Masyarakat Bali secara garis besar memiliki budaya, adat-istiadat, dan tradisi budaya yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Sejak Kerajaan Majapahit berhasil menguasai Bali sekitar tahun 1343 Masehi, walau pun pada masa itu masyarakat Bali masih melakukan perlawanan kepada kekuasaan Majapahit di Bali, begitu Nagarakretagama menyebutkan, bahwa Bali merupakan “negara bawahan” Majapahit. Berikut kutipannya:
…..Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun. Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah….
Berdasarkan keterangan Nagarakretagama kita bisa mengetahui bahwa Pulau Bali dengan kerajaannya Badahulu pernah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Akibat dari penguasaan Majapahit atas pulau ini, dapat dirasakan sampai sekarang.
Dampak yang nyata terhadap struktur masyarakat Bali oleh Majapahit saat sekarang adalah terdapatnya dua golongan besar masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali Aga merupakan masyarakat yang diperkirakan suku asli Pulau Bali dan masyarakat yang berasal dari Majapahit, keturunan Masyarakat Majapahit atau disebut wong Majapahit.
“Penduduk Desa Tenganan sebelum 1943” Foto oleh Tropenmuseum
Masyarakat Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan merupakan masyarakat yang sulit ditundukkan pada saat Kerajaan Majapahit menguasai Bali.
Kesulitan Majapahit dalam menundukkan Bali karena mendapat perlawanan dari masyarakat Bali Aga yang dapat dirasakan oleh Raja Sri Kresna Kapakisan, yang ditempatkan oleh Gajah Mada untuk memerintah di Bali.
Kerajaan yang dipimpin oleh Raja Sri Kresna Kapakisan kabarnya sering mendapat serangan dari masyarakat Bali Aga yang berada di sekitar Danau Batur. Sebagai upaya untuk meredam perlawanan tersebut akhirnya Majapahit mengirim Sri Aji Kresna Kapakisan untuk mendampingi Raja Sri Kresna Kapakisan (patih).
Berkat bantuan Sri Aji Kresna Kapakisan yang berasal dari keturunan Bali, akhirnya perlawanan dari masyarakat Bali Agak dapat diredakan (mungkin karena pengaruh Sri Ari Aji Kapakisan berasal dari Bali).
Jauh sebelum terbentuknya masyarakat Bali keturunan Majapahit (Wong Majapahi), masyarakat Bali diperkirakan konon berasal dari keturunan “Austronesia”. Mereka telah tinggal secara berkelompok dengan pemimpinnya masing-masing di wilayah Bali.
Kelompok-kelompok inilah yang kemudian menjadi beberapa desa di Pulau Bali; mereka adalah orang Bali Aga yang dikenal dengan nama Pasek Bali.
Bukti peninggalan dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana diketemukan di Desa Sembiran dan di wilayah pesisir timur serta tenggara Danau Batur.
Peninggalan-peninggalan itu diantaranya berupa kapak perimbas, kapak genggam, alat serut dan lain-lain. Peninggalan Prasejarah di Bali juga berlanjut hingga masa Perundagian, yang terkenal adalah nekara Pejeng.
Wilayah sekitar Danau Batur ternyata sudah dihuni jauh sebelum masuknya kekuasaan Majapahit di Bali, dan dijadikan sebagai salah satu pusat perlawanan oleh masyakat Bali Aga kepada kekuasan Majapahit di Bali pada masa pemerintahan Sri Kresna Kapakisan. Danau Batur merupakan salah satu tempat berkembangnya kebudayaan dan tempat bermukinya masyarakat Bali Aga.
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Bali masih menganut kepercayaan nenek moyang yang mereka namakan Hyang. Menurut beberapa pendapat, kondisi spiritual dan kepercayaan masyarakat Bali pada saat itu “masih kosong”. Keadaan kosong ini dikatakan berlangsung hingga awal tarikh Masehi, bahkan kurang lebih hingga sekitar abad pertama Masehi.
Dengan keadaan Bali yang demikian konon mulai berdatangan orang-orang dari luar Bali ke pulau ini. Di samping mengajarkan agama Hindu, mereka juga bertujuan memajukan Bali kehidupan penduduknya. Untuk maksud tersebut kemudian datang seorang rsi ke Bali bernama Maharsi Markandeya dari India.
Pendapat di atas dapat dipastikan keliru, karena dari tinggalan benda-benda prasejarah yang banyak diketemukan di Pulau Bali, menunjukan masyarakat Bali pada masa lalu telah mengembangakn suatu sistem kepercayaan yang kompleks, jauh sebelum penanggalan Masehi dikenal, bahkan jauh sebelum “Hindu” dan India menyentuh pulau Bali. Mungkin yang dimaksud kosong di atas lebih merujuk belum beragama “Hindu-Bali”.
“Perang Pandan, Tenganan”. Foto oleh Riza Nugraha
Perjalanan sejarah yang begitu panjang, terutama setelah masuknya kekuasaan Majapahit di Bali yang membawa pengaruh baru, membuat masyarakat Bali Aga semakin sedikit bila dibandingkan dengan masyarakat Bali wong Majapahit.
Menurut beberapa versi catatan sejarah dan penafsirannya, kata tenganan berasal dari kata tengah atau ngatengahan yang memiliki arti bergerak ke daerah yang lebih dalam.
Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).
Kehidupan sehari-hari masyarakat Tenganan diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum adat tersebut diperkirakan ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui tahun 1842.
Rumah adat penduduk Tenganan dibangun dari batu bata merah, batu kali, dan tanah; atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbia. Rumah-rumah tersebut memiliki bentuk dan ukuran relatif sama, dengan ciri khas pintu masuk lebarnya berukuran satu orang. Ciri khas lain adalah bagian atap pintu menyatu dengan atap rumah.
Desa lainnya yang terkenal sebagai salah satu masyarakat Bali Aga adalah masyarakat Desa Trunyan. Desa Trunyan terletak di pinggir timur Danau Batur, letaknya cukup terpencil karena hanya bisa ditempuh dengan menyeberangi Danau batur.
Pada zaman Kerajaan Badahulu, daerah Danau Batur terkenal sebagai lokasi masyarakat Bali Aga; bahkan pada saat Majapahit menyerang kerajaan Badahulu, daerah tersebut sangat gencar melakukan perlawanan.
Masyarakat Trunyan melakukan Upacara di Danau Batur, 1957”. Foto dari Tropenmuseum
Setelah Majapahit berhasil menundukkan raja terakhir Badahulu dan Gajah Mada mengirim Sri Kresna Kapakisan sebagai Raja di Badahulu yang baru, daerah Danau Batur terkenal sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di Bali.
Pada saat sekarang, penduduk di Danau Batur di Desa Trunyan terkenal sebagai masyarakat Bali Aga. Mungkin yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit di Bali pada saat pemerintahan Sri Kresna Kapakisan adalah masyarakat Trunyan.
Karena pada saat sekarang daerah Danau Batur ada desa Trunyan yang merupakan masyarakat Bali Aga dan yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Majapahit juga adalah masyarakat Bali Aga. Bali Aga sendiri memiliki arti penduduk asli Bali atau Bali pegunungan.
Penduduk Desa Trunyan meyakini bahwa mereka adalah Bali turunan, yaitu turunan leluhur orang Bali sejak leluhur mereka turun dari langit ke bumi Trunyan. Nama Trunyan juga dapat merujuk kepada pohon Tru Menyan yaitu pohon yang menyebarkan bau harum yang banyak di temui di wilayah desa ini.
Desa Trunyan ini memiliki banyak keunikan. Salah satunya adalah kebiasaan penduduk setempat dalam menguburkan mayat; Mepasah; Tradisi Pemakaman Desa Trunyan, Bali.
Masyarakat Desa Trunyan, tidak seperti penduduk Bali kebanyakan yang melakukan upacara ngaben dengan membakar mayat, meletakkan mayat ‘begitu saja’ di suatu tempat.
Mayat-mayat tersebut dipagari ancak saji yang terbuat dari bambu berbentuk kerucut untuk menghindari serangan binatang buas.
Keberadaan Desa Tenganan dan Desa Trunyan sebagai sebuah desa adat berusaha melestarikan nilai-nilai leluhur Bali yang telah diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.