Rabu, 11 Januari 2017

TAT TWAM ASI


Dagang Banten Bali



“Tat Twam Asi”. Selama beribu-ribu tahun, beribu-ribu brahmin dan berjuta-juta umat Hindu mengucapkan mantra pendek dalam Upanishad itu. Yang menarik, di abad ke-20 seorang yang bukan brahmin, bukan Hindu, seorang atheis, ikut meyakininya.
Edwin Schrödinger, salah satu tokoh fisika kuantum, ilmuwan Austria pemenang Hadiah Nobel di tahun 1933, menerbitkan “Mein Leben, meine Weltansicht” (Hidupku, Pandangan Hidupku), yang dikumpulkan dari tulisan-tulisan dari tahun 1925. Di dalamnya kita temukan tafsirnya atas “tat twam asi”:
“Kau bisa rebahkan tubuh rata ke atas tanah, terentang di atas Ibu Bumi, dengan keyakinan bahwa kau satu dengan dia dan dia dengan kau”.
“Tat Twam Asi”: aku-adalah-dia, kau-adalah-itu. Kau-aku-adalah.. selalu merupakan satu. Semua makhluk secara intim terhubung dengan energi semesta. Di abad ke-8, seorang pemikir Hindu, Adi Shankara, menggunakannya sebagai dasar ajarannya, Advaita Vedanta: tiap kita, tiap atom kita, adalah bagian Ia Yang Kekal, Luhur, Sempurna. Dengan kata lain Atman, diri, adalah Brahman, yang abadi.
Atman = Brahman; Schrödinger mengikuti “persamaan” ini. Ajaran “tat twam asi” ini memang pas bagi pemikirannya. Ia salah satu pionir fisika kuantum yang tak lagi berurusan dengan partikel sebagai butir-butir pejal, melainkan sebagai taburan elektron yang tak jelas di mana, yang tak punya “individualitas”, terkadang sebagai gelombang, terkadang bukan dan kemudian diketahui sebagai “medan” (fields).. Perilaku mereka lain dari logam dan air yang kita pelajari dulu dalam fisika SMA.
Dalam suratnya kepada Einstein di tahun 1935, Schrödinger berbicara tentang fenomena yang paling ganjil dari “dunia” ini, yakni “Verschränkung” (diterjemahkan sebagai entanglement): dua partikel yang saling berkelindan bagai bayi kembar, berperilaku persis sama meskipun terpisah beribu-ribu kilometer. Tak ada “lokalitas”.
Einstein, yang ilmunya bermula dalam fisika klasik, menganggap fisika kuantum belum menjelaskan keganjilan itu — yang ia ejek sebagai “spukhafte Fernwirkung” , gerak di kejauhan yang mirip hantu.
Schrödinger juga tak sepenuhnya mengikuti para pelopor fisika kuantum yang berkelompok di Kopenhagen di bawah Niels Bohr. Bagi mereka, tak ada hubungan antara dunia sehari-hari yang “makroskopik” dan wujud di tingkat kuantum, sementara Schrödinger masih menggunakan rumus-rumus matematika dari fisika klasik, berasumsi (atau “berharap”?) ada hubungan antara dunia sehari-hari dengan obyek yang ditelaah fisika kuantum..
Memang ada titik pertemuan antara Schrodinger dan Einstein: kedua fisikawan dari generasi yang berbeda itu menganggap alam semesta sebuah proses yang tak seluruhnya acak, tanpa sebab-akibat. Ucapan Einstein yang terkenal, “Tuhan tak bermain dadu”. Baginya ada dasar yang lebih dasar yang menyatukan yang acak-acakan. Jangan-jangan ada variabel yang tersembunyi.
Sampai hari ini anggapan Einstein belum terbukti.
Tapi “Tat Twam Asi”. Dengan atau tanpa variabel itu, Schrödinger memandang alam semesta tunggal. Sifat acak dan plural adalah ilusi. Kemajemukan itu hanya “maya” — “ilusi yang persis seperti yang dihasilkan sebuah galeri cermin”. Lihat, “Gaurisankar dan Gunung Everest ternyata puncak yang sama yang tampak dari lembah yang berlain-lainan.”
Schrödinger, seperti ajaran Advaita Vedanta, menafikan dualisme. Aku (sebagai kesadaran yang mengamati) dan dunia (yang diamati), sebenarnya tak terpisah sebagai subyek dan obyek. Tapi sains memisahkannya. Sains bekerja dengan tekad “obyektifitas”, sepenuhnya bebas dari pengaruh subyektif,.
Dalam “Nature and the Greek and Science and Humanism”, Schrödinger mengemukakan dua anggapan dasar sains. Pertama, anggapan bahwa “dunia bisa difahami”. Kedua, anggapan bahwa untuk memahami dunia yang rumit ini, sang subyek, “the subject of cognizance”, hanya memfokuskan diri sebagai intelek; ia menafikan sumbangan pancaindera dan tubuh buat pengetahuan.
Tapi perspektif itu berubah. Di abad ke-20, fisika kuantum memulihkan hubungan subyek dan obyek yang dikaburkan fisika klasik. Bohr dan Heisenberg menunjukkan, obyek tak terlepas dari subyek yang mengamatinya. Kedua fisikawan itu, kata Schrödinger, telah “mendorong ilmu fisika ke arah batas yang misterius antara subyek dan obyek, yang ternyata bukan batas yang tajam sama sekali”.
Kita tahu, Schrödinger menyetujui itu, meskipun ia tak menganggapnya penemuan baru. Yang baru adalah pengakuan bahwa ada jejak “yang tak terhindarkan dan tak terkendalikan” dari subyek ke dalam obyeknya dan sebaliknya. Itu tak berarti, menurut Schrödinger, beda subyek dari obyek niscaya “tergantung dari hasil kuantitatif ukuran fisika dan kimia”, dengan spektroskop, mikroskop teleskope, alat pengukur radiasi Geiger…
Kita kembali kepada “Tat Twam Asi”. Aku-Kita-Kau-Dia-Mereka=Satu. Sebuah pandangan yang, menurut penganut positivisme, “tidak ilmiah”
Positivisme melihat sains sesuatu yang terpisah — bahkan menyisihkan —filsafat. Tentu itu bukan satu-satunya kebenaran. Bagi fisikawan seperti Schrödinger sains adalah bagian usaha kita menjawab “satu pertanyaan filsafat yang penting”, yakni “Siapa gerangan kita”.
Memang, ada suara di Kopenhagen yang menjawab: jangan bertanya, hitung saja, bikin saja matematikanya! Tapi bisakah ilmuwan membungkam rasa ingin tahu, sebab dari situ juga sains tumbuh?

Zaman Mahabharata setelah berakhirnya Bharatayudha, bagaimana perbuatan memperolok orang suci berakibat besar untuk sebuah kerajaan.
Kisah ini diceritakan terjadi di Kerajaan Dwaraka, kerajaannya Sri Krishna. Saat itu Sri Krishna sudah berada di dalam kerajaannya, setelah selesai urusannya dengan para Pandawa dan sesudah penobatan Prabu Yudistira.
Diceritakan pada suatu hari ada rombongan tujuh resi agung melewati Kerajaan Dwaraka. Beberapa orang dari wangsa Yadawa, sebutan penduduk di Kerajaan Dwaraka, memperolok ke tujuh resi agung itu. Mereka ingin melecehkan para resi itu. Mereka mendandani seorang anak muda lelaki seolah-olah perempuan yang sedang hamil besar. Lalu kepada tujuh resi agung itu, seseorang bertanya: “Kapan bayi anak ini lahir dan apa kira-kira jenis kelaminnya?”
Orang-orang Yadawa berharap para resi akan menjawab anak itu lelaki atau perempuan. Apa pun jenis kelaminnya tentu tak penting bagi mereka, yang lebih penting para resi itu mau menjawabnya. Dan pastilah kalau jawaban para resi itu keluar, mereka akan tertawa terbahak-bahak, dan membuka kedoknya bahwa semua ini olok-olok karena orang yang seperti hamil itu adalah anak lelaki.
Ternyata tujuh resi agung itu serius berembug sebelum menjawab. Apa jawaban para resi? “Perempuan hamil ini akan melahirkan satu gada besar yang akan menghancurkan wangsa Yadawa dan menenggelamkan Kerajaan Dwaraka”. Orang-orang Yadawa kaget sebentar lalu tertawa terbahak-bahak. Ketika mereka mau memperolok para resi itu lebih lanjut, ternyata para resi sudah menghilang, tak tahu ke mana arahnya.
Tak berapa lama setelah wangsa Yadawa itu tertawa-tawa, tiba-tiba ada suatu keanehan yang mengagetkan mereka. Lelaki yang didandani seperti perempuan hamil itu, ternyata betul melahirkan sebuah gada baja. Mereka pun ketakutan dan bingung. Akhirnya gada yang keluar dari perut lelaki itu itu dibawanya kepada seseorang yang bernama Ugrasena, salah seorang tokoh dari klan Yadawa. Ugrasena lalu menggiling gada itu menjadi tepung dan membuangnya ke laut. Aneh tepung itu kembali lagi ke pantai dan berubah menjadi rumput ilalang yang setajam pisau. Sebagian serpihan gada yang dilempar ke laut ditelan oleh seekor ikan. Kemudian seorang nelayan yang bernama Jaras berhasil menangkap ikan itu. Jaras menemukan sekeping gada itu lalu diberikannya kepada sahabatnya, seorang pemburu. Kepingan gada itu dijadikan anak panah.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Inilah awal dari kehancuran wangsa Yadawa dan Kerajaan Dwaraka. Sri Krishna sudah tahu pertanda alam ini dan kepada Dewa Narada, Krishna sudah berpesan inilah saatnya tiba dia akan kembali ke alam dewata, kembali sebagai Wisnu setelah selesai menjalani tugas sebagai awatara.
Bagaimana wangsa Yadawa bisa punah? Berawal dari suatu pesta besar di tepi pantai. Tiba-tiba terjadi kerusuhan tanpa jelas sebabnya. Masing-masing orang saling menyerang menggunakan rumput ilalang menyerupai pisau itu. Perkelahian di antara para wangsa Yadawa menjadi demikian dasyat sehingga seluruh warga mati di tepi pantai itu.
Setelah mengetahui bahwa seluruh wangsa Yadawa telah meninggal, Sri Krishna pergi ke hutan dan berbaring di bawah sebatang pohon. Seorang pemburu sedang ada di hutan itu. Pemburu melihat jari kaki Krishna dan mengira itu seekor burung. Pemburu memanah



“burung” itu, dan darah pun mengucur. Darah Sri Krishna. Pemburu kaget dan bersimpuh di depan Krishna memohon pengampunan. Krishna tersenyum dan memberi tahu pemburu itu bahwa itulah jalannya untuk kembali menuju alam dewa, dari panah yang berasal dari gada. Dan ia mengingatkan kepada pemburu, Kerajaan Dwaraka akan segera tenggelam oleh air bah dari laut.

Oleh : mpujayaprema


Ida Bagus Parta Om Swastyastu Ida Mpu..
Para Rsi itukah yang menciptakan Gada itu ?
Apakah Makna Gada sebenarnya. ?
Apakah laki-laki itu sang Samba ?
Apakah tepung gada yang menjadi ilalang ada kaitannya dengan Nyasa Siwa Lingga dalam upacara agama ?
Apakah panah dari pecahan gada mampu membunuh krisna. ? Apa makna sesungguhnya.
Mohon pencerahannya
Om Shanti Shanti Shanti Om.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar