Jangan Paksakan Kebenaran Satu Kelompok
KALAU kita mencermati ajaran Hindu lewat Kitab Sarasamuccaya terbukti ajaran itu sangat relevan untuk segala zaman. Ajaran yang ratusan tahun ada sebelum Masehi ini bisa menjangkau zaman kekinian. Misalnya, soal surga yang sesungguhnya adalah “alam pembebasan dari kesenggaraan”. Surga tak bisa dikapling-kapling oleh kelompok tertentu. Tak ada satu kelompok yang mengklaim bahwa surga untuk kelompoknya dan neraka untuk kelompok lain. Begitu pula tak ada agama yang menyebutkan hanya umatnya saja yang memperoleh surga, penganut agama lain tidak dapat surga.
Sloka 35 Sarasamuccaya berbunyi: Ekam yadi bhavecchastram sreyo nissamcayam bhavet’ bahutvadiha sastranam guham creyah pravesitam. Bagi yang suka dengan terjemahan bahasa Jawa Kuno (Kawi) begini bunyinya: Yan tunggalang kite Sang Hyang Agama, tan sangsaya ngwang irikang sinanggah hayu, swarga pawargaphala, akeh mara sira, kapwa dudu paksanira, sowang-sowang hetuning wulangun, tan anggah ring anggehakena, hana ring guhagahwara, sira sang hayu.
Yang dimaksudkan adalah sesungguhnya semua agama memiliki tujuan yang sama. Semua agama mengajarkan kebajikan atau kebenaran untuk mencapai alam surga dan pembebasan dari kesengsaraan hidup itu. Namun cara masing-masing dalam mencari kebenaran berbeda-beda. Cara yang berbeda ini seringkali membuat orang bingung karena adanya fanatisme sempit. Orang bingung itu bisa saja membenarkan sesuatu yang tidak benar. Apalagi kalau mereka hidup berkelompok maka apa yang dianggap kebenaran oleh kelompok itu seolah-olah menjadi kebenaran untuk semua orang. Sebaliknya yang dianggap tidak benar, seolah-olah itu juga berlaku untuk semua orang. Dan kelompok di luar itu pun dianggap melakukan sesuatu yang salah. Bahkan yang lebih tragis, Tuhan seolah hanya untuk kelompoknya saja.
Fenomena seperti ini yang sering terjadi sehingga memunculkan pergesekan dalam kehidupan sosial di negara yang penduduknya majemuk ini. Maka muncul istilah intoleransi, artinya sama sekali tidak menghargai kelompok lain, tidak toleran terhadap perbedaan yang ada. Pengakuan bahwa pihaknya saja yang benar, yang lain serba salah. Bukan cuma menyalahkan bahkan kadang ada tuduhan bahwa kelompok lain itu disebutnya sebagai kelompok sesat. Padahal sesat dan tidak sesat itu didasarkan pada penilaian dari kelompoknya saja.
KALAU kita mencermati ajaran Hindu lewat Kitab Sarasamuccaya terbukti ajaran itu sangat relevan untuk segala zaman. Ajaran yang ratusan tahun ada sebelum Masehi ini bisa menjangkau zaman kekinian. Misalnya, soal surga yang sesungguhnya adalah “alam pembebasan dari kesenggaraan”. Surga tak bisa dikapling-kapling oleh kelompok tertentu. Tak ada satu kelompok yang mengklaim bahwa surga untuk kelompoknya dan neraka untuk kelompok lain. Begitu pula tak ada agama yang menyebutkan hanya umatnya saja yang memperoleh surga, penganut agama lain tidak dapat surga.
Sloka 35 Sarasamuccaya berbunyi: Ekam yadi bhavecchastram sreyo nissamcayam bhavet’ bahutvadiha sastranam guham creyah pravesitam. Bagi yang suka dengan terjemahan bahasa Jawa Kuno (Kawi) begini bunyinya: Yan tunggalang kite Sang Hyang Agama, tan sangsaya ngwang irikang sinanggah hayu, swarga pawargaphala, akeh mara sira, kapwa dudu paksanira, sowang-sowang hetuning wulangun, tan anggah ring anggehakena, hana ring guhagahwara, sira sang hayu.
Yang dimaksudkan adalah sesungguhnya semua agama memiliki tujuan yang sama. Semua agama mengajarkan kebajikan atau kebenaran untuk mencapai alam surga dan pembebasan dari kesengsaraan hidup itu. Namun cara masing-masing dalam mencari kebenaran berbeda-beda. Cara yang berbeda ini seringkali membuat orang bingung karena adanya fanatisme sempit. Orang bingung itu bisa saja membenarkan sesuatu yang tidak benar. Apalagi kalau mereka hidup berkelompok maka apa yang dianggap kebenaran oleh kelompok itu seolah-olah menjadi kebenaran untuk semua orang. Sebaliknya yang dianggap tidak benar, seolah-olah itu juga berlaku untuk semua orang. Dan kelompok di luar itu pun dianggap melakukan sesuatu yang salah. Bahkan yang lebih tragis, Tuhan seolah hanya untuk kelompoknya saja.
Fenomena seperti ini yang sering terjadi sehingga memunculkan pergesekan dalam kehidupan sosial di negara yang penduduknya majemuk ini. Maka muncul istilah intoleransi, artinya sama sekali tidak menghargai kelompok lain, tidak toleran terhadap perbedaan yang ada. Pengakuan bahwa pihaknya saja yang benar, yang lain serba salah. Bukan cuma menyalahkan bahkan kadang ada tuduhan bahwa kelompok lain itu disebutnya sebagai kelompok sesat. Padahal sesat dan tidak sesat itu didasarkan pada penilaian dari kelompoknya saja.
Pada tataran yang lebih luas, ada pula istilah yang sesungguhnya berangkat dari ketidak-tahuan. Misalnya istilah ada agama bumi dan ada agama langit. Yang dimaksudkan dari istilah ini adalah agama langit itu ajarannya berdasarkan wahyu Tuhan yang dihimpun dalam suatu kitab. Sedangkah agama bumi adalah ajaran agama yang bukan dari wahyu Tuhan dan hanya hasil rekaan dari “orang suci” yang dihimpun dalam satu kitab.
Sikap penganut Hindu pada umumnya tak mempedulikan istilah itu, karena tak ingin masalah seperti ini diributkan. Anggap saja yang menuduh Hindu sebagai agama bumi datang dari mereka yang memang tak tahu ajaran Hindu. Kitab suci Hindu yakni Weda adalah himpunan ajaran yang memang merupakan wahyu dari Tuhan yang diterima oleh tujuh Maharsi.
Dalam kitab Sarasamuccaya yang merupakan sumber ajaran etika di dalam agama Hindu, sudah dengan gamblang dijelaskan hal ini agar umat Hindu tidak perlu bingung, di mana sumber ajaran kebenaran yang abadi itu. Jelas Weda adalah wahyu Tuhan. Masalahnya adalah Weda yang terdiri dari empat pokok besar itu (Atharwa Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan Reg Weda) terdiri dari ribuan sloka yang mungkin sulit untuk dipelajari tanpa melalui tahapan tertentu.
Karena itu dalam sloka 39 Sarasamuccaya disebutkan: Ithiasa purana bhyam wedam samupawrmhayet, bibhetyalpasrutadwedo mamayam pracarisyati. Maksudnya adalah wahyu Tuhan hendaknya dipelajari dengan benar dan sempurna, dengan jalan mempelajari terlebih dahulu Ithiasa dan Purana dengan segala tafsir-tafsirnya. Sebab Weda sebagai wahyu Tuhan jika dipelajari oleh mereka yang memiliki kedangkalan pemahaman dan sedikit pengetahuan, akan menjadi sesuatu yang menakutkan. Bisa jadi dengan pemahaman yang salah menimbulkan kesimpulan yang sempit.
Di agama mana pun sering terjadi gesekan ke dalam karena berbeda menafsirkan ajaran agama itu sendiri. Sumber kitab sucinya bisa sama, tetapi cara pemahamannya bisa berbeda. Beruntunglah umat Hindu dibekali dengan pelajaran etika sebagaimana dirangkum dalam kitab Sarasamuccaya itu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar