Senin, 01 September 2025

Candi Sewu atau Manjusrighra



Candhi Sèwu adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 Masehi yang berjarak sekitar delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan.
Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan. Meskipun aslinya memiliki 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah ”Prasada Vajrasana Manjusrigrha”. Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sementara Vajrajasana bermakna tempat Wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjusri-grha bermakna Rumah Manjusri. Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.

Satyaloka

 



Satyaloka adalah loka tertinggi, kediaman Brahmā. Disebut Satyaloka karena penuh dengan satya (kebenaran abadi). Orang yang sampai di sini hampir tidak kembali lagi ke dunia fana, melainkan sudah di ambang Mokṣa.

Seperti yang telah dijelaskan dalam sastra 📜 Atharva Veda X.8.37
“yasya satyāni lokeṣu satyaṁ brahma sanātanam /
tasya lokaḥ satyalokaḥ paraṁ dhāma sanātanam //”
“Bagi Dia yang kebenaran-Nya ada di seluruh loka, Brahman yang kekal, tempat kediaman itu disebut Satyaloka, kediaman abadi tertinggi.”
Dalam 📜 Śrīmad Bhāgavata Purāṇa 2.2.28 mengatakan:
“satya-lokaṁ tu brahmāṇam
yatra dharmo hy anāvṛtaḥ /
nityānanda-svarūpeṇa
brahma-loka iti smṛtaḥ //”
“Satyaloka adalah kediaman Brahmā, di mana dharma murni bersemayam, penuh dengan kebahagiaan abadi. Karena itu ia disebut Brahmaloka.”
Aktivitas yang Mengantar kita ke Satyaloka yaitu:
1. Satya (Kebenaran Sejati). Tidak sekadar jujur, tetapi hidup sepenuhnya dalam dharma.
Kalau di dunia kita masih suka bilang “macet nih” padahal telat bangun, itu artinya belum lulus ujian masuk Satyaloka. 😅
2. Bhakti & Jñāna. Mengabdi kepada Tuhan dengan pengetahuan suci.
Kalau sembahyang hanya minta “rezeki lancar, proyek banyak”, itu masih level Svarga. Kalau sembahyang sudah bilang “Saya pasrah, apa pun kehendak-Mu”, nah itu level Satyaloka.
3. Meditasi Brahman. Duduk hening, menyatu dengan Brahman.
Kalau di dunia kita masih meditasi sambil kepikiran cicilan, jangan harap dulu sampai Satyaloka.
4. Tapa & Tyāga (Pengendalian dan Pelepasan). Lepas dari keterikatan dunia: gengsi, harta, jabatan.
Kalau sudah bisa ikhlas kehilangan sandal di pura tanpa marah, berarti sudah latihan kecil menuju Satyaloka. 😁
Humor supaya gak bosan yach, contoh Kehidupan Sehari-hari
Ada orang rajin sembahyang, tapi habis sembahyang langsung bilang: “Om Swaha… semoga tetangga saya jatuh miskin biar saya kelihatan kaya.” → Maaf, ini bukan tiket Satyaloka, tapi tiket drama loka. 😆
Ada juga yang bantu orang, tapi tiap kali bantu sambil bilang: “Tolong dicatat ya, aku sudah nolong kamu 10 kali.” Itu bukan Satyaloka, tapi Excel loka.
Sebaliknya, ada orang sederhana, hidup tulus, penuh satya, tidak pamrih, dan bhakti kepada Tuhan. Dialah yang paling pantas naik ke Satyaloka.
Semetonku, Para bhakta yang berbahagia, Satyaloka adalah loka tertinggi, tempat kebenaran sejati bersemayam. Di sana tidak ada kepalsuan, tidak ada ego, tidak ada pamrih. Hanya ada satya, dharma, dan ananda.
Hidup kita di dunia ini hanyalah latihan kecil menuju Satyaloka. Jadi marilah kita belajar:
Satya → jujur dan tulus.
Bhakti → sembahyang dengan ikhlas, bukan transaksional.
Dhyāna → melatih kesadaran Paramātma dalam hati.
Tyāga → berani melepaskan ego dan keterikatan.
Dengan cara itu, bukan hanya Satyaloka yang kita capai, tapi Mokṣa pun akan terbuka.
Om Santih, Santih, Santih Om 🙏

Sejarah Agnihotra yang Sempat Hilang di Bali: Ada Kaitannya dengan Tragedi di Puri Gelgel



🔥
Agnihotra atau Homayajña kini kembali dibicarakan dan dilaksanakan umat Hindu di Bali, tidak hanya di pura tetapi juga di rumah-rumah. Awalnya dianggap tidak biasa, kini banyak umat tertarik ikut melaksanakannya.
📜 Makna Agnihotra:
Agni = Api Suci
Hotra = Persembahan
Artinya, Agnihotra adalah persembahan kepada Tuhan melalui api, yang diyakini sebagai simbol lidah Tuhan.
🕉️ Sejarah dan Tradisi:
Agnihotra tercantum dalam Catur Weda dan berbagai lontar di Bali, seperti Silakrama dan Prasasti Pande Beratan.
Para leluhur dan pendeta suci di Bali, termasuk Rsi Agastya, Mpu Kuturan, dan Pandita Sakti Wawu Rawuh, senantiasa melaksanakan Agnihotra.
Tradisi sempat terhenti karena insiden kebakaran di Puri Gelgel, namun pada tahun 1990-an, intelektual Hindu Bali kembali mengkaji dan menghidupkan tradisi ini.
🔥 Proses Agnihotra:
Menyiapkan Kunda (tempat api) dan Samagri (bahan persembahan: minyak ghee, kayu cendana, beras, palawija, dll).
Prosesi diawali dengan ngarga tirtha dan acamanyam untuk menyucikan badan.
Penyalakan api suci diiringi persembahan minyak, kayu, dan samagri sambil melafalkan “Swaha”, simbol energi Dewa Brahma dan Dewi Saraswati.
💡 Filosofi Mendalam:
Agnihotra adalah “Raja Yajña”, puncak upacara yajña.
Api suci memiliki berbagai fungsi: memasak (Ahawinaya Agni), mensahkan perkawinan (Grihaspatya Agni), hingga membakar jenazah (Cita Agni).
Melaksanakan Agnihotra dipercaya mendekatkan diri dengan Tuhan dan menyempurnakan upacara Hindu.
✨ Kini, Agnihotra bukan hanya ritual kuno, tetapi tren spiritual yang menyatukan umat Hindu Bali, menghidupkan kembali nilai-nilai leluhur, dan memberikan vibrasi positif di rumah maupun pura.

Bangkitnya Pura Ratu Sakti Kancing Gumi di Banjar Besakih Kawan, Karangasem: Misteri dan Komitmen Warga

 


Sejak letusan Gunung Agung 1963, keberadaan Pura Ratu Sakti Kancing Gumi di Banjar Besakih Kawan, Desa Adat Besakih, Karangasem, terkubur puluhan tahun. Kini, sejumlah warga berkomitmen untuk membangunnya kembali, meski medan menuju lokasi sangat sulit dan berbatu.
📍 Pura ini berada di tengah hutan lindung, Munduk Bukit Keboh, jalurnya terjal dan hanya bisa dilalui motor tertentu. Saat ini, tempat banten sementara dibuat dari bambu, karena keterbatasan biaya.
Warga percaya kawasan itu adalah pura setelah melakukan ngaturang baas jinah di beberapa lokasi lain di Bali, dan menemukan petunjuk niskala yang diyakini sebagai stana Ida Bhatara Ratu Sakti Tedung Jagat.
Beberapa bukti fisik yang mendukung:
Lempengan batu yang diduga dulunya gedong linggihan pura
Sisa bangunan gedong panglurah
Cerita leluhur tentang Desa Kedusan atau Desa Dusa, pemukiman yang kemudian terkubur akibat letusan Gunung Agung.
Sejak 2016, warga mulai yakin dan berinisiatif menghidupkan kembali pura tersebut. Keunikan wilayah ini, termasuk rumput yang tetap hidup di setiap sudut, serta hilangnya musibah setelah komitmen pembangunan, diyakini sebagai pertanda restorasi pura mendapat restu Ida Bhatara.