Perkawinan sangat berarti bagi kita semua, bagi masyarakat Bali perkawinan memiliki kedudukan yang tinggi. Perkawinan dalam agama Hindu diharapkan menjadi sebuah hubungan yang kekal bagi suami dan istri. Istilah perkawinan dalam sastra dan Kitab Hukum Hindu (Smriti) disebut WIWAHA.
Jika dalam perkawinan seorang Perempuan dari kalangan sudra yang menikah dengan laki-laki golongan triwangsa tidak akan pernah masuk kedalam soroh atau clan suaminya, dalam artian perempuan sudra tidak akan berubah kastanya mengikuti kasta suaminya biarpun telah menikah. Pada waktu upacara perkawinannya si perempuan mungkin tidak akan bersanding dengan suaminya melainkan bersanding dengan keris atau dengan banten saja. Sesajen perkawinannya mungkin berbeda dan dipisahkan dengan banten suaminya. Surudan(prasadam) bantennya tidak akan mau dimakan oleh suami dan keluarganya. Dalam tata tertib berbahasa pun istri diharuskan berbahasa bali alus bukan hanya kepada suaminya dan keluarga suaminya saja, tetapi juga kepada anak-anaknya sementara itu anaknya bisa saja berbahasa kasar kepada ibunya. Si istri juga akan dilarang untuk bersembahyang di pura keluarga dan pura kawitannya dan dilarang untuk nyumbah mayat keluarganya dan orang tuanya jika meninggal nanti, dan keluarganya pun harus berbahasa bali alus kepadanya. Sedangkan jika nanti si istri ini meninggal dunia, anak-anaknya dan keluarga suaminya tidak akan dibenarkan untuk memikul mayatnya dalam perjalanan menuju kuburan.
Lain halnya ketika seorang perempuan triwangsa kawin dengan laki-laki dari golongan sudra. Perempuan tersebut dikatakan nyerod atau tergelincir ke bawah. Perempuan ini juga akan menjalani proses penurunan kasta atau patiwangi sesuai dengan kasta suaminya yang biasanya dilakukan dengan cara mengitari bale agung sebanyak tiga kali. Proses patiwangi ini sebenarnya lebih menyerang sisi psikologis atau aspek kejiwaan dari perempuan triwangsa ini sehingga sebelum seorang perempuan triwangsa akan melakukan perkawinan beda kasta mereka akan berpikir berulang-ulang kali. Setelah melalui proses patiwangi ini si perempuan triwangsa ini akan dikeluarkan dari golongannya dan tidak berhak lagi atas gelar yang sebelumnya disandang dan tidak diizinkan untuk pulang ke geriyanya lagi.
- Perkawinan Adat Bali dalam hukum adat (dresta) Bali, dibagi menjadi 2 bentuk yaitu:
Perkawinan Biasa (Mepandik), Yaitu dalam perkawinan pihak laki-laki berstatus purusa, dan pihak perempuan berstatus pradana. Purusa dalam pengertian ini adalah: sebagai pelanjut keturunan dalam keluarga. Ini merupakan jenis perkawinan yang termasuk perkawinan biasa. Perkawinan ini dilakukan dengan cara meminang atau melamar perempuan tersebut dan disetujui oleh kedua belah pihak keluarga. - Perkawinan Nyeburin atau Nyentana: dalam perkawinan ini pihak perempuan sebagai purusa, sedangkan mempelai laki-laki yang berstatus pradana. Pada awalnya, perkawinan nyeburin dilakukan dalam upaya untuk mencegah putusnya garis keturunan dalam keluarga, tetapi perkembangan selanjutnya adalah untuk tetap mempertahankan anak perempuan tersebut dalam keluarga.
Namun dalam pelaksanaannya ternyata terdapat banyak sekali jenis-jenis perkawinan adat Bali baik yang masih dilakukan sampai yang tidak lagi dilakukan. Berikut ini macam-macam perkawinan adat Bali :
- Perkawinan Nyerod
- Perkawinan Mepandik
- Perkawinan Jejangkepan
- Perkawinan Nyangkring
- Perkawinan Ngodalin
- Perkawinan Tetagon
- Perkawinan Ngunggahin
- Perkawinan Melegandang
- Perkawinan Padagelahang
Perkawinan adat bali selalu dilakukan dengan upacara pengagungan kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta, agar diberkati kesalamatan dan kerahayuan selama mengarungi bahtera rumah tangga. Tahapan perkawinan dilakukan di rumah mempelai pria dan dalam pelaksanaan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk acara tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki–laki.
Terima kasih: Gazes Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar