oleh orang lain sebagai kerbau.
Tuhan pada pandangan pemegang ajaran bhumi ( kawaishnawaan ) adalah sebuah hukum sebab akibat ( karma ) dan sebuah sumber energi yang tak terbatas sebagai objek spiritual disaat mengemban tanggungjawabnya, demikianlah ajaran Bhujangga dan Bodha dimasa lalu.
Dari karakter yang berbeda inilah semestinya kita saling mengingatkan diri pada kualitas ajaran, bukan saling menyalahkan apalagi merendahkan ajaran orang lain, untuk itu perlu diadakan sebuah dialog atau diskusi sebelum menyebarkan ajaran pada suku atau kelompok masyarakat yang telah memiliki ajaran yang mendasar.

TAPAK DARA DAN SWASTIKA


Dagang Banten Bali

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Symbol Tapak Dara dan Swastika ditemukan di peradaban Lembah Sungai Indus, dari masa 2800 SM–1800 SM, merupakan suatu peradaban lawas yang hidup sepanjang Sungai Indus dan sungai Ghaggar-Hakra yang sekarang merupakan wilayah Pakistan dan India Barat. Peradaban ini sering juga dinamakan sebagai Peradaban Harappan Lembah Indus, karena kota penggalian pertamanya dinamakan Harappa, atau juga Peradaban Indus Sarasvati.
Symbol ini kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Nusantara.
Tidak elok bila kemudian kita menyebutnya symbol/ajaran import, sejatinya dulunya/awalnya dunia ini adalah satu spiritual, weda itu satu, agama itu satu, dharma itu satu, "tidak ada istilah ekspor impor ajaran yg akhir² ini diviralkan"
Tapak Dara dan Swastika itu simple penuh makna, mengajarkan kepada kita utk mengalirkan jiwa kedalam, bukan memperdebatkannya di sisi luar sbg ekspor impor.
Apa sebenarnya tapak dara itu ...?
Tapak dara bersumber dari bentuk Swastika yang menjadi simbol Agama Hindu di Bali juga merupakan simbol Dewa Ganesa, dalam sebuah penelitian iconografi di Subak Bubunan terhadap arca Ganesa dengan sikap Swastikasana yang berfungsi untuk menolak malapetaka dan simbol keharmonisan untuk mencapai kesejahteraan.
Simbol tapak dara dan Swastika ini kemudian diimplementasikan dalam Tri Hita Karana. Yaitu keseimbangan dan keharmonisan antara hubungan dengan Tuhan dengan sesama dan dngn alam.
Dengan demikian penggunaan tapak dara bertujuan untuk mendapat keselamatan secara sekala dan niskala
Tergantung sekarang situasi kondisi dan keperluan. Apabila ada wabah akibat hal hal gaib biasanya dipergunakan pamor . Pamor simbol Siwa / putih. dalam buku Upakara Yadnya dijelaskan penggunaan pamor sirih dan Gambir sebagai simbol Tri Murti sirih simbol Wisnu Gambir simbol Brahma dan Pamor simbol Siwa
Mengapa pamor digunakan untuk membuat tapak dara? karena Beliau yang menguasai para Ghana dan tapak dara sbg Simbol Ganesa karena Beliau yang memimpin para Ghana, yaitu pasukan Dewa Siwa yang terdiri dari berbagai mahluk halus raksasa pisaca roh dedemit dan sebagainya.
Dengan demikian ketika kita menggunakan pamor untuk membuat tapak dara maka kita secara tidak langsung memohon perlindungan Dewa Siwa dan Ganesa agar kita terhindar dari segala penyakit atau hal hal negatif yang diakibatkan oleh unsur bhuta atau Niskala lainnya

Minggu, 05 Februari 2017

Tuhan Asli Bali Purba

Dagang Banten Bali


//Pemujaan Datonta di Trunyan adalah contoh paling arkais, bahwa sebelum kedatangan dewa-dewa India, Bali telah memiliki kepercayaan asli. //
Bali Kuna ternyata memiliki sejarah peradaban Tuhan tersendiri sebelum ia kena pengaruh kebudayaan India. Istilah Brahma, Wisnu, dan Siwa yang kini lebih mengakar di Bali terang memiliki sejarah lain -- sebagai "hak milik yang didatangkan dari luar. Teks-teks tua semisal; Tantu Panggelaran, Kakawin Usana Bali, memberi penjelasan tidak langsung, bagaimana "aryanisasi" itu dilakukan di Bali, termasuk bagaimana "dewa-dewa luar" itu jenak di Bali, dan kini menjadi bagian utuh dari kepercayaan orang Bali.
Nun di abad purba, sebelum kebudayaan India mempengaruhi Bali, pulau ini bukanlah wilayah tanpa peradaban Tuhan. Pemujaan Datonta di Trunyan adalah contoh paling arkais, bahwa sebelum kedatangan dewa-dewa India, Bali telah memiliki kepercayaan asli. Datonta atau disebut juga Ratu Sakti Pancering Jagat, merupakan dewa tertinggi orang Trunyan, dianggap sebagai Batara Katon, dewa yang dapat dilihat.
Selain itu, orang Trunyan juga memuja Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar, permaisuri dari Ratu Sakti Pancering Jagat. Penduduk di Trunyan memahami ini sebagai Dewi Danu, karena memang bersama sang anak, Ratu Gde Dalem Dasar, sosok dewa ini dipercaya sebagai penguasa Danau Batur. Toh tidak cuma orang Trunyan memiliki dominasi Tuhan seperti itu, di seluruh Bali, di wilayah-wilayah peradaban lebih kuna senantiasa ada sebutan-sebutan untuk aspek kedewataan asli Bali. Sebut saja misalnya Ratu Maduwe Jagat, sebuatan untuk penguasa danau di Pura Batur.
Sebutan-sebutan kedewataan seperti Ratu Sunaring Jagat, panggilan untuk penguasa laut, atau sebutan Tuhan lokal semisal Ratu Manik Maketel, Ratu Mas Magelung, Ratu Gede Basang Bedel, Ratu Gede Purus Mandi, Ratu Gede Penyarikan, adalah contoh asli di mana aspek kedewataan itu sampai kini tetap akrab di Bali. Untuk pemujaan pada leluhur misalnya, orang Bali kuna kerap menyebut leluhurnya dengan Kaki Patuk untuk leluhur laki, Nini Patuk untuk leluhur wanita.
Tentu tak cuma aspek kedewataan saja yang bisa ditemukan dengan sebutan asli Bali. Ritual-ritual penting pun tetap bisa dirujuk ke wilayah paling kuna. Dalam upacara kesuburan, upacara penolak bala misalnya, dominasi Bali purba tetap dipraktikan utuh.
Banyak bukti bisa dirunut dari upacara pemujaan kesuburan zaman Bali purba. Dari amatan Made Sutaba, manakala manusia Bali purba memasuki masa bertani, upacara pemujaan pada dewi kesuburan jelas menjadi ritus utama dari ritus-ritus yang lain. Temuan tahta batu yang tersebar di sawah-sawah maupun tegalan di sejumlah desa-desa purba di Bali, menunjukkan betapa kuatnya pemujaan kesuburan kala itu. Di daerah Tabanan, semisal Desa Penebel tahta batu ini disebut pengrasak, di Buleleng disebut pepupun, sementara di Teja Kula, wilayah Buleleng timur dikenal dengan sebutan batu kukuk. Memasuki zaman lebih kemudian, pemujaan kesuburan dihadirkan dalam bentuk Celak Kontong Lugeng Luih. Berupa simbol kemaluan laki-laki dan wanita dalam adegan sanggama – yang dalam penamaan kemudian dihadirkan sebagai simbol lingga yoni, yakni personifikasi Siwa sebagai mahapencipta.
Laporan menarik dilakukan Purusa Mahaviranata (almarhum) berkaitan dengan ritus kesuburan di Desa Kayu Putih, Buleleng. Dikatakan, di Pura Desa Bale Agung desa setempat terdapat peninggalan berbentuk silinder yang diujungnya digambarkan bentuk kemaluan laki-laki secara naturalis kemudian dimasukkan ke dalam batu berlubang berbentuk lesung. Pelinggih ini mempunyai pemimpin upacara khusus disebut Kabayan. Pelinggih dan simbol batu yang dipuja di tempat ini disebut “Dewa Gede Celak Kontong,” mengingatkan orang pada pemujaan yang sama di Dalem Tamblingan. Palinggih ini sangat penting artinya dalam alam kepercayaan masyarakat, sehingga pada waktu upacara ‘ngusaba’ dan upacara ‘nangluk merana’ diadakan upacara dihadapan palinggih ini dan sebelumnya diadakan ‘mendak tirta’ ke Pura Munduk Luhur yang dianggap oleh masyarakat sebagai tempat memberikan kesuburan.
Di Bali selain pemujaan kesuburan lewat penghadiran Dewi Sri, pemujaan pada “tokoh” bernama Men Burayut, dengan atribut payu dara subur, dikerubuti banyak anak juga merupakan citra dari pemujaan kesuburan masyarakat Bali. Demikianlah ketika sistem kepercayaan orang Bali lebih tertata, hari pemujaan kesuburan dimasukkan dalam sistem kalender pawukon, datangnya setiap 210 hari, lazim disebut Tumpek Bubuh, diperuntukkan khusus untuk penghormatan pada tumbuh-tumbuhan. Sementara penghormatan untuk kesuburan binatang peliharaan dilakukan pada hari Tumpek Uye. Dari seni tampak kian jelas, bahwa kategori-kategori Indianisasi pada sejumlah upacara di Bali nyaris tiada berdasar. Justru sebaliknya, dilakukan penyegaran dan penamaan baru. Pemujaan kesuburan memang merupakan tradisi dunia, tidak menunjukkan dominasi kultur pendatang.
Upacara-upacara seminal ngusaba nini, bajang colong dalam upacara manusa yadnya, upacara kurban sapi yang lazim disebut jaga-jaga, dan banyak upacara khas Bali harus dirujuk hulunya pada peradaban Bali purba. Banyaknya temuan gundukan batu pemujaan, menhir, teras berundak, dan bentuk-bentuk pemujaan yang mempergunakan batu, semata menunjukkan peradaban Bali purba telah memiliki kepercayaan pada kekuatan –kekuatan alam – yang mana dalam peradaban Bali kemudian diterjemahkan sebagai kekuatan-dewa dewa penguasa alam. Maka berkomentarlah Dr Van der Hoop, tokoh terkemuka bidang arkeologis, bahwa pura-pura kuna di Bali tidak bisa ditelusuri asal-usulnya dari candi-candi India, tetapi harus dicari pada tempat-tempat suci atau tempat-tempat pemujaan berbentuk batu, megalitik.
Merujuk temuan paling purba di Pura Batu Madeg, Besakih, Made Sutaba membenarkan komentar Van der Hoop, bahwa cikal bakal Pura Batu Madeg adalah pemujaan batu megalitis, batu tegak sebagai simbul pemujaan roh leluhur, karena itu pura itu disebut Batu Madeg, batu tegak. Pura Besakih yang terdiri dari 86 gugusan pura-pura, pada awalnya merupakan pemujaan purba punden berundag-undag, tempat pemujaan roh leluhur. Menurut Sutaba, orang Bali purba sangat memulikan tempat-tempat tinggi, terutama gunung, karena orang Bali purba sangat percaya, bahwa di gunung yang tinggi itulah roh nenek moyang mereka bersemayam. Barangkali pemujaan pada Ratu Bukit dalam wujud laki-perempuan di teras teratas gugusan Pura Besakih merupakan palinggih tertua, bisa jadi tinggalan paling purba dari peradaban Besakih kini.
Kelenturan peradaban Bali purba menghadapi pengaruh asing ternyata tidak mengikis wajah aslinya. Maka akan keliru mencari rujukkan upacara asli Bali ke sumber-sumber teks India. Upacara semisal saba di Trunyan saba di Tigawasa jelas merujuk pada tradisi lampau, saat Bali belum kena pengaruh Hindu, lebih khusus lagi Hindu Majapahit.
Sepanjang sejarah masuknya pengaruh Hindu di Bali memang tidak menunjukkan ada tanda-tanda vandalisme, pemusnahan tradisi asli. Di Bali sebagaimana dikatakan Dr. A.J. Bernet Kempers, masa lampau dan masa sekarang adalah satu, utuh dalam paduan harmoni. “Dan orang Bali dahulu tidaklah lebih buta daripada kita terhadap pengaruh yang meluhurkan jiwanya,” kata Kempers penulis buku Bali Purbakala (1956).
Bali, menurut penilaian Kempers, yang kini masih sangat penuh akan kehidupan keagamaan dan kesenian, tentunya di masa lampau menjanjikan gambaran yang sangat menarik ketika cara-cara hidup Indonesia kuno berhadapan dengan kebudayaan Hindu, dan dapatlah sangat baik dibandingkan dengan sejarah kebudayaan Jawa dahulu: hanya tentu saja dengan coraknya sendiri. Untuk pengertian yang lebih baik dari apa yang dapat dinamakan “penghidupan secara Indonesia dengan secara Hindu” dan dari kebudayaan Indonesia pada umumnya, maka pengetahuan tentang Bali kuna ternyata tak dapat diabaikan.
Merujuk Bali Majapahit sebagai satu-satunya acuan berpikir dan tentu sama artinya dengan mengelebui peradaban. Dan sejarah tidak membuat orang kian cerdas ketika politik dominasi merajalela. Maka ketika orang bicara tentang peradaban Bali, sudilah menengok kearifan masa silam, di mana manusia Gilimanuk membangun peradaban sendiri – dan budaya agama kealaman kini belum tentu setara dengan pencapaian mereka.

Rabu, 11 Januari 2017

Sarasamuccaya


Dagang Banten Bali


Jangan Paksakan Kebenaran Satu Kelompok
KALAU kita mencermati ajaran Hindu lewat Kitab Sarasamuccaya terbukti ajaran itu sangat relevan untuk segala zaman. Ajaran yang ratusan tahun ada sebelum Masehi ini bisa menjangkau zaman kekinian. Misalnya, soal surga yang sesungguhnya adalah “alam pembebasan dari kesenggaraan”. Surga tak bisa dikapling-kapling oleh kelompok tertentu. Tak ada satu kelompok yang mengklaim bahwa surga untuk kelompoknya dan neraka untuk kelompok lain. Begitu pula tak ada agama yang menyebutkan hanya umatnya saja yang memperoleh surga, penganut agama lain tidak dapat surga.
Sloka 35 Sarasamuccaya berbunyi: Ekam yadi bhavecchastram sreyo nissamcayam bhavet’ bahutvadiha sastranam guham creyah pravesitam. Bagi yang suka dengan terjemahan bahasa Jawa Kuno (Kawi) begini bunyinya: Yan tunggalang kite Sang Hyang Agama, tan sangsaya ngwang irikang sinanggah hayu, swarga pawargaphala, akeh mara sira, kapwa dudu paksanira, sowang-sowang hetuning wulangun, tan anggah ring anggehakena, hana ring guhagahwara, sira sang hayu.
Yang dimaksudkan adalah sesungguhnya semua agama memiliki tujuan yang sama. Semua agama mengajarkan kebajikan atau kebenaran untuk mencapai alam surga dan pembebasan dari kesengsaraan hidup itu. Namun cara masing-masing dalam mencari kebenaran berbeda-beda. Cara yang berbeda ini seringkali membuat orang bingung karena adanya fanatisme sempit. Orang bingung itu bisa saja membenarkan sesuatu yang tidak benar. Apalagi kalau mereka hidup berkelompok maka apa yang dianggap kebenaran oleh kelompok itu seolah-olah menjadi kebenaran untuk semua orang. Sebaliknya yang dianggap tidak benar, seolah-olah itu juga berlaku untuk semua orang. Dan kelompok di luar itu pun dianggap melakukan sesuatu yang salah. Bahkan yang lebih tragis, Tuhan seolah hanya untuk kelompoknya saja.
Fenomena seperti ini yang sering terjadi sehingga memunculkan pergesekan dalam kehidupan sosial di negara yang penduduknya majemuk ini. Maka muncul istilah intoleransi, artinya sama sekali tidak menghargai kelompok lain, tidak toleran terhadap perbedaan yang ada. Pengakuan bahwa pihaknya saja yang benar, yang lain serba salah. Bukan cuma menyalahkan bahkan kadang ada tuduhan bahwa kelompok lain itu disebutnya sebagai kelompok sesat. Padahal sesat dan tidak sesat itu didasarkan pada penilaian dari kelompoknya saja.


Pada tataran yang lebih luas, ada pula istilah yang sesungguhnya berangkat dari ketidak-tahuan. Misalnya istilah ada agama bumi dan ada agama langit. Yang dimaksudkan dari istilah ini adalah agama langit itu ajarannya berdasarkan wahyu Tuhan yang dihimpun dalam suatu kitab. Sedangkah agama bumi adalah ajaran agama yang bukan dari wahyu Tuhan dan hanya hasil rekaan dari “orang suci” yang dihimpun dalam satu kitab.
Sikap penganut Hindu pada umumnya tak mempedulikan istilah itu, karena tak ingin masalah seperti ini diributkan. Anggap saja yang menuduh Hindu sebagai agama bumi datang dari mereka yang memang tak tahu ajaran Hindu. Kitab suci Hindu yakni Weda adalah himpunan ajaran yang memang merupakan wahyu dari Tuhan yang diterima oleh tujuh Maharsi.
Dalam kitab Sarasamuccaya yang merupakan sumber ajaran etika di dalam agama Hindu, sudah dengan gamblang dijelaskan hal ini agar umat Hindu tidak perlu bingung, di mana sumber ajaran kebenaran yang abadi itu. Jelas Weda adalah wahyu Tuhan. Masalahnya adalah Weda yang terdiri dari empat pokok besar itu (Atharwa Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan Reg Weda) terdiri dari ribuan sloka yang mungkin sulit untuk dipelajari tanpa melalui tahapan tertentu.
Karena itu dalam sloka 39 Sarasamuccaya disebutkan: Ithiasa purana bhyam wedam samupawrmhayet, bibhetyalpasrutadwedo mamayam pracarisyati. Maksudnya adalah wahyu Tuhan hendaknya dipelajari dengan benar dan sempurna, dengan jalan mempelajari terlebih dahulu Ithiasa dan Purana dengan segala tafsir-tafsirnya. Sebab Weda sebagai wahyu Tuhan jika dipelajari oleh mereka yang memiliki kedangkalan pemahaman dan sedikit pengetahuan, akan menjadi sesuatu yang menakutkan. Bisa jadi dengan pemahaman yang salah menimbulkan kesimpulan yang sempit.
Di agama mana pun sering terjadi gesekan ke dalam karena berbeda menafsirkan ajaran agama itu sendiri. Sumber kitab sucinya bisa sama, tetapi cara pemahamannya bisa berbeda. Beruntunglah umat Hindu dibekali dengan pelajaran etika sebagaimana dirangkum dalam kitab Sarasamuccaya itu. (*)

TAT TWAM ASI


Dagang Banten Bali



“Tat Twam Asi”. Selama beribu-ribu tahun, beribu-ribu brahmin dan berjuta-juta umat Hindu mengucapkan mantra pendek dalam Upanishad itu. Yang menarik, di abad ke-20 seorang yang bukan brahmin, bukan Hindu, seorang atheis, ikut meyakininya.
Edwin Schrödinger, salah satu tokoh fisika kuantum, ilmuwan Austria pemenang Hadiah Nobel di tahun 1933, menerbitkan “Mein Leben, meine Weltansicht” (Hidupku, Pandangan Hidupku), yang dikumpulkan dari tulisan-tulisan dari tahun 1925. Di dalamnya kita temukan tafsirnya atas “tat twam asi”:
“Kau bisa rebahkan tubuh rata ke atas tanah, terentang di atas Ibu Bumi, dengan keyakinan bahwa kau satu dengan dia dan dia dengan kau”.
“Tat Twam Asi”: aku-adalah-dia, kau-adalah-itu. Kau-aku-adalah.. selalu merupakan satu. Semua makhluk secara intim terhubung dengan energi semesta. Di abad ke-8, seorang pemikir Hindu, Adi Shankara, menggunakannya sebagai dasar ajarannya, Advaita Vedanta: tiap kita, tiap atom kita, adalah bagian Ia Yang Kekal, Luhur, Sempurna. Dengan kata lain Atman, diri, adalah Brahman, yang abadi.
Atman = Brahman; Schrödinger mengikuti “persamaan” ini. Ajaran “tat twam asi” ini memang pas bagi pemikirannya. Ia salah satu pionir fisika kuantum yang tak lagi berurusan dengan partikel sebagai butir-butir pejal, melainkan sebagai taburan elektron yang tak jelas di mana, yang tak punya “individualitas”, terkadang sebagai gelombang, terkadang bukan dan kemudian diketahui sebagai “medan” (fields).. Perilaku mereka lain dari logam dan air yang kita pelajari dulu dalam fisika SMA.
Dalam suratnya kepada Einstein di tahun 1935, Schrödinger berbicara tentang fenomena yang paling ganjil dari “dunia” ini, yakni “Verschränkung” (diterjemahkan sebagai entanglement): dua partikel yang saling berkelindan bagai bayi kembar, berperilaku persis sama meskipun terpisah beribu-ribu kilometer. Tak ada “lokalitas”.
Einstein, yang ilmunya bermula dalam fisika klasik, menganggap fisika kuantum belum menjelaskan keganjilan itu — yang ia ejek sebagai “spukhafte Fernwirkung” , gerak di kejauhan yang mirip hantu.
Schrödinger juga tak sepenuhnya mengikuti para pelopor fisika kuantum yang berkelompok di Kopenhagen di bawah Niels Bohr. Bagi mereka, tak ada hubungan antara dunia sehari-hari yang “makroskopik” dan wujud di tingkat kuantum, sementara Schrödinger masih menggunakan rumus-rumus matematika dari fisika klasik, berasumsi (atau “berharap”?) ada hubungan antara dunia sehari-hari dengan obyek yang ditelaah fisika kuantum..
Memang ada titik pertemuan antara Schrodinger dan Einstein: kedua fisikawan dari generasi yang berbeda itu menganggap alam semesta sebuah proses yang tak seluruhnya acak, tanpa sebab-akibat. Ucapan Einstein yang terkenal, “Tuhan tak bermain dadu”. Baginya ada dasar yang lebih dasar yang menyatukan yang acak-acakan. Jangan-jangan ada variabel yang tersembunyi.
Sampai hari ini anggapan Einstein belum terbukti.
Tapi “Tat Twam Asi”. Dengan atau tanpa variabel itu, Schrödinger memandang alam semesta tunggal. Sifat acak dan plural adalah ilusi. Kemajemukan itu hanya “maya” — “ilusi yang persis seperti yang dihasilkan sebuah galeri cermin”. Lihat, “Gaurisankar dan Gunung Everest ternyata puncak yang sama yang tampak dari lembah yang berlain-lainan.”
Schrödinger, seperti ajaran Advaita Vedanta, menafikan dualisme. Aku (sebagai kesadaran yang mengamati) dan dunia (yang diamati), sebenarnya tak terpisah sebagai subyek dan obyek. Tapi sains memisahkannya. Sains bekerja dengan tekad “obyektifitas”, sepenuhnya bebas dari pengaruh subyektif,.
Dalam “Nature and the Greek and Science and Humanism”, Schrödinger mengemukakan dua anggapan dasar sains. Pertama, anggapan bahwa “dunia bisa difahami”. Kedua, anggapan bahwa untuk memahami dunia yang rumit ini, sang subyek, “the subject of cognizance”, hanya memfokuskan diri sebagai intelek; ia menafikan sumbangan pancaindera dan tubuh buat pengetahuan.
Tapi perspektif itu berubah. Di abad ke-20, fisika kuantum memulihkan hubungan subyek dan obyek yang dikaburkan fisika klasik. Bohr dan Heisenberg menunjukkan, obyek tak terlepas dari subyek yang mengamatinya. Kedua fisikawan itu, kata Schrödinger, telah “mendorong ilmu fisika ke arah batas yang misterius antara subyek dan obyek, yang ternyata bukan batas yang tajam sama sekali”.
Kita tahu, Schrödinger menyetujui itu, meskipun ia tak menganggapnya penemuan baru. Yang baru adalah pengakuan bahwa ada jejak “yang tak terhindarkan dan tak terkendalikan” dari subyek ke dalam obyeknya dan sebaliknya. Itu tak berarti, menurut Schrödinger, beda subyek dari obyek niscaya “tergantung dari hasil kuantitatif ukuran fisika dan kimia”, dengan spektroskop, mikroskop teleskope, alat pengukur radiasi Geiger…
Kita kembali kepada “Tat Twam Asi”. Aku-Kita-Kau-Dia-Mereka=Satu. Sebuah pandangan yang, menurut penganut positivisme, “tidak ilmiah”
Positivisme melihat sains sesuatu yang terpisah — bahkan menyisihkan —filsafat. Tentu itu bukan satu-satunya kebenaran. Bagi fisikawan seperti Schrödinger sains adalah bagian usaha kita menjawab “satu pertanyaan filsafat yang penting”, yakni “Siapa gerangan kita”.
Memang, ada suara di Kopenhagen yang menjawab: jangan bertanya, hitung saja, bikin saja matematikanya! Tapi bisakah ilmuwan membungkam rasa ingin tahu, sebab dari situ juga sains tumbuh?

Zaman Mahabharata setelah berakhirnya Bharatayudha, bagaimana perbuatan memperolok orang suci berakibat besar untuk sebuah kerajaan.
Kisah ini diceritakan terjadi di Kerajaan Dwaraka, kerajaannya Sri Krishna. Saat itu Sri Krishna sudah berada di dalam kerajaannya, setelah selesai urusannya dengan para Pandawa dan sesudah penobatan Prabu Yudistira.
Diceritakan pada suatu hari ada rombongan tujuh resi agung melewati Kerajaan Dwaraka. Beberapa orang dari wangsa Yadawa, sebutan penduduk di Kerajaan Dwaraka, memperolok ke tujuh resi agung itu. Mereka ingin melecehkan para resi itu. Mereka mendandani seorang anak muda lelaki seolah-olah perempuan yang sedang hamil besar. Lalu kepada tujuh resi agung itu, seseorang bertanya: “Kapan bayi anak ini lahir dan apa kira-kira jenis kelaminnya?”
Orang-orang Yadawa berharap para resi akan menjawab anak itu lelaki atau perempuan. Apa pun jenis kelaminnya tentu tak penting bagi mereka, yang lebih penting para resi itu mau menjawabnya. Dan pastilah kalau jawaban para resi itu keluar, mereka akan tertawa terbahak-bahak, dan membuka kedoknya bahwa semua ini olok-olok karena orang yang seperti hamil itu adalah anak lelaki.
Ternyata tujuh resi agung itu serius berembug sebelum menjawab. Apa jawaban para resi? “Perempuan hamil ini akan melahirkan satu gada besar yang akan menghancurkan wangsa Yadawa dan menenggelamkan Kerajaan Dwaraka”. Orang-orang Yadawa kaget sebentar lalu tertawa terbahak-bahak. Ketika mereka mau memperolok para resi itu lebih lanjut, ternyata para resi sudah menghilang, tak tahu ke mana arahnya.
Tak berapa lama setelah wangsa Yadawa itu tertawa-tawa, tiba-tiba ada suatu keanehan yang mengagetkan mereka. Lelaki yang didandani seperti perempuan hamil itu, ternyata betul melahirkan sebuah gada baja. Mereka pun ketakutan dan bingung. Akhirnya gada yang keluar dari perut lelaki itu itu dibawanya kepada seseorang yang bernama Ugrasena, salah seorang tokoh dari klan Yadawa. Ugrasena lalu menggiling gada itu menjadi tepung dan membuangnya ke laut. Aneh tepung itu kembali lagi ke pantai dan berubah menjadi rumput ilalang yang setajam pisau. Sebagian serpihan gada yang dilempar ke laut ditelan oleh seekor ikan. Kemudian seorang nelayan yang bernama Jaras berhasil menangkap ikan itu. Jaras menemukan sekeping gada itu lalu diberikannya kepada sahabatnya, seorang pemburu. Kepingan gada itu dijadikan anak panah.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Inilah awal dari kehancuran wangsa Yadawa dan Kerajaan Dwaraka. Sri Krishna sudah tahu pertanda alam ini dan kepada Dewa Narada, Krishna sudah berpesan inilah saatnya tiba dia akan kembali ke alam dewata, kembali sebagai Wisnu setelah selesai menjalani tugas sebagai awatara.
Bagaimana wangsa Yadawa bisa punah? Berawal dari suatu pesta besar di tepi pantai. Tiba-tiba terjadi kerusuhan tanpa jelas sebabnya. Masing-masing orang saling menyerang menggunakan rumput ilalang menyerupai pisau itu. Perkelahian di antara para wangsa Yadawa menjadi demikian dasyat sehingga seluruh warga mati di tepi pantai itu.
Setelah mengetahui bahwa seluruh wangsa Yadawa telah meninggal, Sri Krishna pergi ke hutan dan berbaring di bawah sebatang pohon. Seorang pemburu sedang ada di hutan itu. Pemburu melihat jari kaki Krishna dan mengira itu seekor burung. Pemburu memanah



“burung” itu, dan darah pun mengucur. Darah Sri Krishna. Pemburu kaget dan bersimpuh di depan Krishna memohon pengampunan. Krishna tersenyum dan memberi tahu pemburu itu bahwa itulah jalannya untuk kembali menuju alam dewa, dari panah yang berasal dari gada. Dan ia mengingatkan kepada pemburu, Kerajaan Dwaraka akan segera tenggelam oleh air bah dari laut.

Oleh : mpujayaprema


Ida Bagus Parta Om Swastyastu Ida Mpu..
Para Rsi itukah yang menciptakan Gada itu ?
Apakah Makna Gada sebenarnya. ?
Apakah laki-laki itu sang Samba ?
Apakah tepung gada yang menjadi ilalang ada kaitannya dengan Nyasa Siwa Lingga dalam upacara agama ?
Apakah panah dari pecahan gada mampu membunuh krisna. ? Apa makna sesungguhnya.
Mohon pencerahannya
Om Shanti Shanti Shanti Om.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Senin, 02 Januari 2017

Cymatics Om


Dagang Banten Bali

Om Swatyastu, Semeton....
"Di antara para Maharishi, Akulah Bhrgu; di antara akshara-akshara suci, Akulah Om yang Maha Suci; di antara yajna, Akulah Japa (chanting); dan, di antara yang kukuh dan dan tak tergoyahkan, Akulah Himalaya."
(Bhagavad Gita 10:25)
"Pranava atau Sabda Awal Om adalah Ungkapan Verbal-Nya (Paramatma)"
(Yoga Sutra Patanjali I.27)
Seluruh umat Hindu mengetahui kebenaran ini. Bahwa dari keadaan yang tidak bisa dipikirkan dan dirasakan, ada Nada atau Sabda yang oleh para rishi didengar sebagai Om.
Om adalah sabda yang menghasilkan alam semesta, yang memeliharanya, dan yang mendaur-ulangnya. Sabda Om senantiasa terdengar hingga kini, "saling sahut-sahutan", seiring berbagai penciptaan dan daur-ulang yang secara konstan terjadi.
Disebut sebagai prana awal atau utama, Pranava, maka dari Sabda Om, muncul prana yang menjadi sumber energi penciptaan. Setelahnya, pikiran dan perasaan alam semesta terbentuk dari materi halus. Demikian, dari Om, muncul nada-nada lain yang pada akhirnya menciptakan pikiran dan perasaan manusia, serta Pancha Mahā Butha yang menghasilkan badan manusia.
Baru-baru ini, NASA berhasil membuat suara "desis lidah" matahari dapat didengar oleh telinga manusia. Dan itu terdengar sebagai Om.
Artinya, matahari (Surya) adalah sumber prana semua makhluk di bumi. Tanpa Om (dan prana) dari matahari, tak ada satu pun makhuk di bumi yang mampu bergerak.
Om juga memiliki bentuk geometri yang dapat dilihat oleh mata kita.
Dr. Hans Jenny mempopulerkan istilah cymatics yang bermakna "ilmu terapan yang membuat suara atau sound dapat terlihat oleh mata manusia".
Dalam usahanya, Dr. Hans menciptakan seperangkat alat, yang disebut tonoscope, yang bisa membuat suara terlihat wujudnya.
Dr. Hans mengundang beberapa schoolar-brahmin untuk penelitiannya terhadap Suara Om. Melalui tonoscope, para brahmin (brahmana) itu mengucapkan Suara Om.
Hanya setelah mengucapkan Om dengan tepat, dengan irama yang benar, tanpa sedikitpun disimpangkan bunyinya, maka terbentuk geometri Shri Yantra/Shri Chakra. Awalnya (saat suara A dan U yang berbunyi O dibunyikan) terbentuk lingkaran dan kubus. Tetapi saat suara "m" dari Om terucap, segitiga-segitiga mulai terbentuk menyusun geometri Shri Yantra.
Artinya, alam semesta ini sesungguhnya adalah wujud nyata dari geometri/yantra yang berwujud Shri Yantra. Ada penguasa atau Deva disetiap sudut dan disetiap segitiganya. Dan ada bindu di pusat yantra sebagai sumber Sabda Om dari Paramatma.
Tetapi, itu adalah sisi materi atau kebendaannya. Ada sisi lainnya, yaitu Om sebagai Shabda Paramatma atau Shabda Brahman. Brahman memiliki dua (2) aspek, yaitu Shabda Brahman, yang merupakan getaran Nada Om dan nada-nada turunannya, serta Prakash Brahman, yang merupakan materi alam semesta yang terlihat/visible.
Bukan berarti suara selain Om adalah salah. Tidak.Tetapi dari penelitian Dr. Hans, nyatanya hanya suara Om yang diuncarkan dengan tepat saja yang menghasilkan geometri yang indah. Yang artinya, membenarkan visi dari rishis masa lampau.
Om dan suara lain dari sebuah mantra adalah usaha manusia untuk men-dekodifikasi aspek-aspek tertentu dari pikiran dan perasaan alam semesta. Setiap mantra adalah suara yang berusaha mengakses bagian tertentu dari alam semesta.
Sedangkan untuk "kembali" pada Paramatma, sumber dari Om itu sendiri, pengulangan Om secara tepat di saat kita menghembuskan prana yang terakhir, "sudah cukup" untuk menghantar kita pada Moksha.
Om, dengan nada-nada lain pada mantra, menghantar kita pada segala aspek materi atau kebendaan. Om pula yang menghantarkan kita pada moksha.
Asalkan pengucapan kita tepat. Asalkan kita melatih diri seumur hidup, agar saat ajal menjemput, hal tersebut sudah otomatis terucap.
Om adalah sumber dari Shri Yantra, sumber dari kejayaan Peradaban Hindu Dharma.
Sampai jumpa lagi, Semeton....Matur Suksma.