Amor Ring Acintya adalah kata yang sudah tidak lasim lagi ditelinga kita apalagi bagi para umat Hindu di Bali. Kata ini biasanya diucapkan ketika ada orang meninggal dunia. Biasanya dalam masyarakat mengucapkan “Dumogi Amor Ring Acintya”.
Kata Dumugi berarti semoga. Amor berarti bersatu atau menghilang, atau Menuju kedalam situasi ketiadaan atau tidak tampak. Acintya berarti tidak tersentuh oleh pikiran. Dalam konteks filsafat disamakan dengan sūkṣma dan śūnya. Jadi Dumogi Amor Ring Acintya adalah semoga menyatu dengan “yang mahasuci yang maha tidak terpikirkan” atau semoga bersatu dalam ke Dewataan Tertinggi (Acintya).
Sang Hyang Acintya
Tertera dalam Sastra Jawa Kuna mengatakan beberapa baris terkait dengan ungkapan di atas. Berikut kutipan dari naskah kidung dan kakawin Jawa Kuno:
Amor ring Widhi ada dalam Kidung Sunda disebut ‘saṅ wus amor iṅ widi.
Amor ring Śiwātmaka ada dalam naskah Wangbang Wideha,‘agya ni ṅwaṅ amor iṅ Śiwātmaka.
Amor ring dewata ada dalam Kidung Harsa-Wijaya: ‘saṅ wus amor iṅ dewata; saṅ wus amor iṅ dewa; saṅ wus amor i widi.
Ungkapan tersebut ditujukan kepada para raja, atau orang suci, yang dimaksudkan ‘saṅ wus amor iṅ dewata’ (beliau yang telah kembali ke alam kedewataan’, adalah beliau-beliau yang suci, yang terhormat, ‘memenangkan kehidupan ini’ dan kembali ke alam kedewataan. Jika ingin kembali ke alam kedewataan, tentunya kita harus punya kualitas kedewataan dulu. Kalau kualitas diri kita hanya KW2 atau KW3 tujuan itu akan semakin jauh. Slogan tinggal slogan.
Amor ring Acintya tidak lain cita-cita kemanusiaan terdalam ajaran Siwa, Buddha, dan Hindu pada umumnya, yang kita kenal sebagai pencapaian ‘Moksa’ atau ‘Nirvana’.
Di Bali kita mewarisi lontar-lontar berbahasa Jawa Kuno yang menjadi panduan dalam meningkatkan kualitas diri kita dari KW2 atau KW3 menuju jiwa yang ‘orisinil’. Lontar-lontar tersebut antara lain: Aji Kadyatmikan, Aji Kamoksan, Aji Putus, Dharma Sunya, Dharma Patanjala, Wṛhaspatitattwa, dstnya. ‘Amor ring Acintya’ di dalam lontar-lontar tersebut mempunyai padanannya yaitu: sūkṣma dan śūnya.
Amor ring Acintya adalah tujuan tertinggi semua naskah-naskah tersebut. Di salah satu naskah tersebut, yaitu Wṛhaspatitattwa, disebutkan dalil asal muasal kita harus kita pahami jika kita ingin kembali ke asal muasal kita, alam kedewataan. Logikanya: Jika mau sampai tujuan kita harus mengenal jalan. Jika kita mau ke asal muasal kita, bagaimana kita sampai ke asal jika tidak mengerti prinsip asalmuasal kehidupan? Bagaimana tidak mengenal jalan berharap sampai di tujuan? Langkah-langkah dalam lontar-lontar di Bali disebutkan: Pertama mengenal prinsip tattwa atau prinsip penciptaan dan asal muasal. Kedua mengenal jalan, selanjutnya menempuh jalan, dan dijalani dengan penuh ketulus-ikhlasan ketika menempuh jalan. Disebutkan, setelah tahapan-tahapan itu terjalankan dengan kesempurnaan baru kemungkinan sampai tujuan (Amor Ring Acintya)
Dalam buku Samsara Perjalan atman juga dijelaskan bahwa Faktor kunci di alam kematian adalah samskara [kesan-kesan pikiran] kita sendiri. Perjalanan atma di alam kematian digerakkan oleh energi yang sama dengan energi yang membentuk pikiran. Kecenderungan pikiran yang negatif saat kematian akan membawa kita menuju alam-alam yang gelap dan sebaliknya kecenderungan pikiran yang positif saat kematian akan membawa kita menuju alam-alam yang terang. Karena lapisan badan kita di alam kematian digerakkan oleh bahan-bahan energi yang sama dengan yang membentuk pikiran kita. Sehingga setelah mati kita kemudian akan tinggal atau pergi terbawa pada salah satu alam-alam halus yang paling sesuai dengan kualitas dan kecenderungan pikiran kita sendiri.
Dengan kata lain, faktor paling menentukan dalam menyambut kematian adalah bagaimana evolusi keadaan bathin kita semasa kehidupan dan keadaan bathin kita di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan kita akan berakhir. Itulah yang akan sangat menentukan kita akan pergi kemana. Mereka yang saat kematian tidak siap, penuh ketidakrelaan karena keterikatan duniawi, penuh rasa sakit, takut, ragu, bingung, melawan, apalagi dalam sifat kejam [tanpa welas asih], dalam kemarahan-kebencian, sangat mungkin nantinya pada proses kematian akan memasuki perjalanan yang gelap.
Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan kematian salah pati. Sebaliknya, kalau di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan berakhir, kita mengalami kedamaian bathin, sangat mungkin nantinya pada proses kematian akan memasuki perjalanan yang terang. Dan yang paling baik [kalau memungkinkan] tentunya kita bisa amor ring acintya, menyatu dengan “yang mahasuci yang maha tidak terpikirkan”. Jiwa yang sudah terbebaskan [jivan-mukti] akan seketika mengalami moksha [pembebasan sempurna].
Karena itu sangat penting diinformasikan kepada orang-orang yang akan meninggal, di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan akan berakhir, sangat penting mengalami menit-menit dan detik-detik terakhir yang shanti [damai]. Di jalan dharma kematian adalah perjuangan spiritual yang paripurna. Itulah sebabnya bagi para yogi, para mpu, para danghyang, para maharsi, mengajarkan bahwa tugas spiritual pokok manusia semasa hidupnya adalah membina diri melenyapkan sad ripu [enam kegelapan bathin] dan menumbuhkan sifat penuh welas asih dan kebaikan. Gunanya agar ketika kematian itu benarbenar datang, kita sudah sangat siap dan bisa mengalaminya dalam keadaan yang sangat shanti
Sumber : Budayabali via Daerahbali.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar