Selasa, 12 September 2017

Sejarah Hindu Bali


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Kehancuran Majapahit tahun 1478, bukannya menjadi pelajaran bagi umat Hindu di Bali. Seorang pedarmayatra (“pegungsi”) dari Majapahit diangkat menjadi Bagawanta kerajaan di Gelgel. Beliau adalah Danghyang Nirarta.
Tahun 1489, sebelas tahun setelah Kerajaan Majapahit Runtuh, Daghyang Nirarta datang ke Bali dengan membawa ajaran-ajaran yang sudah dipengaruhi oleh peta politik global saat itu (peta politik global abad 14-16 M ), yaitu konsep kasta-kasta dan perbudakan. Danghyang Nirartha juga melarang anak-anaknya menyembah patung-patung. (lihat : Bisama Danghyang Nirartha kepada keturunannya), ini jelas mengadopsi Al Quran yang menganggap patung sebagai Berhala.
Di Lombok Danghyang Nirarta mengajarkan Islam wetu telu, ajarannya dapat dilihat dalam geguritan Islam wetu telu, beliau bergelar Haji Duta Semeru, konon entah benar apa tidak beliau sudah pernah naik haji ke Mekkah dan namanya menjadi Haji Gureh (Singgih Wikarman,1998). Ada ceritra kesamaan kemampuan antara Danghyang Nirarta dengan Syekh Siti Jenar - tokoh sufi (Islam) yang dianggap Murtad oleh para Wali, yaitu sama-sama mampu menghidupkan cacing jadi manusia.
Menurut Babad Brahmana: “sewaktu Danghyang Nirarta tiba di Bali, terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Putri beliau yang bernama Ida Ayu Swabawa dicemari dan diperlakukan tidak senonoh oleh penduduk. Mendengar kisah sedih putrinya tersebut, Danghyang Nirartha berkenaan memberikan ajaran ilmu Rahasya keparamartaan yang mampu melenyapkan segala dosa. Setelah menerima ajaran itu Ida Ayu Swabawa lenyap menggaib dan berhasil mencapai alam Dewa, dan di stanakan di Pura Pulaki sebagai Dewi Melanting Adapun orang-orang yang menodai Ida Ayu Swabawa dikutuk menjadi wong Gamang di desa Pegametan”.(Soebandi,1998)

Kisah Ini merupakan upaya pemurtadan terhadap keyakinan agama Hindu, kerena umat Hindu digiring untuk mengganti peran Dewi Sri Laksmi - Sakti Dewa Wisnu/Betare Sedana, sebagai Dewa-dewi pemberi kemakmuran dan kesejahteraan, dengan Ida Ayu Subawa seorang anak manusia yang dinodai oleh penduduk yang tiada lain adalah anaknya sendiri dan kemudin diperkenalkan kepada umat sebagai Dewi Melanting. .
Selanjutnya dalam Babad tsb juga disebutkan “Ketika Danghyang Nirarta memberikan ajaran Ilmu rahasya kepada putrinya itu, ternyata didengar oleh insan berwujud seekor cacing kalung, cacing kalung tersebut, tiba-tiba supa (musna) dosa papanya dan seketika menjelma menjadi Manusia perempuan dan diberi nama Nyi Berit”.
Kisah ini mencerminkan sikap “ rasis (kastaisme)” dan sikap “megalomania-nya” si penulis babad Brahmana, karena menggatakan Nyi Berit sebagai Jelmaan Cacing kalung. Karena sejatinya Nyi Berit adalah penduduk Bali yang lebih dahulu menetap di Bali (Bali Age) yang kebetulan hidupnya saat itu kurang beruntung. Sikap rasis dan superior ini ternyata berbuah karma, karena dikemudian hari Nyi Berit ini melahirkan anak dari Danghyang Nirartha.
Dalam babad Brahmana juga ditemukan kalimat : "rambut beliau Danghyang Nirartha di-Stanakan di Pura Kapurancak yang disebut SINIWI DI KAPURANCAK, sehingga Pura tersebut disebut PURA RAMBUT SIWI".
Penyebutan rabut Danghyang Nirartha yang Siniwi di Kapurancak supaya dipuja oleh umat Hindu Bali seluruhnya, mencerminkan kepribadian si penulis Babad yang mencoba mengeser keyakinan Umat Hindu Bali yang semula memuja Betare Rambut Sedana sebagai manifestasi Dewa Wisnu bersama Saktinya Dewi Sri-laksmi, diganti oleh beliau Danghyang Niratha bersama anaknya Ida Ayu Swabawa.
Betare Rambut Sedana merupakan manifestasi Dewa Wisnu didampingi oleh saktinya dewi Sri Laksmi, bertugas memberikan kesejahteraan, kemakmuran dan harta benda kepada para pemuja yang setia memuja beliau setiap hari.
Umat Hindu yang pernah membaca lontar Wawacan Sulanjana atau mendengar ceritra Rakyat Jawa mengetahui bahwa Dewi kesuburan dan kesejahteraan (Dewinya Padi dan Tumbuh-tubuhan bermanfaat) adalah Dewi Sri atau disebut juga Sanghyang Asri. Dewi Sri atau Sanghyang Asri distanakan di Sawah-sawah dan lumbung padi. Jadi yang disebut Dewi Melanting bukanlah Ida Ayu Swabawa melainkan Dewi Sri Laksmi- sakti dari Betare Rambut Sedana (Wisnu). Sedangkan Betare Rambut Sedana adalah nama lain dari Dewa Wisnu yang bertugas memberikan kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan kepada para Bhakta-nya.
Karena dianggap "Sakti" dan "mumpuni dibidang agama" pada zamannya maka Danghyang Nirarha diangkat menjadi Bagawanta kerajaan di Gelgel. Pada saat itu yang menjadi penguasa di Gelgel adalah Dalem Waturenggong (1460-1550 M).
Tidak berapa lama setelah menjabat sebagai Bhagawanta Kerajaan Gelgel, Danghyang Nirarta sang puruhita kerajaan gelgel menerapkan teori RASIS (Kasta) yang sejak semula telah menjadi Ideologinya, dan merestukturisasi masyarakat Bali menjadi berbagai macam kasta.
Dengan mengadopsi DALIL-DALIL WEDA versi kaum misionaris Kristen-Portugis di India maka Catur Warna diadopsi menjadi Catur Kasta ( dari bahasa Portugis : Caste) dan ditetapkan menjadi Awig-Awig (peraturan kerajaan).
Untuk mendukung gagasan-nya membentuk kasta-kasta di Bali, Danghyang Nirarta menuliskannya dalam lontar “ Widhi sastra sakeng niti Danghyang Nirarta” (Singgih Wikarma 1998 : Leluhur orang Bali dari dunia babad dan sejarah. Penerbit Paramita, Surabaya, halaman 63).
Semenjak itu munculah Kasta yang dilekatkan kepada agama Hindu di Bali. Kasta Brahmana yang isinya terdiri dari anak-anak keturunan Danghyang Nirarta, termasuk juga keturunan yang sebelumnya dikatakann sebagai “supa-an-cacing kalung”(Nyi Berit), dan anak yang dikatakannya PENYEROAN (asisten rumah tangganya Bendesa Mas) yang bernama Ni Patapan. Kasta Ksatrya diberikan kepada keturunan dalem Gelgel, di kecualikan kepada keturunan Dalem Taruk yang ditetapkan sebagai Sudra. Kasta Wesya ditetapkan kepada Keturunan Majapahit yang menyertai Dalem Samprangan, Sedangkan Kasta sudra ditetapkan kepada penduduk Bali Age/
Sistem Baru ini mengabaikan Sastra-Sastra, lontar-lontar Agama Hindu, maupun Prasasti-prasasti yang sudah ada di Bali sebelumnya, seperti prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Udayana mapun raja Anak Wungsu.
Pada Prasasti Bila, yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu tahun 995 C atau 1073 M), M) menyebutkan peran para Brahmana. Itu berarti yang disebut Brahmana pada zaman itu pasti bukan Anak cucu Danghyang Nirartha, karena Danghyang Nirartha baru tiba di Bali th. 1489 M atau hampir 500 th setelah prasasti Bila diterbitkan. Yang disebut para Brahmana pada prasasti Bila th. 995 C (1073 M) pastilah Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, serta para Bhamana keturunan Rsi Markandeya dan Mpu Kepandean yang sudah Dwijati (Mpugdala) yang membantu raja Anak Wungsu.
Seperti dicatat dalam sejarah, bahwa pada saat Prabu Udayana menjadi raja di Bali (989-1011M), terdapat 9 sampradaya (sekte agama Hindu) di Bali. Untuk membangun agama Hindu di Bali, Prabu Udayana meminta bantuan 5 Brahmana bersaudara yang berasal dari JAMBUDWIPA/INDIA ( I Gusti Bagus Sugriwa : Babad Pasek. Penerbit Balimas Dps. Halaman 15) yang menetap di Jawa Timur, diantaranaya : Mpu Rajakerta yang kemudian menjadi Senopati Kuturan sekaligus Bhagawanta Kerajaan, didampingi oleh saudara-saudaranya : Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Gnijaya. Sedangkan adiknya yang paling kecil Mpu Baradah tetap tinggal di Jawa diminta oleh Raja Airlangga (Anak Prabu Udayana - kakak dari Anak Wungsu) menjadi Bhagawanta kerajaan di Kahuripan- Jawa Timur.
Setelah kasta-kasta ini disahkan di Bali, diberlakukan pula perbudakan. Raja-Raja Bali dengan dukungan Kelompok “Brahmana hasil Strukturisasi “, membuat awig-awig untuk mengesahkan perbudakan. Menghukum rakyat Bali yang beragama Hindu (awig-awig tersebut tidak berlaku bagi umat selain umat Hindu) yang melanggar awig-awig sebagai budak dan boleh di jual oleh Raja. Raja-raja Bali memperoleh harta untuk membangun Puri-purinya yang megah dengan mengekspor para budak ber-agama Hindu kepada Kompeni di Batavia.
Sistem Kasta dan Perbudakan ini jelas mengadopsi konsep-konsep Injil dan per-budakan dalam masyarakat Arab dan Eropa tanpa reserve. Karena dalam Agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta dan Perbudakan.
Sistem Perbudakan yang dijadikan komoditas Ekspor oleh Raja-Raja Bali, menyumbang hampir 60 % budak-budak kepada VOC di Batavia. Budak-budak beragama Hindu dari Bali di jual ke Batavia, Hindia Barat, Afrika Selatan, dan pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai contoh: klan Sudira di Depok yang disebut “Belanda Depok”, adalah orang yang berasal dari Gianyar dan tidak ada sedikitpun identitas ke Hinduan atau Bali nya yang tersisa, hanya saja kalau kita tanya mereka mengaku kakeknya berasal dari Gianyar-Bali, Demikian juga Untung Surapati, budak belian berasal dari Bali berkat perjuangannya yang gigih dan kecerdasannya bisa menjadi Tumenggung di Pasuruan - Jawa Timur tetapi identitas ke Hinduan-nya sedikitpun tidak tersisa.
Para Durjana menguasai Umat Hindu
Dari manakah Raja-Raja Bali saat itu mendapat ilmu tentang perbudakan dan kasta-isme?, Apa sumbangan para “Brahmana” dan para Raja Bali saat itu ( abad 14-19 ) terhadap umat dan Agama Hindu?, Kenapa para Durjana serakah bisa menguasai umat Hindu di Bali saat itu ?.
Inilah tanda-tanda kehancuran Agama Hindu di Indonesia. Karena para “Brahmananya” tergoda oleh prestise pribadi, harta dan kuasa. Para Brahmana dan Raja tidak cerdas mengamati peta politik global, tidak peduli terhadap ajaran kitab suci Weda. Para Raja bermahkotakan Emas, dan Para Brahmana juga berkalung dan ber Ketu (mahkota) bertatahkan permata dan emas, sementara rakyat/umat-nya telanjang tanpa busana, fenomena ini sangat menarik minat wisatawan Eropa datang ke Bali, untuk melihat kemolekan gadis-gadis Umat Hindu Bali yang ber-telanjang dada mondar-mandir dijalan. Dan ini membanggakan para raja-raja Bali untuk kembali mendatangkan dolar.

Sebelum kedatangan Danghyang Nirarta, tidak ada kasta-kasta maupun Budak dari Bali. Umat Hindu di Bali tidak ada yang bernama Anak Agung, Ida Bagus, Cokorda, maupun I Dewa. Silahkan lacak nama-nama orang Bali pada Babad-babad, kapan nama-nama itu mulai muncul dalam khasanah nama-nama orang Bali. Tidak ada yang namanya AA.IB. IC. ID,IGN IGst, maupun I Wayan yang mengaku Brahmana, Ksatrya, maupun Sudra. Martabat orang Bali ditentu-kan oleh perilakunya. Warna nya ditentukan oleh pekerjaannya. Bahkan Sri Kresna Kepakisan raja Pertama Gelgel sebelumnya bernama Ketut Kresna Kepakisan, karena merupakan anak ke 4 dari Danghyang Kepakisan seorang Brahmana dari Jawa Timur. Kresna Kepakisan tidak bernama Ida Bagus Kresna Kepakisan, meskipun beliau anak seorang Brahmana, tidak juga memakai nama Anak Agung atau I Dewa Kresna Kepakisan, meski beliau menjadi raja diraja Bali. Namanya cukup menjadi Sri Kresna Kepakisan.
Begitu pula raja-raja Bali maupun Jawa sebelumnya seperti; Sri Ugrasena, Sri Kesari Warmadewa, Sri Udayana, Sri Wijaya, Sri Dharmawangsa dll, cukup memakai gelar Sri, sedangkan panglima perang pejabat kerajaan lebih senang memakai nama-nama binatang, seperti; Kebo Iwo, Kebo Parud, Gadjah Mada, Gadjah Maruga, Patih Wulung, dll. sebagai tanda bahwa Agama Hindu dan adat Bali/Jawa saat itu sangat egaliter. Salah seorang anak Sri Kresna Kepakisan, yaitu Dalem Taruk anak anaknya bernama I Gede Pulasari, I Gede Bandem, I Gede Balangan, Merupakan generasi ke 3 Dinasti Kepakisan, tidak memakai gelar bentukan Danghyang Nirarta dan Dalem Waturenggong.
Kasta di Bali pada masa kolonial
Th. 1882, kolonialis Belanda mendirikan Raad Van Kerta, mahkamah adat Bali, dengan alasan politik etis. Hakim-hakim pada Raad Van Kerta diisi oleh para Pedande (bukan Sri Empu, Bujangga Wisnawa maupun Rsi), meskipun tidak jarang mereka tidak mengerti masalah hukum, dan tidak mengerti teks-teks hukum keagamaan seperti Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama yang ditulis dalam bahasa jawa kuno.
Belanda membantu pegangan para hakim Raad Van Kerta dengan menterjemahkan teks-teks tersebut kedalam Bahasa Melayu dan bahasa Bali untuk digunakan sebagai acuan hukum oleh anggota Raad Van Kerta.
Terjemahan teks-teks dari bahasa Jawa kuno kedalam bahasa Melayu dan bahasa Bali disesuaikan dengan selera dan kepentingan kolonialisme dan misionarisme. Hal ini sama dan sebangun dengan upaya Max Muller beserta kawan-kawannya dalam menter-jemahkan kitab Weda yang disesatkan untuk diterapkan pada masyarakat Hindu di India. Geoffrey Robinson mengomentari hal ini sebagai rekayasa tradisi Bali yang paling mencengangkan oleh Kolonial Belanda.
(Geoffrey Robinson; Sisi Gelap Pulau Dewata, 2005 hal. 51).
Kitab Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama, sewaktu diterapkan oleh Raja-Raja Hindu di Jawa, tidak pernah menerap-kan kasta-kasta, karena tidak ada satu kata pun dalam kitab Hukum Hindu maupun kitab Weda yang berisi kata kasta.
Kasta tidak dikenal dan merupakan kata asing bagi umat Hindu, apalagi menjadikan para pesakitannya sebagai Budak. Kasta dan Budak adalah akal-akalan kolonialis semata, sebagai cerminan tradisi kitab Injil dan Al Quran yang diberlakukan di Arab dan Eropa.
Pada tahun 1910 kolonialis Belanda meng ikuti jejak rekan Eropa-nya di India yaitu kolonialis Inggris, mendukung penetapan konsep kasta sebagai fondasi prinsipil masyarakat Bali. Dengan demikian koloni-alis Belanda, melegalkan dan meneguhkan hierarki kasta beserta seperangkat aturan menyangkut hubungan antar kasta dan hak-hak istimewa kasta, yang sebelum-nya tidak pernah ada dalam praktek di Bali. Dalam kata-kata V.E. Korn, orang Belanda, pakar Bali dan kontrolir Badung 1925 : ” Bukan saja triwangsa diberi tempat yang terlalu penting, tetapi juga dilindungi melalui sederet pasal-pasal yang sangat jauh melampaui para raja dan teks-teks hukum tempo dulu”. Pendeknya, apa yang diartikan sebagai usaha Belanda untuk bergiat dalam “tradisi” Bali sebagai politik etis, sebetulnya adalah penciptaan tatanan hierarki baru yang pasti, di mana kekuasaan golongan kasta tinggi lebih besar daripada sebelumnya, dan terlebih lagi di sahkan oleh struktur legal, ideologis dan koesif negara kolonial. (Geoffrey Robinson,Sisi Gelap Pulau Dewata,2005 halaman 51)
Pemurtadan Umat Hindu makin menjadi-jadi dengan tujuan Konversi
Umat Hindu telah dibuat tersesat oleh sarjana pseudoilmiah dan misionarisme, juga oleh umat Hindu sendiri yang tercemar pemikiran misionaris dan tidak kukuh mempertahankan Dharma. Penyesatan tersebut bahkan sampai ketingkat pemurtadan, menentang perintah kitab suci Yayur Weda XXVI.2 : Yathemam vacam kalyanim avadani janebhyah, Brahma rajanyabhyam sudraya caryaya ca svaya caranaya ca artinya : hendaknya wartakan sabda suci ini kepada seluruh umat manusia, baik kepada para Brahmana, para raja-raja maupun kepada masyarakat pedagang, petani dan nelayan serta para buruh, kepada orang-orangku maupun orang asing sekalipun.
Juga pemurtadan Sloka BG. XVIII.70 : Adhyesyate ca ya imam, dharmyam samwa-dam awayoh,jnanayajnena tena‘ham, istah syam iti me matih/ Mereka yang membaca percakapan-Ku ini, oleh mereka Aku telah dipuja dengan yadnya Ilmu Pengetahuan. Demikian telah Aku nyatakan.
Sraddhawan anasuyas ca, srinuyad api yo narah, so’pi muktah subham lokan, prapnuyat punyakarmanam (BG.XVIII.71) Artinya : Orang yang mempunyai keyakin-an dan tidak mencela Orang seperti itu, walaupun hanya sekedar mendengar orang berbicara kitab suci. Ia juga akan dibebaskan, mencapai dunia kebahagiaan sebagai manusia yang berbuat kebajikan.
Rakyat Bali yang bukan “berkasta Brahmana “ dilarang belajar Weda. Hanya mereka yang menyebut dirinya kasta “Brahmana” saja yang boleh belajar agama. Agama dimono-poli oleh Satu kelompok, sedang rakyat tidak boleh belajar Agama Hindu, kalau belajar Agama Hindu nanti bisa Buduh (=gila) katanya. Bahkan Konon buku-buku Resi Gotama terbit berisikan perintah untuk mengecor mulut orang-orang diluar Kasta Brahmana, apabila berani membaca Weda, memerintahkan untuk mengecor dengan timah panas telinga orang-orang diluar kasta Brahmana kalau berani mendengar mantra/seloka Weda. Dengan Kata lain Umat diluar kasta Brahmana tidak boleh mendengar dan membaca Kitab Weda.
Kemudian dipromosikan pula konsep ayuwe were tan siddhi palania, (plesetan atau pelintiran dari, Ayu Were Siddhi palania didalam kitab purwagama) dan “anak mule keto” suatu ungkapan yang selalu terdengar kalau ada anak-anak/umat Hindu bertanya tentang Agama Hindu. Nawegang antuk linggih, juga suatu ungkapan yang selalu terdengar mendahului percakapan terhadap orang yang baru dikenal. Inilah pemurtadan dan penyesatan yang menjadi-jadi.
Pemurtadan dan penyesatan tersebut didukung oleh pemerintah kolonialis Belanda dan kaum misionaris kristen yang di-kirim untuk mengalih agamakan orang Bali. Pemerintah Kolonialis menguatkan konsep kasta dalam praktek pemerintahan kolonial. Dalam Notulen konferensi administratif tanggal 15-17 september 1910, collectie Korn no 166; Pemerintah kolonial Belanda mendukung konsep kasta, sebagai pondasi prinsipil masyarakat Bali. Dalam penerapan-nya, Pemerintah kolonial Belanda memper-luas kasta-kasta dengan mengangkat pegawai pamong praja yang pro kolonial dan memberi nya gelar bangsawan secara turun temurun.
V.E. Korn menyatakan bahwa sebelum pemberlakuan pemerintahan kolonialis Belanda di Bali, banyak kaum non kasta yang meduduki jabatan-jabatan dalam otoritas politik seperti : sebagai punggawa, sedahan, perbekel dan sebagainya dibanding sesudah-nya. Pemerintah Belanda begitu yakin pada gagasan bahwa ketiga kasta tertinggi menyusun fondasi terpenting masyarakat Bali, maka nyaris anggota kasta-kasta itu sajalah yang ditunjuk untuk memegang jabatan tinggi. Dengan mengutip beberapa contoh, Korn mengatakan bahwa di Buleleng (Bali Utara) sebelum aturan kastaisme diterapkan, 16 dari 26 Punggawanya bukan dari ketiga kasta tinggi. Bahkan banyak kelompok diluar ketiga kasta menduduki jabatan tinggi misalnya sebagai pejabat pajak dan hakim pada masa pra kolonial. (V.E. Korn : Het Adatrecht van Bali, 1932 dalam Sisi Gelap Pulau Dewata oleh Geoffrey Robinson, 2005)

Penolakan sistem Kasta yang dikait-kaitkan dengan Agama Hindu bukannya tidak pernah ada saat itu, bahkan saat gagasan pengadopsian Catur Warna menjadi empat kasta dimunculkan, para Cendikiawan Hindu maupun yang perduli akan perkembangan Agama Hindu sudah bereaksi memprotesnya, misalnya dengan terbitnya Surya Kanta, koran berbahasa Melayu di Bali tahun 1920-an. Tetapi gempuran para Indolog pendukung kastaisme ditambah dukungan penguasa pribumi boneka kolonialis dan “Brahmana palsu”, lebih dahsyat dari pada yang menentang kastaisme. Terlebih lagi kondisi umat Hindu saat itu tidak berdaya oleh kolonialisme, sehingga konsep kaku kasta maupun aturan-aturannya tetap dijalankan, meski terus mendapat penentangan.
Pada tanggal 20 Juni tahun 1916 warga Desa Lodjeh, Karangasem, memprotes keputusan Raad Van Kerta, disusul pada bulan Mei 1917 warga Desa Sukawati Gianyar. Dengan todongan bedil kolonialis Belanda, protes-protes tersebut dapat dipadamkan dengan dibayar nyawa warga Umat Hindu yang tidak berdaya. Pada kasus Sukawati sebanyak 5 orang umat Hindu mati dibunuh, 11 orang luka-luka dan 26 orang ditangkap dan di jual sebagai budak. (Geoffrey Robinson: Sisi gelap Pulau Dewata, LKiS Yogya.2006)
Kasta dan Perbudakan tidak sesuai dengan ajaran kitab Weda. Tidak ada satu kata-pun dalam kitab Weda maupun kitab Hukum Hindu yang memuat kata kasta. Kasta dan perbudakan merupakan produk import yang berasal dari budaya perbudakan masyarakat Arab dan Eropa yang tercemin dalam kitab suci Al Qur’an dan Injil (baca Injil Imamat 25/44-46, keluaran 21/1-6, timotius 6/1,titus 2/9, Efesus 6/5-6. I Petrus 2/18 maupun Al Qur’an Surat An Nissa ayat 24 dan Surat Al Mu’minuum ayat 1-6).
Bahwa Agama Hindu telah disudutkan dari dua sisi. Dari sisi kebijakan pemerintahan kolonial dan sisi pemikiran. Bahkan sampai Indonesia merdeka praktek-praktek pengang-katan pejabat berdasarkan kastaisme terus berlanjut.
Ir. Soekarno yang lahir dari rahim Ni Nyoman Rai Sarimben, warga pasek Bale Agung Buleleng - leluhurnya satu Ayah dan satu Ibu dengan Ken Dedes-Permaisuri Ken Arok, salah satu Leluhur Raja-Raja di Jawa, mengganti nama ibundanya menjadi Ida Ayu Nyoman Rai, guna melanggengkan Kasta-isme yang tidak tahu diri.

????????
banyak pertanyaan yg belum terjawab 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
 Istilah "Siwa-Buddha" atau "Buddha-Siwa" dijumpai dalam sejumlah teks, seperti Sang Hyang Kamahayanikan, Negarakrtagama, Sutasoma dan lain-lain. Istilah "Siwa-Buddha" ini sebagai bentuk dwandwa. Buddha timbul dari adwaya dan adwayajñana (=Prajñaparamita) dalam adwaya yoga. Dalam S.H . 48 disebutkan: (am - ah = sanghyang adwaya) bapa sira de bhatara hyang Buddha ... sanghyang adwayajñana, sira ta dewi bharali Prajñaparamita ngaran ira. Sira ta ibu de bhatara hyang Buddha. Sang hyang diwarupa sira ta bhatara hyang Buddha ngaran ira. Sementara itu 'siwa' dan 'saiwa' begitu juga 'buddha' dengan 'bauddha' atau 'bodha' menarik dicermati. 'Siwa' adalah ajaran atau juga prinsip tertinggi, atau dewa; sementara 'saiwa' adalah pengikut ajaran Siwa. Demikian pula halnya di dalam Buddhisme; 'buddha' adalah ajaran atau prinsip tertinggi atau dewa; sementara 'bauddha' atau 'bodha' adalah pengikut jalan Buddha.

Istilah Siwa-Buddha ini juga sering digabungkan dengan unsur-unsur Tantra, sehingga disebut "Siwa-Buddha Tantra. Dengan kata 'tantra' ini mencerminkan bahwa ajaran Siwa-Buddha ini juga sangat diwarnai oleh ajaran-ajaran Tantra, khususnya Wajrayana. Ada juga sarjana memberi istilah 'Siwa Tantra' dan 'Buddha Tantra'. Dengan kata 'tantra' ini mencerminkan baik Siwa maupun Buddha sudah bersifat Tantris, berbeda dari agama Buddha pada awalnya (earlier Buddhism).
Selanjutnya istilah ini digunakan untuk menyatakan penunggalan (unity) agama Siwa dan Buddha yang terjadi di Indonesia, khususnya para periode Jawa Tengah dan Jawa Timur dan hidup dan dijaga dengan baik di Bali. Warisan spiritual nenek moyang orang Jawa sejak abad ke-5 hingga ke-15 diamankan dan dikembangkan di Bali. Kita harus berterima kasih kepada Bali karena di sini warisan kesusastraan Jawa Kuno diamankan. Tidak saja diamankan tetapi dibaca, diapresiasi, dikaji dan dijadikan pedoman dalam praktek keagamaan dan sosial di Bali. Nilai-nilai bersumber dari ajaran ini dipakai menata kehidupan masyarakat Bali. Di Bali sampai kini Kakawin Arjunawiwaha termasuk karya yang kerap dibaca dalam perkumpulan mabasan. Satu bait atau lebih dari Kakawin Arjunawiwaha digunakan pada upacara-upacara keagamaan, yang berhubungan dengan dengan Dewayadnya (X) dan Pitrayadnya (XIII). Kesusastraan Jawa Kuno dalam bentuk kakawin maupun parwa sering dibaca, diterjemahkan dalam upacara-upacara keagamaan. Dengan demikian karya-karya tersebut cukup dikenal di Bali; masyarakat memberikan apresiasi yang tinggi terhadap karya-karya ini.
OM Shanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar