Rabu, 01 Juli 2015

SANGGAH KAMULAN





Hampir setiap karang perumahan di Bali, pada bagian hulu atau udiknya terdapat sebuah “sanggah”. dimana salah satu palingihnya yang umum disebut “Sanggah kamulan” untuk golongan tertentu disebut juga “Sanggah Kemimitan”. Karena sanggah tersebut selalu letaknya pada udik atau hulu dari karang, maka disebut juga “Panghulun Karang”. adanya sanggah kamulan selalu berdampingan dengan Sanggah Taksu. sehingga dalam keseharian, masyarakat bali lebih failiar menyebut Pamerajan Alit dengan sebutan Sanggah Kamulan Taksu.

Belakangan ini, di kalangan generasi muda tidak sedikit yang mulai berpikir, bahkan telah melaksanakan bahwa Sanggah Kamulan telah diganti dengan satu pelinggih saja yaitu Padma Sari dengan berbagai alasan, persoalan tanah, biaya, efesiensi dan masih ada seribu alasan untuk membenarkan tindakannya.

Bagi para pembaca yang berniat mengganti (Prelina) Sanggah Kamulan, sebelum melaksanakan niatnya sebaiknya membaca artikel sederhana ini.

Umat Hindu pada prinsipnya memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dan memuja Roh (Dewa Pitara). Disamping memuja Tuhan, Weda juga mengajarkan dan membenarkan memuja Roh Suci leluhur.

Dalam Kekawin Ramayana dinyatakan bahwa:
Gunamanta sang Dasaratha, Wruh sira ring weda bhakti ring dewa, Tar malupeng pitra puja, Masih ta sireng swagotra kabeh
Artinya:
Keutamaan sang Dasaratha,Beliau paham akan Weda, berbakti kepada Tuhan, Tidak pernah lupa memuja leluhur, Juga sayang terhadap keluarga dan rakyat
Secara etimologi kata, Sanggah Kamulan terdiri dari dua buah kata yaitu:
- Sanggah, dan
- Kamulan.

Sanggah adalah perubahan ucapan dari pada “sanggar”, arti sanggar menurut pengertian lontar keagamaan di Bali adalah tempat memuja. Misalnya dalam lontar Sivagama disebutkan “nista sapuluhing saduluk sanggar pratiwi wangun” (Rontal Sivagama, lembar 328).

Kamulan berasal dari kata “mula” (samkrit), yang berarti; akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Awalan ka-, dan akhiran –an menunjukkan tempat pemujaan asal atau sumber.
Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan.
Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W).
Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula (Wikarman, 1998: 2). Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.

Dalam lontar Siwagama tentang pendirian Hyang Kamulan.
Kutipannya sebagai berikut;
“……bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika mwang kamulan panunggalanya sowing……”
Arti kutipan tersebut ;
“….. Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun Sad Khayangan Kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat pulih keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing pekarangan…..”

Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah Kamulan itu.

Kamulan dimaksudkan untuk selalu ingat kepada sumber atau asal manusia. Manusia dalam bahasa Sanskrit berasal dari kata 'jatma' yaitu ' ja + atma '.
- Ja berarti lahir,
- Atma artinya roh yang merupakan bagian dari Brahman.
Jatma atau manusia adalah roh yang lahir (reinkarnasi). Maka dapat disimpulkan bahwa manusia hidup karena adanya roh yang lahir. Jadi yang menjadi sumber asal manusia adalah roh itu sendiri.

Lontar Siwagama adalah merupakan Pustaka suci bagian Smrti dari Sekte Siwa. Oleh karena itu ajaran Siwa seperti yang tercantum pada lontar Siwagama itu wajib diikuti oleh pengikutnya.

Sanggah Kemulan dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
“ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh….” (Rontal Usana Dewa, lembar 4)
Yang artinya :
”Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).”

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Sanggah Kemulan dalam lontar Gong Wesi,
dalam lontar Gong Wesi kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana Dewa. Kutipannya adalah sebagai berikut :
“….. ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga….” (Rontal Gong Wesi, lembar 4b).
Artinya :
“…… nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud”

Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan itu adalah Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).

Sanggah Kemulan dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan
dalam Lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara, juga disthanakan di sanggah kamulan, seperti disebutkan :
“riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni……” (Purwa Bhumi kamulan, lembar: #).
Yang artinya :
“Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.”

Sanggah Kemulan dalam lontal Tatwa Kapatian
dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa sanghyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :
“Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan” (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).
Artinya :
“Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug, hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan”

Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur lencang umat yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.

Hyang Tri Murti Dewanya Sanghyang Tri Atma
Kalau kita renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.

Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siwa Tattwa, maka “atma” adalah yang menjadikan hidup pada mahkluk. Sivatma adalah sumber atma di alam nyata (sekala) ini. Sedangkan Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Ia adalah atma tertinggi. Ia adalah Tuhan menurut sistim yoga. Ia adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam sistim wedanta ia adalah Tuhan Nirguna Brahma.

Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma, adalah:
Am, Atma dewanya Brahma,
Antaraatma dewanya Wisnu, dengan wijaksaranya Um, dan
Paramatma dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya Mang.
Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh (atma) alam semesta ia adalah juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga.

dikarenan Sanggah Kemulan adalah linggih Ida Hyang Tri Purusa, maka mantra pada saat memuja beliau di Sanggah Kamulan atau Kawitan adalah sebagai berikut:
"Om Dewa-dewi Tri Dewanam
Tri Murti Tri Lingganam
Tri Purusa Suddha Nityam
Sarwa jagat Jiwatmanam"
(Anandakusuma: 45).
Artinya:
Om Dewa-dewi yang bergelar Tri Dewa, adalah Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara) yang juga Tri Lingga, Tri Purusa yang suci selalu, adalah roh (atma) atau semesta beserta isinya (jagat).

Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk mahkluk hidup utamanya manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa dengan wujud Trilingganya. Sebagai roh (atma) dengan sendirinya beliau itu adalah Ida Hyang Widhi, yang didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi, yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong Wesi disebut Hyang Tuduh / Hyang Tunggal atau Brahma sebagai pencipta alam dengan isinya termasuk manusia.

Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen (sakala), Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala (Ardenareswara), sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala (transcendental).

Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau (Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid beliau terpandai yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru (Wikarman, 1998: 12).

Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
“Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam”
(Anandakusuma, Dewayadnya: 45).
Artinya:
“Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu”

Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/Sang Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru.

Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung pengertian yang sangat tinggi, yang merupakan asal muasal manusia yang tidak lain dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua manifestasinya.

FUNGSI SANGGAH KAMULAN
1. Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi
Dimuka sudah dijelaskan, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti.

2. Tempat Memuja Leluhur
Sanggah Kemulan dalam lontar Purwabhumi kamulan, dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara,
“… iti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan …” (Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau mensthanakan” dewa pitara itu. Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.

Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini adalah merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan paratma).
Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana kanda dari ajaran Agama Hindu.

Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.

Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
“… iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales, dinanya, sawulan pitung dinanya…”
Artinya :
“… Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada 12 harinya, atau 42 harinya…”.

Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).

Jenis Sanggah Kamulan
Umat Hindu di Bali menurut dimensi dan kondisinya, membedakan Sanggah Kamulan menjadi beberapa jenis antara lain :

Turus Lumbung, adalah Sanggah Kamulan darurat, karena satu dan lain hal belum mampu membuat yang permanent. Bahannya dari turus kayu dapdap (kayu sakti). Fungsinya hanyalah untuk ngelumbung atau ngayeng Hyang Kamulan atau Hyang Kawitan. Satu tahun setelah membuka karang baru diharapkan sudah membangun Kamulan yang permanen.
Sanggah Penegtegan, adalah kamulan yang berfungsi hanya sebagai tempat negtegang (membuat ketentraman) dengan memuja Hyang Kawitan bagi mereka yang baru berumah tangga. kamulan sejenis ini banyak kita jumpai di daerah Kabupaten Bangli bagian atas. Setiap mereka yang baru kawin diwajibkan membangun sebuah Sanggah rong tiga, sehingga dalam satu pekarangan akan berdiri beberapa yang telah berumah tangga.
Kamulan jajar. Sesuai dengan namanya, kamulan ini memiliki dua saka (tiang) yang berjajar dimuka yang menancap langsung pada bebaturan (palih batur).

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Disamping itu, Kamulan jenis ini, disamping mempunyai ruang tiga yang berjajar, juga terdiri dari tiga bagian, yaitu :

bebaturan,
ruang lepitan, dan
ruang gedong sampai atapnya.

Ruang lepitan letaknya dibawah rong tiga yang berjajar itu. Jadi kalau disimpulkan Kamulan jajar ini terdiri dari jajar horisontal dan jajar vertikal, sebagai simbolis dari Hyang Murti dan Tri Purusa.

Apa fungsi ruang lepitan itu?
Belum diketemukan sumber pasti. Namun kita lihat fungsi Kamulan sebagai Palinggih Atma dapat dijelaskan sebagai berikut :

Batur Kamulan, Sthana Atma yang masih kotor, yang baru mendapat pengentas pendem (lontar Tattwa Kapatian)
Rong tiga, terutama kiri dan kanan adalah tempat Atma suci yang telah dilinggihkan.
Ruang lepitan adalah tempat yang dapat dicapai oleh Atma yang sudah diaben.
Jadi dengan demikian dapatlah dikatakan, Sanggah Kamulan terdiri dari tiga bagian kosmos, yakni bebaturan sebagai Bhur Loka atau pitra loka alamnya para Pitara, yaitu Atma yang sudah diaben, sedangkan Rong tiga sebagai Swah Loka alamnya para Dewa, yang dapat dicapai oleh atma yang mencapai alam kedewaan setelah melalui proses upacara memukur.

Ngunggahang Dewapitara di Sanggah Kamulan
Selain tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa,Sanggah kamulan adalah tempat memuja dan menstanakan roh suci leluhur. Agar leluhur dapat berstana di Sanggah Kamulan tentunya melalui proses upacara yang disebut dengan Ngunggahang Dewapitara. Tata cara mengenai ngunggahang Dewapitara diuraikan dalam Lontal Purwabhumi Kamulan dan Lontal Lebur Gangsa.
Berikut adalah kutipan lontal Purwabhumi Kamulan:
Iti kramaning angunggahaken pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung mwang mukur, ring tutug rwawlas dinanya, sawulan pitung dinya, kunang wenang magawe bebanteng mangunggahaken pitra agung alit, lwir pabanten kadi piodalan dewa, maduluran; saji dewa putih kuning mwang jarimpen agung, pesayutan, pengambeyan, pangulapan, lawerti warna pada matukel, jinah 225, iniketan ring tulup, matatakan beruk misi beras, saha satsat gegantungan, riwus pinuja, terpana, kinabhaktine dening swagotranira, ring wus mangkana, ikang daksina pangadegan Sang Dewapitara, tinuntunakena maring tengen, yan wadon unggahaken ring kiwa, irika mapisan lawan dwa hyangnia nguni, winastu jaya-jaya depandhita kinabhaktenana mwah dening sawargania mwang santananira. Telas mangkana tutug saparikramania, puja simpen pralina kadi lagi. Ikang adegan wenang lukar saprakarania, wenang gesengakena juga, pushadika winadahan nyuh gading saha wangi, pendem ring ulwaning Sanggah kamulan, saha raramyania,dening kidung kakawin sakawruhan nira. (Rontal Purwabhumi Kamulan,lembar 53).

Adapun tata cara dalam ngunggahang Dewapitara adalah sebagai berikut:

Dewapitara mula-mula dipuja tarpana melalui daksina pangadegan,sebagai simbolik daripada Dewapitara.
Setelah puja tarpana,lalu warganya menyembah kepada Dewapitaranya.
Berikutnya daksina pangadegan Dewapitara itu dituntun ke Sanggah Kamulan.
Kemudian dinaikan dan disthanakan.Kalau laki-laki ditempatkan disebelah kanan,sedangkan kalau perempuan ditempatkan disebelah kiri dari ruang kamulan tersebut.
Setelah itu kembali dijaya-jaya oleh pendeta sekali lagi pula persebahan dilakukan oleh keluarga dan keturunannya.
Terakhir dilaksanakan puja Pralina yang artinya menyimpan dan mengembalikan kepada asal Dewapitara tersebut. Daksina pangadegan dilukar lalu dibakar. Abunya dikumpulkan dan ditaruh di dalam nyuh gading, disertai wangi-wangian,kemudian ditanam pada hulu sanggah kamulan tersebut.

Mengenai upakara atau bebantenan yang digunakan dalam ngunggahang Dewa pitara menurut Lontal Purwabhumi Kamulan adalah bebantenan yang sama seperti bebantenan hari pawedalan dewa dengan disertai:

Saji dewa agung
Jarimpen agung
Sesayut
Pengambeyan
Pangulapan
Panuntunan,yang peralatannya terdiri dari: Tulup yang dialasi dengan beruk berisi beras, Uang kepeng 225, dan Benang Tridatu 3 tukel (warna merah,putih,hitam). Uang kepeng dan benang dikaitkan pada tulup.
Daksina pangadegan Dewapitara.

Dari uraian di atas ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi yaitu:
Kalimat "irika mapisanan lawan Dewahyangnia nguni" dapat diartikan menunggalnya Atman individu yang telah disucikan dengan Sumbernya (Hyang Kamulan).

Upacara ngunggahang Dewapitara adalah tergolong Dewa Yadnya. Sehingga bebantenannya yang diperlukan sama seperti hari pawedalan dewa, banten apasarean (Odalan pemereman).

Tentang upacara ngunggahang Dewapitara juga diuraikan dalam Rontal Tutur Plebur Gangsa berikut beberapa baris petikannya:
Iki pebantennia pesakapan Nilapati pangunakarahaken pitra,angunggahaken pitra ring ibu dengen ring kamulan... Yadnya nawur denda kalepasan pitrane sane sampun liwar yadnya lara tan karuwat dening tamba,mwang panglukatan ika wenang tawurin ring pasakapan Nilapati.Yan sira angunggahaken pitra gawenen daksina makadi linggan Sanghyang Atma,sang pandita wenang ngwastonin ring sampune puput raris muspa sami-sami matur ring Dewapitara mangda jenek malinggih ring kamulan. (Drs.I Ketut Winaya,1989:22)
Dari kutipan di atas perlu digaris bawahi bahwa:

Ngunggahang Dewapitara di Sanggah Kamulan disebut sebagai Pesakapan Nilapati
Tempat ngunggahang Dewapitara adalah Ibu dengen kamulan
Pada upacara ini diperlukan nawur denda kelepasan pitra. Yang maksudnya adalah penebusan dosa-dosa pitra tersebut yang pernah diperbuat semasa hidupnya
Adanya perwujudan Dewapitara berupa daksina palinggan sanghyang Atma.
adanya suatu harapan agar Dewapitara abadi bersthana pada Sanggah Kamulan.

Sanggah Kamulan Stana Hyang Guru
seperti yang telah dijelaskan dalam kutipan lontar-lontar diatas, Sanggah Kemulan merupakan salah satu tempat suci pekarangan rumah, yaitu tempat berstananya Bhatara Hyang Guru, yang juga merupakan tempat pemujaan/pengayatan Tri Murti. Selain itu Fungsi sanggah kemulan adalah sebagai tempat suci untuk memuja Bhatara-bhatari leluhur atau dewa pitara.
memang, kadang-kala, pengayatan dewa-pitara atau leluhur biasanya dibuatkan bangunan (sanggah rong kalih) disebelah selatan sanggah kemulan yang kemudian disebut "Sanggah palihyangan" kemudian lebih sering disebut "Paliangan", yang mungkin berasal dari kata "palinggan + hyang" yang artinya tempat leluhur.

Di dalam Sanggah ini ada bangunan rong tiga (tiga ruang) yang disebut Sanggah Kemulan tempat roh leluhur itu. Roh-roh tersebut dapat memberikan perlindungan dan pertolongan kepada manusia, tetapi dapat pula menimbulkan bencana. Oleh karena itu untuk mengambil hati roh-roh tersebut (agar tidak mencelakakan, tetapi sebaliknya memberikan bantuan) maka roh tersebut dipuja melalui persembahan saji-sajian. Yang pertama yang dipuja adalah roh orang-orang besar dan roh nenek moyang, yang disebut Hyang atau Dewa Hyang. Roh suci seseorang ditempatkan di Sanggah Kamimitan/Pamerajaan.

Sesuai dengan hasil Keputusan pada pertemuan para Sadaka (pemimpin Sekte) yang dipimpin oleh ida Mpu Kuturan di Bedahulu antara 9 SAMPRADAYA (sekte) yang ada di Bali, maka didalam lingkungan masyarakat yang lebih kecil (keluarga ) diharuskan untuk membangun sanggah / pemrajan di pekarangan masing – masing berupa pelinggih rong 3 yang biasa di sebut sanggah kemulan. Sanggah kemulan / Pemerajan berfungsi sebagai tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya. Sanggah Kamulan ini berbentuk segi empat panjang bertiang empat dengan 3 buah ruangan.

Pada Sanggah Kemulan Sebelah Kanan adalah linggih Dewa Brahma, Ruang sebelah kiri adalah Linggih Dewa Wisnu ,dan ditengah – tengah adalah linggih Dewa Siwa.

Pada ruang tengah biasanya diisi buah kelapa yang masih bertampuk dan bertangkai serta kulitnya tiada bercacat, disebut : “Tahulan“. Tahulan ini dianggap sebagai sebagai simbul jiwa, Tapuk sebagai Lambang Siwadwara dan tangkai sebagai simbul rambut,sedangkan ruang kanan dan kiri sebagai simbul mata.
Jadi Sanggah Kamulan sebagai perwujudan Lingga Tri Murthi yang merupakan pancaran dari Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Maksud dari pembangunan Palinggih rong Tiga dalam lingkungan keluarga adalah agar kita selalu ingat dan memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam kaitannya hutang kita yang di sebut Tri Rnam.
Tempat tersebut dinamai Sanggah/Pemerajan bila minimal terdapat:

Kemulan Rong Tiga sebagai linggih Tri Murti / Leluhur
Linggih Sedana Penglurah
Gedong Linggih Taksu.
Dan menurut beberapa sumber yang daerah kami di desa guwang serta pendapat para guru spiritual hindu, yang distanakan di Rong 3 tersebut adalah jiwa - jiwanya para leluhur, dan jiwa itu bersifat cahaya. Dan penempatan Jiwa-jiwa leluhur di areal rumah adat bali, yaitu :
Roh yang belum meninggal posisinya masih ngayah di areal tempat suci di desa setempat, bagi keluarga yang ingin melaksanakan "ritual Munjung" dapat dilakukan di 2 tempat, yaitu: di kuburannya langsung atau di lebuh rumah (depan pintu masuk pekarangan).
Leluhur setelah upacara Ngaben, didalam rumah beliau diberi tempat di "Bale Dagin", itulah sebabnya di bale dangin bagian hulu dibuatkanlah sebuah tempat (lenggatan), yang dijadikan tempat mengaturkan sesajen ataupun munjung. terkadang di beberapa rumah tangga (sanggah gede/pamugeran) beliau distana di palinggih "dewa pitra" yang bertempat di timur "bale daja" biasanya posisinya nempel di tembok luar bale daja sisi timur.
Dewa Pitra, yang kemudian diberikan yadnya "upacara Nyekah",dewa pitra berubah status menjadi "Dewa Pitara", saat ini beliau sudah boleh memasuki areal Sanggah/Pamerajan, yang kemudian malinggih di "Anda Kamulan atau Lepitan Kemulan" posisinya di ruangan di bawah rong tiga. bagi Sentana (keluarga) yang mampu membangun "sanggah palihyangan". kata Palihyangan berasal dari kata "Palingih Hyang"
setelah dilaksanakannya Yadnya Piodalan di Sanggah tersebut, barulah beliau boleh malingih di Rong Tiga, dan saat tersebutlah beliau bergelar "Dewa Hyang".
setelah Dewa Hyang ataupun Dewa Pitara dihaturkan "Yadnya Panilapati", barulah beliau dapat menyatu dengan Tri Murti, yang kemudian beliau bergelar "Hyang Guru". inilah puncak status dari perjalanan Suci Roh/Jiwa Manusia yang belum mencapai "Adi Moksa".
jadi secara umum, yang dapat ber-reinkarnasi secara baik adalah reinkarnasi dari Dewa Pitara, sedangkan posisi lainnya kurang memenuhi syarat baik treinkarnasi, apalagi roh yang belum diupacari Ngaben. apabila belum ngaben roh tersebut sering disebut "pitra dekot (roh yang masih kotor)" biasanya dicirikan dengan adanya banyak halangan semasa hidup sang numadi.

Sumber : cakepane.blogspot.co.id

Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Lis buu



Dagang Banten Bali



lis durmangala dari selepaan :
ati 
buah medon
kukun kambing 
intaran 
 ....
...

petangas ditempelin tipat lepet kanan kiri tengahnya .... 
kamen 

Mecaru







Ganda rsi 
ngiu, 2 aled yi 
aled 1 tumpeng muncuk kuskusan, raka, kojong rasmen, nagasari
aled 2 sodan peras n daksina, taluh bebek matah (pejati)
7 daun diikat jadi satu, 7 sengkui  masing-masing 1 sate lawar dibungkus daun pisang diikat jadi satu
payuk pere, padma,

tebasan rsigana/gajah/putih 
tamas, kulit sayut, raka, coblong carat, peras tulung payasan, payuk pere, padma, 4 kuangen, ceper misi nasi putih, tulung tebasan isi nasi, kojong rasmen, sampyan teterag, nagasari, apak-apak



tebasan asu
tamas, kulit sayut, raka, coblong carat, peras tulung payasan, payuk pere, padma, 4 kuangen, ceper misi nasi kuning, tulung tebasan isi nasi kuning, kojong rasmen, sampyan teterag, nagasari, apak-apak




Makna
Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman. Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng, Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya. Banten sebagai Anda Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini. Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: Daksina, Suci, Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan sebagainya.**
Mecaru (upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta ) Panca Maha Bhuta.
Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:
Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar adat dll)
Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga memerlukan caru jenis madya
Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia
Biasanya ayam berumbun (tri warna?) digunakan sebagai pelengkap panca sata, urutan penempatan caru (madya) panca sata adalah sebagai berikut:
ayam putih timur
ayam merah/biing selatan
ayam putih siungan barat
ayam hitam/selem utara
ayam brumbun tengah
Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit artinya ‘keseimbangan/keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan : Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.

‘Keseimbangan/keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Trihita Karana’ yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan).
Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu, misalnya : pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang merusak palemahan, patut diadakan pecaruan.Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang ? Binatang terutama adalah binatang peliharaan/kesayangan manusia, karena pada mulanya, justru manusia yang dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang peliharaan. 
Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:
Segehan




Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu.
Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Bahan utamanya adalah nasi berwarna beberapa kepal.
Yang umum segehan: putih dan kuning.
Dalam Lontar Carcaning Caru, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan berikutnya.
Caru
Sedangkan pancasanak sampai dengan pancakelud dalam lontar Carcaning Caru tersebut mulai digolongkan sebagai caru yang berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya).
Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara.
Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar.
Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta).
Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.
Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.
Kembali terusik ingin tahu apakah yang dimaksud caru, segehan dan tawur dalam suatu upacara…….sekali lagi saya mengetes kesaktian “bli google” dan melalui sebuah blog, rasa ingin tahu saya terjawab.
Pengertian Banten Caru, Banten Caru, BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu: “Pinaka Raganta Tuwi” artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. “Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara” artinya banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan “Pinaka Andha Bhuvana” artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuvana Agung. Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti Ulu atau Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku (Nistama Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki fungsi sebagai ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya maupun Sanggar Tawang.

Caru panca sata



Perlengkapannya sama dengan caru eka sata namun dibuat 5 tanding dasar caru dimana warna dan jumlah segehan dllnya sesuai dengan pengidernya
 penjor dari ujung bambu ditancapkan pada gedebong pisang

Tata cara pengaturannya :
1.       Pada arah timur laut ditancapkan sanggah pasaksi, dimana hulunya menghadap timur laut.
Hias dengan tikar, candiga, gantung-gantungan
Letakkan didalam sanggah beberapa banten yaitu; Suci, pejati
Letakkan dibawah pada depan sanggah berupa banten Gelar sanga

2.       Di sebelah barat Sanggah Pasaksi ditancapkan 5 bh sanggah cucuk yang sudah dihias dan dilengkapi dengan tikar kecil.
Pada bawah sanggah cucuk digantungkan sujang atau cambeng berisi tetabuhan seperti arak, berem, tuak dan toya anyar
Letakkan banten didalam sanggah cucuk antaralain : banten peras, tulung sayut, ajuman/soda

3.       Dibawah masing-masing sanggah cucuk, pada natar/natah dipasang sengkwi memakai anyaman sebagai jumlah urip pengidernya, diatasnya berturut-turut disusuni karangan, kawisan, bayuhan, ketengan, segehan cacahan, cau dandan, takep-takepan, tulung sangkur, kalakat sudamala dengan alas daun talujungan, laying-layang ayam (dg warna sesuai pengider-ider), sebuah kwangen berisi uang sesari sejumlah kepengnya sesuai urip pengider-ider  dilengkapibanten tumpeng dimana jumlah dan warna tumpeng sesuai dengan pengider-ider.

4.       Pada bagian hulunya layang-layang diletakkan banten suci, daksina, peras
Sedangkan banten caru lainnya yang menyertai diletakkan pada sekelilingnya berupa : penyeneng, sorohan, sasayut pengambeyan, pangulapan, ajuman, tipat kelanan, sanggahurip, segehan agung

5.       Didepan pemimpin upacara diletakkan tebasan durmenggala, pabersihan, tabuh-tabuh, dupa, tirta caru, tirta pabyakalan.
Byakala dan prayascita diletakkan agak terpisah didepan pemimpin upacara

6.       Tetimpug diletakkan ditempat yang agak aman dekat tempat upacara diatas dapur darurat


Caru Eka sata

Jenis-jenis caru :
1.       Caru Eka Sata
2.       Caru Panca Sata
3.       Caru Rsi Ghana
4.       Caru Penolak Mrana/ Gering Tempur
5.       Caru Panca Sanak Madurgha
6.       Caru Bhuta Yadnya Medana-dana/ Gempong Asu
7.       Caru Panca Sanak Agung
8.       Caru Panca Wali Krama
9.       Caru Panca Kelud
10.   Caru Walik Sumpah
11.   Caru Tawur Gentuh
12.   Caru Tawur Agung
13.   Tawur Eka Dasa Rudra

Jenis-jenis caru eka sata :
a.       Caru ayam brumbun/Pengruwak  (berwarna putih-merah-kuning-hitam)
b.      Caru Dengen ( menggunakan ayam putih nulus
c.       Caru Preta ( menggunakan ayam biying atau bulunya merah )
d.      Caru Ananta Kusuma ( menggunakan ayam putih siyungan atau bulunya putih namun paruh dan kakinya kekuning-kuningan
e.      Caru Bicaruka ( menggunakan ayam ireng mulus )

Penggunaannya :
1.       Menyertai Piodalan
2.       Perombakan suatu tempat/hutan
3.       Pembongkaran atau peletakan batu pertama untuk suatu bangunan suci
4.       Permulaan menggunakan suatu bangunan seperti rumah, bale, banjar, pura dll

Tetandingannya ;
Tahap 1. Mempersiapkan Olahan ayam
1.       Sebelum menyembelih binatang korban untuk caru/tawur, didahului dengan mantra :
“ Om pasu pasa ya wihmane sira ceda ya dimahi, tanne jiwah pracodaya”
Artinya, Om Hyang Widhi Wasa, hamba menyembelih hewan ini, semoga rohnya menjadi suci.


2.       Hewan tersebut dikuliti (dalam keadaan kering/jangan diseduh dg air panas) sehingga kepala. Sayap, kaki dan ekornya masih melekat dan berhubungan antara satu dengan yang lainnya ( dibuat blulang ayam/walung malayang-layang)

3.       Dagingnya diolah menjadi :
-          Urab-uraban antara lain : urab barak, urab putih, gegecok
-          Berbagai jenis sate, antaralain : lembat, asem, dan calon
Ketiga jenis sate dan urab-uraban disebut Trinayaka yaitu symbol jasmani binatang tersebut yang aksaranya Ang, Ung, Mang
4.        Dari hasil urab-uraban dan sate tersebut diatur menjadi beberapa tetandingan, yaitu ;
a.       Karangan
Alasnya        :               sebuah taledan
Isinya          :                  urab barak, urab putih, sate lembat 2 bh, sate asem 2 bh, sate calon 2 bh, lalu dilengkapi dengan nasi sokan, berisi lekesan.
Sampyan     :               sampyan nagasari
Gambar :


b.      Kawisan
Alasnya        :               sebuah taledan
Isinya          :                  urab barak, urab putih, sate lembat 2 bh, sate asem 2 bh, sate calon 2 bh, lalu dilengkapi dengan nasi pangkonan (setengah bundar dg dialasi daun ), berisi lekesan.
Sampyan     :               canang genten

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

c.       Bayuhan
Alasnya        :               sebuah taledan
Isinya            :              urab-uraban, sate tiap jenis 1 bh, dibuat tetandingannya sejumlah  urip pangideran, nasinya menggunakan tumpeng danan 2 bh dengan  warna dan jumlah set tumpeng danannya  sesuai urip pengideran , dilengkapi garam dan sambal serta raka-raka.
Sampyan     :               sampyan metangga/peras

d.      Ketengan
Alas                :               taledan kecil berisi tangkih sejumlah urip pengiderannya
Isinya            :              nasi sasah sesuai dengan warna pengidernya dilengkapi dengan urab-uraban dan sate tiap jenis 1 bh.
Sampyan     :               canang genten
Gambar :




Tahap 2. Tetandingan banten tambahan :
a.       Segehan cacahan
Sejumlah urip dan warna pengideran, dengan menggunakan alas taledan, dilengkapi ulam bawang jahe dan garam serta adeng, diatasnya dilengkapi canang genten
Gambar :
b.      Cau danan
Bentuk jejahitannya seperti kapu-kapu, dibuat bergandengan sejumlah urip pengiderannya, masing-masing berisi nasi sesuai warna arah, dilengkapi dengan kacang-saur dengan sebuah sampyan plaus
Gambar :

c.       Tulung sangkur
Alasnya ceper  berisi tulung sangkur sejumlah urip pengiderannya, berisi nasi  warna sesuai arah, dilengkapi dengan kacang-sauh, dilengkapi sampyan plaus  

Gambar :


d.      Takep-takepan
Takep-takepan berisi tatukon (base tampelan,beras,benang,uang kepeng) sejumlah urip pengiderannya
Gambar :


e.      Kalakat
Anyaman bamboo berbentuk bujursangkar sebagi alas laying-layang hewan korban
Gambar :

f.        Daun talujungan
Ujung daun pisang yang digunakan pada sanggah cucuk, dan sebuah lagi diatas kelakat sebagai alas layang-layang
g.       Sebuah kwangen
Yang berisi uang kepeng sesuai dengan jumlah urip pengiderannya
h.      Sanggah pesaksi Sanggah Surya)
Dihias dengan tikar, candiga, gantung-gantungan serta diisi beberapa banten
Gambar :

i.         Sanggah cucuk
Dihias dengan janur pada pinggirnya secara berkeliling, lalu lamak, daun talunjungan, gantung-gantungan
Gambar :

j.        Sengkwi
Dianyam sejumlah urip pengiderannya, dipakai sebagai alas caru
Gambar :


k.       Kain berwarna
Warnanya sesui dengan pengiderannya, diletakkan diatas sanggah cucuk
l.         Tetimpug
Terdiri atas 3 ruas bambu utuh lalu diikat menjadi satu, yang diletakkan nantinya diatas dapur darurat (3 bh bata tersusun) lalu dibakar agar mengeluarkan suara letusan 3 kali
Gambar :


Gambar :

m.    Sapu
Sebagai alat pembersih
Gambar :
n.      Tulud
Sebagai alat untuk mendorong-dorong sisa sampah

Tahap 3. Tata cara Pengaturan Susunan Caru
1.       Pada arah timur laut ditancapkan sanggah pasaksi, dimana hulunya menghadap timur laut.
Hias dengan tikar, candiga, gantung-gantungan
Letakkan didalam sanggah beberapa banten yaitu; Suci, pejati
Letakkan dibawah pada depan sanggah berupa banten Gelar sanga

2.       Di sebelah barat Sanggah Pasaksi ditancapkan sanggah cucuk yang sudah dihias dan dilengkapi dengan tikar kecil.
Pada bawah sanggah cucuk digantungkan sujang atau cambeng berisi tetabuhan seperti arak, berem, tuak dan toya
Letakkan banten didalam sanggah cucuk antaralain : tumpeng danan, tadah sukla, canang lengawangi

3.       Dibawah sanggah cucuk, pada natar/natah dipasang sengkwi memakai anyaman 8 sebagai jumlah urip tengah, diatasnya berturut-turut disusuni karangan, kawisan, bayuhan, ketengan, segehan cacahan, cau dandan, takep-takepan, tulung sangkur, kalakat sudamala dengan alas daun talujungan, laying-layang ayam brumbun, sebuah kwangen berisi uang sesari 8 kepeng dilengkapi nasi wong-wongan berwarna brumbun.

4.       Disebelah-menyebelah diletakkan banten tumpeng yaitu :
Tumpeng putih 5 buah di timur
Tumpeng merah 9 buah diselatan
Tumpeng kuning 7 buah di barat
Tumpeng hitam  4 buah di utara
Dengan dilengkapi dengan rerasmen, raka-raka dan sampyan tumpeng
5.       Pada bagian hulunya layang-layang diletakkan banten suci, daksina, peras
Sedangkan banten caru lainnya yang menyertai diletakkan pada sekelilingnya berupa : penyeneng, sorohan, sasayut pengambeyan, pangulapan, ajuman, tipat kelanan, sanggahurip, segehan agung

6.       Didepan pemimpin upacara diletakkan tebasan durmenggala, pabersihan, tabuh-tabuh, dupa, tirta caru, tirta pabyakalan.
Byakala dan prayascita diletakkan agak terpisah didepan pemimpin upacara

7.       Tetimpug diletakkan ditempat yang agak aman dekat tempat upacara diatas dapur darurat

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Odalan Padma di rumah


Odalan 
Terdiri atas 4 tingkatan yaitu :
1. Tingkat Sayut Pengambiyan
2. Tingkat Udel Kurenan
3. Tingkat Pregembal
                                  4. Tingkat Bebangkit

Biasanya untuk sanggah/merajan/padma di perumahan cukup odalan sesayut pengambeyan 


-         1 dulang gebogan jaja uli, begina, satuh, tape, dll
-         1 dulang buah-buahan
-         1 dulang rayunan dan ulam dalam takir-takir

-         Pengambyan
 ada tipat pengambeyan1 dan 2 nasi dalam tulung
-         Peras
ada kulit peras, 2 tumpeng lanying/landung
-         Sodan dan 1 tanding ketupat (anaman) kelanan
6 tipat nasi, tangkih kacang saur n telor rebus bole dipotong
-         Dapetan
 1 tumpeng lanying kacang saur di kojong rangkadan/kurenan sampyan nagasari 
-         Sesayut Sidakarya
-         Sesayut Sidapurna
-         Sesayut Ibu sugih
-         Prayascita
-         Arak,berem,asep
-         Canang, kwangen, bunga

Banten yang munggah  di pelinggih Ida Betara :
-         Banten danan
-         Pejrimpenan
-         Sodan pekideh
-         Canang
-         Segehan

Selasa, 30 Juni 2015

Pajegan/gebogan/capah



Gebongan atau biasa juga disebut dengan Pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian buah buahan, jajanan dan bunga yang dikreasikan oleh umat Hindu di Bali. Jenis buah dan jajanan biasanya berinovasi mengikuti perkembangan zaman, jadi apa yang kita makan itulah yang kita persembahkan.

Makna atau filosofi banten gebogan juga terlihat dari bentuknya yang menjulang seperti gunung, makin ke atas makin mengerucut (lancip), dan di atasnya juga diletakkan canang dan sampiyan sebagai wujud persembahan dan bhakti ke hadapan Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.

Gebogan biasanya diusung oleh para ibu-ibu dan gadis-gadis Bali untuk dihaturkan ke pura saat upacara piodalan atau upacara dewa yadnya lainnya sebagai bentuk rasa syukur atas berkat yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa
Ukurannya gebogan secara keseluruhan pun bermacam-macam, mulai dari setengah meter hingga satu meter. Sementara biaya yang dikeluarkan untuk membuat gebogan tergantung ukuran dan buah yang digunakan, misalnya ukuran sedang butuh biaya sekitar Rp 300 ribu.
Tinggi rendahnya Gebogan /Pajegan tergantung dari keiklasan dan kemampuan dari masing-masing individu membuat Gebogan, karena nilai dari sebuah Gebogan/Pajegan tidaklah diukur dari tinggi atau rendahnya akan tetapi dari keiklasan hati dalam menunjukkan rasa syukur. Dan selebihnya merupakan bentuk pengapresiasian seni.
Sehingga harus dapat dipahami khususnya bagi umat Hindu, bahwa ketika ada upacara yadnya tidak dibenarkan adanya upaya kalau untuk berlomba-lomba membuat gebogan hanya untuk dipamerkan kepada orang lain apalagi sampai dipaksakan membeli buah dengan mencari utang dan akhirnya mengkambing hitamkan agama. Karena hal seperti itu akan mengurangi makna utama dari dibuatnya Gebongan dalam upacara yadnya yaitu sebagai simbol persembahan dan rasa syukur kepada Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang tepat atau kurang lengkap, mohon dikoreksi bersama. Suksma…