Senin, 11 Juli 2022

EHIPASSIKO

 


Pada suatu hari Sang Buddha singgah di sebuah kota kecil bernama Kesaputta di kerajaan Kosala. Penduduk kota ini biasanya disebut sebagai kaum Kalama. Ketika mendengar bahwa Sang Buddha singgah di kota mereka, berduyun-duyunlah mereka mengunjungi Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau: “Bhante, beberapa orang pertapa dan brahmana yang mengunjungi kota kami memberikan ajarannya kepada kami dengan mengatakan bahwa yang mereka ajarkan itu yang paling benar dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang lain.
Sesudah itu, datang pula pertapa dan brahmana lain. Mereka pun memberikan ajaran-ajaran mereka dan mengatakan bahwa hanya ajaran mereka sajalah yang paling benar dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang lain. Sementara itu, kalau diperhatikan dengan baik, ajaran-ajaran mereka sering bertentangan satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, kami jadi ragu-ragu dan bingung dan tidak tahu siapa di antara para pertapa dan brahmana itu yang bicara benar dan siapa yang berdusta”.
Kemudian Sang Buddha memberikan jawaban yang unik dalam sejarah keagamaan. “Yah, putera-putera Kalama, sudah sewajarnyalah kamu ragu-ragu dan bingung disebabkan oleh sesuatu hal yang memang meragukan dan membingungkan sekali. Nah, dengarlah baik-baik apa yang akan Kukatakan.
Janganlah percaya begitu saja kepada berita yang disampaikan kepadamu, atau karena sesuatu sudah merupakan tradisi atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja kepada sesuatu yang katanya sudah diramalkan dalam buku-buku suci; juga kepada sesuatu yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga kepada sesuatu yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga karena sesuatu yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau karena kamu ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu. Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa ‘hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan’, maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut di atas.
Tetapi, kalau, setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa ‘hal ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan, akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan’, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut di atas.
Selanjutnya, Sang Buddha mengatakan bahwa siswa-siswa-Nya harus meneliti dengan baik ajaran Sang Tathagata, sehingga mereka benar-benar yakin bahwa ajaran Sang Buddha itu benar adanya.
Keragu-raguan (vicikiccha) merupakan salah satu dari lima penghalang untuk mendapatkan pengertian yang terang tentang Kesunyataan dan menjadi rintangan bagi kemajuan batiniah seseorang. Tetapi keragu-raguan bukanlah merupakan dosa, karena pada hakekatnya Agama Buddha tidak mengenal dosa seperti yang dimaksud dalam agama-agama lain.

Bila Tuhan ada..... Adakah yang pernah melihatnya?

 


Tuhan itu ada di dua hal yang berbeda. Pada pikiran orang yang menyebutnya tidak ada maka Beliau seratus persen tidak tidak ada. Akan tetapi pada pikiran orang yang menyebut Beliau ada maka seratus persen Beliau ada.
Terkadang seiring perjalanan orang yang menyebut Tuhan tidak ada malah berbalik menjadi sangat religius dan menemukan keberadaan Tuhan. Sedangkan orang yang menyebut Beliau adalah ada dan nyata pada perjalanan waktu bisa berubah dan digerogoti kesangsian besar.
Sebuah buku atau lontar yang fresh dimana disana tertulis tentang tirta...anda peras sekalipun sampai rusak airnya tidak akan keluar dari sana kecuali sempat dicelupkan ke air. Berbeda bila anda memeras parutan kelapa atau buah lainnya yang segar. Tapi ada suatu hal yang sulit ditelaah yaitu hal yang kita cap sebagai keajaiban yang bukan karena ilusi rekayasa sulap. Orang yang pada pejalanan spiritual yang hendak mengetahui Tuhanpun butuh berproses...akan tetapi ada juga orang yang tanpa mencari dan tanpa memiliki bakti untuk percaya mampu mengetahuiNya. Mereka yang mendapat keajaiban demikian adalah karena karma masa lalunya sehingga ia bisa kembali menyadari jati dirinya yang sejati.
“Aku melihat Tuhan seperti melihat engkau saat ini!” Cuplikan kalimat ini berasal dari adaptasi percakapan Sang Guru dengan sang murid yaitu Swami Wiwekananda.
Sarwa Khalwidam Brahma ini adalah salah satu mahawakya weda yang terkenal. Meskipun demikian ada banyak orang hindu yang tidak bisa memaknai apa yang dimaksud demikian. Meski mengerti ia juga sulit menerimanya.
Untuk berbeda pemahaman adalah hal yang biasa...para maharsi, orang suci, atau yogi sekalipun juga bisa memiliki pemahaman yang berbeda.
Kita semua adalah orang buta yang meraba gajah...meski gajah itu tidak terlihat akan tetapi gajah itu ada.

Aku lahir untuk mengenal diriKu (Tuhan)
Tuhan dalam Hindu disebut ada banyak dan iya memang banyak, akan tetapi semua adalah satu kesatuan ibarat setiap mahluk jiwanya bersumber satu (Murti). Banyak nama-nama Tuhan tersebut dimana membuat kesan ada banyak Tuhan akan tetapi itu adalah Ekam Sat Viprah Bahuda Wadanti.
Tuhan tidak memiliki wujud "Na Tasya Pratima Asti"....semua identitas adalah juga Tuhan. Hanya saja identitas yang kita miliki membuat kita terikat pada identitas tersebut dan terkecoh olehnya demikian juga banyak dari kita terkecoh akan salah satu identias Tuhan dimana Beliau memiliki sahasra (ribuan/tanpa batas) identitas.
Aku adalah Agus maka aku terikat pada identitas nama ini dan menolak disamakan dengan nama orang lain sebab itu adalah identitas lain yang bukan diriku demikian juga dengan mengenal satu identitas Tuhan dan dengan sempit memandang identitas yang lain sebagai identitas yang tidak sama karena kenyataan pikiran kita secara naluriah adalah memisahkan sesuatu untuk mengenalnya lebih mudah.
Kita sulit memikirkan bahwa jiwa setiap mahluk adalah satu apalagi mengenal Tuhan yang bersemayam dalam diri dan merupakan kesadaran sejati tersebut===maka ini hanya akan cuma menjadi petuah dari kitab suci bagi kita yang belum siap kesana.
Siapa sejatinya Tuhan itu? Itu adalah Engkau (Chandogya Upanishad 6.8.7)
Swataketu mendapat jawaban Tat Tvam Asi (Chandogya Upanishad 6.8.7)



GAYATRI atau SAVITR RK

 


Diambil/terinspirasi dr ceramah Guru Shrii Shrii Anandamurti:
Beliau memulai ceramah dg menjelaskan satu slokha dr RK Veda yg berarti (terjemahannya)
"Salutasi kepada-Mu oh Tuhan (Savita), kami bermeditasi dlm cahaya-Mu, bimbinglah pikiran kami di jln yg benar shg hidup kami menjadi berguna dan penuh berkah spiritual".
Kemudian dia menjelaskan nama sebenarnya dr do'a ini adlh Savitr Rk bukan Gayatri Mantra. Rk Veda dibagi menjadi bagian yg disebut mańd́ala. Mańd́alas dibagi menjadi súktas dan súktas dibagi lg dlm rks. Savitr Rk (rk untuk Savitá) disusun dlm irama Gayatri. Anandamurti melanjutkan bahwa Savitá means father ( sa-vita, Dia dr mana semua berasal spt wit menjadi kawitan, Sunda Kawiwitan dlm bhs Indonesia/Bali) dan A-U-M bermakna penciptaan, pemeliharaan dan peleburan. Jadi kita hrs bermeditasi pada Bapak Yg Agung (Savita) shg Dia menuntun pikiran/intelek kita ke jalan pencerahan.
Terjemahan harfiah untuk lbh memahami maknanya sbb:
Karena do'a adlh komunikasi kita kepada Tuhan, artinya kita menyampaikan sesuatu kpd-Nya, shg apa yg diucapkan hrs sesuai dg yg dipikirkan, shg menjadi penting untuk mengetahui apa yg diucapkan shg yg dipikirkan pun hrs selaras:
AUM = umum digunakan mengawali segala macam doa yg berarti aksara brahma (ang ung mang).
Bhur, buwah, svah, mahar, janah, tapa, satya lokadst adalah tujuh strata alam semesta.
Tuhan pencipta alam semesta...
Tat = itu, dia
SAVITA = ista Dewata, sawitur = kepada Sawita
Varenyam = salutasi, pemujaan, sembah sujud...
Kepada Tuhan, Sang Pencipta sumber kehidupan, Bapa yg Agung, semua puja, sembah dan sujud kami haturkan kpd-Mu
Bhargo = pancaran, radiasi, cemerlang
Devasya = cahaya (nya),
Dimahi = kami bermeditasi (memusatkan pikiran
Dalam radiasi cahaya yg cemerlang-Mu (Sawita) kami memusatkan pikiran.
Dhiiyo yo nah pracodayat =
Nah dhiiyo yah pracodayat
Nah = kami
Dhiiyo = pikiran kami
Yah = milik kami
Pracodayat = dibimbing, diterangi.
Agar pikiran/intelek kami ini diberikan penerangan (dituntun ke jalan penuh cahaya)
Demikianlah, untuk mendapatkan manfaat sebaik2nya dr doa ini seyogyanya kita mengucapkan, memikirkan dan meresapi dalam2 maknanya.
Al hasil, Savita berkenan, maka Dia akan menunjukkan kpd kita jln yg benar, selanjutnya siapkan diri untuk mengikuti jln tersebut.
Dlm hal ini, berkaitan dgn doa dan jalan yg dimohon, maka dibedakanlah dua macam diiks'a yaitu:
Vaedik diiksa = dimana sadhaka diberikan intruksi untuk berdoa memohon petunjuk (dg RK SAVITR ini).
Tantrik diiksa = dimana sadhaka diberi intruksi ttg sadhana/proses meditasi yg harus dilakukan untuk mencapai tujuan (moksartham).
Setelah memohon untuk dituntun dan dibimbing, katakanlah Tuhan berkenan lalu memberi petunjuk, memberikan jalan yg harus ditempuh... maka tugas selanjutnya adalah melangkah/bergerak/berjalan ke arah tujuan sesuai petunjuk-Nya. Tdk cukup hanya doa... tapi harus melakukan Sadhana. Disinilah upa-cara = cara/langkah mendekatkan diri kpd-Nya. Jadi upacara tdk hanya dimaknai sbg ritual tp langkah konkrit, sadhana, menempa diri dlm disiplin untuk mencapai-Nya.

Gayatri mantram ataukah Savitri mantram ?

 


Dalam Rg Savitr dinyatakan:
Om bhur bhuvah svah
Om tat savitur varenyam
Bhargo devasya dhimahi
Dhiyo yo nah pracodhayat om.
Sebagaimana diketahui Rg Veda merupakan Veda yang tertua di dunia dan perujudannya dibagi menjadi beberapa bagian. Bentuk pembagian pertama disebut mandala, setiap mandala dibagi menjadi sejumlah sukta, dan setiap sukta dibagi menjadi sejumlah Rg. Jadi setiap sloka dari Rg Veda itu disebut rg. Itulah sebabnya veda itu disebut Rg Veda. Mantra yang dikenal oleh umum sebagai "Gayatri Mantram" sebenarnya ialah merupakan sebuah rg dari mandala ke 3, sukta ke 63, rg ke 10.
Di dalam Rg Veda rg itu diberi nama sesuai dengan nama istadewata (tuhan) yang dipuja melalui rg tersebut. Rg dalam sloka ini dewata pujaan itu di sebut "savita" yang artinya yang maha bersinar karena itu mantram ini disebut "Rg Savita" yaitu Rg bagi savita.
Mantram ini disusun dengan irama yang disebut irama gayatri. Dalam veda terdapat 7 jenis irama yaitu gayatri, usnika, tristupa, anustupa, brhati, jagatii dan paunakti.
Dalam irama gayatri, mantram-mantram itu terdiri dari tiga baris dan setiap baris terdiri dari delapan suku kata.
Mantram Rg savitr diatas merupakan bentuk yang masih asli walaupun kalimat yang pertama di tambahkan kemudian, imbuhan atau tambahan itu diambil dari atharva veda.
Jadi bentuknya yang murni adalah:
Bait pertama : Tat savitur varenyam.
Bait kedua : Bhargo devasya dimahi
Bait ketiga : Dhiyo yo nah pracodayat
Seharusnya setiap baris terdiri dari 8 suku kata, akan tetapi tat-sa-vi-tur -va-re-nyam terdiri dari 7 suku kata. Menurut lazimnya terdiri dari delapan suku kata. Dalam membaca veda, irama menduduki tempat terpenting. Apabila terjadi perbedaan di antara tata bahasa dengan irama maka irama itulah yang harus dimenangkan. Dan disini untuk kepentingan irama, maka cara pengucapannya adalah tat-sa-vi-tur-va-re-ni-yam. Sehingga menjadi 8 suku kata.
Nama mantram sloka diatas yang dikenal oleh umum adalah gayatri mantram namun sebenarnya nama mantram tersebut adalah savitri mantrarn dengan chanda/irama gayatri.
Rg Veda adalah Veda tertua, pada jaman veda orang belum mengenal tulisan. Pengajaran dilaksanakan dengan lisan. Guru berbicara murid-murid mendengarkan, pendengarannya di sebut "Sruti" dalam bahasa sansekerta. Karena itu
salah satu nama Veda adalah Sruti. Pada waktu itu murid murid tidak membaca karena huruf- huruf belum dikenal. Bahasa sanskerta tidak memiliki huruf sendiri. Bahasa sanskerta ditulis dengan menggunakan huruf-huruf yang terdapat dan berkembang di berbagai wilayah dan daerah lain dari jaman ke jaman.

Sanatana Dharma

 


Sanatana Dharma memiliki nama international yaitu Hindu yang disebut berasal dari penyebutan geograpikal Sindu yang merupakan nama Sungai. Sebutan Hindu untuk Sindu sepertinya berasal dari penyebutan bangsa Arab seperti yang tertuang dalam naskah kuno Sayar Ul Okul yang tersimpan di sebuah perpustakaan kuno di Turki yang kini menjadi Universitas ternama.
Kita umum mengetahui bahwa perantara atau penengah budaya timur untuk Eropa adalah Arab yang juga disebut sebagai wilayah Timur Tengah.
Dunia juga telah mengetahui bahwa sistem bilangan yang kita warisi saat ini berasal dari kebudayaan sungai Sindu yang oleh Khawarizmi diperkenalkan dalam kompediumnya sebagai Hindu-Arabic Numerals.
Penyebutan Sindu sendiri di jepang menjadi Sinto. Sehingga pada keyakinan Sinto di Jepang memiliki banyak kemiripan juga dengan kita yang berada di Nusantara. Misal saja penyebutan Wisnu yaitu Bichnuten (Bichnu). Wisnu sendiri kita kenal juga memiliki dua simbol Aksara yaitu Ang dan Ung.
Bichnuten juga dikenal sebagai Angyo dan Ungyo yang dimana ketika bersatu membentuk AUM atau AM atau OM atau terbaca ON.
Di India bagian selatan dan Bali sendiri sebagai ONG. Ada banyak bukti keterkaitan Sinto menuju Sindu atau apa yang secara internasional saat ini disebut Hinduisme yaitu: Naraen (Narayana), Makeishura (Maheswara), Amatarasu (Dewi Ama/Amba), Bonma (Brahma), Karura (Garuda), dst.
Pada kebudayaan mesir kuno sekalipun kita bisa temukan jejak Hinduisme yaitu pada simbol kepercayaan Mesir Kuno misal saja sebagai beberapa contoh: Amon atau “YMN” kata ini merujuk Yamuna bersimbolkan Dewa dengan kulit biru dan memiliki simbol Kobra, jadi penyebutan Amon Ra sendiri setara dengan penyebutan kita di Bali yang menggunakan istilah Siwa Raditya. Reruntuhan pura Amon Ra yang terkenal yaitu Oracle Temple berada disebuah wilayah yang disebut Siwa Oasis (Dalam Bahasa Arab penyebutan Siwa Oasis “Wahat Siwah”).
Kemudian mari kita telusuri sekarang istilah adat adalah berasal dari bahasa Arab yang diserap kedalam bahasa Indonesia, yang kemudian kita pakai juga di bali. Kata desa adat sebenarnya tidak di kenal di Bali, yang ada adalah sebutan Desa Pakraman.
Jadi pada desa Pakraman memang ada aturan yang dibuat bersama krama desa demi tertibnya kehidupan di desa setempat. Aturan yang dibuat itu adalah berupa undang-undang kecil yang disebut awig-awig desa. Sebab diatasnya masih ada aturan atau Kerta yang cakupannya lebih luas sebab memakai acuan juga dengan Dharmasastra yang di tegakkan dan di putuskan oleh Ida Pedanda Kerta.
Jadi bila ada perselisihan yang tidak bisa di selesaikan di Desa maka masalah tersebut akan dibawa ke Pengadilan Kerta.
Tiap desa pakraman adalah berdiri secara merderka atau autonomi tanpa harus diatur oleh pihak luar kecuali bila terjadi perselisihan hebat internal yang sama sekali tidak bisa diselesaikan ataupun bila terjadi perang antar desa masalah tapal batas, dll., meski demikian tiap desa pakraman itu akan berusaha keras menyelesaikan konflik dengan baik yang disaksikan dan ditangani oleh pemucuk puncak yaitu Jero Bendesanya sendiri.
Sehingga jaman dahulu adalah sangat penting untuk bisa memaksimalkan segala masalah untuk diselesaikan secara internal dengan keputusan Jero Bendesa, Kelian, dan perangkat desa yang terkait bila menyangkut desa pakramannya tersebut. Hal tersebut juga sebaiknya tetap dilaksanakan demikian dimasa ini demi tegakknya nama baik desa masing-masing. Dalam hal ini sama sekali tidak bermakna bahwa aturan desa adalah bersifat supremasi multlak akan tetapi sifatnya yang benar adalah humanism sesuai makna pakraman.
Menyangkut berkeyakinan sebagai manusia kita harus bisa merdeka dalam menentukan pilihan dan jalan sendiri dalam berkeyakinan.
Meski pilihan dan jalan itu kita tempuh adalah berbeda-beda akan tetapi intinya tetap satu yaitu pada Dharma. Hindu men-encourage pemeluknya untuk bisa menentukan jalannya sendiri dan menjadi dirinya sendiri. Ia harus bisa menyadari dirinya sendiri secara utuh “Aku adalah Aku”. Aturan awig-awig desa sendiri mengatur hal umum yang tidak sampai mengatur hal pribadi kecuali menyentuh taboo bersama misal: Perselingkuhan, Pertumpahan Darah, Menghina Martabat, Kemalasan, dll., pada umumnya awig-awig desa bersifat bagi umum dan tidak mengatur hingga perindividu supaya seragam dalam berkeyakinan. Bila kita memakai kata adat maka maknanya lain lagi sebab di Dunia Arab berbeda keyakinan meski dalam satu rumpun agama yang sama bisa menjadi masalah besar dan bentrokan yang tidak ada habisnya.
Pada Hindu jarang dan sulit ditemukan terjadinya perselisihan karena masalah keyakinan yang berbeda.
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, kita memang menyadari perbedaan itu wajib ada sebab pemikiran dan kecocokan kita akan suatu hal tidak mungkin bisa sama secara seragam dan meski demikian kita bisa menyatukan persepsi untuk melihatnya sama.
Atiti dewa bawa, Atiti Puja====Kita di Hindu selalu diajarkan memperlakukan tamu itu seperti Tuhan yang datang meski tamu itu bertindak dan mengajarkan hal yang kurang ajar bagi kita atau istilahnya membalas perlakuan baik dengan perbuatan tidak baik. Segala hal di Hindu dipandang sebagai Tuhan termasuk diri ini.
Matru dewa bawa : Ibu adalah Tuhan
Pitru dewa bawa : Bapak adalah Tuhan
Acarya dewa bawa : Guru adalah Tuhan
Sehingga bila ada kelompok pesraman yang menuhankan Gurunya adalah sama sekali tidak salah sebab itu juga adalah sama-sama sebagai perwujudan bakti kepada Tuhan sendiri (Acarya Dewa Bawa).
Leluhur, pemerintah, pemimpin Negara juga dipandang sebagai Tuhan. Perbedaanya pada Sad dan Asat (Wujud dan tanpa wujud). Pandangan non dual tanpa deskriminasi status ini disebut sebagai Advaita di Hindu.
Semoga pemaparan ini bisa dijadikan sebagai renungan kita bersama dan semoga kita selalu bisa bijaksana dalam menyingkapi perbedaan yang ada diantara kita.

PANCA GAVYA

 


PANCA GAVYA adalah lima benda yg dikeluarkan/dihasilkan dari sapi. Hal ini telah menjadi warisan leluhur bangsa Indonesia yg tertulis dlm daun lontar.
Kutipan lontar dlm Bhs Sansekerta ttg Panca GAVYA tsb ada dlm buku STUTI N STAVA dg kode PVSK34b (lontar Griya Anyar, Sibang Kaja, Badung) dan kode PPB 15 (lontar Griya Taman, Blayu, Tabanan):
OM MUTRA PURIKSAKAM VAPI
KSIRAN (CA) DADHI GHRTAN CA
GOBHYA EVA SAMUTPADAM
PANCA GAVYA LAKSANAM
(OM, air kencing sapi, kotoran sapi, susu sapi, susu asam dan ghee (minyak yg dibuat dari susu sapi), semua ini yg dihasilkan dari sapi disebut panca GAVYA
(buku Keagungan Sapi Menurut Weda, karya Made Darmayasa, hal 94-95)

Mencapai Advaita (Kesatuan)

 


Astika dan Nastika.
Umat Budha memang tidak mengenal konsep Tuhan. Budha disebutkan adalah Guru.
Tapi kita sendiri Hindu di Bali sepertinya juga menyebut keduanya untuk Siwa yaitu sebagai Guru dan juga Tuhan. Sepertinya ada indikasi bahwa dua hal yang berbeda itu adalah satu seperti halnya dua tangan kiri dan kanan yang bertemu tercakup untuk pemujaan.
Pada Siwa Samhita yang indikasinya menyebut Astika dan Nastika ada dalam perahu yang sama:
Nir Iswaram idam prahuh seswaran ca tatha pare| vadanti vividhair bhedaih suyuttaya sthiti katarah||
Terjemahannya:
Berdasarkan pengetahuan yang dicapai ada yang percaya alam semesta ini tanpa Tuhan, yang lain percaya adanya Tuhan berdasarkan pernyataan mereka dengan berbagai alasan dengan tujuan ingin memantapkan keyakinan mengenai perbedaan untuk mencapai kebenaran sejati.

astika dan nastika nike golongan filsafat. Di india dari penafsiran weda melahirkan 9 golongan filsafat/dharsana yang disebut nawa darsana. 6 filsafat mendukung penafsiran otoritas weda yg disebut golongan astika dan 3 filsafat yang menolak otoritas penafsiran weda yg disebut golongan nastika diantaranya budha, jaina, dan carwaka. Dalam terminologi barat nastika diistilahkan atheis karena menolak otoritas weda atau dianggap tidak percaya tuhan. Namun sejatinya kelompok ini tidak sepenuhnya tidak percaya tuhan. Dalam budha tuhan diistilah kesadaran. Budha pernah berkata tidak penting memuja tuhan namun carilah kesadaran kedalam diri.
Akar filsafat itu lahir diindia namun lebih berkembang di negara barat yang banyak melahirkan ilmu pengetahuan modern. Filsafat marxisme juga kalau kita mau jujur juga lahir dari timur dari penafsiran weda. Btahma mitya jagat satwam ( tuhan adalah palsu kebenaran sejati itu adalah dunia ini). Sloka ini jelas jelas menolak tuhan sama sepertif filsafat marxisme😀


Nastika itu tidak ada hubunganya dg atheis.
Nastika artinya tidak mengakui weda sbg satu satunya sumber kebenaran.
Kl mau bicara konsep atheis dlm filsafat India, bukan Budhisme rujukanya. Tetapi Carwaka.
Sekte (sect) juga bukan samskrta tapi bisa diartikan agama atau sampradaya sebab maknanya sama.
Di Hindu ada