Minggu, 02 November 2025

Subak dan Desa Adat: Warisan Bali Kuno yang Kian Tergerus Zaman



Subak dan desa adat bukan sekadar sistem pertanian dan kelembagaan sosial—keduanya adalah roh peradaban Bali kuno, lahir dari kebijaksanaan lokal yang menyatu dengan alam, ritus, dan kosmologi.
Subak mengajarkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan (Tri Hita Karana), sedangkan desa adat menjaga keteraturan hidup melalui pakem desa kala patra, menyesuaikan tatanan dengan konteks ruang, waktu, dan kondisi masyarakat.
Namun sejak Revolusi Hijau, subak mengalami pergeseran besar.
Teknologi pertanian modern dan pupuk kimia memaksakan pola tanam baru yang menyingkirkan kearifan siklus alami. Pola konsumsi pun berubah: dari keberlanjutan menjadi ketergantungan, dari spiritual menjadi industrial.
Subak, yang dulunya bersumber dari spiritualitas sawah dan hulu air, perlahan menjadi sistem teknokratis dan tergantung pada pasar.
Desa adat pun tak luput. Dulu, masing-masing desa tumbuh dengan karakter unik—ritus, kalender, bahkan arsitektur—berdasarkan pakem lokal.
Namun kini, dengan diberlakukannya sistem seragam melalui Majelis Desa Adat (MDA), muncul ketegangan antara pelestarian dan penyeragaman.
Otonomi budaya desa mulai tergantikan oleh struktur administratif yang kaku dan birokratis.
Di tengah perubahan ini, manusia Bali mengalami kegalauan eksistensial. Mereka terjebak di antara dua dunia: dunia warisan leluhur yang makin kabur, dan dunia modern yang menuntut efisiensi tanpa kompromi pada nilai.
Ketika petani tak lagi mengenal dewasa subak dan generasi muda tak paham makna rerainan, maka rasa keterhubungan dengan akar budaya pun tergerus.
Kegalauan ini tak hanya menyentuh budaya, tapi juga jiwa. Rasa terasing dari warisan leluhur menciptakan kekosongan identitas, yang kerap menjelma menjadi stres, kegelisahan kolektif, bahkan keputusasaan. Tak sedikit yang terjebak dalam rasa “tanggung”—menjadi generasi lebeng matah—yang tidak sepenuhnya terhubung pada budaya, namun juga tidak siap sepenuhnya menghadapi dunia modern.
Ini menjadi lahan subur bagi tumbuhnya tekanan mental dan meningkatnya kasus bunuh diri.
Kita sedang menyaksikan paradoks: modernisasi yang semula menjanjikan kemajuan, justru membuat manusia Bali bertanya kembali—“Siapakah aku, dan ke mana aku menuju?” Maka, menyulam kembali hubungan dengan akar budaya bukan langkah mundur, tapi upaya menyelamatkan diri dari kehampaan di tengah arus perubahan.
Dari pemuliaan subak sebagai laku spiritual hingga pemaknaan ulang desa adat sebagai ruang hidup, inilah saatnya manusia Bali kembali ke jati diri—agar tak kehilangan arah di tengah derasnya jaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar