Senin, 24 Agustus 2015

Siapa saja yang telah terbutakan oleh Maya dari Siwa yang senantiasa larut dalam permainan rohani?


Di dalam kitab Siwa Purana Resi Vyasa berkata pada Sanatkumara "Siapa saja yang telah terbutakan oleh Maya dari Siwa yang senantiasa larut dalam permainan rohani? Keagungan yang bagaimanakah yang membuat pengetahuan mereka terbutakan?
Sanatkumara berkata : O Vyasa, yang maha cerdas, dengarkanlah kisah Siwa yang menyenangkan hati ini, yang hanya dengan mendengarkannya saja maka rasa bhakti akan tumbuh berkembang.
Siwa adalah penguasa segalanya, jiwa dari segalanya dan mata dari semuanya. Seluruh semesta diliputi oleh keagungan Beliau.
Adalah wujud Siwa yang agung yang telah bermanifestasi sebagai Brahma, Wisnu dan Siwa. Dialah yang menjadi jiwa segalanya yang ada di seluruh semesta. Beliau adalah yang memiliki simbol dan tanpa simbol.
Semua makhluk baik pada masa lampau, sekarang maupun yang akan datang semuanya berasal dari Siwa, semua makhluk berkembang dalam Beliau dan akhirnya bersatu dengan Beliau kembali.
Siwa adalah kerabat, teman, pembimbing, pelindung, pemimpin, penasehat, saudara, ayah, ibu, brahma, Visnu, Indra, candra, danawa, ular, gandharwa, manusia dan semua yang lainnya.
Siwa identik dengan segalanya, yang termanifestasi dalam diri semua makhluk, yang lebih agung dari yang teragung. Tidak mungkin lagi menebak sesuatu yang lebih agung daripada Siwa.
Mayanya adalah bersifat rohani dan memenuhi segalanya. Seluruh semesta tunduk pada-Nya, termasuk para dewa, asura dan manusia".
Sloka diatas disebutkan bahwa Siwa bermanifestasi menjadi Brahma dan Wisnu. Manifestasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya perwujudan. Jadi di dalam beberapa sloka bagian akhir Siwa Purana tidak mengajarkan fanatisme sekte, banyak makna kiasan dalam Siwa Purana, konsepsi Tri Murti dalam beberapa sloka memang ada dalam kitab tersebut. Siwa Purana sejalan dengan Hindu di Bali dan sejalan dengan Catur Weda yang dalam Rgveda disebutkan" Sat Viprah Bahuda Vadanti.





pesantian umat Hindu sebagai "pangaksaran"

 


 

pesantian umat Hindu sebagai "pangaksaran". Kata ini berasal dari kata dasar aksara. Kata aksara adalah kata Sanskerta yang berarti "tidak berubah, abadi". Dengan pangaksaran inilah maka kita akan menemukan jalan keabadian.
Dalam sastra dan susastra Hindu aksara menjadi penting, karena itu Nitisastra mengatakan jika dalam satu hari setidaknya kita bisa membaca 1 sloka atau 1 aksara dalam Weda, tentu setelah itu kita harus mengimplementasikanya dalam kehidupan sehari-hari.
Aksara dalam sastra dan susastra Weda juga dianggap sebagai aksara suci. Oleh karenanya dalam Lontar Tutur Aji Saraswati disebutkan pada saat hari Saraswati kita "tan wenang ameteni sastra/aksara". Maknanya sebenarnya adalah untuk menyucikan aksara itu sendiri.
Di Bali aksara adalah sesuatu yang sangat sakral, lebih-lebih aksara yang digunakan dalam rerajahan. Pernah ada mahasiswa Bali yang bertanya kepada saya, apakah aksara dalam susastra Weda bisa "digantikan" dengan aksara Latin. Lalu saya balik bertanya apakah rerajahan di Bali juga bisa digantikan dengan aksara Latin? Dia terdiam. Sebenarnya bukan hal penting digantikan atau tidak, tetapi pembelajaran kita dan pemaknaan terhadap aksara itu yang tidak boleh dihentikan.
Oleh karena itu saya merasa kecewa ketika mendengar ada orang Hindu dan lebih-lebih mengatasnamakan Lembaga Pendidikan Keagamaan Hindu yang mengatakan siswa/mahasiswa Hindu tidak perlu belajar aksara Dewanagari atau Sanskerta. Kalau dia merasa sudah tua dan merasa terlambat untuk belajar sastra dan susastra Weda ya jangan menghambat yang muda untuk mempelajarinya.
Jika lembaga pendidikan Hindu seperti Pasraman dan Perguruan Tinggi Agama Hindu sudah mengabaikan pembelajaran sastra dan susastra Hindu, maka jangan berharap kedepan Hindu akan berkembang lebih baik.
Jawa sudah mulai lumpuh karena sudah mulai mengabaikan aksaranya. Orang Jawa yang paham akan simbol kehidupan dalam aksaranya akan tetap mempertahankannya.
Kita mestinya bisa belajar pada orang-orang China, Jepang, dan Arab yang sampai saat ini masih getol mempertahankan aksara dan sastranya. Meski mereka bisa menulis aksara Latinnya tetapi mereka lebih suka menulis dengan aksara mereka sendiri terutama untuk ajaran-ajaran dalam sastranya.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Minggu, 23 Agustus 2015

MAKANAN SATWIKA DAN SAMADHI

Dagang Banten Bali


Makanlah makanan yang menyehatkan tubuh dan
tidak malah menyebabkan kita cenderung menderita sakit
seperti tekanan darah tinggi dan koresterol.
Hindari makanan yg membuat kita cenderung menjadi pemarah.
maka lebih banyaklah makan buah-buahan dan sayur-sayuran.
Dengan demikian kita telah berusaha memperkecil jumlah dan bobot dosa yg kita perbuat..
Sehingga jalan lebih terbuka buat kita ut mencapai Samadhi didalam latihan meditasi
.
Dengan memilih makanan satwika kita sudah mendayung dan 2 pulau terlalui:
Meningkatkan kesucian fisik dan mental (etika) sehingga ut meningkatkan kesucian rohani
ya dengan lebih sering dan tekun mencapai Samadhi. bukan sekedar meditasi.


Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini

ARDHANARESWARI

Dagang Banten Bali



Konsep Ardhanareswari mempunyai latar belakang Weda dan kesusastraan Weda. Di dalam simbologi Weda dijelaskan melalui beberapa nama yang merupakan pasangan: Pita-Mata, Parardha-Avarardha (setengah atas-setengah bawah), Katamardha-Visvardha (setengah tak diketahui-setengah dunia), Prana-Apana, Yuvan-Yuvati, Mitravaruna-Urvasi, Purnakumbha-Kumbhini, Nara-Nari, Deva-Devi, Dasa-Aditi, Manas-Kama, Uparisvit-Adhahsvit, Prayati-Svadha (energi-material), Parastat-Avastat, Visvasrj-Visvasrsti, Suparna-Suparni dan pasangan-pasangan lain laki-laki dan wanita yang muncul bersama-sama di dalam kosmogoni Veda.
Kata 'Ardhanareswari' terdiri atas tiga kata: 'ardha', 'nari', dan 'isvara' bermakna 'isvara' (adalah Siwa) dengan 'nari' (yaitu Parwati) sebagai 'ardha' (yaitu setengah/separoh). Sebuah bentuk atau wujud dimana tubuh yang sama dibagi oleh Siwa dan Parwati masing-masing mencerminkan separuh bagian dari bentuk yang sama. Artinya, satu bagian berwujud Siwa, satu bagian lainnya merupakan perwujudan Parwati, pasangannya, namun dalam satu wujud. Satu wujud mempunyai dua bagian: setengah laki-laki, setengah wanita. Kedua belahan ini menyatu dan menunggal di dalam satu wujud. Acintya atau disebut juga Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Licin merupakan wujud penunggalan itu. Dalam wujudnya sebagai Acintya jenis kelamin: laki-laki atau wanita tidak nampak lagi. Di sini tidak ada batas pemisah atau pembeda Siwa dengan Sakti, Purusa dengan Pradhana, laki-laki dengan perempuan, Siwa dengan Buddha, Adwaya dengan Adwaya Jnana. Dikatakan Siwa-Buddha tunggal.
Pada dasarnya konsep ini memposisikan dua kekuatan yang berbeda, saling bertolak belakang dalam sifat sebagai kekuatan yang disatukan untuk mencapai penunggalan.
Di dalam mazab Tantrayana, Ardhanareswari merupakan konsep penunggalan antara Siwa dan Sakti. Penunggalan ini merupakan asal muasal alam semesta beserta segala isinya.

Manusia-manusia Hindu dapat dianggap lebih dekat pada Tuhannya, karena nyata-nyata mereka itu dilahirkan dari Tuhan dan bukan di buat dari tanah liat yang hanya menyerupai Tuhan. Dan satu hal lagi perlu dicatat bahwa menurut Hindu dengan lahirnya manusia itu dari Tuhan, laki-laki dan perempuannya mempunyai kedudukan yang sama sebagai putra dan putri Tuhan, dengan istilah Ardhanareswari. Wanita adalah belahan yang sama (ardha)(iswari).



menelusuri Tradisi Puja Eksternal yang sempat Hilang





menelusuri Tradisi Puja Eksternal yang sempat Hilang.
1. Agni Hotra
2. Lingga Yoni
Mengapa kita butuh media eksternal dalam puja? Memang Weda memberikan jenjangan praktek.... Sebab fungsi media adalah mempermudah konsentrasi kita..... Orang yang dalam tahap mencari Jati Dirinya Sejati pasti butuh media pengingat atau pinget. Tanpa belajar dari sarana media bisa jadi fokus meleset....bukannya ke Arah Tuhan jadinya tapi ke arah Setan atau Ego Atau Ahamkara....
Engkau jadi tak tau apa yang engaku tuju dan tak terarah sehingga penuh kemarahan dan mengganggu orang lain....bahkan melebihi gumatat-gumitit.
Misal anda seenak udel berujar "Si A tidak sesuai...... Si B tidak sesuai dst...... Harus di bubarkan kecuali dagangan saya." ini adalah bukti gejala kronis anda sendiri sedang tersesat.
*Lingga Yoni di Tirta Empul dalam foto adalah dalam perlindungan cagar budaya sudah barang tentu tidak lagi dipakai sebagai ritual puja yang semestinya sebagaimana masih di praktekan di India.
*Dalam foto juga ada pelinggih padmasana India dan Bali entah siapa yang mengintip duluan.
Kalau rekonstruksi Agni Hotra sudah final maka rekonstruksi Puja Siwa Linggam kira-kira kita mengintip ke India apa ke Arab ya?
Ritus Puja Agni Hotra dan Siwa Linggam mungkin dulu bernasib seperti Tulisan Nusantara yang diganti Latin sehingga kita kehilangan indentitas dan jadi ke Latin-Latinan


Klatkat



Oktagram.. Bintang bersudut 8.




 This Klakat Sudamala, one of main tools for preparing Balinese ceremony, this looks like mandala




Agama HIndu dikenal sebagai agama yang memiliki banyak upacara. Keberadaan upacara di Bali, juga tidak lepas dari adanya sarana upacara, dan salah satunya adalah Klakat.


Klakat yang terbuat dari anyaman bambu sedemikian rupa ini, terdiri dari beberapa jenis dan memiliki banyak manfaat dalam upacara Hindu.
Anyaman bambu berbentuk segi empat (bujur sangkar) ini, ukurannya pun bervariasi sesuai dengan kebutuhan upacara yang akan dilangsungkan. “Pada Klakat terdapat lubang-lubang berbentuk segi empat. Adapun jumlah lubang pada Klakat Pancak yaitu 25 buah, secara vertikal lima buah dan secara horizontal lima buah, ” ujar Jro Mangku Wayan Satra kepada Bali Express, akhir pekan lalu.
Dijelaskan Mangku Satra, disebut Pancak berasal dari kata Panca yang dalam istilah Bali berarti lima. Lima ini merupakan jumlah lubang klakat secara vertikal dan horizontal. Kata Panca , lanjutnya, merupakan simbol Panca Mahabutha. Panca Mahabutha adalah lima unsur elemen atau zat dasar yang membentuk lapisan mahluk hidup, termasuk badan manusia (sarira kosha) yang sesuai dengan hukum rta. Panca Mahabutha juga merupakan kekuatan prakerti (acetana) yang merupakan salah satu kekuatan pendorong dari korban suci (Yadnya) kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Pada konteks ini, Ida Sang Hyang Widi Wasa merupakan simbol kekuatan purusa (cetana). Semua itu bertujuan untuk mempercepat proses penyatuan antara Sang Pencipta dengan mahluk hidup ciptaan-Nya. Dikatakan Mangku Sastra, biasanya Klakat Pancak ini digunakan sebagai alas suatu upakara (banten), yakni sebagai alas upakara caru, sebagi alas upakara saji, dan sebagai komponen dasar pembuatan Sanggah Cucuk.
Satra menjelaskan, selain Klakat Pancak, dalam sarana upakara hindu juga dikenal yang namanya Klakat Sudhamala. Klakat ini juga terbuat dari bambu dan berbentuk segi empat bujur sangkar. Namun, pada bagian tengahnya tidak seperti Klakat Pancak yang berbentuk kotak-kotak dan memakai tangkai. Ukuran bambu yang dugunakan untuk membuat Klakat Sudhamala adalah 10 hingga 15 cm dan menggunakan bahan tiying kuning (bambu yang sudah tua dan kuning). “Segala jenis pembuatan sarana upakara, salah satunya Klakat ini harus menggunakan bahan yang sukla (suci), barang baru atau tidak pernah digunakan sebelumnya,” ujar pria berusia 74 tahun ini.
Klakat Sudhamala dibuat dengan konsep Purusha dan Prakerti, sehingga terdiri atas dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Klakat Sudhamala yang laki-laki pada lubang tengahnya terdapat tanda silang. Adapun tanda silang tersebut mengandung simbol Swastika yang berarti empat kemahakuasaan Sang Hyang Widi yang disebut Cadhu Sakti, yakni empat kesaktian atau kekuatan atau kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi.
Empat kesaktian atau kekuatan tersebut adalah Wibhu Sakti, yaitu Sang Hyang Widi Mahabesar. Sadu Sakti, yaitu Sang Hyang Widi Mahaada. Jnana Sakti ( Sang Hyang Widi Mahatahu), dan Krya Sakti, yakni Sang Hyang Widi Mahakerja.
Sedangkan untuk Klakat Sudhamala yang perempuan hanya terdapat lubang dengan tepian delapan sudut (segi delapan). Sudut delapan merupakan simbol delapan Kemahamuliaan Sang Hyang Widi (Asta Aiswarya)
Delapan Kemahamuliaan Sang Hyang Widi terdiri atas, Anima, yaitu Sang Hyang Widi bersifat kecil, sekecil-kecilnya. Laghima, Sang Hyang Widi bersifat ringan, seringan-ringannya. Mahima, Sang Hyang Widi Mahabesar. Prapri, Sang Hyang Widi dapat mencapai segala-galanya. Prakamnya, Sang Hyang Widi dapat mencapai segala yang dikehendaki. Istiwa, Sang Hyang Widi merajai segalanya, dan Yatrakamawasayitwa, Sang Hyang Widi memiliki sifat Wyapiwyapaka.
Lebih lanjut dijelaskan, Pancak Sudhamala biasanya digunakan sebagai pelengkap upakara. Pada Upacara Dewa-Dewi (Siwagotra-Siwagotri) yang di taruh pada Sanggah Surya. Selain itu, Klakat ini juga digunakan sebagai pelengkap pada Upacara Nyekah Neseng.
Klakat Pancak maupun Klakat Sudhamala, lanjutnya, merupakan sarana upakara yang dibuat berdasarkan konsep Purusa dan Prakerti dengan kemahakuasaan sebagai Cadhu Sakti dan Asta Aiswarya. “Kedua jenis Klakat ini banyak digunakan pada perlengkapan upacara Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya.” tutup Satra.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Nama Orang Bali

Dagang Banten Bali


Siklus Nama Orang Bali
Penamaan orang Bali memiliki aturan yang sistematis, salah satunya adalah sistem urutan.
Umumnya, nama orang Bali tersusun atas beberapa bagian, seperti penanda “gender”, keturunan, urutan kelahiran, dan nama panggilan.
Tanda urut ini diberikan sesuai dengan urutan lahir sang anak. Bagi yang lahir pertama, diberi nama “Wayan”, kedua “Made”, ketiga “Nyoman”, dan keempat “Ketut”. Nama Wayan (atau variasinya) akan diberikan kembali bagi anak kelima, keenam Made, dan selanjutnya saling memutar.
Nama Wayan, berasal dari kata “wayahan” yang berarti “lebih tua”. Memiliki variasi lain seperti “Putu”, “Gede”, dan “Luh” (khusus perempuan).
Made berasal dari “madhya” yang berarti tengah. Oleh karena itu salah satu variasinya adalah “Nengah”. Namun ada variasi lain seperti Kade dan Kadek.
Nyoman berasal dari kata “anom-an” yang bermakna “lebih muda”. Variasinya adalah “Komang”.
Ketut, konon berasal dari kata “ka-tuhut” yang berarti “mengikuti”. Nama ini tidak memiliki variasi lain.
Jadi, jangan heran jika Anda berteriak "Made!" maka akan ada lebih dari satu orang yang menoleh ke arah Anda
 https://www.facebook.com/aksarabalikontemporer/photos/a.1133907123293005.1073741828.1133734293310288/1183063365044047/?type=1&fref=nf