Jumat, 25 November 2016

Asketisme dan Erotisme Siwa pada Sastra Jawa Kuno

Dagang Banten Bali






Asketisme dan Erotisme Siwa pada Sastra Jawa Kuno
Oleh: I ketut Sandika
Ajaran Tantra dalam sastra jawa kuno memberikan sebuah penggambaran bahwa yoga sastra begitu nampak hidup dalam relung-relung pemikiran para rakawi. Mereka membuat kawian atau kekawin bukan lagi untuk penikmatan lahiriah tetapi memuncak pada pencapaian penyatuan dengan kemanunggalan mistis. Sebagaimana jelas terlihat pada setiap "manggala" atau bait awal syair kekawin dituliskan kidung pujaan yang mendalam kepada dewa pujaan sebagai sang karas kawi. Tujuannya sudah jelas ada kerinduan menyatu denganNya sebagai sumber keindahan (witning lango). Bagi sang rakwi, yantra bukan lagi yang lain selain daripada satsra kawi yang dibuat. Yang illahi sudah pasti ada pada setiap karya sastranya yang membuahkan lango (keindahan) yang dicapai melalui pengalaman, dan akhirnya dirinya dikuasai keindahan. Ketika daya estetik berkuasa maka tidak lagi ada keindahan pada hal yang lain. Proses penciptaan lango (angadon lango) pun menjadikan sastranya sebagai wadah untuk dewa (anandakanda padma). Olehnya, para rakawi adalah ia yang membangun candi pustaka untuk mensthanakan ista dewata yang dipuja. Meramu keindahan pun berlanjut pada episode erotis sastra dimana menjadikan wanita sebagai objek keindahan. Kecenderungan yang demikian, bukan diartikan sebagai eksploitasi tubuh (keindahan) perempuan, tetapi lebih kepada menaratifkan keindahan hingga membangkitkan lango dalam diri. Proses yang demikian sesungguhnya bagi mereka adalah jalan yoga sastra dengan mengurip keindahan wanita dalam yantra sastra. Sebab, lango hanya dapat dialami oleh mereka ketika menggambarkan keindahan alam, hutan, pelukisan keindahan perempuan sampai dengan bercinta. Semua itu mereka narasikan dalam narasi besar yang sesungguhnya adalah meinterpretasi kekuatan Siwa sebagai yang asketisme dan erotisme. Dua kekuatan ini nampak bertentangan, tetapi sesungguhnya saling melengkapi dan inti dari ajaran tantra terletak pada penyeimbangan antara dua aspek ini. Para kawia Jawa Kuno sudah memahami hal ini sebagai sebuah realisasi diri sehingga tak lagi ada keberpihakan antara mencapai pembebasan dengan cara tapa dan mencapai kebebasan dengan cara erotisme. Sehingga banyak dalam kekawin ditemukan dua aspek ini begitu hidup. Sebut saja kekawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguna yang menarasikan keindahan pertapa, alam dan tidak menyembunyikan hasrat pengawi pada erotisme perempuan. Seperti dalam kutipan terjemahan berikut.
---------------------
...,dia bertelanjang dada ketika keluar dari air, seolah taman bertubuh betari. Air menetes dari dagunya serupa titik-titik air dari sumber yang merebes di sela-sela bebatuan. Payudaranya berlumur air, berkilat seperti buah beluluk kelapa gading kehujanan. Percik air dari gelembung rambutnya yang dikibaskan serupa awan serbuk sari bunga pandan,....(pupuh 2)
----------------------
Petikan teks kekawin Sumanasantaka tersebut menyiratkan kemahiran sang rakwi angadon lango (meramu keindahan), sehingga aras-aras kawi mampu membangkitkan rasa keindahan ( bukan nafsu buta) dalam diri. Proses meramu keindahan inilah yang relevan dijadikan refleksi dalam dunia kekinian di mana daya estetik manusia sudah terdistorsi dan diblok oleh domain keberpihakan yang justru mengkerdilkan makna keindahan sebagai akar harmoni. Para penjaga setia sastra ini perlu ditauladani dalam mana mereka bertransformasi diri dengan cara membangun candi bhasa sastra indah dengan harapan hati kita menjadi indah hingga semua yang terlihat begitu indah, bagaikan tetes madu yang ditinggalkan kawanan lebah begitu indah bak tetes minyak wangi tersaji di atas dua payudara yang mengkilat indah.
-----------------
Daftar pustaka
Kieven Lidya.2014. Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Zaman Majapahit. Jakarta:KPG.
Worsley, dkk. 2014. Kekawin Sumanasantaka, Matj karena Bunga Sumanasa. Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar