Minggu, 13 Desember 2020

Menguak Misteri Manusia Bawa Panah Naik Gajah di Gedong Kirtya

 


KUNO : Gapura Gedong Kirtya saat diresmikan 14 September 1928 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tempat naskah kuno ditata rapi, sehingga mudah menemukan yang dicari. (Dian Suryantini/Bali Express)





CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI



SINGARAJA, BALI EXPRESS-Naskah kuno yang sangat berguna di bidang keilmuan berupa lontar pada zaman Belanda, hingga kini banyak tersimpan rapi di Gedong Kirtya, Jalan Veteran 20, Singaraja.


Gedong yang diresmikan pada 14 September 1928 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ini, dahulunya dinamai Gedong Lifrind Vandertook.


Dijelaskan Dosen Sejarah Undhiksa, I Made Pageh, ide mengabadikan semua daun lontar yang berisikan tentang cerita dan ilmu pengetahuan itu, muncul dari cendekiawan Belanda, yakni F.A Lifrind dan Vander Took.


Keduanya merupakan penyelidik kebudayaan, adat istiadat dan bahasa Bali. Ide ini kemudian disambut Residen Bali dan Lombok dan juga cendikiawan Belanda L.J.J Caron, hingga terwujudlah pertemuan di Desa Kintamani, Kabupaten Bangli. 

Dari pertemuan itu terbentuk sebuah yayasan tempat penyimpanan lontar atau manuskrip. Yayasan lontar ini digalang Doktor Poerbadjaraka, Doktor WR Staterhaem, Doktor Goris, Doktor Pighaen dan Doktor Sheehoikess. 

Para cendekiawan ini dibantu pinandita dan raja-raja se-Bali. Mengingat kala itu Singaraja merupakan sebuah Ibukota Provinsi Sunda Kecil, maka yayasan itu didirikan di Buleleng pada 2 Juni 1928. 

“Kalon adalah seorang residen Bali-Lombok pada saat itu, dia mendirikan Gedong Kirtya itu dalam usahanya menghargai jasa seorang cendikiawan Belanda yang banyak melakukan penelitian, penyelidikan, dan kajian tentang Bali, yaitu dua tokoh besar yang dihormati itu adalah F.A Lifrind dan Vander Took,” jelasnya.

Di samping itu, pendirian Gedong Kirtya juga untuk menghormati tokoh besar yang banyak melakukan penelitian ini. Seperti kajian dan penelitian di bidang kebudayaan Bali, bahasa Bali, adat istiadat Bali. Sehingga muncul keinginan dari Caron untuk mengumpulkan hasil kajian guna dijadikan bahan pelajaran, sehingga lebih monumental. 



Hasil-hasil budaya, terutama artefak yang berupa lontar, tutur, dan sebagainya yang memang dijadikan pedoman hidup oleh orang Bali dikumpulkan di Gedong Kirtya, terutama adalah lontar-lontar yang tersebar di daerah Bali dan Lombok. 

Bali dalam artian umum, baik Bali Utara maupun Bali Selatan, Lombok terutama yang banyak di Lombok Barat, termasuk lontar-lontar yang tertulis dalam bahasa Sasak. 

“Tiga bulan kemudian, yaitu pada 14 September 1928 baru diresmikan penggunaannya secara resmi oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang ada di Batavia pada saat itu. Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia (Jakarta) datang ke Bali untuk meresmikan,” tuturnya.

Pageh menjelaskan, perubahan nama Gedong Lifrind Vandertook menjadi Gedong Kertya, tak lain karena orang Bali kesulitan melafalkan nama asing. Hasil-hasil kajian akademis, termasuk hasil-hasil sumber ilmu pengetahuan tradisional dalam bentuk lontar dan tutur, sesungguhnya memang mulanya diberi nama Gedong Lifrind Vandertook. 

"Tetapi ketika Buleleng diperintah seorang Raja Gusti Putu Jelantik dari tahun 1937 atau 1940-an, maka kata Gedong Lifrind Vandertook itu ditambah dibelakangnya dengan kata Kirtya. Kirtya (Kerthi) yang artinya Yasa. Nangun Kerthi artinya Nangun Yasa, Miasa. Lambat laun akhirnya menjadi Gedong Kirtya. 

“Itu mungkin berkaitan dengan lidah Bali yang tidak terbiasa dengan kata asing. Umumnya membuang yang likad (sulit) untuk dibicarakan, sehingga diperpendek menjadi Gedong Kirtya. Gedong sudah popular di masyarakat, Kirtya lebih popular lagi. Sedangkan Vandertook hanya beberapa orang mungkin yang kenal,” katanya.

Nah, jika diperhatikan pada bagian pintu gerbang (angkul-angkul) Gedong Kirtya terlihat pahatan manusia menaiki gajah dengan busur panah di tangannya, kemudian membunuh musuhnya, dan orang yang kena panah itu pun mati. Gambar ini diperlihatkan dengan monogram atau Chandra Sengkala. 

Adapun makna simbol gambar tersebut diantaranya bahwa manusia merupakan simbol angka satu, gajah simbol angka delapan, panah simbol angka lima, dan orang mati nilainya 0. Jadi, kalau dibaca tahun Icakanya adalah Icaka 1850. 

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

“Kalau kita masuk Gedong Kirtya itu, kanan kiri di pintu masuk tergambar manusia menunggang gajah. Manusia yang menunggang gajah itu memegang busur panah yang anak panahnya mengenai manusia yang tergambar di pintu sebelahnya, sehingga manusia itu mati," urainya.

Kalau itu diartikan ke tahun Caka, lanjutnya, maka akan menjadi manusia bernilai satu berasal dari manu, manah atau pikiran, satu. Setelah itu, gajah asta, asti. Ingat istilah Karang Asti atau Karang Gajah? Asta itu sama dengan delapan. Kemudian panah itu lima sama denga Panca. Panah itu diambil dari Panca Tirta. Sedangkan orang mati itu 0. Sehingga mejadi 1850 Caka. 

Jika itu dibawa ke Masehi, maka ditambah 78 menjadi 1928. Dan, itu adalah tonggak sejarah. "Namun sayang saat ini gambar tersebut tidak ada, sudah dicat,” paparnya.

Diakuinya, dahulu banyak yang beranggapan ketika memasuki Gedong Kirtya, maka dianggap berkeinginan untuk melajah ngaleak, melajah dadi balian. 

"Itu merupakan anggapan kuno dan tidak modern. Karena sesungguhnya banyak ilmu tersimpan dalam Gedong Kirtya yang tersirat dalam ribuan lontar di dalamnya. Gedong Kirtya yang telah berusia ratusan tahun menyimpan banyak guratan sejarah Buleleng, bahkan Bali," urainya.

Dalam Gedong Kirtya tersimpan 5.200 salinan lontar dan terdapat koleksi lontar sebanyak 1.808 cakep. Dari ribuan koleksi tersebut, diklasifikasikn menjadi tujuh, yakni Lontar Weda, Agama, Wariga, Itihasa, Babad, Tantri, dan Lelampahan. 

(bx/dhi/rin/JPR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar