Sabtu, 19 September 2015

NGERUJAKI upacara mulai hamil


Dagang Banten Bali



NGERUJAKI adalah upacara yadnya yang dilaksanakan saat wanita mulai ngidam dan dilaksanakan sebelum tiga bulan usia kehamilan yang bertujuan untuk mengharapkan atau mendoakan kepada Tuhan berserta manifestasinya supaya benih atau janin dalam kandungan kuat atau selamat tidak mengalami keguguran demikian pula kepada ibu yang mengandung janin tersebut. hal itu dipertegas lagi dengan pengunaan banten byakala yang disebutkan dalam lontar bacakan banten pati urip tersebut.
Adapun sarana yang digunakan dalam upacara ngerujaki yang dinyatakan dalam lontar ini disebutkan :
1. sesayut satu pajeg lengkap, sebagai suatu symbol atau penanda dari sesuatu obyek yang dimaksudkan atau istilah lainnya petanda.
2. byakala di tambah dengan persembahan yang dihaturkan di sanggah kemulan,
dengan upacara yang dipimpin oleh seorang pemangku atau orang suci yang disertai makan rujak.
Kapan upacara ini dilakukan masih kurang jelas hanya ditegaskan ketika hamil dalam lontar bacakan banten pati urip. Tetapi dapat diketahui melihat dari nama dan sarana maka upacara ini di laksanakan pada saat ngidam atau pada saat mulai diketahui kehamilan itu.
Ngidam atau mulai diketahuinya kehamilan antara orang satu dengan yang lainnya terkadang berbeda-beda terlebih dalam kehidupan kontemporer ini dimana manusia disibukan akan urusan pekerjaan dan pikiran yang dibebeni oleh berbagai macam keinginan sehingga kepekaan untuk mengetahui kehamilan sangat berkurang.
Di sisi lain dalam konteks modernitas dewasa ini manusia dimudahkan dengan alat pendeteksi kehamilan sehingga yang tidak sibuk akan lebih dini mengetahui kehamilan. Hal ini yang terlihat dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan kehidupan umat Hindu khususnya sering terjadi ada yang baru satu bulan sudah diketahui dan ada pula setelah dua bulan atau bahkan lebih.
Sehingga dengan upacara ngerujaki ini dilaksanakan supaya benih atau janin dalam kandungan kuat atau selamat tidak mengalami keguguran demikian pula kepada ibu yang mengandung janin tersebut agar selamat.
Sumber : sejarahharirayahindu.blogspot.com


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

BENANG sebagai simbol suci tali pengikat pada upacara yadnya


Penggunaan BENANG sebagai simbol suci tali pengikat dalam proses kehidupan yang pada upacara yadnya dan tetandingan banten sebagaimana disebutkan,
Benang putih, yang diikat di pergelangan tangan kanan saat otonan, sebagai simbol agar hati kita selalu di jalan yang lurus/benar dalam kehidupan ini.
Dalam Mabeakala saat upacara pawiwahan, benang papegat yang berwarna putih sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya menuju Grehasta Asrama.
Benang Tri datu sebagai simbol ikatan akan tiga perjalanan hidup di dunia ini.
Benang Tatebus atau Tebusan, apa pun yang yang kita mulai seharusnya diselesaikan secara sempurna bagaikan orang memilin benang, semua diproses dengan penuh kesabaran dan ketelatenan.
Benang Selem yang berwarna hitam dalam upacara pagedong - gedongan pinaka penuntun hidup.
Benang tukelan pada daksina lambang naga dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari tirta amertha sebagai alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja.
Benang, pis bolong, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan dalam banten penyeneng berfungsi sebagai alat untuk nuntun.
Menurut tradisi masyarakat Bali dalam pemakaian benang sebagai tanda proses kehidupan kutipan artikel Majalah Raditya, penggunaan benang yang erat hubungannya dengan ritual tertentu, seperti saat acara matepung tawar, otonan, padiksan, odalan serta ritual lainnya, bahwa dengan memakai benang suci itu bukan sekedar memakai seutas tali, namun ada makna yang lebih dalam dari pemakaian benang tersebut,sebagai cerminan suatu proses pematangan diri untuk menuju suatu kehidupan yang berguna dan
suatu jalanan yang saling mengikat dan mengisi satu sama lain.
Seperti proses pembuatan benang yang berasal dari kapas, sebelum menjadi benang kapas tersebut harus dipintal agar kita mendapatkan benang. Setelah mendapatkan benang, maka kita dipersilakan lagi mememakainya sesuai dengan kebutuhan kita, apakah mau dipakai untuk menyulam atau ditenun untuk dijadikan kain dan lain sebagainya.
Mengenai nama-nama benang yang dihasilkan dari proses pemilinan tersebut tergantung dari pesan yang kemudian ingin disampaikan sesuai imaginasi seseorang misalnya :
hitam mewakili aspek dewa Wisnu,
merah mewakili aspek kekuatan Brahma,
putih mewakili manifestasi Dewa Siwa.
Berbeda lagi pesan yang disampaikan dalam “benang pepegat” saat orang melakukan perpisahan khususnya dalam upacara Pitra Yadnya.
Para tetua mungkin ingin menyampaikan bahwa kita ini memang terikat seperti benang, antara satu dengan lainnya, namun bila waktunya kita sudah harus berpisah atau melepaskan perikatan terhadap dunia material, maka orang seharusnya menerima kejadian tersebut sebagai proses yang tidak dihindari dalam kehidupan manusia normal.
Perpisahan bukan berakhirnya suatu proses, namun perpisahan adalah awal dari proses kehidupan baru.
Bisa dikatakan, bahwa makna pemakaian benang suci tersebut tergantung dari jenis aktivitas ritual yang dilakukan dan benang tersebut menyiratkan makna kepada manusia, bahwa kita seharusnya dalam hidup ini mengalami proses pematangan, sehingga terlahir generasi yang bisa saling bersatu dengan yang lainnya.
Marilah kita jadikan benang suci sebagai
penanda keterikatan,
persatuan,
berlindung kepada kekuatan.
Semoga saja nantinya kita semakin kokoh, terpilin seperti benang suci tersebut, saling terikat satu sama lainnya untuk menyatukan dirinya agar berguna dan saling mengasihi pada kehidupan ini.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Kamis, 17 September 2015

aspirasi suci yang ada dalam doa Gayatri Mantram


Semoga semua makhluk berbahagia, sejalan dengan tingkat evolusi serta kedewasaan spiritual mereka semua. _/|\_
Terima kasih banyak untuk para sahabat yang memberikan ucapan selamat ultah dengan doa serta harapan akan berbagai kebaikan. Semoga semakin banyak kebaikan yang mewujud serta terwujud di sekitar kalian juga. _/|\_
Semoga semakin banyak di antara para makhluk di semesta ini yang juga menjadi semakin dewasa secara spiritual, karena, dengan menjadi dewasa secara spiritual, maka, mereka akan dapat mendekatkan diri kepada para dewata dan atau para sosok rohani di alam yang lebih tinggi daripada alam bhur / alam material tempat tubuh fisik mereka berada, sehingga mereka dapat beroleh berbagai berkah yang dapat bermanfaat secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan mereka, sejalan dengan gerak dan nafas semesta, atas ijin dan kehendak-Nya, seperti satu dari sekian banyak aspirasi suci yang ada dalam doa Gayatri Mantram, yang banyak digunakan oleh para Brahmana untuk mendekatkan diri mereka kepada Hyang Brahman, demi memperoleh kemuliaan di alam bhur / alam material, dan atau alam-alam lain yang lebih tinggi.
Oṃ bhūr bhuvaḥ svaḥ
tát savitúr váreṇyaṃ
bhárgo devásya dhīmahi
dhíyo yó naḥ pracodáyāt
"Wahai Tuhan, kami memuja dan memuji aspek kecemerlangan dan kemahamuliaan-Mu yang menguasai bumi, langit dan sorga. Semoga Engkau menganugerahkan kecerdasan dan semangat pada akal budi kami."
(Doa Gayatri Mantram, seperti yang dinyatakan dalam Kitab Rig Veda 3.62.10)
Sarva Mangalam. Semoga semua makhluk berbahagia, sejalan dengan tingkat evolusi serta kedewasaan spiritual mereka semua. Svaha. _/|\_
Ilustrasi : Dewi Gayatri.


  • Hasibuan Santosa
    Thank you, My Friends and My Sadhakas, semoga semakin banyak kebaikan yang mewujud di sekitar kalian juga, dengan perantaraan akan ibadah, puja bhakti serta sadhana yang kalian laksanakan, menurut tradisi agama serta kepercayaan yang kalian laksanakan, sejalan dengan gerak dan nafas semesta, atas ijin dan kehendak-Nya. _/|\_

    Dewi Gayatri, dalam Puja Trisandhya dalam Tradisi Hindu Bali juga memiliki kedudukan yang khusus, hal tsb dapat dilihat dengan penempatan Gayatri Mantram dalam posisi mantram pertama dari enam mantram yang digunakan dalam Puja Trisandhya tsb. Sejak Jaman Satya Yuga hingga Kali Yuga sekarang ini pun Gayatri Mantram senantiasa dilantunkan oleh para umat Hindu dalam empat kasta, walaupun, pada hakikatnya, Gayatri Mantram merupakan "pegangan" dari kasta Brahmana, dan tidak semua orang dapat / boleh memiliki akses pada bagian-bagian batiniah yang lebih dalam pada Gayatri Mantram, di mana, Dewi Gayatri memiliki kedudukan sebagai Ista Devata akan mantram tsb, sekaligus sebagai Sri Veda Mata / Bunda dari Kitab-Kitab Weda, Mbak Megah Ayu. _/|\_

    Di antara para sahabat, murid serta klien saya pun, hingga saat ini, hanya ada beberapa orang yang telah saya berikan inisiasi Gayatri Mantram, karena mereka telah memenuhi isyarat dan sekaligus syarat dari saya untuk hal tsb, satu di antaranya dalah Mas Ari Agus Pawartha, yang dulu pernah saya berikan inisiasi dan pawejangan akan Gayatri Mantram tsb, karena sanchita karma beliau untuk hal itu sudah matang, hingga dapat bertemu dengan "saya" dalam mimpinya dan melihat "saya" sedang mengusir orang kesurupan dengan melantunkan Gayatri Mantram dalam mimpinya tsb, hal itu merupakan suatu hal yang sangat sulit untuk didapatkan oleh para pejalan spiritual yang ada di Jaman Kali Yuga ini, karena dengan demikian, menandakan bahwa pada para masa-masa kehidupan yang lampau, beliau juga telah beberapa kali mengalami kehidupan sebagai kasta Brahmana, dan tapasya beliau untuk itu pun juga bagus, karena itu tadi, memang Gayatri Mantram cenderung menjadi "pegangan" dari kasta Brahmana, dan pada hakikatnya, menurut kitab-kitab sastra, tidak semua orang diperbolehkan untuk mendapatkan inisiasi serta pawejangan akan Gayatri Mantram tsb, beda dengan Hare Krishna Maha Mantram yang merupakan bagian dari Yuga Dharma, di mana, semua orang tanpa terkecuali diperbolehkan untuk mendapatkan inisiasi akan Hare Krishna Maha Mantram tsb, asalkan mereka memiliki adab serta sraddha / keyakinan yang baik akan kemuliaan serta sakti dari Hare Krishna Maha Mantram tsb untuk meningkatkan tingkat evolusi spiritual mereka, atas ijin dan kehendak-Nya. Hari Om Tat Sat. _/|\_

    gāyatrī chandasām aham
    Di antara sajak-sajak (suci), Aku adalah Gayatri.
    (Sabda dari Sri Krishna dalam Kitab Bhagavad Gita 10.35)

    Sarva Mangalam. Semoga semua makhluk berbahagia, sejalan dengan tingkat evolusi serta kedewasaan spiritual mereka semua. Svaha. _/|\_

    Ilustrasi : A representation of the Gayatri Mantra by Raja Ravi Varma.






    Hasibuan Santosa Karena ada beberapa saat intermezzo dalam jam agenda, sekaligus aja saya jawab serta uraikan materi dari beberapa pertanyaan yang kadang ditanyakan oleh para murid yang menjalankan sadhana maha mantram ke saya, tentang berjapam dengan Gayatri Mantram, yaitu, apakah seorang sadhaka yang melaksanakan sadhana maha mantram itu diperbolehkan menjapam Gayatri Mantram, saya jawab aja sekalian di sini, bahwa, tentu saja hal itu sangat diperbolehkan, bahkan, kalaupun mau japam dengan mantram apapun juga, tetap saya perbolehkan, asalkan memahami tentang adab, tata cara, manfaat serta efek dari mantram yang dijapam tsb menurut kitab-kitab sastra yang baku, serta, japamlah dengan jeda waktu minimal 30 menit, sebelum / setelah menjalankan sadhana maha mantram, supaya mengantisipasi terjadinya penumpukan energi yang berlebih dari beberapa mantram secara sekaligus, karena esensi batiniah dari maha mantram pun pada hakikatnya juga telah mencakup berbagai sakti pada berbagai mantram yang ada dalam Tradisi Sanatana Dharma.

    Menurut kitab-kitab Vaishnava Pancaratra, di setiap yuga, senantiasa ada maha mantram untuk memuja aspek dari Sri Vishnu dalam aspek Beliau sebagai Sri Yajnesvara, yaitu, Aspek Suci Ketuhanan yang menerima sekaligus menyempurnakan berbagai yajna / upacara persembahan suci yang dilaksanakan di seluruh penjuru semesta, dan pada Jaman Kali Yuga ini, maha mantram tsb adalah Hare Krishna Maha Mantram, yang terdiri dari 16 kata suci, yang dipawejangkan oleh Dewa Brahma kepada Maharesi Narada dalam Kitab Kali Santarana Upanishad, di awal mulai Jaman Kali Yuga di semesta ini, setelah kembalinya Sri Krishna dari bumi ke Nitya Dhama (Tempat Abadi) Beliau.

    Fungsi dari maha mantram pada umumnya sangatlah banyak sekali, tidak terbatas, di mana, fungsi secara umum adalah menyempurnakan berbagai kekurangan yang diadakan dalam berbagai ibadah serta upacara keagamaaan yang dilaksanakan oleh para makhluk di seluruh penjuru semesta, sehingga karma-karma baik dari berbagai ibadah serta upacara keagamaan yang dilaksanakan tsb dapat berbuah secara nyata dalam wujud berbagai aspek kehidupan dari para makhluk yang melaksanakan ibadah serta upacara keagamaan tsb, atas ijin dan kehendak-Nya. Itulah fungsi dari maha mantram tsb secara umum. Semoga uraian ringkas ini dapat bermanfaat untuk para sadhaka yang menjalankan sadhana maha mantram, dalam memberikan gambaran serta pemahaman lebih lanjut akan fungsi umum dari maha mantram. Hari Om Tat Sat. _/|\_

    Ilustrasi : Dewa Brahma memberikan pawejangan kepada Maharesi Narada.





NISHKAMA KARMA




Sri Shankar Acharya, seorang filsuf Hindu pernah berkata tentang Bhagavat Gita sebagai berikut:
“Seorang penganut ilmu pengetahuan yang sejati (Jnani) seharusnya juga adalah seorang sanyasin sekaligus,” tetapi menjadi seorang sanyasin tidak berarti serta merta kita harus menanggalkan kewajiban duniawi kita, kewajiban kita kepada masyarakat di sekeliling kita dan mengartikan mengembara atau bertapa di hutan seorang diri tanpa acuh lagi kepada orang yang hidup disekeliling kita.
Sebagai seorang sanyasin berpengertian ke dalam dirinya sendiri, dalam tindak-tanduknya sehari-hari. Yang dimaksud sanyasin adalah mengendalikan nafsu-nafsu indra kita, dan itu bisa dilakukan sambil melakukan kewajiban kita sesuai dengan pekerjaan dan status kita dalam masyarakat.
Seperti misalnya Raja Janaka, beliau adalah seorang Maha-Raja yang amat kaya-raya dan berkuasa, tetapi dalam hidupnya sehari-hari ia tak pernah merasa memiliki apapun juga. la bertindak sebagai raja karena sudah merupakan kewajibannya pada Tuhan dan masyarakatnya.
Raja Janaka di dalam epik Hindu dikenal sebagai seorang jnani yang mempraktekkan sanyasa, yaitu tidak keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi.


JALAN TANTRA


IPutu Adi Aryawan


Dagang Banten Bali

JALAN TANTRA
Eugen Herrigel belajar Zen di Jepang. Takuan juga seorang guru pedang dari Jepang. Dan kita di Bali tentu saja punya guru-guru yang tidak kalah mengagumkannya. Bedanya, sedikit dari karya-karya guru kita terdahulu yang ditulis serta disebarkan ke seluruh dunia.
Sastranya, sebagian bisa ditelusuri melalui nama-nama yang diberikan pada tempat-tempat suci yang berumur tua dan lama. Di sebuah kawasan di Kintamani Bangli, di mana alam memberi tanda-tanda dalam bentuk 11 gunung dan 11 patirtan (sumber air suci), tetua di sana memberi nama salah satu Pura dengan nama Pura Puseh Meneng. Seperti sedang berbisik: diam, tenang, hening, sepi. Dalam diam (meneng) seseorang sedang berjalan di wilayah-wilayah persembahan.
Di desa Tajun Bali Utara, di bagian teratas batas desa yang berisi sumber air yang tidak pernah habis, tetua memberi nama Pura dengan Pura Mengening. Ini lebih jelas lagi, tidak ada yang lain kecuali: hening! Sebagian mantra upacara orang Bali mulai dengan kalimat bhur bvah svah (alam bawah, tengah dan atas) sebagai sebuah tatanan kosmik yang menyatu rapi dalam diam dan hening.
Ini memberi inspirasi, persembahan memiliki beberapa wajah. Orang kebanyakan melakukan sembah raga. Kerja bakti, ngayah di Pura, mejejahitan adalah sebagian contoh sembah raga. Dalam tingkatan persembahan ini, manusia kebanyakan menggunakan badannya untuk menyembah. Berikutnya sembah rasa. Di tingkatan ini, badan bukan satu-satunya alat melakukan persembahan. Menyayangi semua mahluk, tidak menyakiti. Intinya banyak memberi. Bukan karena mau dipuji.
Tetapi karena melalui rasa semuanya terhubung dalam sebuah jejaring yang rapi. Bila menyayangi akan disayangi. Jika menyakiti akan disakiti. Dan di jalan rasa ini, banyak yang meneteskan air mata. Bukan karena sedih, melainkan karena jiwa mulai rindu pulang. Tingkatan ketiga adalah sembah rahasia. Ini banyak dilakukan oleh orang-orang Tantra. Makanya dalam Tantra ada guru hidup, guru buku suci, guru simbolik dan guru rahasia di dalam diri. Itu sebabnya salah satu arti Tantra adalah rahasia. Dalam bahasa tetua Bali: meneng, hening, sunyi, sepi, suwung.



- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Rabu, 16 September 2015

Isa Upanisad



Om Isavasyam-idam Sarvam, yat-kimcha Jagatyam-Jagat yat-kimcha Jagatyam-Jagat,
Tena Tyaktena Bhunjeethha Tena Tyaktena Bhunjeethha, ma Gridhah Kasyasvid-dhaman ma Gridhah Kasyasvid-dhaman.
Isavasya Upanishad diawali dengan kata "Isa".Isa adalah nama Tuhan dalam Upanishad. Dari sudut pandang Vedanta Tuhan adalah baik atau dengan kualitas Saguna dan Nirguna. Ini berarti bahwa Tuhan tidak hanya sesuatu yang mendasari [inti] dari segala sesuatu. Tuhan juga benar-benar terpisah dari "diri" yang kita mungkin percaya diri kita karena avidya atau ketidaktahuan.
"Vasyam" dapat dipahami dengan melihat akar kata "vas" yang berarti yang akan dibahas, untuk pakaian, yang akan menyelimuti, untuk diresapi, dan diserap. Ini adalah kata yang kaya makna - dan Rishi yang menggunakannya untuk mengajarkan bahwa Tuhan meresapi semua eksistensi.
Jika kita mengingat kata ini dengan hati-hati, kita dapat dengan mudah menjawab pertanyaan, "Bagaimana Tuhan berada di luar segala sesuatu pada saat yang sama bahwa Dia adalah melingkupi mereka dan dalam diri mereka?” Kita bisa mengajukan pertanyaan ini karena makna dari kata "vas" terkait dengan baik di dalam dan di luar hal.
Jawaban pertanyaan di atas adalah bahwa ini merupakan penegasan dari Upanishad dan dari para Rishi. Para Rishi tidak menjelaskan bagaimana. Dia hanya mengajar apa yang telah diturunkan kepadanya oleh Tuhan Sebuah pernyataan bukanlah sesuatu yang perlu dijelaskan. Pendengar/Pembaca dipersilahkan untuk mengakui atau mengabaikannya. Seseorang untuk mengambil itu tidak membuatnya lebih benar dan bagi seseorang untuk mengabaikan itu tidak membuat salah.
Pada dasarnya Tuhan melingkupi orang yang melakukan tindakan yang mengerikan, Kejahatan, kebohongan dst tetapi kita tak bisa mengatakan bahwa Tuhan sedang melakukan tindakan-tindakan ini. Tuhan tidak melakukan tindakan apa pun. Dia hanya hadir dalam aksi dan tindakan dengan cara yang sama sinar matahari hadir untuk menerangi segala sesuatu tanpa hal-hal itu.
"idam sarvam" berarti "semua ini (yang dipahami)." Ada dua jenis hal yang kita dapat melihat: hal-hal eksternal dan internal hal. Kita melihat hal-hal eksternal melalui Jnanendriyas atau organ-organ Persepsi. Ini adalah srotra (pendengaran), tvac (sentuhan), caksus (penglihatan), rasana (rasa), dan ghrana (bau). Kita melihat hal-hal internal melalui organ batin atau antahkarana.Yang antahkarana terdiri dari Manas (pikiran), buddhi (intelek), ahamkara (I-pikir), dan citta (kesadaran). Dalam rangka untuk menentukan untuk diri kita sendiri apakah atau tidak Tuhan melingkupi dan dalam diri kita, kita berpaling ke dalam buddhi (intelek) dan kemudian kita mulai untuk bereksperimen dengan mengubahnya dari hal-hal eksternal telah mengidentifikasi dengan dan menuju cahaya kesadaran dalam diri kita sendiri.
Selanjutnya kita sampai pada frase "yat-kimcha Jagatyam-Jagat" yang berarti "apa pun (yat-kimcha) bergerak di alam semesta ini bergerak (Jagatyam-Jagat)." "Jagat" berarti "perubahan keadaan" atau "dunia" dan di sini kita bisa bercermin mengapa itu sangat membantu untuk mewujudkan persatuan kita dengan Tuhan dan kesatuan Tuhan dengan segala sesuatu. Di tengah dunia yang tak henti-hentinya mengalami "perubahan keadaan" kita dengan mudah merasakan kekacauan yang inheren dalam hal ini dan kesulitan untuk mengetahui apa yang kekal/abadi dan sementara/ilusi.
Ada sebuah contoh yang menarik bersama-sama dengan poin yang telah kita bahas sejauh. Ini adalah contoh ombak, samudra dan air. Jika kita membayangkan setiap manusia sebagai seperti ombak di laut dan Tuhan dalam bentuk Saguna sebagai Ishvara seperti samudra, maka kita dapat melihat bahwa ada perbedaan dalam vyavaharika (tingkat empiris). Beberapa gelombang yang lebih besar daripada yang lain karena beberapa orang memiliki peran lebih besar dalam hidup daripada kebanyakan orang lain. Namun, setiap gelombang, tidak peduli seberapa besar atau kecil itu ada karena keberadaan lautan. Tidak ada laut, tidak ada gelombang. Semua gelombang tidak lain hanyalah air. Laut juga bukan apa-apa kecuali air. Ketika kita sedang mempertimbangkan air sebagai bahan kita tidak bisa mengukurnya. Apakah itu adalah sejumlah kecil, jumlah yang lebih besar atau semua air, kita dapat melihat ada perbedaan riak atau gelombang. Jumlah kecil tidak identitas air sebagai air daripada jumlah yang lebih besar, dan tidak satu pun dari ini kurang sebagai air dari semua air. Air adalah air. Untuk melihat dari sudut bahwa semua tergantung pada gelombang laut relevan dengan vyavaharika dan untuk melihat dari sudut bahwa air adalah air menunjuk ke paramartha atau keberadaan Tuhan yang melingkupi semua.
Bagian kedua dari mantra tersebut diawali dengan kata "tena", yang berarti "karena itu". Dalam bukunya yang sangat bagus mengenai Upanishad ini, Swami Chinmayananda menunjukkan bahwa Sri Madhavacharya telah memberi kita pemahaman baru yang indah dari kata ini. Madhavacharya memahami hal itu berarti "oleh-Nya" - ini dengan mengatakan "oleh Isa". Karena "Tyaktena" berarti "apa yang ditinggalkan" atau "apa yang tersisa, setelah segala sesuatu telah meninggalkan", maka kita dapat memahami dari ungkapan ini bahwa segala sesuatu adalah [milik] Tuhan, dan kita hanya memiliki “pinjaman” dari-Nya .
Karena semua hal yang diberikan oleh Tuhan adalah karunia, kita bisa "menikmati" semua ini. Dan "Anda dapat menikmati segala sesuatu" adalah tepat arti kata berikutnya dalam mantra yang "Bhunjeetha". Jika kita berpikir kita melekatkan diri dengan apa-apa setelah kita menemukannya [dikaruniai] maka kita akan tertekan ketika kita tidak lagi memiliki sesuatu atau ketika perubahan.
"Ma" berarti "jangan" / "tidak" bagi kita cukup dewasa untuk menghargai aspek berikutnya mengajar. Jika kita tidak dapat menangani kata "tidak" maka mungkin akan membantu bagi kita untuk kembali dan mempertimbangkan kembali ajaran-ajaran sebelumnya. "Jangan" apa? Jangan "Gridhah" - "mengingini" "kasyasvid-dhaman" - "salah satu kekayaan". Di sini kita menjumpai ajaran yang sangat langsung dan nilai dari ajaran ini adalah dalam fokus yang jelas pada keserakahan. " Menurut Jagadguru Sri Abhinava Vidyatirtha Mahaswamigal, Jagadguru almarhum Sri Sringeri Sharada Peetham, "Sri Krishna menjelaskan tentang keinginan, amarah dan keserakahan sebagai tiga gerbang neraka. Ini adalah musuh terbesar manusia dan kita jangan pernah menyerah kepada keinginan-keinginan itu. Keinginan dapat diatasi oleh kesabaran. Kemarahan adalah hasil dari keinginan yang tak terpenuhi “frustrasi”. Jadi dengan menaklukkan keinginan dengan benar maka kita dapat menaklukkan kemarahan. Sebuah usaha harus dibuat untuk mengendalikan keserakahan dengan "mencetak/memprogram pada pikiran kita bahwa dalam realitas segala sesuatu milik Ishvara.
Anyad evahur vidyaya, Anyad ahur avidyaya, Iti susruma dhiranam, Ye nas tad vicacaksire
[Sloka 10 Isa Upanisad]
Artinya:
Sesungguhnya dikatakan lainlah akibatnya untuk vidya, lain pula dikatakan akibatnya untuk avidya, demikian didengar dari yang Maha Mengetahui, dijelaskan kepada kami.
Setiap orang mempunyai kewajiban untuk melakukan kerja dan usaha dalam kehidupannya. Hal ini dikarenakan manusia dan semua makhluk ciptaan dibelenggu dan diikat oleh lingkaran karma atau kerja. Bhagawan menciptakan segala makhluk beserta segala isinya tak terlepas dan lingkaran kerja atau karma.


nilai-nilai leluhur Bali yang telah diwariskan secara turun temurun





Masyarakat Bali secara garis besar memiliki budaya, adat-istiadat, dan tradisi budaya yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Sejak Kerajaan Majapahit berhasil menguasai Bali sekitar tahun 1343 Masehi, walau pun pada masa itu masyarakat Bali masih melakukan perlawanan kepada kekuasaan Majapahit di Bali, begitu Nagarakretagama menyebutkan, bahwa Bali merupakan “negara bawahan” Majapahit. Berikut kutipannya:
…..Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun. Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah….
Berdasarkan keterangan Nagarakretagama kita bisa mengetahui bahwa Pulau Bali dengan kerajaannya Badahulu pernah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Akibat dari penguasaan Majapahit atas pulau ini, dapat dirasakan sampai sekarang.
Dampak yang nyata terhadap struktur masyarakat Bali oleh Majapahit saat sekarang adalah terdapatnya dua golongan besar masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali Aga merupakan masyarakat yang diperkirakan suku asli Pulau Bali dan masyarakat yang berasal dari Majapahit, keturunan Masyarakat Majapahit atau disebut wong Majapahit.
“Penduduk Desa Tenganan sebelum 1943” Foto oleh Tropenmuseum
Masyarakat Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan merupakan masyarakat yang sulit ditundukkan pada saat Kerajaan Majapahit menguasai Bali.
Kesulitan Majapahit dalam menundukkan Bali karena mendapat perlawanan dari masyarakat Bali Aga yang dapat dirasakan oleh Raja Sri Kresna Kapakisan, yang ditempatkan oleh Gajah Mada untuk memerintah di Bali.
Kerajaan yang dipimpin oleh Raja Sri Kresna Kapakisan kabarnya sering mendapat serangan dari masyarakat Bali Aga yang berada di sekitar Danau Batur. Sebagai upaya untuk meredam perlawanan tersebut akhirnya Majapahit mengirim Sri Aji Kresna Kapakisan untuk mendampingi Raja Sri Kresna Kapakisan (patih).
Berkat bantuan Sri Aji Kresna Kapakisan yang berasal dari keturunan Bali, akhirnya perlawanan dari masyarakat Bali Agak dapat diredakan (mungkin karena pengaruh Sri Ari Aji Kapakisan berasal dari Bali).
Jauh sebelum terbentuknya masyarakat Bali keturunan Majapahit (Wong Majapahi), masyarakat Bali diperkirakan konon berasal dari keturunan “Austronesia”. Mereka telah tinggal secara berkelompok dengan pemimpinnya masing-masing di wilayah Bali.
Kelompok-kelompok inilah yang kemudian menjadi beberapa desa di Pulau Bali; mereka adalah orang Bali Aga yang dikenal dengan nama Pasek Bali.
Bukti peninggalan dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana diketemukan di Desa Sembiran dan di wilayah pesisir timur serta tenggara Danau Batur.
Peninggalan-peninggalan itu diantaranya berupa kapak perimbas, kapak genggam, alat serut dan lain-lain. Peninggalan Prasejarah di Bali juga berlanjut hingga masa Perundagian, yang terkenal adalah nekara Pejeng.
Wilayah sekitar Danau Batur ternyata sudah dihuni jauh sebelum masuknya kekuasaan Majapahit di Bali, dan dijadikan sebagai salah satu pusat perlawanan oleh masyakat Bali Aga kepada kekuasan Majapahit di Bali pada masa pemerintahan Sri Kresna Kapakisan. Danau Batur merupakan salah satu tempat berkembangnya kebudayaan dan tempat bermukinya masyarakat Bali Aga.
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Bali masih menganut kepercayaan nenek moyang yang mereka namakan Hyang. Menurut beberapa pendapat, kondisi spiritual dan kepercayaan masyarakat Bali pada saat itu “masih kosong”. Keadaan kosong ini dikatakan berlangsung hingga awal tarikh Masehi, bahkan kurang lebih hingga sekitar abad pertama Masehi.
Dengan keadaan Bali yang demikian konon mulai berdatangan orang-orang dari luar Bali ke pulau ini. Di samping mengajarkan agama Hindu, mereka juga bertujuan memajukan Bali kehidupan penduduknya. Untuk maksud tersebut kemudian datang seorang rsi ke Bali bernama Maharsi Markandeya dari India.
Pendapat di atas dapat dipastikan keliru, karena dari tinggalan benda-benda prasejarah yang banyak diketemukan di Pulau Bali, menunjukan masyarakat Bali pada masa lalu telah mengembangakn suatu sistem kepercayaan yang kompleks, jauh sebelum penanggalan Masehi dikenal, bahkan jauh sebelum “Hindu” dan India menyentuh pulau Bali. Mungkin yang dimaksud kosong di atas lebih merujuk belum beragama “Hindu-Bali”.
“Perang Pandan, Tenganan”. Foto oleh Riza Nugraha
Perjalanan sejarah yang begitu panjang, terutama setelah masuknya kekuasaan Majapahit di Bali yang membawa pengaruh baru, membuat masyarakat Bali Aga semakin sedikit bila dibandingkan dengan masyarakat Bali wong Majapahit.
Tenganan
Menurut beberapa versi catatan sejarah dan penafsirannya, kata tenganan berasal dari kata tengah atau ngatengahan yang memiliki arti bergerak ke daerah yang lebih dalam.
Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).
Kehidupan sehari-hari masyarakat Tenganan diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum adat tersebut diperkirakan ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui tahun 1842.
Rumah adat penduduk Tenganan dibangun dari batu bata merah, batu kali, dan tanah; atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbia. Rumah-rumah tersebut memiliki bentuk dan ukuran relatif sama, dengan ciri khas pintu masuk lebarnya berukuran satu orang. Ciri khas lain adalah bagian atap pintu menyatu dengan atap rumah.
Trunyan
Desa lainnya yang terkenal sebagai salah satu masyarakat Bali Aga adalah masyarakat Desa Trunyan. Desa Trunyan terletak di pinggir timur Danau Batur, letaknya cukup terpencil karena hanya bisa ditempuh dengan menyeberangi Danau batur.
Pada zaman Kerajaan Badahulu, daerah Danau Batur terkenal sebagai lokasi masyarakat Bali Aga; bahkan pada saat Majapahit menyerang kerajaan Badahulu, daerah tersebut sangat gencar melakukan perlawanan.
Masyarakat Trunyan melakukan Upacara di Danau Batur, 1957”. Foto dari Tropenmuseum
Setelah Majapahit berhasil menundukkan raja terakhir Badahulu dan Gajah Mada mengirim Sri Kresna Kapakisan sebagai Raja di Badahulu yang baru, daerah Danau Batur terkenal sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di Bali.
Pada saat sekarang, penduduk di Danau Batur di Desa Trunyan terkenal sebagai masyarakat Bali Aga. Mungkin yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di Bali pada saat pemerintahan Sri Kresna Kapakisan adalah masyarakat Trunyan.
Karena pada saat sekarang daerah Danau Batur ada desa Trunyan yang merupakan masyarakat Bali Aga dan yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit juga adalah masyarakat Bali Aga. Bali Aga sendiri memiliki arti penduduk asli Bali atau Bali pegunungan.
Penduduk Desa Trunyan meyakini bahwa mereka adalah Bali turunan, yaitu turunan leluhur orang Bali sejak leluhur mereka turun dari langit ke bumi Trunyan. Nama Trunyan juga dapat merujuk kepada pohon Tru Menyan yaitu pohon yang menyebarkan bau harum yang banyak di temui di wilayah desa ini.
Desa Trunyan ini memiliki banyak keunikan. Salah satunya adalah kebiasaan penduduk setempat dalam menguburkan mayat; Mepasah; Tradisi Pemakaman Desa Trunyan, Bali.
Masyarakat Desa Trunyan, tidak seperti penduduk Bali kebanyakan yang melakukan upacara ngaben dengan membakar mayat, meletakkan mayat ‘begitu saja’ di suatu tempat.
Mayat-mayat tersebut dipagari ancak saji yang terbuat dari bambu berbentuk kerucut untuk menghindari serangan binatang buas.
Keberadaan Desa Tenganan dan Desa Trunyan sebagai sebuah desa adat berusaha melestarikan nilai-nilai leluhur Bali yang telah diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.