Senin, 30 November 2020

Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati

 



Secara etimologi Dewi Saraswati berasal dari dua kata yakni Dewi dan Saraswati. Dewi yaitu sosok perempuan yang suci atau bentuk feminim dari kata Dewa yang biasa disebut sakti. Dan Saraswati dalam bahasa sanskerta yang terdiri dari kata “saras” yang berasal dari urat kata “sr” yang artinya mata air, sesuatu yang terus mengalir. Sedangkan “wati” artinya yang memiliki. Jadi Saraswati dapat diartikan sesuatu yang memiliki sifat terus mengalir (air kehidupan dan Ilmu pengetahuan), (PHDI.2006. Online).


Saraswati (Susila. Dkk. 2009) dijelaskna bahwa terdiri dari kata “Saras” yang artinya sesuatu yang mengalir, ucapan. Sedangkan “Wati” yang berarti memiliki. Jadi Saraswati adalah sesuatu yang mempunyai sifat mengalir, sumber pengetahuan dan kebijaksanaan dengan gelar kehormatan-Nya adalah Dewi Saraswati, (Susila.dkk.2009:227).




Foto; Mutiarahindu.com
Kemudian Agastia (1997:6) menjelaskan bahwa Saraswati dalam bahasa sanskerta bermakna sesuatu yang mengalir, percakapan, kata-kata. Di dalam kitab suci weda dipuja sebagai dewi sungai dengan permohonan mendapatkan vitalitas hidup dan kesehatan. Posisinya sebagai Wach atau Dewa Kata-kata baru ditemui dalam kitab-kitab Brahmana, Ramayana, dan Mahabharata. Belakangan Saraswati dikenal sebagai “sakti” dewa Brahma atau Dewi kata-kata atau Dewi Ilmu Pengetahuan. Nama lain dari Saraswati adalah Bharati, Brahmi, Putkari, Sarada, Wagiswari (John Dowson, 1979: 285; Davane, 1968).


Di Bali, Dewi Saraswati disebut Hyangyangning Pangaweruh atau Dewa ning Pangaweruh yaitu dewa yang menguasai ilmu pengetahuan yang linggastana di Aksara atau huruf. Dewi saraswati yang dipuja sebagai penguasa ilmu pengetahuan yang linggastana-Nya adalah aksara, mempunyai berbagai keutamaan. Di dalam pustaka suci Weda terdapat beberapa puja dan pujian mengenai keutamaan Beliau. Seperti misalnya dalam Reg Veda I.3.10 yang berbunyi demikian.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Pavaka nah Saraswati Vajebhir Vajinivari Yajnam vastu dhiyavasuh”


Terjemahan:


“Semoga Saraswati, yang menyucikan, yang amat kaya, yang memiliki sumber ilmu pengetahuan, mendatangi persembahan kami”. (Agastia.1997:52)


Arti Simbol Atribut Dewi Saraswati



Di Indonesia, Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang puteri yang sangat Cantik, anggun dan menarik. Beliau membawa wina/rebab, ganitri, pustaka suci, teratai, duduk diatas angsa dan disampinynya terdapat burung merak (mayura). Adapun arti dan makna simbol-simbol tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Dewi, melambangkan kekuatan yang indah, dan lemah lembut.
Ganitri melambangkan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada habisnya untuk dipelajari sepanjang zaman.
Pustaka suci melambangkan sarana untuk mengabadikan ilmu-ilmu tersebut, sehingga dapat diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.
Wina/rebab melambangkan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi dan memperluas rasa estetika dan keindahan.
Teratai melambangkan ilmu pengetahuan itu suci. Mengapa bunga teratai, karena meskipun tubuhnya di dalam lumpur, ia tetap bersih. Selain itu teratai atau Padma ini akarnya di tanah, batang daunya di air dan bunganya di udara, melambangkan kemampuan hidup di tiga alam (bhur-bhuah-swah).
Angsa melambangkan kekuatan di tiga dunia (bhur-bhuah-swah), sebab ia dapat hidup pada ketiga unsur alam (di air, darat dan udara). Demikianlah ilmu-ilmu pengetahuan menguasai ketiga alam tersebut. Selain itu angsa juga melambangkan kearifan/kebijaksanaan untuk membedakan yang baik dan mana yang buruk. Meskipun ia mencari makan di tempat-tempat yang keruh, ia dapat membedakann mana yang boleh ia makan dan mana yang tidak. Angsa juga peka terhadap rangsangan dari luar. Demikian diharapkan bagi mereka yang berilmu.
Burung merak melambangkan kewibawaan. Burung merak itu memang terlihat anggun dan berwibawa. (Ngurah Nala dan Sudharta. 2009:177)

Mengenai makna simbol-simbol dan atribut Dewi saraswati juga dijelaskan dalam Kamus Istila Dalam Agama Hindu (Kondra.2015:121-122). Dikatakan bahwa Hari Saraswati atau Hari Dewanya Ilmu Pengetahuan juga sebut hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati. Beliau dilambangkan dengan seorang Dewi membawa wina, genitri, pustaka suci, serta duduk diatas angsa. Adapun arti simbul-simbul tersebut antara lain:

Dewi adalah simbol kekuatan yang indah, cantik, menarik, lemah lembut, dan mulia sebagaimana sifat dari ilmu pengetahuan itu.
Alat Musik (wina) adalah simbul seni budaya yang agung.
Genitri adalah simbul dari kekekalan dan tak terbatasnya ilmu pengetahuan itu.
Pustaka Suci adalah simbul dari ilmu pengetahuan suci.
Teratai adalah simbul kesucian ilmu pengetahuan yang bersumber dari Sang Hyang Widhi.
Angsa adalah simbul dari kebijaksanaan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa ilmu-ilmu kesucian dan pengetahuan tidak ada habis-habisnya. Meskipun manusia mampu mengumpulkan berbagai ilmu sebanyak-banyaknya sepanjang hidupnya, tetapi itu hanya sekelumit saja dari yang ada. Jadi kemampuan manusia hanya terbatas. Oleh karena itu, janganlah manusia menyia-nyiakan kehidupanya sebagai manusia. Kumpulkan sebanyak-banyaknya ilmu-ilmu yang menjadi minatnya, tidak hanya ketika manusia masih dalam masa brahmacarya, tetapi seterusnya, hingga tiba saatnya ke asalnya.

Dagang Banten Bali


RELATED:
Pengertian, Rangkaian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan
Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu
Pengertian, Makna Dan Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan
Semua pengetahuan kesucian dan ilmu pengetahuan adalah suci, sangat menarik, lemah-lembut, indah memperluas rasa aestetika, mengasah akal/kecerdasan, mempertinggi kemampuan bertindak arif/bijaksana, mendidik, berwibawa, dapat diteruskan ke generasi-generasi yang akan datang, tidak ada habis-habisnya sepanjang saman. Dengan demikian diharapkan, manusia akan makin mampu mewujudkan kehidupan Jagadhita tersebut.




Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/03/pengertian-dan-makna-simbol-atribut.html
Agastia. 1997. Saraswati Simbol Penyadaran dan Pencerahan. Denpasar: Warta Hindu Dharma.
Kondra, I Nengah. 2015. Kamus Istilah Dalam Agama Hindu. ….:…
Ngurah Nala, I Gusti dan Sudharta, Tjokorda Rai. 2009. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar: Widya Dharma.
Susila, I Nyoman. Dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu Modul 1-9. Jakarta: Depag RI Bimas Hindu

MISTERI ARYAKA DAN BUNGA LOTUS NAGAPUSPA DI ZAMAN BALI KUNO (BALI AGA)

 



Saya mulai mengungkap tentang keberadaan Aryaka (keturunan naga) di zaman Bali Aga di novel Haricatra Trilogi Kedua. Singkatnya, beberapa keluarga Bali Aga yang tinggal di kaldera Gunung Lesung-Sanghyang-Pohen adalah keturunan naga. Entah karena memang mereka menamai diri mereka keturunan naga atau memang secara denotatif mereka memiliki beberapa persen gen naga, saya belum meneliti sejauh itu.

Yang jelas, setiap manusia memiliki otak reptil di bagian bawah kelenjar pineal. Otak reptil ini mengontrol fungsi dasar tubuh dan naluri alamiah (hewani). Namun anehnya, otak reptil ini bisa memicu hormon tubuh sehingga tubuh bisa melakukan ‘penyembuhan diri sendiri’ apabila seseorang terkena infeksi atau serangan penyakit.

Para ahli yoga menggambarkan kelenjar pineal yang berkembang sebagai sebuah lotus yang mekar sempurna. Tatkala seseorang mampu melampaui keterikatan pada naluri dasarnya (kenikmatan lidah, perut dan kemaluan), maka kelenjar ini berkembang. Dalam Siva Samhita, sebuah kitab yoga yang terkenal, kelenjar pineal ini mengeluarkan cairan nektar yang disebut sebagai ‘bindu’ atau amerta (air keabadian). Apabila seseorang mengaktifkan kelenjar pineal-nya, maka air amerta ini akan menetes dari kelenjar pineal dan mengaktifkan fungsi sensori yang melampaui kemampuan manusia biasa.



Dahulu, menurut catatan babad yang samar-samar (bahkan mungkin sekarang sudah dilupakan), di zaman Bali kuno terdapat orang-orang yang memiliki fungsi kelenjar pineal yang mumpuni. Mereka disebut para Aryaka. Entah siapa yang menamai mereka Aryaka. Nama itu,—menurut sumber yang pernah saya baca—adalah nama salah satu klan naga kuno yang disebutkan dalam Mahabharata, bersama beberapa klan naga legendaris lain seperti Airavata, Sankhacuda, Taksaka, Vasuki dan Anantabhoga.


Apabila seseorang memiliki mata ketiga, dia bisa melihat perbedaan anak-anak keturunan Aryaka dan bocah-bocah biasa. Anak-anak Aryaka memiliki kening yang menyala di hari-hari tertentu, kemungkinan disebabkan oleh aktivitas kelenjar pineal mereka yang amat aktif. Karena itu, anak-anak Aryaka diburu pada masa lalu, dibantai dan diisap darahnya oleh para penganut ilmu hitam. 

Konon, hanya anak-anak Aryaka yang bisa melihat Lotus Nagapuspa,—lotus misterius yang tumbuh di atas batu dan mengeluarkan sari yang menyembuhkan segala penyakit. Raja Bali kuno, utamanya pada zaman Jayapangus, Masula-Masuli hingga Sri Tapolung (Astasura) merekrut beberapa Aryaka terpilih untuk menjadi penjaga Lotus Nagapuspa. Karena itu, kerajaan Bali amat sulit ditaklukkan.

Di wilayah Tamblingan sendiri, raja menghimpun para pembuat senjata, yang kini dikenal dengan nama klan Pande. Di Tamblingan sendiri ada beberapa klan pande yang terkenal, dan salah satunya adalah Pande Bangke Mong yang mampu membuat senjata beracun yang amat ampuh. Siapa pun yang terkena senjata itu akan langsung tewas dengan badan membusuk. Sungguh mengerikan.


Misteri para Aryaka rupanya menarik minat Majapahit untuk melakukan ekspedisi rahasia. Singkatnya, mereka berhasil menguasai Bali dengan terlebih dahulu menggempur Tamblingan. Sayang sekali, mereka tidak berhasil menemukan Nagapuspa. Demikian menurut cerita. 

Anak-anak Aryaka yang selamat kemudian diasingkan, lalu diambil kekuatannya oleh orang tua mereka. Ini yang dimaknai secara harfiah sebagai ‘nyilib wangsa’ ala Bali Aga. Padahal, tidak ada hirarki 'wangsa' pada zaman Bali kuno sebagaimana yang ada pada abad pertengahan. Nyilib wangsa’ secara harfiah berarti menyembunyikan identitas kebangsawanan seseorang agar tidak diserang oleh lawan. Namun, seapik apa pun seseorang menyembunyikan identitasnya, wajahnya tidak akan bisa disembunyikan (kecuali mereka operasi plastik). Nyatanya, nyilib wangsa pada zaman itu bisa jadi berarti ‘menyembunyikan kemampuan metafisik mereka dengan menghentikan aktivitas kelenjar pineal mereka yang memikat’.

Setelah kekuatan mereka dicabut, anak-anak Aryaka tidak lagi bisa melihat Nagapuspa. Namun karena mereka secara alami adalah keturunan naga, beberapa anak Aryaka hingga kini masih memiliki kemampuan metafisika yang khas, dan konon bisa melihat Nagapuspa di hutan-hutan gunung terpencil di Bali.

Sangat sulit menemukan keturunan Aryaka di zaman ini. Mereka disembunyikan sejak lahir. Jika seorang bayi ketahuan memiliki kelenjar pineal yang aktif, maka orang tua mereka cepat-cepat me-‘netral’-kannya agar cahaya di kening mereka itu tidak terdeteksi oleh orang-orang yang berniat jahat. Jika darah Aryaka sampai didapatkan, maka darah itu bisa melipatgandakan kekuatan sihir seseorang. Demikian menurut penuturan orang-orang tua.

Ada banyak peristiwa sejarah yang tidak dicatat dalam lembar sejarah,—atau malah sengaja disembunyikan dan dibuatkan versi yang lebih ‘aman. Barangkali Anda tidak percaya pada eksistensi para Aryaka. Ini wajar karena hal ini memang tidak pernah Anda dapatkan di pelajaran sejarah di sekolah. Jika Anda hanya mengandalkan buku-buku teks sejarah di sekolah, maka artikel ini saya kira kurang cocok buat Anda.

Semoga bermanfaat.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1801637783318766&id=100004176848490

Sejarah Pura Aditya Jaya Rawamangun, Jakarta Timur

 



Siapa yang tidak kenal dengan Pura Aditya Jaya Rawamangun. Sebuah pura terbesar di Jakarta dan merupakan pusat perkumpulan umat Hindu Sejabotabek. Pura yang lebih populer dikalangan anak mudah dengan nama PAJ ini, terletak di Jalan Daksinapati Raya, RT.11/RW.14, Rawamangun, RT.11/RW.14, Rawamangun, RT.11/RW.14, Rawamangun, Kota Jakarta Timur.



Foto: Mutiarahindu.com
Sejarah Pura Rawamangun

Menurut sejarah, pada tahun 1960 an, umat Hindu DKI Jakarta yang tergabung dalam Suka Duka Hindu Bali (SDHB) {yang telah berganti menjadi Suka Duka Hindu Dharma (SDHD)} berniat untuk membangun tempat ibadah Pura dan Yayasan Pitha Maha di Jakarta. Kala itu, masa kepemimpinan Presiden pertama Republik Indonesia, Dr. Ir. H. Soekarno (periode 1945–1966). 

Akhirnya Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu, Ida Bagus Mantra dan Ida Bagus Manuaba (ketua Pitha Maha yang juga anggota Dewan Konstituante), Menteri Koordinator I Gusti Subania, anggota DPRD DKI Jakarta I Nyoman Wiratha menyampaikan niat baik tersebut ke Presiden.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Menanggapi hal itu, pria yang akrab disapa Bung Karno tersebut, langsung menyambut baik dan menawarkan tanah di Lapangan Banteng bagi umat Hindu. Namun entah kenapa pembangunnan pura di Banteng dinyatakan Batal. Dua tahun kemudian yakni tahun 1962-an, presiden kembali menawarkan tanah yang berbeda yakni di Ancol, tetapi tawaran tersebut langsung ditolak oleh umat Hindu. Sebab pada saat itu, daerah Ancol berlupur serta berbau tak sedap, tidak seperti sekarang ini.

Tahun 1972, Menteri Pekerjaan Umum (PU), Ir Sutami kembali menawarkan tanah Dept. PU cq Ditjen Bina Marga di Jakarta Timur tepatnya Jalan Daksinapati Raya, Rawamangun depan Lapangan Golf . Dengan pertimbangan yang matang, umat hindu akhirnya memutuskan bahwa lokasi tersebut tepat untuk pembangunan Pura Aditya Jaya Rawamangun yang sekarang dapat kita lihat. Keputusan ini diperkuat dengan surat No. 36/KPTS/1976 tentang izin penggunaan tanah Dept. PU cq Ditjen Bina Marga yang diterbitkan oleh Ir Sutami di dukung Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta kala itu.



Peletakan Batu Pertama Pura Aditya Jaya Rawamangun


Pembangunan Pura Aditya Jaya Rawamangun melewati 7 tahap. Peletakan batu pertama dimulai pada tahun 1972, dan baru selesai pada tahun 1997. Pura Aditya Jaya, dibagi menjadi tiga bagian yakni Nista Mandala yaitu daerah paling luar, Madya Madala yaitu bagian tengah dan Utama Mandala atau bagian Tengah.

Dibagian luar (Nista Mandala) digunakan sebagai tempat kegiatan seperti memasak, cuci tangan dan kaki sebelum sembahyang dan beberapa kegiatan lainya. Kemudian pada bagian tengah atau Madya Madala digunakan sebagai tempat dupa, bunga, sentang dan beberapa kegiatan lainya. sedangkan pada Utama Mandala atau bagian Tengah digunakan khusus untuk persembhayangan.



RELATED:
Daftar Pura di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Lombok
Profil Pura Anjasmoro Jombang Jawa TimurPura Aditya Jaya memiliki dua pintu masuk yang pertama di Jalan Daksinapati Raya No 10 dan di pintu Depan Jalan Tol Cawang-Tanjung Priok.

Sumber: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/sejarah-pura-aditya-rawamangun-jakarta.html

Tugas Kelompok STAH DNJ (Wawancara)
Pemuda balkar, 2015. Sejarah Pura Aditya Rawamangun, Online. Diakses. 22 Pebruari 2018 Pukul 13:22 Wib.

Pura Anjasmoro Jombang Jawa Timur

  Pura Anjasmoro, terletak di Dusun Jarak, Desa Wonosalam, Jombang, Jawa Timur. Pada umumnya pura ini tak jauh beda dengan pura-pura yang lain. Memiliki satu padmasana, satu penglurah dan satu candi yang didalamnnya terdapat patung dewa surya.


Pemangku pura Anjasmoro Romo Mangku Supri Hardianto sedang memimpin persembahyangan.

Pura ini hanya memiliki satu plangkiran yang terdapat di madya Madala. Plangkiran ini diletakkan di tiang tepat di depan pintu tengah masuk ke Utama Mandala. Biasanya digunakan ketika pembelajaran anak pasraman.

Pura ini hanya memiliki satu Kran air bersih yang terletak di Madya Mandala tepatnya di sebelah kanan sudut pada saat masuk ke Madya Mandala. Air ini digunakan sebagai pernyucian atau permbersihan ketika masuk ke Utama Mandala.


Tampilan pagar Pura Anjasmoro jika dilihat dari luar depan pintu masuk Madya Mandala.

Meja yang digunakan ketika melaksanakan persembahyangan.

Penglurah yang terdapat di sebelah kiri Padmasana

 Padmasana Pura Anjasmoro.

Candi dibagian kanan Padmasana Pura Anjasmoro

Jenis-Jenis Uang Kepeng dan Fungsinya

 Uang kepeng merupakan salah satu sarana yang tidak lepas dari upacara agama Hindu, baik itu dalam upacara Manusa yajna, bhuta yajna, Dewa Yajna, Pitra Yajna mau pun Rsi Yajna. Uang kepeng dianggap sebagai sarana yang sangat penting dalam setiap upacara. Tak heran jika tanpa uang kepeng suatu upacara tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan jenisnya uang kepeng dapat diklasifikasikan menjadi enam jenis diantaranya yakni Uang kepeng Lumrah, Uang kepeng Koci, Uang kepeng Kerinyah, uang kepeng Lembang, uang kepeng Jahi dan uang kepeng Jimat (Sudarma, 2008:15-16).




Foto; Mutiarahindu.com

Jika dilihat bentuk dan fungsinya, maka ke-enam uang kepeng diatas dapat dijelaskan sebagai berikut;


1. Uang kepeng Lumrah


Yaitu uang kepeng yang digunakan dalam setiap upacara agama. Ada pun bentuk dari uang kepeng Lumrah adalah pada bagian tengahnya bergaris tengah sekitar tiga sentimeter dengan warna hitam. Biasanya uang ini terbuat dari perunggu yang kadar tembagahnya tampak lebih besar (Sudarma, 2008:16). Uang kepeng lumrah dinilai memiliki nilaireligius dan lasim digunakan untuk membuat patung dewa seperti patung Dewa rambut sedana.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

2. Uang kepeng Koci


Yaitu uang kepeng yang bentuknya lebih kecil dari uang kepeng biasa dengan garis tengah sekitar dua sentimeter. Uang kepeng koci berwarna hitam dan terbuat dari perunggu yang campuran tembagahnya tampak lebih besar. (Sudarma, 2008:16).





3. Uang kepeng Kerinyah, 


Yaitu uang kepeng yang bentuknya sama dengan uang kepeng biasa, hanya saja yang membedakan dengan yang lain yakni warnanya berwarna kuning, sebab bahanya terbuat dari campuran kuningan. Uang kepeng ini tidak memiliki keistimewaan tertentu. (Sudarma, 2008:16).


4. Uang kepeng Lembang 


Yaitu uang kepeng yang memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan uang kepeng biasa. Uang kepeng Lembang memiliki ukuran garis tengah tiga setengah sentimeter dengan warna kuning seperti uang kepeng Kerinyah. Pada umumnya uang kepeng Lembang digunakan sebagai alat judi yang disebut dengan makeles. (Sudarma, 2008:16).





5. Uang kepeng Jahi 


Yaitu uang kepeng yang ukurannya sama dengan uang kepeng Koci. Uang kepeng ini pada umumnya juga digunakan sebagai alat judi yang disebut dengan Mapincer. (Sudarma, 2008:16).

Dagang Banten Bali


6. Uang kepeng Jimat 


Yaitu uang kepeng yang digunakan khusus untuk hal-hal tertentu dan tidak digunakan untuk pembayaran. Sebab dinilai memiliki nilai magis dan mistis. Uang ini memiliki beberapa jenis antara lain pipis arjuna, pipis bima, pipis jaran, dan pipis gajah. (Sudarma, 2008:16).

Pipis arjuna, dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh sifat-sifat yang menyerupai Arjuna yakni memiliki kemampuan untuk bercumbur rayu dan menaklukan wanita.
Pipis bima, dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh sifat-sifat yang menyerupai Bima yaitu jujur, berwibawa mempunyai kekuatan seperti Bima, berwibawa, mempunyai ketahanan dan kekuatan fisik.
Pipis jaran, dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh karakteristik seperti kekuatan untuk berlari seperti kuda.
Pipis gajah dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh karakteristik seperti memiliki kekuatan sekuat gajah (Sidemen, 1998: 37 – 40).

Selain dari keenam jenis uang kepeng diatas masih banyak lagi uang kepeng yang pernah ada di negeri Nusantara. Seperti misalnya uang kepeng Bobongan Jawa (Pis Bolong Gobongan Jawa), dan Uang Kepeng Gobongan Bali (Pis Bolong Gobongan Bali). Uang kepeng dini diperkirakan ada pada tahun 1769 Masehi sampai 1860 Masehi. 



RELATED:
Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Makna dan Fungsi Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Kemudian Uang kepeng Rerajahan, Uang Kepeng Paica dan Uang kepeng Pretima. Uang kepeng Rerajahan termasuk dalam uang kepeng Jimat, sebab uang kepeng ini dibuat khusus dengan gambar-gambar (dirajah) yang memiliki kekuatan magis. Pada umumnya uang kepeng ini dibuat dari Tembaga, Kuningan dan perunggu.


Uang Kepeng Paica yaitu uang kepeng yang diperoleh karena melakukan tapa samadi pada tempat-tempat suci. Jenis uang ini tergolong Uang kepeng Jimat karena gambarnya merupakan tokoh-tokoh dalam pewayangan seperti dalam kisah Mahabrata dan Ramayana. Uang kepeng Pretima yaitu jenis uang kepeng yang digunakan untuk memuja Tuhan dalam bentuk simbol-simbol. Pada umumnya uang kepeng ini hanya ditemui pada tempat-tempat suci yang sacral.


Seperti kita ketahui bahwa uang Kepeng atau Pis Bolong secara umum dapat diartikan sebagai jenis uang logam yang berbentuk bulat dan ditengahnya berlubang segi empat. Arjan Van Aelst (1995: 357-359) mengatakan bahwa pemerintah majapahit sengaja mengimpor uang kepeng untuk mempermudah transaksi di wilayah Indonesia. Demikianlah jenis-jenis uang kepeng yang penulis dapat rangkum. Semoga bermanfaat.


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/05/uang-kepeng-merupakan-salah-satu-sarana.html


Arjan, Van Aelst, 1995, Batavia Cas Cain, dalam oriental Numismatic News Letter.
Sudarma, I Putu. 2008. Esensi Uang Kepeng Dalam Ritual Hindu. Surabaya. Paramita.
Sidemen, Ida Bagus. Dkk. 1998. Sejarah Alih Fungsi Uang Kepeng Dalam Lontar Majalah Dokumentasi Budaya Bali, No 11 Tahun III. Denpasar: Tanpa Nama Penerbit

MASYARAKAT BALI MENYIMPAN HASIL SAWAHNYA DI DALAM LUMBUNG PADI ATAU DI BALI DI SEBUT "JINENG"TAHUN 1930AN

 


Lumbung adalah bangunan tradisional Bali yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi. Lumbung dapat dibedakan menjadi empat jenis, antara lain: Jineng, Kelumpu,Gelebeg, dan Kelingking.

Jineng atau lumbung itu adalah sebagai tempat menyimpan padi bukan beras dan juga menyimpan sumber bahan makanan yang lainnya seperti jagung dan padi-padian lainnya. Hal ini melambangkan agar penggunaan hasil kekayaan yang diusahakan dari bumi ini digunakan secara hemat dan tepat. Menyimpan dalam bentuk padi itu bertujuan untuk menghemat secara tepat. Agar jangan menggunakan hasil kekayaan bumi ini dengan cara yang tidak benar.


Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan. (https://sudarmadakaripura.wordpress.com/)

Dalam Tri Mandala Pura Besakih, Jineng di Pura Banua sebagai hulunya lumbung di Bali.

Pura Banua Hulunya Lumbung di Bali
Vaisyah krsivalah karyo-
gopah sasya bhrtvratah,
vartayukto grhopatah-
ksetra palo tha Vaisyah.
(Slokantara, 37)

Maksudnya:
Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan padi-padian, berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan menjadi pelindung ladang.

BERTANI dan beternak merupakan mata pencaharian awal dari manusia sebelum adanya perkembangan industri barang maupun industri jasa. Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang sebagai lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi untuk mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda.

Dagang Banten Bali


Tugas petani sebagai Vaisya Varna di samping memproduksi hasil-hasil tersebut agar dapat digunakan sehemat mungkin. Tentunya tidak sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup sehat sejahtera lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup sehari-hari itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja.

Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan juga ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang hemat tepat guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan. Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki agar semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami Satya Narayana menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh diboroskan. Empat hal ini adalah rezeki, makanan, tenaga, dan waktu.

Hidup produktif dan hemat itu ditanamkan juga dalam sistem pemujaan pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali. Karena hidup produktif dan hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup yang sejahtera. Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri, Sakti Dewa Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran.

Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai Dewa Kemakmuran.

Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan.

Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu.

Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan.

Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura.


Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit kemakmuran, sedangkan Dewa Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa atau Purusa-nya, sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau Pradana-nya. Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya.

Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya.

Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.

Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut Jyothisa.

Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat menentukan adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah agar semua informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi dan profesi yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan.* i ketut gobyah
http://www.babadbali.com/

#BALITEMPOEDULOE #TROPENMUSEUM # #SEJARAH # #BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI #ADATTRADISI #ADATBUDAYA #