Label
- Bali inspiration
- Bali Masa Depan
- basa Bali
- Bersenang-senang dengan devanagari
- Bhagavad Gita
- Cafe Herbal
- Caru
- Dewa Yadnya
- English for kids
- Gamelan
- Hindu bilingual
- Jenis Banten
- Jual Banten
- Karya Ngenteg Linggih
- Macam-macam Banten
- Macam-macam Tebasan
- Manusa Yadnya
- Memukur
- Panca Sembah
- Pitra Yadnya
- pustaka
- Rerainan
- Sampyan
- saMskrtam
- Satua
- Sesayut
- Tetandingan
- Toko OnLiNe jualan onlain
- Upacara upakara
- Uparengga
- Yoga Bali
Rabu, 05 Januari 2022
Anggar Kasih Tambir dan Kajeng Kliwon
Anggar Kasih Tambir merupakan hari suci yang sangat istimewa, karena pada hari itu bertepatan juga dengan hari suci Kajeng Kliwon Enyitan.
Anggar Kasih Tambir dirayakan setiap 6 bulan sekali atau setiap 210 hari sekali, tepatnya pada setiap sapta wara Anggara (Selasa) dan panca wara kliwon serta
wuku Tambir.
Dalam kutipan dari lontar Sundarigama disebutkan ; yang lain lagi yang perlu diperhatikan ketika Anggara bertemu Kliwon disebut sebagai Anggar Kasih.
Anggara Kasih atau Anggar Kasih, yang merupakan hari untuk mewujudkan cinta kasih
terhadap diri kita sendiri.
Pada hari suci Anggar Kasih itu hendaknya kita merawat diri kita sendiri, dengan jalan melakukan pembersihan atau peleburan dari segala kecemaran (mala)
dan bencana.
Dan hal yang paling utama adalah untuk melebur segala kecemaran yang ada pada pikiran yaitu, dengan jalan melakukan perenungan suci dan juga menghaturkan persembahan berupa banten wangi - wangi, Puspa wangi, Asep astangi dan dilanjutkan dengan metirta pembersihan serta pada malam harinya melakukan renungan
suci atau semadhi.
Pada saat hari suci Anggar Kasih Tambir itu adalah merupakan hari dimana Sang Hyang Ludra untuk melaksanakan yoga dengan tujuan untuk memusnahkan ataupun untuk menghilangkan
segala kecemaran
di dunia ini.
Kajeng Kliwon juga merupakan salah satu hari suci bagi umat Hindu yang jatuhnya pada setiap15 hari sekali, hari suci Kajeng Kliwon merupakan pertemuan antara dua unsur triwara yang terakhir Kajeng dengan unsur pancawara yang
terakhir Kliwon.
Kajeng merupakan hari prabhawanya dari Sang Hyang Durga Dewi yang merupakan perwujudan dari Ahamkara yang merupakan manifestasi dari kekuatan Bhuta Kala dan Durga yang ada dimuka bumi.
Sedangkan Kliwon merupakan hari prabawanya dari Sang Hyang Siwa sebagai kekuatan dharma yang merupakan manifestasi dari kekuatan Dewa.
Dan pada saat hari suci Kajeng Kliwon diyakini oleh umat Hindu sebagai harinya Sang Hyang Siwa untuk melaksanakan yoga samadhinya untuk keselamatan dunia.
#Mengenai hari suci Kajeng Kliwon dalam lontar Sundarigama disebutkan ; sementara itu pada hari raya Kajeng Kliwon untuk upakaranya sama seperti hari Kliwon hanya tambahannya yaitu segehan warna
lima tanding.
Untuk itu setiap umat diharapkan pada saat hari suci Kajeng Kliwon untuk melakukan penyucian diri dan bersikap untuk lebih berhati - hati dalam bertindak, karena kekuatan negatif cenderung lebih besar dari pada kekuatan yang positif, dan itu semua akan dapat mempengaruhi kehidupan dari manusia yang ada dimuka bumi ini.
Pada hari suci Kajeng Kliwon ada beberapa umat yang meyakininya bahwa, Sang Tiga Bhucari memohon restu dari Sang Durga Dewi untuk membuat bahaya, mengundang semua desti, teluh terang jana dan juga untuk menggoda orang yang tidak berbuat baik atau orang yang berbuat adharma.
Dengan demikian sudah sepatutnya dan sudah menjadi suatu kewajiban kita sebagai umat Hindu untuk menghaturkan persembahan dimerajan, pura dan tempat
suci lainnya
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Yadnya atau Banten yang dipersembahkan berupa ; canang sari, canang raka, puspa harum, segehan kepelan, segehan putih kuning, segehan panca warna dsb. Didepan pintu pekarangan sebelah atasnya dihaturkan sesajen pada Sang Hyang Durga Dewi berupa canang wangi, burat wangi, canang yasa dan semua itu hendaknya disesuaikan dengan tempat atau keadaan serta kemampuan dari
setiap umat.
Dan dengan kita menghaturkan semua persembahan itu diharapkan agar bisa untuk mewujudkan keseimbangan alam Niskala dari alam bhuta menjadi
alam Dewa.
Semua jenis Banten (upekara) adalah merupakan simbul diri kita, lambang kemaha - kuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung.
(Lontar Yajna Prakrti)
Kata segehan berasal kata Sega yang berarti nasi, jika dalam bahasa Jawa disebut sego. Oleh sebab itu, banten segehan itu isinya di dominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya.
Bentuk nasinya ada yang berbentuk nasi kepelan (nasi dikepal)
wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti ; bawang merah, jahe, garam dan lain - lainnya dan dipergunakan juga api takep yang terbuat dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda tambah (+) atau swastika, bukan api dupa, disertai beras serta tetabuhan
berupa air, tuak, arak
dan juga berem.
Makna dari Segehan
Segehan mempunyai arti suguh atau menyuguhkan dalam hal ini segehan
dihaturkan kepada para Bhuta kala agar tidak mengganggu dan juga Ancangan atau Iringan dari Para Bhatara dan Bhatari, yang tak lain adalah merupakan akumulasi dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan juga perbuatan manusia dalam kurun
waktu tertentu.
Dan dengan sarana segehan itu diharapkan nantinya dapat untuk menetralisir dan dapat menghilangkan pengaruh negatip dari limbah tersebut. #Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan antara manusia dengan semua ciptaan dari Tuhan (palemahan).
Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari atau pada saat rerahinan dan hari - hari tertentu, dan penyajiannya itu diletakkan didepan pelinggih atau dinatar Merajan, Pura, halaman rumah, didepan pintu gerbang, pertigaan, perempatan
jalan dsb.
Segehan dan Caru itu juga banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih, dan
Susastra Smerti.
Segehan nasi Kepel Putih merupakan segehan yang paling sederhana dan biasanya untuk dihaturkan setiap hari.
Segehan panca warna itu biasanya di letakkan atau dipersembahkan di natar merajan, halaman rumah, pintu keluar masuk pekarangan (lebuh, pemedal) dipertigaan, perempatan
jalan dsb.
Semua unsur dari Segehan itu sejatinya memiliki suatu
filosofi di dalamnya yaitu :
Alas dari daun atau taledan kecil yang berisi tangkih disalah satu ujungnya, taledan yang berbentuk segi empat yang merupakan lambang dari arah mata angin.
✓Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan dari
Rwa bhineda
✓Jahe, secara ilmiah memiliki sifat panas, semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
✓Bawang, memiliki sifat dingin, manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tetapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
✓Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin)
✓Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol yang secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai macam kuman atau bakteri
yang merugikan.
✓Dalam ilmu kedokteran alkohol digunakan juga untuk mensterilkan dari alat-alat kedokteran.
✓Metabuh pada saat masegeh bertujuan agar semua bakteri, Virus, kuman yang dapat merugikan
yang ada disekitar tempat itu akan menjadi hilang
ataupun mati ...
Agung Saputra
Sabtu, 17 Juli 2021
Makna Kober Ganapati Saat Upacara Rsi Gana
GANAPATI : Rsi Gana kerap disimbolkan dalam sebuah gambar di atas kain putih, sosok Ganapati yang ditancapkan pada Sanggar Surya di sebelah kiri. (Putu Mardika/Bali Express)
Sosok Ganapati dalam upacara Rsi Gana kerap disimbolkan dalam sebuah gambar di atas kain putih, yang ditancapkan pada Sanggar Surya di sebelah kiri. Apa sejati maknanya?
DOWNLOAD FILM AQUID GAME SUB INDO KLIK DISINI
Ganapati pada upacara Rsi Gana dipuja karena ia sebagai penyebab penyucian pekarangan dan areal bangunan pura. Hal ini dijelaskan dalam lontar Bhama Khretih.
Bunyinya : Iki keputusan Sang Hyang Resi Ghana, pamarisudhan ing karang panes, mang sanggar, ngadigakan sanggar tutwan, mapenjor pring ghading , matunggalkasa 2, merajah Ghana, ngawa Bajra, 1 ngawe Gadha, 1, malih rwan bingin acarang, ring acrsania gnahniya, kapwa rwania marajan tjakra, magenah ring harep ing sanggar, sucinia, 2, matumpeng hadanan, pras daksina harthania, 1700, canang lenggawangi, burat wangi, munggah ring sanggar.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Jika diterjemahkan berarti, keputusan Sang Hyang Rsi Gana, yaitu mengenai penyucian tanah pekarangan panas dan bangunan pura, caranya adalah dengan mendirikan sanggar tutuwan, penjornya bambu gading, berbendera kain putih bergambar Gana yang membawa sebuah Gada dan Bajra, disertai daun beringin setangkai letaknya di timur laut, yang bergambar cakra di hadapan sanggar, sucinya 2 buah lengkap dengan hadanan yang bertumpang, pras, daksina, uang 1700, canang lengawangi, burat-wangi yang diletakkan di sanggar.
“Makna adanya kober Ganapati adalah untuk menghadirkan Sang Hyang Ganapati agar menjaga upacara mupuk padagingan supaya terhindar dari kekuatan negatif, baik itu berasal dari Bhuta dan yang bersumber dari Dewa dan Manusia,” ujar Kelian Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna, kemarin.
Kober Ganapati di dalamnya terdapat mantra yang berupa tulisan berbentuk aksara yang disebut dengan Ekaksara, Dwiaksara, Triaksara, Pancaksara, Panca Brahma, Dasaksara, dan Dasa Bayu.
Rajahan aksara yang digunakan pada kober Ganapati memiliki makna sebagai proses dari lahirnya ciptaan dari Ekaksara sebagai yang tunggal, menciptakan Dwiaksara sebagai purusa dan prakerti, sehingga melahirkan tiga manifestasi yang utama Triaksara sebagai Brahma, Wisnu dan Siwa.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Dari tiga sifat utama melahirkan lima sifat materil Panca Brahma yaitu Siwa, Atman, Pradana, matahari dan api. Dari Panca Brahma melahirkan Pancaksara yaitu Nang, Mang, Sing, Wang dan Yang.
Pancaksara merupakan unsur materiil dari Panca Mahabhuta. Kemudian dari Pancaksara terjadi proses penciptaan, yaitu dari mantra Dasaksara Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang.
Kemudian ciptaan ini dihidupkan oleh mantram Dasa Bayu, Om I A Ka Sa Ma Ra La Wa Ya Ung, yang merupakan sepuluh prana sebagai penghidup sebuah ciptaan. “Jadi urutan rajahan aksara ini digunakan pada kober Ganapati di upacara Rsi Gana sebagai proses melahirkan manifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa, yaitu GaĆ”¹apati,” pungkasnya.
Pancaksara merupakan unsur materiil dari Panca Mahabhuta. Kemudian dari Pancaksara terjadi proses penciptaan, yaitu dari mantra Dasaksara Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang.
Kemudian ciptaan ini dihidupkan oleh mantram Dasa Bayu, Om I A Ka Sa Ma Ra La Wa Ya Ung, yang merupakan sepuluh prana sebagai penghidup sebuah ciptaan. “Jadi urutan rajahan aksara ini digunakan pada kober Ganapati di upacara Rsi Gana sebagai proses melahirkan manifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa, yaitu GaĆ”¹apati,” pungkasnya.
Caru Rsi Gana Netralisasi Ulah Niskala Pasca Ulah Pati
PACARUAN: Suasana prosesi pecaruan Rsi Gana di Setra Desa Adat Buleleng. Kelian Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna (Putu Mardika/Bali Express)
Caru Rsi Gana menjadi salah satu sarana penyucian secara niskala untuk menteralisasi Bhuana Agung dan Bhuana Alit pasca peristiwa besar terjadi di sebuah tempat. Bahkan, sarana ini juga kerap digunakan jika ada kasus ulah pati seperti kasus bunuh diri.
Upacara Rsi Gana ini dilakukan Desa Adat Buleleng, Kecamatan Buleleng, Jumat (16/7) di areal setra yang berlokasi di Kelurahan Kendran, Kecamatan Buleleng.
Ritual ini dilaksanakan setelah adanya seorang wanita yang nekat gantung diri di pohon Ketapang areal setra, Kamis (15/7) lalu, lantaran mengalami sakit kanker payudara sejak lama.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Kelian Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna mengatakan, kasus ulah pati (bunuh diri) di Setra Adat Buleleng adalah tragedi yang pertama kali terjadi di wawidangannya. Namun, pihaknya bersama prajuru adat langsung bergerak untuk melaksanakan pacaruan Rsi Gana.
Upacara ini dipimpin langsung Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Nanda Kusuma dari Geria Stiti Shanti Mutiara.
Jro Sutrisna mengatakan, caru Rsi Gana digunakan untuk menetralisasi wawidangan yang leteh (kotor secara niskala) akibat kasus ulah pati atau bunuh diri. Pohon Ketapang yang dijadikan sarana gantung diri pun juga ditebang. Kemudian akarnya juga dibongkar agar tidak tumbuh lagi.
“Di tanah bekas pohon Ketapang tumbuh, kami tanam sarana caru Rsi Gana. Kami berharap secara niskala agar tidak ngerebeda atau gentayangan,” jelasnya.
Dikatakan Jro Sutrisna, dipilihnya Caru Rsi Gana sebagai sarana untuk menetralisasi wawidangan setra bukanlah tanpa alasan. Mengingat di wilayah ini terjadi ulah pati. Sehingga tidak tepat jika menggunakan sarana caru biasa.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Pihaknya memutuskan untuk menggunakan sarana pacaruan Rsi Gana tingkat alit. “Kami gunakan banten suci, banten pacaruan lengkap, bebek belang,” imbuhnya.
Menurutnya, Caru Rsi Gana secara umum memang berfungsi sebagai sarana penyucian (pangeruatan) Bhuana Agung dan Bhuana alit. Ritual ini juga untuk menjaga keharmonisan alam semesta beserta segenap isinya.
Caru Rsi Gana memang kerap digunakan menyucikan karang yang tergolong angker atau karang panes. Dikatakan Jro Sutrisna, ciri-ciri dari karang angker atau karang panes sebagaimana terdapat dalam lontar Pamanes Karang ia, ib, 2a, dan 2b disebutkan, karang panes yang menyebabkan panas yang dirasakan penghuninya.
Ciri-cirinya antara lain, bila dalam areal pekarangan tersebut terdapat lulut, ada orang mati gantung diri, pohon kelapa bercabang, pisang bercabang, rumah terbakar. Kemudian ada darah tanpa sebab, ada ular masuk rumah, ada orang mati tidak wajar, ada hewan babi atau anjing beranak satu. Selain itu, pekarangan bersebelahan dengan pura, pekarangan bersebelahan dengan balai banjar, dan lainnya, patut diupacarai dengan upacara caru nista, madia, dan utama.
Pelaksanaan upacara Caru Rsi Gana juga menggunakan sarana seperti banten Byakala, banten Prayascitta, banten Durmaggala dan berbagai bentuk-bentuk rerajahan.
“Semua itu berfungsi untuk proses penyucian, meliputi dua macam, yakni penyucian yang bermakna lahiriah dan penyucian yang bermakna lahiriah dan penyucian yang bermakna rohaniah,” bebernya.
Pihaknya memutuskan untuk menggunakan sarana pacaruan Rsi Gana tingkat alit. “Kami gunakan banten suci, banten pacaruan lengkap, bebek belang,” imbuhnya.
Menurutnya, Caru Rsi Gana secara umum memang berfungsi sebagai sarana penyucian (pangeruatan) Bhuana Agung dan Bhuana alit. Ritual ini juga untuk menjaga keharmonisan alam semesta beserta segenap isinya.
Caru Rsi Gana memang kerap digunakan menyucikan karang yang tergolong angker atau karang panes. Dikatakan Jro Sutrisna, ciri-ciri dari karang angker atau karang panes sebagaimana terdapat dalam lontar Pamanes Karang ia, ib, 2a, dan 2b disebutkan, karang panes yang menyebabkan panas yang dirasakan penghuninya.
Pelaksanaan upacara Caru Rsi Gana juga menggunakan sarana seperti banten Byakala, banten Prayascitta, banten Durmaggala dan berbagai bentuk-bentuk rerajahan.
“Semua itu berfungsi untuk proses penyucian, meliputi dua macam, yakni penyucian yang bermakna lahiriah dan penyucian yang bermakna lahiriah dan penyucian yang bermakna rohaniah,” bebernya.
Rabu, 14 Juli 2021
Beragam Rajah dan Fungsi, Rupa Seni Unik Berdaya Magis
Rerajahan (rangkaian aksara gambar magis) menjadi salah satu sarana ritual bernilai seni religius yang cukup sering digunakan umat Hindu di Bali. Meski tak lepas dari konsep Rwa Bhineda, benda sakral ini memiliki beragam wujud, mulai dari gabungan mantra, huruf suci, hingga gambar atau lukisan.
Made Gami Sandi Untara, S.Fil.H, M.Ag mengungkapkan, rerajahan kerap digunakan untuk tujuan yang suci berhubungan dengan Panca Yadnya. Selain itu, ada juga yang digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma. Biasanya disebut ilmu aliran kiri (pengiwa), dan ilmu ini biasanya dikalahkan oleh (panengen) ilmu aliran kanan.
“Dalam sistem ritual Hindu banyak dikenal simbol-simbol yang disebut dengan yantra. Dari yantra inilah menimbulkan berbagai kekuatan magis yang religius. Antara rerajahan, tantra dan mantra memiliki suatu keterpaduan yang sangat erat,” kata Gami Sandi.
Dosen Prodi Filsafat STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini menambahkan, rerajahan tidak akan bermakna kalau tidak dipasupati. Rerajahan hanya akan menjadi gambar yang kosong, dan hanya mengandung estetika saja. Namun, jika sudah dipasupati, maka benda sakral ini tidak lepas dari kekuatan gaib.
Bagaimana tidak. Rerajahan menjadi sarana memanggil kekuatan gaib, menjemput roh-roh baik, untuk hadir di tempat pemujaan, peringatan pada leluhur. “Gabungan antara huruf-huruf sakral (Modre) dengan gambar-gambar simbolis yang dihidupkan oleh kekuatan doa atau mantra, sehingga menimbulkan kekuatan magis,” imbuhnya.
Menurutnya, kekuatan hurup atau aksara sakral yang dikenal dengan Aksara Modre, bermanfaat untuk menuliskan hal-hal yang bersifat magis. Seperti tentang kadyatmikan, kalepasan, dan japa mantra. “Agar rerajahan menimbulkan kekuatan magis harus dipadukan dengan Mantra, Tantra, Yadnya, dan Yoga,” paparnya.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Aksara Modre ada tiga macam, yaitu Aksara Lokanatha, Aksara Pati atau Panten, dan Wijaksara. Aksara sakral ini dalam penggunaannya sering dipadukan dengan gambar-gambar sakral yang disebut dengan rerajahan.
Karena memiliki kekuatan magis yang ditimbulkan oleh rerajahan inilah, rupanya tidak hanya digunakan untuk tujuan suci saja. Tetapi kerap disalahgunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma.
Masing-masing rerajahan mempunyai fungsi yang berbeda. Sehingga dikenal jenis rerajahan putih dan rerajahan selem (hitam). Rerajahan putih digunakan untuk melindungi diri. Sedangkan rerajahan selem biasanya untuk menyakiti orang.
Keduanya sebagai konsep Rwa Bhineda. Jika keduanya bertemu, maka akan melahirkan energi dan kedinamisan dalam hidup. Namun sebaliknya, apabila keduanya dibenturkan (tidak harmonis), maka malapetaka akan terjadi.
Motif yang dilukiskan dalam rerajahan sangat bervariasi. Masing-masing mempunyai nilai simbolis berbeda. Demikian juga material yang digunakan sangat bervariasi, seperti lempengan logam (emas atau perak), kain kapan, daun kelapa, daun lontar, kertas.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Karena memiliki kekuatan magis yang ditimbulkan oleh rerajahan inilah, rupanya tidak hanya digunakan untuk tujuan suci saja. Tetapi kerap disalahgunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma.
Masing-masing rerajahan mempunyai fungsi yang berbeda. Sehingga dikenal jenis rerajahan putih dan rerajahan selem (hitam). Rerajahan putih digunakan untuk melindungi diri. Sedangkan rerajahan selem biasanya untuk menyakiti orang.
Keduanya sebagai konsep Rwa Bhineda. Jika keduanya bertemu, maka akan melahirkan energi dan kedinamisan dalam hidup. Namun sebaliknya, apabila keduanya dibenturkan (tidak harmonis), maka malapetaka akan terjadi.
Motif yang dilukiskan dalam rerajahan sangat bervariasi. Masing-masing mempunyai nilai simbolis berbeda. Demikian juga material yang digunakan sangat bervariasi, seperti lempengan logam (emas atau perak), kain kapan, daun kelapa, daun lontar, kertas.
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Gambar yang lazim dilukiskan dalam rerajahan, sering menggunakan simbol dewa-dewi, raksasa, tapak dara, manusia, senjata nawa sanga, bunga padma, huruf Ongkara dan Dasaksara. Ada pula gambar binatang, bangunan suci, dan benda-benda langit.
Gami Sandi Untara mengungkapkan, dari beragam gambar dan huruf itu, pada dasarnya rerajahan dapat dibagi menjadi tiga jenis. Rinciannya, rerajahan berupa tulisan (kaligrafi Bali) yang merupakan kata-kata mengandung makna, sering disebut dengan mantra.
Ada juga rerajahan berupa gambar-gambar hayali dari bentuk manusia, binatang, kombinasi bentuk manusia dengan binatang, dan tetumbuhan. Kemudian rerajahan kombinasi dari bentuk gambar dengan tulisan indah, yakni gambar merupakan wujudnya, sedangkan tulisannya adalah isi atau kekuatan.
Rerajahan memiliki beragam fungsi sesuai dengan tujuan yang diinginkan dari sugesti rerajahan itu. Misalnya, Rerajahan Canting Mas yang dibuat dalam kepingan emas serta dibungkus dengan kain putih, berfungsi untuk keteguhan dan penarik simpati.
Rerajahan Siwer Mas juga ditulis dalam kepingan emas atau perak. Lalu dibungkus dengan kain putih. Rerajahan ini sangat bermanfaat sebagai penangkal ilmu sihir yang sering mencederai, seperti desti, teluh, tranjana.
Selain itu, rerajahan juga digunakan untuk mendapatkan kekuatan dan perlindungan dari para dewata. Untuk menyucikan diri, untuk mendapat simpati (pematuh), mencegah secara gaib hal-hal yang tak diinginkan, menyerang balik pihak musuh, dan memeroleh kekuatan gaib.
“Selama ini persepsi orang tentang rerajahan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. Hal ini sangatlah wajar karena sebagian besar figur yang digambarkan pada rerajahan sangat aneh, angker, dan menyeramkan,” kata pria asal Tabanan ini.
Menurutnya, persepsi tersebut sangat wajar. Karena orang yang bergelut dengan rerajahan lazimnya berperan ganda disebut Balian Ngiwa-Nengen. Selain bertugas menyakiti, terkadang juga untuk mengobati.
Kemampuan seperti itulah yang sering dialamatkan pada para dukun atau 'balian' dalam memanfaatkan rerajahan.
Sebagai jimat, rerajahan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik untuk keselamatan maupun untuk mensugesti sesuatu, seperti penglaris hingga pesugihan.
Gambar rerajahan untuk keperluan itu biasanya digoreskan pada lempengan tembaga atau benda lainnya dibungkus dengan kain kapan. Kemudian diberikan mantra-mantra dengan sesajen secukupnya. Sarana tersebut biasanya ditanam atau ditempatkan pada suatu tempat, dan ada juga yang selalu dibawa dengan menyisipkannya pada pakaian.
Sedangkan, dalam pelaksanaan ritual, rerajahan dimanfatkan pada aktivitas Panca Yadnya. Pada upacara Pitra Yadnya/Ngaben misalnya, rerajahan digunakan sebagai simbol orang yang meninggal atau diupacarai.
Ketika rerajahan dibuat di atas kayu cendana disebut Pererai dan pada selembar kain yang disebut Kajang, Kekasang, dan Racadana. Bentuk yang digambarkan berupa manusia, dilengkapi dengan tulisan dari aksara Bali sebagai penjelasannya.
Pembuatan rerajahan Kajang disesuaikan dengan warga (soroh) orang yang meninggal. Rerajahan Kajang merupakan simbolisasi dari kendaraan roh yang dipakai menuju alam nirwana. Sementara Kasang atau Kekasang adalah gambar rerajahan yang ditulis di atas kain putih persegi empat dalam bentuk senjata Nawa Sanga, sebagai simbol dari tempat duduk Bhatara Nawa Sanga.
Sebelum digunakan, Kekasang dimantrai oleh seorang pendeta. Isi atau maksud mantra tersebut adalah memohon keselamatan dan karunia dari Dewata Nawa Sanga.
Selain itu, rerajahan juga difungsikan dalam pembuatan banten (sesajen). Untuk kepentingan itu, rerajahan dilukiskan dalam berbagai bentuk, seperti garuda, padma, cakra, dewa-dewi, atau senjata nawa sanga yang dibuat secara utuh. “Biasanya rerajahan itu diterapkan pada paso (tempayan), ngiyu (anyaman tempat sesaji), bungkak (kelapa muda), sangku, dan sebagainya,” pungkasnya.
(bx/dik/rin/JPR)
Gami Sandi Untara mengungkapkan, dari beragam gambar dan huruf itu, pada dasarnya rerajahan dapat dibagi menjadi tiga jenis. Rinciannya, rerajahan berupa tulisan (kaligrafi Bali) yang merupakan kata-kata mengandung makna, sering disebut dengan mantra.
Ada juga rerajahan berupa gambar-gambar hayali dari bentuk manusia, binatang, kombinasi bentuk manusia dengan binatang, dan tetumbuhan. Kemudian rerajahan kombinasi dari bentuk gambar dengan tulisan indah, yakni gambar merupakan wujudnya, sedangkan tulisannya adalah isi atau kekuatan.
Rerajahan memiliki beragam fungsi sesuai dengan tujuan yang diinginkan dari sugesti rerajahan itu. Misalnya, Rerajahan Canting Mas yang dibuat dalam kepingan emas serta dibungkus dengan kain putih, berfungsi untuk keteguhan dan penarik simpati.
Rerajahan Siwer Mas juga ditulis dalam kepingan emas atau perak. Lalu dibungkus dengan kain putih. Rerajahan ini sangat bermanfaat sebagai penangkal ilmu sihir yang sering mencederai, seperti desti, teluh, tranjana.
Selain itu, rerajahan juga digunakan untuk mendapatkan kekuatan dan perlindungan dari para dewata. Untuk menyucikan diri, untuk mendapat simpati (pematuh), mencegah secara gaib hal-hal yang tak diinginkan, menyerang balik pihak musuh, dan memeroleh kekuatan gaib.
“Selama ini persepsi orang tentang rerajahan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. Hal ini sangatlah wajar karena sebagian besar figur yang digambarkan pada rerajahan sangat aneh, angker, dan menyeramkan,” kata pria asal Tabanan ini.
Menurutnya, persepsi tersebut sangat wajar. Karena orang yang bergelut dengan rerajahan lazimnya berperan ganda disebut Balian Ngiwa-Nengen. Selain bertugas menyakiti, terkadang juga untuk mengobati.
Kemampuan seperti itulah yang sering dialamatkan pada para dukun atau 'balian' dalam memanfaatkan rerajahan.
Sebagai jimat, rerajahan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik untuk keselamatan maupun untuk mensugesti sesuatu, seperti penglaris hingga pesugihan.
Gambar rerajahan untuk keperluan itu biasanya digoreskan pada lempengan tembaga atau benda lainnya dibungkus dengan kain kapan. Kemudian diberikan mantra-mantra dengan sesajen secukupnya. Sarana tersebut biasanya ditanam atau ditempatkan pada suatu tempat, dan ada juga yang selalu dibawa dengan menyisipkannya pada pakaian.
Sedangkan, dalam pelaksanaan ritual, rerajahan dimanfatkan pada aktivitas Panca Yadnya. Pada upacara Pitra Yadnya/Ngaben misalnya, rerajahan digunakan sebagai simbol orang yang meninggal atau diupacarai.
Ketika rerajahan dibuat di atas kayu cendana disebut Pererai dan pada selembar kain yang disebut Kajang, Kekasang, dan Racadana. Bentuk yang digambarkan berupa manusia, dilengkapi dengan tulisan dari aksara Bali sebagai penjelasannya.
Pembuatan rerajahan Kajang disesuaikan dengan warga (soroh) orang yang meninggal. Rerajahan Kajang merupakan simbolisasi dari kendaraan roh yang dipakai menuju alam nirwana. Sementara Kasang atau Kekasang adalah gambar rerajahan yang ditulis di atas kain putih persegi empat dalam bentuk senjata Nawa Sanga, sebagai simbol dari tempat duduk Bhatara Nawa Sanga.
Sebelum digunakan, Kekasang dimantrai oleh seorang pendeta. Isi atau maksud mantra tersebut adalah memohon keselamatan dan karunia dari Dewata Nawa Sanga.
Selain itu, rerajahan juga difungsikan dalam pembuatan banten (sesajen). Untuk kepentingan itu, rerajahan dilukiskan dalam berbagai bentuk, seperti garuda, padma, cakra, dewa-dewi, atau senjata nawa sanga yang dibuat secara utuh. “Biasanya rerajahan itu diterapkan pada paso (tempayan), ngiyu (anyaman tempat sesaji), bungkak (kelapa muda), sangku, dan sebagainya,” pungkasnya.
(bx/dik/rin/JPR)
Tujuh Jenis Rerajahan Penolak Bala Hingga Black Magic
Tidak hanya memiliki nilai estetika yang tinggi. Rerajahan (rangkaian aksara gambar magis) yang melalui proses mantra, tantra, yadnya dan yoga, juga memiliki beragam fungsi. Mulai dari sarana penolak bala, sarana kekebalan, sarana white magic (panengen) hingga sarana black magic (pangiwa).
Made Gami Sandi Untara, S.Fil.H, M.Ag mengatakan, ada tujuh jenis rerajahan yang digunakan sebagai penolak bala. Diantaranya Rehing Pacul, yaitu rerajahan jenis ini dirajah pada cangkul, tengala dan lain-lainnya atau semua alat-alat pertanian. Tujuan utama dari rerajahan tersebut adalah menolak panas angker di sawah dan tegalan.
Ada juga rerajahan Siwa Mimi, digunakan untuk menghalau desti (sarwa merana). Rerajahan Siwa Mimi cirinya berkepala lima. Rerajahan tersebut dikelilingi dengan senjata seperti cakra, gada, naga pasa, dupa, keris, padma (catur dala), tri sula, dan binatang naga pasa.
Rerajahan Kala Raja, Rajastra atau Kala Mertiu digunakan sebagai penolak gering dan butha kala, penolak dari segala sesuatu yang bersifat membahayakan (mayanin), penolak sarwa wesya dan sarwa baya (nyengkalen).
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
“Sarana yang dipakai adalah kertas, setelah itu barulah dirajah dan aksaranya memakai aksara Dasa Bayu,” jelasnya.
Rerajahan Tumbal Tungguh digunakan sebagai penolak jika ada orang mempunyai niat jahat. Dengan adanya rerajahan Tumbal Tangguh, maka niat jahat bisa hilang. Sarana adalah kertas dan tempatnya di atas pintu masuk atau pintu gerbang.
Rerajahan Butha Maya fungsinya sebagai penjaga rumah (pangijeng karang perumahan). Sarananya adalah tembaga. Rerajahan ini tempatnya pada sanggar beratap ijuk, kemudian ditancapkan pada halaman rumah (natah). Sanggar yang berisi rerajahan tersebut perlu dibuatkan sesajen setiap hari.
Sesajen yang dimaksud adalah nasi kepel, dagingnya bawang jahe dan garamnya garam hitam (tasik ireng). Fungsinya sebagai penolak jika terjadi gering gerubug, tetempur leak wisesa, butha sakti, wisya mandi.
Rerajahan Sang Hyang Gana Sari digunakan sebagai pengasih sarwa tetempur dan gerubug seluiring durjana, muang butha dewa. Maksudnya sebagai penolak dari semua jenis black magic (leak), dan kalau ada kematian berturut-turut tanpa diketahui penyebabnya, juga bisa sebagai penolak butha dewa.
Sarananya adalah kain kasa putih. Pemakaiannya adalah seperti memasang bendera dengan memakai tiang yang agak panjang.
Rerajahan Tumbal, fungsinya sebagai penolak karang yang sangat angker. Sarananya adalah pelepah kelapa (papah nyuh). “Tempatnya adalah ditancapkan di pekarangan yang angker tersebut,” ungkapnya.
(bx/dik/rin/JPR)
Langganan:
Postingan (Atom)