untuk kebutuhan gengsi di Pulau Bali merupakan isu sosial yang cukup kompleks dan menarik untuk dibahas. Tren ini sering kali mencerminkan pergeseran nilai dan gaya hidup generasi muda di tengah tekanan modernitas dan pariwisata yang berkembang pesat di Bali.
Berikut beberapa poin yang menjelaskan tren ini:Di Bali, tanah warisan memiliki nilai budaya dan spiritual yang sangat kuat. Tanah bukan hanya aset ekonomi, tapi juga bagian dari identitas keluarga dan hubungan dengan leluhur.
Namun, generasi muda saat ini, terutama di daerah-daerah yang sudah sangat berkembang seperti Canggu, Kuta, atau Ubud, mulai melihat tanah warisan sebagai aset yang bisa dijual untuk mendapatkan uang cepat—sering kali untuk mendukung gaya hidup modern seperti:
Membeli kendaraan mewah
Liburan ke luar negeri
Membiayai gaya hidup media sosial
Membangun rumah atau properti modern
Pariwisata yang berkembang pesat di Bali menyebabkan harga tanah melonjak drastis. Banyak investor asing maupun lokal berlomba membeli tanah di daerah strategis. Hal ini membuat godaan untuk menjual tanah sangat tinggi.
Istilah "biar kelihatan sukses" menjadi alasan utama banyak anak muda menjual tanah. Di komunitas-komunitas tertentu, status sosial kini sering kali diukur dari:
Pakaian bermerek
Mobil baru
Gaya hidup mewah
Popularitas di media sosial
Sayangnya, banyak yang mengorbankan aset jangka panjang seperti tanah warisan hanya untuk pencitraan jangka pendek.
Tak jarang, keputusan menjual tanah warisan memicu konflik antar anggota keluarga. Orang tua atau generasi tua cenderung menentang keras, karena menganggap tanah sebagai bagian dari keberlangsungan keluarga dan adat.
Menjual tanah warisan untuk gengsi mungkin terasa menguntungkan dalam jangka pendek, tapi bisa menimbulkan dampak seperti:
Kehilangan akar budaya dan koneksi leluhur
Kehilangan potensi ekonomi jangka panjang (tanah bisa disewakan, dikembangkan)
Ketergantungan pada gaya hidup konsumtif
Tidak adanya warisan untuk generasi berikutnya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar