Perkawinan Nyerod dilakukan dengan cara diam-diam atau mungkin lebih dikenal dengan istilah kawin lari, biasanya karena tidak disetujui oleh pihak keluarga perempuan. Alasan tidak direstuinya perkawinan karena perbedaan kasta/wangsa antara laki-laki dan perempuan. Seperti yang kita ketahui di Bali dikenal ada 4 kasta yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra. Brahmana, Ksatria dan Waisya lazim disebut dengan Tri Wangsa. Disebut Perkawinan Nyerod perkawinan dimana kondisi si perempuan memiliki kasta yang lebih tinggi (perempuan triwangsa) dari pada si laki-laki. Pada zaman dahulu perkawinan nyerod ini sangat dihindari dan dilarang dikarenakan adanya sanksi bagi yang melakukannya. Perkawinan Nyerod ini juga disebut sebagai Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Secara harfiah asu pundung dapat diartikan ”menggendong anjing (asu)”, sedangkan ungkapan yang kedua berarti “melompati kepala”.
Perkawinan asu pundung dan alangkahi karang hulu oleh penguasa Bali zaman itu dianggap menentang hukum alam, karena air mani laki-laki berkasta lebih rendah dialirkan ke atas melalui ovum perempuan yang kastanya lebih tinggi. Tindakan ini sama artinya dengan melangkahi kepala para bangsawan Bali.
Sanksi hukum akan dikenakan bagi pasangan yang melakukan perkawinan nyerod ini baik bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, antara lain penurunan kasta bagi mempelai perempuan, hukuman buang keluar Bali yang dikenal dengan hukuman Selong bagi kedua mempelai, bahkan sampai hukuman labuh gni dan labuh batu. Walaupun secara yuridis formal larangan Perkawinan Nyerod telah dihapus melalui Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, namun nilai-nilai yang mendasari larangan tersebut secara sosiologis masih membekas pada sikap sebagian masyarakat Bali. Sehingga hal ini tidak menegubah cara berfikir masyarakat Bali mengenai perkawinan nyerod beda kasta. Masyarakat Bali jauh lebih senang melakukan perkawinan intrawangsa daripada perkawinan antarwangsa.
Dalam perkembangannya masih banyak kaum berkasta Brahmana yang tidak dapat menerima perkawinan nyerod ini. Dari hal inilah muncul sebuah permasalahan yang terjadi di dalam perkawinan nyerod, yaitu bagaimana nasib para pelaku perkawinan nyerod ini ketika harus bercerai. Dari hal inilah muncul sebuah permasalahan yang terjadi di dalam perkawinan nyerod, yaitu bagaimana nasib para pelaku perkawinan nyerod ini ketika harus bercerai. Jika dalam perkawinan biasa, seseorang bercerai maka kedua belah pihak akan kembali ke rumahnya masing-masing namun dalam perkawinan nyerod jika terjadi perceraian pihak perempuan tidak dapat kembali ke griya/rumahnya lagi tapi sebaliknya pihak laki-laki dapat kembali ke rumahnya lagi.
Dengan kehilangan gelarnya sebagai triwangsa maka perempuan ini tidak bisa balik lagi ke keluarga asalnya sehingga apabila terjadi perceraian perempuan ini akan terlantar karena tidak bisa tinggal di rumah mantan suaminya dan tidak bisa kembali ke rumah asalnya atau biasa disebut ngutang raga atau ngumbang. Maka pada masa itu jarang ada perempuan yang melakukan perkawinan beda kasta memutuskan untuk bercerai. Diperlakukan seburuk dan sekasar apapun perempuan ini akan tetap bertahan dikarenakan jika perempuan ini bercerai maka dia akan terlantar. Dengan terlantarnya perempuan ini maka dia akan kehilangan segala bentuk hak dan kewajibannya Hal ini tentu menimbulkan masalah bagi pihak perempuan, apalagi yang terkait dengan kedudukan perempuan tersebut baik di keluarga asalnya dan dimasyarakat. Dalam perkawinan beda kasta pada masa pelarangan perkawinan beda kasta, kita bisa melihat bagaimana seseorang perempuan diperlakukan secara tidak adil.
Kedudukan perempuan yang lemah dalam perkawinan beda kasta tidak sampai berhenti sampai disini saja. Bila perempuan yang melakukan perkawinan beda kasta ini bercerai maka kedudukan perempuan ini akan terombang-ambing tidak jelas baik di keluarga maupun di masyarakat. Dalam hal perkawinan beda kasta, perceraian yang terjadi akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kedudukan perempuan. Setelah dicabutnya paswara 1927 mengenai asu pundung alangkahi karang hulu, menyebabkan perkawinan beda kasta tidak dilarang lagi untuk dilakukan dan upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi. Dengan tidak dilaksanakannya lagi upacara patiwangi maka perempuan yang akan melakukan perkawinan beda kasta tidak perlu kehilangan kastanya. Hal ini menjadi sangat berarti bagi perempuan triwangsa yang melakukan perkawinan beda kasta, karena apabila terjadi perceraian maka mereka masih bisa kembali ke rumah asalnya karena masih menyandang gelar triwangsa tersebut dan kedudukan perempuan triwangsa ini pun masih diterima sebagai bagian dari keluarga. Kedudukan yang dimaksud disini adalah terkait hak dan kewajiban yang dimiliki perempuan triwangsa ini. Secara umum dapat dikatakan kewajiban (swadharma) ini meliputi aktivitas keagamaan sesuai dengan ajaran agama Hindu dan tempat suci (parahyangan) baik dalam keluarga maupun masyarakat, kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas kemanusiaan (pawongan) baik bagi keluarga sendiri maupun masyarakat dan kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas memelihara lingkungan alam (palemahan) baik untuk kepentingan keluarga maupun masyarakat.
DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Terkait dengan hak-haknya (swadharma) ada hubungannya dengan penerusan harta kekayaan keluarga dan leluhur serta pemanfaatan fasilitas miliki desa pakraman seperti tanah desa, tempat suci, kuburan (setra). Dengan kembalinya perempuan triwangsa ini kerumah, maka tidak ada lagi yang namanya perempuan terlantar sebagai akibat perceraian beda kasta. Kedudukan perempuan setelah terjadinya perceraian dari perkawinan beda kasta kemudian lebih diperjelas lagi dalam Keputusan Pasamuhan Agung III yang dikeluarkan Majelis Desa Pakraman pada tahun 2010.
Akibat perceraian terhadap kedudukan perempuan menurut Keputusan Pasamuhan Agung III ini pihak perempuan triwangsa yang bercerai dari perkawinan beda kasta akan kembali ke rumah asalnya dengan status mulih deha (kembali gadis) Dengan kembali berstatus mulih deha, maka swadharma dan swadikara di rumah orang tuanya akan kembali sebagaimana ketika ia masih belum kawin. Dalam hal ini keluarga perempuan triwangsa tersebut harus mau menerima kembali hadirnya perempuan triwangsa ini ke rumah, walaupun memang tidak ada aturan yang memberikan sanksi jika keluarga tersebut tidak mau menerima kembali kehadiran perempuan triwangsa tersebut.
Terkait dengan harta bersama atau harta gunakaya akan dibagi sama rata dengan prinsip pedum pada. Hal ini tentu berbeda dengan pembagian harta gunakaya pada zaman dulu, dimana hanya pihak laki-laki yang diuntungkan dalam pembagian harta bersama ini. Namun sekarang pembagian harta guna kaya harus dibagi sama rata diantara kedua belah pihak. Mengenai pengasuhan anak pada masa sekarang ini atau setelah keluarnya Keputusan Pasamuhan Agung III ini sudah dianggap mampu menghargai posisi seorang perempuan sebagai ibu.
Pada masa lalu, pengasuhan anak adalah hak dan tanggung jawab keluarga dari bapaknya, karena didasarkan atas sistem patrilineal. Dengan adanya perceraian maka seorang ibu tidak punya lagi hubungan hukum dengan anaknya.
Namun Setelah adanya keputusan Pasamuhan Agung III maka setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
Namun Setelah adanya keputusan Pasamuhan Agung III maka setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
Terima kasih: Gazez Bali
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar