Senin, 30 November 2020

Konsep Arca Menurut Veda dan Susastra Veda

  Umat hindu Indonesia tidak lepas dari pemakaian simbol sebagai bagaian dari kehidupan beragama dan bermasyarakat. Lalu bagaimanakah hubungan simbol dengan masyarakat Hindu? berikut akan diulas konsep simbol (arca) menurut Veda dan Susastra Veda.


1. Sebuah Ikon Suci 

Istilah ikon berasal dari bahasa Yunani yang berarti gambaran atau representasi dari gambaran religius. Segala sesuatu yang berhubungan dengan ikon Hindu memiliki sebuah makna simbolik, sikap tangan, sikap kaki, ornamen, berbagai bentuk tangan, senjata, vahana, sakti dan parivara devata. Makna-makna simbolik tentang beragam ritual (yajna) dan benda-benda yajna pertama kali dijelaskan dalam kitab Brahmana dan Aranyaka, dan kemudian tentang simbol ikon dijelaskan dalam berbagai Purana seperti Bhagavata Purana, Vishnu Purana, Siva Purana, Upanisad seperti Gopala-uttara-tapini Upanisad, Krsa Upanisad dan kitab Agama Sastra.

Foto: Istimewa
Salah satu yang dominan dalam pemujaan Hindu di dunia adalah penggunaan ikon suci. Ikon suci dapat terbuat dari kayu, batu, tembaga, atau cat. Istilah umum yang digunakan oleh Non-Hindu dan sering disalah tafsirkan oleh umat Hindu sendiri ketika mengacu pada ikon suci ini adalah patung pujaan atau berhala (Idol). Dalam agama Hindu ikon didefinisikan sebagai simbol suci yang mewujudkan kebenaran spiritual yang dipuja, dihormati dan direnungkan. Semua ikon suci Hindu merupakan representasi dari yang transenden yang menyangga, menjaga dan mengarahkan kosmos. Setiap seni dan simbologi dari ikon memiliki fitur yang telah dikembangkan melalui tingkatan-tingkatan pemikiran yang rumit dan semua aj aran-aj aran mistik para orang suci ditunjukkan kepada pencari kebenaran melalui ikon dan simbol. Kosmologi Hindu mengartikan simbol sebagai ekspresi dari realitas. Ekspresi itu memiliki dua ranah-yang transenden (niskala) dan yang material (sekala). Agama Sastra menegaskan 2 prinsip utama yaitu: 
  1. Secara material (sekala) adalah sebuah refleksi dari yang transenden (niskala). 
  2. Inti dari yang material adalah diluar kematerialan itu sendiri (yatha brahmanda tatha pindanda).

Sebuah simbolisasi muncul dari sifatnya sendiri bukan dari hasil spekulasi (angan-angan) dan melaluinya kontemplasi terhadap simbol mencapai pada konsep inti terdalam yang sangat halus dibalik dari simbol. Bagaimanapun jauh dari pemikiran Hindu saat ini semua menemukan kejelasan atas penggunaan simbol yang merupakan perwujudan yang abstrak. Semua ikonologi India dibangun dengan aturan simbol yang berdasarkan anggapan terhadap Yang Ada sebagai pertalian antara ide (nama) dan wujud (rupa). Sebuah simbol tidak berbicara pada pemikiran rasional dan tidak dapat dimengerti oleh akal, hal itu sebagai suatu subyek perenungan, pemujaan, hubungan, pengalaman mistik dan kesadaran spiritual. Jadi simbol adalah bahasa esoterik dari pemikiran yang tak tersadarkan. 

Taittriya Upanisad menyatakan-brahmavid apnoti param-mereka yang merenungkan Brahman akan mencapai-Nya. Upanisad menjelaskan ada banyak teknik untuk mengembangkan realisasi diri yang banyak disebut adalah upasana. Upasana (upa+asana) secara literal bermakna duduk dekat dan mengacu pada aktivitas meditasi. Istilah ini dapat dihubungkan dengan pemujaan, kontemplasi dan pengabdian suci. Ikon awalnya digunakan untuk melaksanakan upasana. Bukan mewujud pada sebuah representasi dari Tuhan tetapi sebuah konsentrasi atau tempat dari kehadiran Tuhan. Maksudnya adalah Tuhan hadir dalam ikon tersebut. 

Apa alasan pernyataan tersebut? pertama yang diyakini oleh semua umat manusia, Tuhan ada dimana-mana (Omnipresence), Maha mengetahui (Omniscience) dan memiliki potensi (Omnipotent). Semua ciptaan diresapi oleh Tuhan, tidak satupun tempat yang tidak diresapi oleh Tuhan. Jadi secara logika Tuhan juga berada di dalam ikon. Saat upacara penyucian (konsekrasi) diselenggarakan sesuai dengan sastra 'Veda-Tuhan dimohon untuk hadir dalam ikon tersebut melalui cinta kasih dengan demikian manusia memuja dan mengekspresikan cintanya pada Tuhan. 

Kedua, Tuhan adalah saksi tertinggi yang mengetahui pemikiran dan perasaan manusa dan sastra Veda mengatakan Tuhan akan merespon pemujaan umat-Nya. Jadi Tuhan dengan kekuatan kecil-Nya dari kekuatan tak terbatas-Nya hadir di dalam ikon yang sudah dikonsekrasi. Makanya Tuhan disebut sebagai Yang Maha Kuasa. Dengan demikian ikon tidak lagi disebut sebagai simbol tetapi murti yang berarti yang merupakan perwujudan Ilahi (ketuhanan). 

2. Pernyataan Veda dan Sastra Veda tentang Arca 

Arca pemujaan tidak dibuat sembarangan tetapi harus berdasarkan apa yang dijelaskan Veda dan Susastra Veda. Kemudian disakralisasi di sebuah pura atau kuil dengan upacara prana pratistha sehingga Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa yang dimohon hadir, hadir pada area. Maka itu arca disebut sebagai arca vigraha atau perwujudan Tuhan yang dipuja sebagai objek meditasi. Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa ini dalam Veda disebut sebagai Dewa atau Kepribadian agung lainnya seperti Rama, Krishna, Visnu, Siva, Durga dan sebagainya. 

Beberapa orang berpikir bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tetapi banyak bait-bait Veda seperti Purana dan Susastra Agamika, terutama Brahma Samhita menguraikan Tuhan memiliki wujud. Dalam teks ini menggambarkan ciri-ciri dan atribut yang beragam yang di dalamnya termasuk perwujudan ilahi, karakteristik, rupa yang rupawan, kekuatan, aktivitas ilahi dan sebagainya. Meskipun ini dianggap sebagai perwujudan yang diakui dalam Veda bahwa semua gambaran tersebut dijelaskan untuk menjelaskan Tuhan yang Berpribadi yang biasa disebut sebagai lsvara. 

Penjelasan atau uraian mengenai area yang dipuja tidak secara terperinci dijelaskan oleh kitab Sruti sebagaimana tersurat dalam Rg Veda (IV. 32. 23) yakni: 

“Kaninakeva vidradhe nave drupade arbhake, babhru yamesu sobhete”.

Terjemahan: 

“Seperti dua buah boneka pada panggung kecil yang ditata, kemampuan kembarmu mental dan vital tampak cemerlang pada upacara korban kosmis”. 

Apa yang dijelaskan oleh mantra Rg Veda di atas menunjuk pada keberadaan suatu objek pemujaan bempa benda-benda yang bisa dikatakan sebagai murti atau bentuk dari dewa tertentu sesuai dengan dewa yang diundang untuk menerima korban suci. Dua boneka yang dijelaskan adalah menunjukkan perwujudan dewata mental dan vital yang merujuk pada dewa Aswin. Sementara mantra Rg Veda (X.155.3) menjelaskan bahwa: 

“Ado yaddaru plavate sindhoh pare apurusam, tada rabhasva durhano tena gaccha parastaram”.

Terjemahan: 

“Batang kayu yang mengapung berada di seberang lautan, terpisah jauh dari manusia, ambillah itu wahai dewi dan bersama itu pergilah ke tempat yang jauh”. 

Sayana Acharya lebih jauh mengembangkan mantra ini menjadi mayat berkayu Dewa itu disebut sebagai Purushottama (Sayana, 2005: 1068). 

Penjabaran Sruti akan Purusottama secara terperinci di jelaskan dalam Purusa Sukta yang menunjukkan Oknum awal sebagai sumber dari penciptaan yang dipuja dengan berbagai kegiatan yajna yang disebut yajna Purusa-persembahan atau kurban suci yang ditujukkan kepada Purusa. Purusottama dalam Brahma Purana (Bibek, 2000:3l-36) dan Skanda Purana (Bibek, 2002:61-62) diceritakan sebagai tiga batang kayu ilahi yang mengapung di lautan yang terjadi di Orissa dengan sebutan Purusottama Ksetra Dhama-tempat tinggal Tuhan. Ini menunjukkan daerah yang kini disebut sebagai Jagannatha Puri, Orissa. 

Sruti Veda sendiri, terutama Rg Veda tidak menitikberatkan pemujaan dengan menggunakan arca atau darubrahman karena Sruti lebih menitikberatkan pada proses menggunakan agni dalam homa yajna sebagai murti Tuhan yang akan mengirimkan semua kurban yajna kepada para dewa. 

Praktik-praktik rohani dalam konteks pemujaan Tuhan dengan menggunakan simbol-simbol diberikan ruang oleh Vedanta Sutra (Phala Adyaya lV.l.4) diuraikan bahwa: 

“Na pratike, na hi sah”.

Terjemahan: 

“(Pelaksana meditasi) tidak (untuk melihat sang diri) pada lambang, sebab dia bukan (itu)”. 

“Pikiran adalah Brahman” (Chandogya Upanisad 3.18.l). Dalam meditasi semacam itu, pikiran digunakan sebagai lambang brahman, apakah pelaksana meditasi menyamakan dirinya dengan pikiran seperti dalam kasus meditasi “Aku adalah Brahman?” pada tempat pertama, bila lambang yaitu pikiran dikenali sebagai sama dengan Brahman maka ia akan berhenti menjadi lambang, bahkan ketika kita merealisasikan perhiasan sebagai emas, kita melupakan sifat individualnya sebagai perhiasan. Disamping itu bila pelaksana meditasi sadar akan kesamaannya dengan Brahman, maka dia berhenti sebagai roh individual sebagai pelaksana meditasi. Kegiatan meditasi hanya dapat terjadi dimana perbedaan itu ada dan persatuan belum terealisasikan dan dimana ada pengetahuan mengenai kejamakan, pelaksana meditasi tentu akan berbeda dengan lambang. Karenanya ia tidak melihat dirinya dalam lambang (Viresvarananda, 2004:2456). 

Foto: Mutiarahindu.com
Perhatian meditasi pada simbol-simbol suci sehingga akan menimbulkan pertanyaan apakah lambang ini dianggap sebagai Brahman atau Brahman sebagai lambang?. Sutra ini mengatakan bahwa lambang atau simbol, pikiran dan matahari dianggap sebagai Brahman bukan sebaliknya. Sebab hanya dengan memandang pada yang bersifat bawah sebagai yang lebih tinggi (Visvesvarananda, 2004:457). Lebih jauh Vedanta Sutra (IV.1.6) menyatakan: 

“adityadimatascange upayattehh”

Terjemahan: 

“Gagasan tentang matahari dan lain-lain, (harus ditumpangkan) pada anggota lebih rendah (dari kegiatan kurban), sebab (hanya dengan cara itu saja pernyataan kitab suci) akan menjadi konsisten)”.

Dari Sutra di atas dapat memperoleh pengetahuan Brahman bukan sebaliknya. Proses mendapatkan dan merealisasikan pengetahuan Brahman dapat ditemui seperti apa yang dijelaskan oleh Sanatkumara kepada Narada (Chandogya Upanisad VII bagian 1) dan percakapan Uddalaka Aruni dengan Yajnavalkya (Brhadaranyaka Upanisad Ill Brahmana 7). 

Meski lambang atau simbol dianjurkan tetapi bukan berarti bahwa penyamaan simbol tersebut dengan Brahman adalah sama, yang membedakan adalah esensn dasar dari kebendaan tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Kena Upanisad (1.6): 

“Yan manasa na manute yenahur mano matam tad eva brahma tvam viddhi nedam yad idam upasate “.

Terjemahan: 

“Hal itu yang tidak dipikirkan oleh pikiran tetapi dengan apa mereka katakan pikiran itu dipikirkan ketahuilah sesungguhnya adalah Brahman dan bukan apa yang dipuja oleh orang”. 

Ada yang kekal dibalik benda-benda yang tidak kekal, dimana Brahman tidak hanya dipandang sebagai obyek pemujaan tetapi sebagai subyek, hidupnya hidup. Hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah bersifat ke dalam yang memperlihatkan dirinya pada kedalaman kehidupan rohani. Bagaimanapun tingginya angan-angan kita selama angan-angan itu bersifat objektif, dia adalah tetap sebagai bentuk pemujaan. Ketika kita terikat pada dunia obyektif kita melihat Tuhan sebagai kekuatan luar yang sangat besar, kekuatan maha dasyat yang wajib didamaikan. Tuhan adalah yang hidup dan hanya bisa dilihat dalam kehidupan rohani (Radhakrishnan, 2008:451). 

Orang-orang harus memusatkan pikirannya kepada Personalitas Tuhan hingga terbiasa berpikir tentang salah satu wujud Tuhan yang tak terhitung jumlahnya hingga secara bertahap akan mencapai kesempurnaan yoga. Hal ini dibenarkan dalam Brahma Samhita-orang yang telah mengembangkan cinta kasih kepada Tuhan dan matanya terolesi dengan salep cinta kasih rohani selalu melihat Tuhan Yang Maha Esa di hatinya. Tuhan sebagai obyek meditasi dalam pikirannya untuk melenyapkan semua ikatan pikiran pada kenikmatan material, maka itu Yoga Sutra Patanjali (1.32) menganjurkan:

“Tat pratisedhartam eka tattva abhyasa”. 

Terjemahan: 

“Hancurkanlah ini, bermeditasilah pada satu obyek”. 

Meditasi pada satu obyek adalah suatu cara untuk menghilangkan kegoncangan mental. 
Metode kedua untuk menenangkan hati adalah memperbaiki mental sampai pikirannya terpusatkan pada wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kekhusukan seseorang untuk merenungkan Tuhan diimplementasikan tidak hanya dengan meditasi belaka tetapi harus adanya pengembangan bhakti seseorang, hal ini dibenarkan dalam Bhagavata Purana (3.28. 19): 



“stitham vrajantam asinam sayanam va guhasayam preksaniyehitam dhyayec chuddha bhavena cetasa”.

Terjemahan:

“Dengan selalu khusuk dalam bhakti, sang yogi membayangkan Tuhan berdiri, bergerak, berbaring atau duduk di dalam dirinya, sebab kegiatan-kegiatan Tuhan selalu menawan dan memukau”. 

Proses memusatkan pikiran kepada wujud Tuhan di dalam diri seseorang dan proses mengucapkan keagungan dan kegiatan Tuhan adalah hal yang sama. Satu-satunya perbedaan ialah bahwa mendengar dan memusatkan pikiran pada kegiatan-kegiatan Tuhan lebih mudah daripada membayangkan wujud Tuhan di hati sebab begitu seseorang mulai berpikir tentang Tuhan, terutama pada jaman saat ini, pikiran goyah. Disebabkan begitu banyaknya godaan, proses melihat Tuhan di dalam pikiran menjadi terganggu. Akan tetapi, Tuhan berkarunia pada semua makhluk, Beliau dipuja di kuil dalam bentuk pemujaan arca. Penggunaan arca dalam Bhagavata Purana dibenarkan dijelaskan dalam Bhagavata Purana (4.8.5 6): 

“labdhva dravyamayim arcam ksity ambv adisu varcayet abhrtatma munih santo yata van mita vanya bhuk”.

Terjemahan: 

“Adalah mungkin untuk memuja wujud Tuhan yang terbuat dari unsur-unsur fisik seperti tanah, air, kayu dan logam. Di hutan seseorang dapat membuat sebuah wujud dengan tidak lebih daripada tanah dan air dan memuja Dia sesuai prinsip-prinsip yang telah ditentukan. Seorang penyembah yang mampu mengendalikan diri sepenuhnya hendaknya sangat tenang dan damai dan harus puas hanya dengan memakan buah dan sayuran apapun yang tersedia di hutan”. 

Penggunaan benda-benda material yang berasal dari alam semesta diperbolehkan guna membuat rupa atau gambaran Tuhan yang akan dipuja sesuai petunjuk sastra untuk mengendalikan sepenuhnya pikiran yang liar agar mencapai kedamaian. Penggambaran wujud Visnu pada arca menurut Bhagavata Purana (4.12.17) dinyatakan bahwa bhagavat pratirupa etad dhyayams tad avyavahito vyasrjat smadhau-arca vigraha adalah replika persis Tuhan dengan bermeditasi seperti kepada-Nya, ia masuk ke dalam keadaan khusuk meditasi yang sempura. 

Arca Visnu yang dipuja di kuil atau pura memiliki bentuk keserupaan dengan perwujudan Tuhan di dunia rohani sebagaimana yang telah dijelaskan dalam slokasloka Bhagavata Purana. Arca vigraha merepresentasi wujud Tuhan agar memudahkan penyembah mendekati Beliau dan memusatkan pikiran pada Tuhan. Bahan-bahan untuk pembuatan arca tentunya harus beradasarkan otoritas Veda dan susastra Veda seperti apa yang dijelaskan dalam kitab Shilpa Sastra,juga dapat ditemukkan dalam Bhagavata Purana (11.27.12) menyatakan: 

“saili daru mayi lepya lekhya ca saikati mano mayi masi mayi pratimasta vidha smrta”.

Terjemahan:

“Wujud arca vigraha dari Tuhan dapat dibentuk dengan mengunakan delapan macam bahan yaitu batu, kayu, logam, tanah, cat, pasir, dalam pikiran dan permata”. 

Bahan-bahan di atas dianjurkan untuk membuat arca vigraha Tuhan sesuai aspek Pribadi Tuhan yang ingin dibuat. Semua unsur-unsur tersebut terdapat di alam semesta. Bahan-bahan yang diambil dari alam semesta juga adalah perwujudan dari Tuhan sebagai Vira! Purusa. Bhagavata Purana (11.2.41) menjelaskan: 

“kham vayum agnim salilam mahin ca jyotimsi sattvani diso drumadin sarit samudrams ca hareh sariram yat kim ca bhutam pranamed ananyah”.

Terjemahan: 

“Seorang penyembah harus tidak melihat segala sesuatu terpisah dari Tuhan Yang Maha Esa. Baik ether, api, udara, air, tanah, matahari dan semua yang bersinar, semua kehidupan, arah mata angin, pepohonan, sungai-sungai dan samudra. Pengalaman apapun itu dia harus menganggap semua adalah expansi dari Tuhan. sehingga melihat segala sesuatu yang ada dalam penciptaan sebagai badan Tuhan Yang Maha Esa, Sri Hari, penyembah harus menghormati segala yang menjadi ekspansi dari Tubuh-Nya”. 

Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak terpisah dari Tuhan karena ciptaan ini merupakan perwujudan dari tubuh Tuhan yang disebut sebagai Vira! Purusa. Virat Purusa ini terjadi karena adanya penggabungan antara potensi Tuhan Yang Maha Esa yang dinamakan purusa dan prakrti. Dalam Bhagavata Purana (3.6.4) hal ini ditegaskan: 

“Prabuddha karma daivena trayovimsatiko ganah prerito 'janayat svabhir matrabhir adhipurusam”.

Terjemahan: 

“Ketika duapuluh tiga unsur utama itu digerakkan atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, bentuk semesta yang maha besar atau badan Visvarupa Tuhan menjadi terwujud”.

Virat Svarupa atau Visvarupa adalah bentuk semesta Tuhan Yang Maha Besar, yang mendapat perhatian khusus oleh para impersonalis, bukanlah badan Tuhan yang kekal. Bentuk ini diwujudkan atas kehendak Tuhan setelah adanya unsur-unsur ciptaan material. Sri Krsna memperlihatkan wujud Vira: atau Visvarupa ini kepada Arjuna hanya untuk meyakinkan impersonalis bahwa Tuhan adalah Berpribadi. 

Dagang Banten Bali


Krsna memperlihatkan Viratrupa bukanlah bahwa Krsna yang diperlihatkan oleh Viratrupa karena Viratrupa bukanlah sebuah bentuk kekal Tuhan yang diperlihatkan di tempat kediaman Tuhan di dunia rohani. Itu hanyalah manifestasi material Tuhan. Arca vigraha atau area yang dipuja di kuil adalah perwujudan Tuhan dengan cara yang sama bagi para pemula. Namun meskipun mengalami persentuhan material, bentuk-bentuk Tuhan sebagai Virat dan area tidak berbeda dengan wujud kekal Tuhan yang berada di dunia rohani Vaikuntha. Demikian pula Tuhan merasa sangat disenangkan apabila sebagian badan Virat-Nya dipuja. Arca adalah bagian dari badan Tuhan karena seluruh alam semesta adalah badan-Nya (Sivananda, 2003: 123). 

Pemujaan hanyalah sebuah instrumen untuk kembali mengembangkan hubungan dengan Tuhan dalam kesatuan. Pemujaan arca hanya merupakan awal dari agama dan tentu bukan akhir dari agama. Kitab suci Hindu yang sama yang menguraikan pemujaan arca bagi pemula, menyatakan tentang meditasi pada Yang tak Terbatas atau Yang Mutlak serta perenungan akan maksud mahavakya tersebut guna keuntungan sadhaka (Sivananda, 2003:131). Dalam Bhagavata Purana (11.2.46) menjelaskan mengenai tipe madhyama adhikari : 


“Isvare tad adhinesu balisesu dvisatsu ca prema maitri krpopeksa yah karoti sa madhyamah”.

Terjemahan: 

“Dia yang mencintai Tuhan, yang menjadi teman bagi semua makhluk, yang memberikan karunia kepada orang bodoh yang tidak berdaya dan kepada mereka yang iri hati kepada Tuhan Yang Maha Esa”. 

Berdasarkan Bhagavad Gita (15.7) mamaivamso jiva loke jiva bhutah keberadaan-Ku yang ada di dunia ini hanya sebagian dari fragmen-Ku saja. Dikarenakan maya, sang jiva terkondisikan sehingga melupakan hubungan yang kekal dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka yang telah menginsafi Tuhan Yang Maha Esa menjadi teman semua makhluk dan membantu mereka yang berdosa untuk diangkat ke dalam kedudukan sebenarnya yaitu sang diri sejati. Sedangkan Bhagavata Purana (11.2.47) menjelaskan tentang kanistha adhikari adalah sebagai berikut: 

“Arcayam eva haraye pujam yah sraddhayehate na tad bhaktesu canyesu sa bhaktah prakrtah smrtah”.

Terjemahan: 

“Seorang penyembah yang memiliki keyakinan yang mantap dalam pemujaan arca di kuil tetapi tidak bersikap semestinya kepada semua orang disebut prakrta bhakta, seorang yang materialistic”. 

Kanistha adhikari pada sloka ini disebut prakta bhakta yang berarti penyembah yang meterialistik adalah dia yang masih sibuk dalam kegiatan materialistik, memikirkan hal-hal yang bersifat fisik dan kenikmatan jasmani belum insaf sepenuhnya mengenai keberadaan Tuhan dan memuja arca demi keuntungan pribadi tanpa memandang keberadaan orang lain. Dalam Bhagavata Purana (3.29.21) dijelaskan: 

“aham sarvesu bhutesu bhutatmavasthitah sada tam avajnaya mam martyah kurute ‘rca vidambanam”.

Terjemahan: 

“Aku hadir di dalam setiap makhluk hidup sebagai Roh Yang Utama (Paramatma). Apabila seseorang mengabaikan bahwa Roh Yang Utama ada dimana-mana dan ia menyibukkan diri dalam pemujaan arca di kuil, maka itu hanyalah sebuah kepalsuan”. 
Foto: Istimewa
Jelas apa yang dijelaskan dalam sloka tersebut bahwa seseorang hanya menyibukkan pemujaan area di kuil dan tidak peduli terhadap semua makhluk maka ia termasuk ke dalam penyembah pada tingkat kanistha adhikari. Orang yang memuja area di kuil dan tidak memberikan sikap hormat kepada siapapun sesungguhnya mereka melakukan kepalsuan. Lebih lanjut Bhagavata Purana 3.29.22) menerangkan: 

“yo mam sarvesu bhutesu santam atmanam isvaram hitvarcam bhajate maudhyad bhasmanya eva juhoti sah”. 

Terjemahan: 

“Orang yang memuja arca Tuhan di kuil tapi tidak mengetahui bahwa Tuhan sebagai Paramatma berada di hati setiap makhluk berada dalam kebodohan dan ia diibaratkan orang yang menghaturkan persembahan ke dalam abu”.

Sloka ini memberikan kritik terhadap mereka yang hanya sibuk dalam pelayanan kepada arca tanpa menyadari keberadaan Tuhan yang bersemayam di relung hati makhluk hidup adalah seorang yang bodoh yang hanya melihat keberadaan Tuhan ada pada area. Semua tipe-tipe yang dijelaskan di atas dibedakan dari tingkat kesadarannya terhadap keberadaan Tuhan dan sadhana bhakti yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. 

Pemujaan area di kuil dengan keyakinan dan sesuai dengan apa yang dijelaskan Veda dan Susastra Veda lainnya dapat mengantarkan manusia ke dalam kesempurnaan hidup, hal ini dijelaskan dalam Bhagavata Purana (11.27.49): 

“evam krya yogam pathaih puman vaidik tantrikaih arcann unghayatah siddhim matto vindaty abhipsitam”.

Terjemahan: 

“Dengan memuj a-Ku melalui berbagai metode yang diuraikan di dalam Veda dan Tantra, orang akan mendapatkan dariku kesempurnaan, keinginannya di dunia ini dan di dunia sana”. 

Sloka di atas menekankan pentingnya keyakinan dalam proses pemujaan arca. Dengan keyakinan teguh bahwa Visnu hadir dalam bentuk arca-Nya dan dengan mengikuti metode tersebut yang dijelaskan baik mengikuti prinsip Veda atau Tantra, seseorang mencapai kesempurnaan. 


Dalam Caitanya Caritamrta (Madhya 22. 130) dinyatakan: sraddha vicesatah pritih sri mrter aggrhri sevane-seseorang harus memiliki keyakinan yang mantap dan cinta kasih untuk memuja arca. Dari keyakinan tersebut seorang Hindu tidak boleh memandang arca di kuil sebagai sebuah batu atau kayu karena perwujudan arca di kuil adalah sesungguhnya perwujudan dari gambaran Visnu yang hadir secara nyata melalui arca. Hal ini secara tegas di dalam Padma Purana dijelaskan bahwa: 

“arcye visnau Sila dhir gurusu nara matir jati buddhir visnor va Vaisnavanam kali mala mathane pada tirte ‘mbu buddhi sri visnor namni mantre sakala kalusa he sabda samnya buddhir visnau sarvesvarese tad itara sama dhir yasya va naraki sah”.

Terjemahan:

“Orang yang menganggap arca di kuil terbuat dari kayu atau batu, yang menganggap guru spiritual dalam garis perguruan sebagai manusia biasa, yang menganggap Vaisnava dalam Acyuta gotta termasuk kasta atau keyakinan tertentu atau yang menganggap caranamrta atau air gangga sebagai air biasa dianggap sebagai penghuni neraka”. 

Berkomunikasi dengan Tuhan Tanpa sebuah wujud bagaimana Tuhan dimeditasikan? Jika Dia adalah tanpa wujud, dimana pikiran ini dapat merenungkan? ketika tidak ada bagi pikiran untuk mengikatkan dirinya sendiri untuk itu akan pergi dari meditasi, atau akan masuk ke dalam keadaan tidur. oleh karena itu orang bijaksana akan merenungkan beberapa bentuk, mengingat bagaimanapun bahwa itu adalah metode tidak langsung, sebuah indikasi yang yang benar-benar tak berbentuk (Visnu Samhita 29:55-57) 

Dari terjemahan sloka di atas maka secara ontologi, arca adalah sebuah media untuk memfokuskan pikiran yang pada dasarnya seperti kera liar untuk menuju posisi meditatif. Suatu meditasi, sikap tangan, sikap tubuh, doa-doa yang diuncarkan oleh penyembah Tuhan serta sarana-sarana yang dipersembahkan pada Tuhan adalah sebuah komunikasi verbal dan non verbal yang dilandasi oleh pemahaman ketuhanan yang tercampur dengan cinta kasih terhadap Tuhan setelah terpisah jauh dari Pujaannya sehingga sang bhakta merasakan ekstasi dari hubungan tersebut. Demikian keterbalasan apa yang kita ekspresikan pastinya akan dibalas oleh Tuhan Pujaan penyembah. 


Ketuhanan dalam agama Hindu menyatakan bahwa Yang Tertinggi adalah Tuhan Yang Personal tetapi pada saat yang sama menyatakan bahwa wujud-Nya tak mampu diketahui (anirdesya), tak mampu dipahami (acintya) dan Melampaui ruang dan waktu (ananta). Begitu juga dalam Parama Samhita 3.7 dinyatakan bahwa: Nirakare tu devese a arcanam sambhave nrnam, na ca dhyanam na ca stotram tasmat . sakaram arcayet-adalah hal yang mustahil umat manusia dapat memuja, bermeditasi dan menyembah Tuhan tanpa wujud. Karenanya Tuhan harus dipuja menggunakan arca. Sriprasna Samhita 18.1 menegaskan bahwa Tuhan turun dan masuk kedalam ikon suci karena kehendak-Nya dengan tujuan memberikan karunia dan berkah kepada penyembah-Nya. itulah Tuhan yang sedang berkomunikasi dengan bhaktaNya. Dari komunikasi inilah menghadirkan pertemuan antara dua dunia yakni dunia sekala dan niskala. 

Penutup 

Pada Satya Yuga sebuah upasana yang dianjurkan adalah dengan cara meditasi dimana Dharma berdiri tegak 100° 0 tanpa adanya adharma, pada Treta Yuga Dharma kehilangan salah satu kakinya sehingga upasana yang dianjurkan adalah mempelajari kitab suci Veda dan merenungkannya, pada Dwapara Yuga umat manusia dianjurkan melakukan persembahan suci atau yajna kepada Tuhan Yang Maha Esa dikarenakan manusia semakin sibuk dengan hal-hal yang bersifat material juga dalam jaman ini Dharma kehilangan kakinya sehingga hanya memiliki dua kaki kebenaran, di Kali Yuga umat manusia dianjurkan untuk membangun tempat suci dan menempatkan arca suci Tuhan di dalam Pura atau Kuil sambil mengucapkan nama suci Tuhan (namasmaranam atau berjapa). Semua aktivitas itu bertujuan untuk menyucikan pikiran, membangun dan mengembangkan hubungan kekal makhluk hidup dengan Tuhan serta merealisasikan diri sejati (atman). 


Daftar Pustaka
https://www.mutiarahindu.com/2018/05/konsep-arca-menurut-veda-dan-susastra.html 

Acharya, Sayana. 2005. Veda Sruti Rg Veda Samhita (Sakala Sakha), ter. Dewanto. Surabaya: Paramita.
Atep, Adya Bharata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Alex Media Komputindo. 
Bibek, Dipavali. 2000. Brahma Purana. Surabaya: Paramita. 
Bibek, Dipavali. 2002. Skanda Purana. Surabaya: Paramita. 
Dillistone. F. W. 2002. The Power Of Symbols, terj. Yogyakarta: Kanisius. 
Madrasuta, Ngakan. Pedanda, Kiai dan Pastor: Topik Sehari-hari Tentang Hindu. Denpasar: PT Pustaka Manikgeni.
Maulana, Ratnaesih. 1997. Ikonografi Hindu. Jakarta: Fakultas Sastra UI. 
Pandit, Bansi. 2003. Pemikiran Hindu, terj. Dewi Paramita. Surabaya: Paramita. 
Prabhupada, Swami. 2007. Srimad Bhagavatam Skanda Tiga Jilid 2, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti. 
Prabhupada, Swami. 2010. Srimad Bhagavatam Skanda Empat Jilid 4, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti. 
Prabhupada, Swami. 2008. Srimad Bhagavatam Skanda' Tiga Jilid 4, terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti. 
Prabhupada, Swami. 2006. Srimad Bhagavatam Skanda Satu Jilid ] , terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Hanuman Sakti. 
Prabhupada, Swami. 1995. Srimad Bhagavatam Eleven Canto Part One. Mumbai: The Bhaktivedanta Book Trust. 
Prabhupada, Swami. 1995. Srimad Bhagavatam Eleven Canto Part Two. Mumbai: The Bhaktivedanta Book Trust.
Radhakrishnan. 2008. The Principal Upanisads, terj. Agus S. Mantik. Surabaya: Paramita. 
Singh. T.D. 2004. Realitas Keberadaan Tuhan. Denpasar: Yayasan Institute Bhaktivedanta Indonesia. 
Sivananda, Swami. 2003. All About Hinduism, terj. Yayasan Sanatana Dharmasrama. Surabaya: Paramita.
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda. 
Suryanto. 2006. Hindu Dibalik Tuduhan & Prasangka. Narayana Smrti Press.
Tim Penyusun. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 
Titib, Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Tyagisananda, Swami. 1996. Narada Bhakti Sutra, terj. Maswinara. Surabaya: Paramita. 
Viresvarananda, Swami. 2004. Brahma Sutra, terj. Agus Sumantik. Surabaya: ' Paramita.
Wiana, Ketut. 2004. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta: Manikgeni. 
Yudha, Triguna 2000. Teori Simbol. Denpasar: Widya Dharma.
Jurnal Pasupati Vol. 3. no. 2. Juli-Desember 2014.

Perang Asimetris Dari Mahabharata Hingga Kini

 



Presiden ke-35 Amerika Serikat, John F. Kennedy pada tahun 1962 telah mengungkapkan adanya perang gaya baru yang mencari kemenangan bukan dengan menghadapinya, namun dengan cara merontokkan dan menyusutkan musuhnya. Jenis perang ini dikenal dengan peperangan asimetris (asymmetric warfare). Pasalnya dalam perang tidak semata-mata mengangkat senjata api maupun bambu runcing untuk melawan musuh.



Foto; Mutiarahindu.com

Dalam perang asimetris, tidak dapat diketahui dengan pasti siapa musuh yang sebenarnya. Sehingga dalam peperangan ini tidak akan tercium bau mesiu maupun suara tembakan, tetapi pengaruhnya lebih mengerikan dari bom nuklir.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Namun tidak dapat dipungkiri jika terjadi aksi fisik di dalamnya. Teknik penyerangan nir-militer ini biasanya digunakan oleh aktor, kelompok, maupun negara yang memiliki kekuatan militer lemah menghadapi sebuah negara dengan militer yang kuat.


Perang ini dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim dan di luar aturan peperangan yang berlaku dengan spektrum perang yang sangat luas mencakup astagatra (perpaduan antara trigatra: geografi, demografi dan sumber daya alam; dan pancagatra: ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya).



Perang asimetris memiliki ciri yang lebih soft dan seolah lebih murah dari perang simetris yang cenderung high cost. Namun di balik permainan yang lembut dan murah ini, serangan perang asmetris mampu menghasilkan korban dan kerugian yang tidak kalah besarnya dari perang militer.


Serangan perang asimetris bertujuan untuk membelokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme, melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat dan menghancurkan ketahanan pangan dan energy security yang menyebabkan ketergantungan negara target atas dua hal tersebut.


Rod Thorton menyebutkan tiga bagian perang asimetris, pertama cyber warfare atau operasi ofensif dalam perang informasi; kedua, senjata penghancur massal seperti senjata biologi, kimia, nuklir, dan radiologi; dan ketiga, senjata konvensional yang direkayasa menjadi non-konvensional dengan taktik-taktik modern, seperti peningkatan teknologi amunisi dengan daya ledak besar. Penyerangan nir-militer sendiri memiliki dampak yang sangat dasyat karena dalam melumpuhkan suatu negara. Selain itu, masa pemulihannya juga relatif lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.


Perang asimetris atau perang generasi keempat yang dalam perkembangannya lebih banyak menggunakan kekuatan intelektual daripada militer ini bukanlah teknik baru. Teknik ini telah diterapkan ketika dan sebelum perang saudara Bharatayudha oleh Sri Krishna di pihak Pandava dan Sakuni di pihak Kaurava.

Dagang Banten Bali


Sejak awal kemunculan Sakuni dalam Mahabharata, ia telah menerapkan metode pertempuran asimetris terhadap Pandava. Mulai dari upaya pembunuhan Bima, istana kardus hingga permainan dadu, yang semua ini dilakukan untuk menyingkirkan Pandava dari Bumi Astinapura. Sebagai upaya pertahanan Pandava, Sri Krishna hadir untuk mengimbangi siasat Sakuni, sehingga Pandava dapat memenangkan pertempuran meskipun dengan jumlah pasukan yang jauh lebih kecil.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pada masa kini, upaya serangan asimetris salah satunya dilakukan melalui cyber (dunia maya). Dunia maya sebagai alat penghubung interaksi tanpa terhalangi oleh jarak dan waktu ini dalam waktu yang bersamaan memiliki ancaman akibat penyalahgunaan teknologi yang dapat mengacaukan kehidupan masyarakat bahkan negara sejalan dengan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap suatu teknologi.


Seperti dalam Mahabharata (teknik perang asimetris juga dilawan dengan teknik perang asimetris) sehingga suatu negara wajib memiliki cyber-security atau cyber-army. Mengapa? karena serangan dunia maya tidak dapat dihentikan dengan meriam, pesawat tempur dan alat perang militer lainnya.
Maka, setiap warga negara harus cerdas dalam memilih dan menggunakan teknologi informasi, tidak mudah tersulut oleh api kebohongan dan isu-isu permecah persatuan yang gentayangan di dunia maya.



RELATED:
Konsep Arca Menurut Veda dan Susastra Veda
Cara Membangun Cinta dan Romantika Untuk Pasangan Bahagian Menurut Vastu Sastra
Peran Ibu Sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama Menurut Perspektif Hindu
Penulis: Ni Made Sumaryani (Tim peneliti The Hindu Center Of Indonesia, Anggota Vivekananda Spirit Indonesia. https://www.mutiarahindu.com/2018/04/perang-asimetris-dari-mahabharata.html


Sumber; Media Hindu hal 52-53 edisi 169. Maret 2018

Cara Membangun Cinta dan Romantika Untuk Pasangan Bahagian Menurut Vastu Sastra

 Keluarga yang aman, selamat, makmur dan sejatehra merupakan dambaan setiap manusia. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari peran ayah, ibu dan anak-anak. Ketiga pilar ini sangat menentukan kokoh dan rapuhnya suatu rumah tangga. Peran Ayah, dalam perspektif agama Hindu adalah bertanggung jawab terhadap kesehatan jasmaniah dan rohaniah anak, memperkokoh pilar ekonomi, meningkatkan kepemimpinan keluarga, mempersiapkan dana pendidikan anak, melaksanakan yajna mengawinkan anak dan menghormati serta menggauli istrinya (Mas, 2013:66-79).


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kemudian kewajiban seorang istri adalah menciptakan kesejahteraan keluarga, memberikan pendidikan terhadap anak-anak, menjaga kebersihan, kesehatan dan kerapian rumah tangga, menyelenggarakan aktifitas agama, meneruskan keturunan, menjaga kerukunan dan kedamaian keluarga, menjaga kesetiaan terhadap suami, menjaga kesucian keluarga, menambah pengetahuan dan melakukan penghormatan terhadap leluhur (mas, 2013:80-91).



Mutiarahindu.com

Sedangkan anak memiliki peran untuk menghormati kedua orang tua, berbudi luhur, belajar dengan baik sehingga berpengetahuan, menyelamatkan arwah leluhur dari neraka, melaksanakan kebajikan (dharma), mengendalikan pikiran perkataan dan perbuatan dan percaya terhadap tuhan, sebab dengan percaya kepada Tuhan seseorang akan memperoleh kebahagian seperti dijelaskan dalam Rg VIII.97.3 dan Rg VII 20.6 yang mengataka bahwa orang yang beriman kepada tuhan yang maha esa tidak pernah kehilangan. Juga dikatakan bahwa dia yang menyembah sang hyang widhi Indra dan berbicara kebenaran, menikmati keberlimpahan kekayaan. Sebalikny orang yang tidak beriman kepada Tuhan yang maha Esa mati oleh perbuatannya sendiri (Mas,2013:98).


Ketiga pilar diatas yakni ayah, Ibu dan anak jika mampu menjalankan kewajiban dengan baik, makan akan tercipta kebahagian dan kesejahteran serta ketentraman dalam keluaraga. Ayah sebagai kepala keluarga hendaknya menjadi contoh yang baik karena merupakan kunci utama kebahagian keluarga. Dia juga berperan untuk membina keluarga sehingga tidak terjadi kehancuran dalam keluarga.


Pengertian Vastu Sastra


Selain ketiga pilar diatas di dalam agama Hindu juga terdapat Vastu Sastra atau Vastushastra, yaitu ilmu yang mempelajari tentang struktur dan tata bangunan. Vastu Sastra merupakan kitab turunan dari Catur Veda yang ditulis sekitar 6000 tahun yang lalu (Dharmasastra3, 2010.online).


Vastu Sastra Untuk Menciptakan Keluarga Bahagia


Vastu Sastra atau pola bangunan dalam agama Hindu ternyata memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan keluarga bahagia. Terutama dalam hal pengelolaan kamar tidur. Kamar tidur dalam Vastu Sastra dikenal sebagai Rati-Kaksha yang secara hafiah berarti ruangan untuk bercinta. Ruangan ini di desain dan ditata sedemikian rupa, karena merupakan tempat yang sangat penting seperti yang dijelaskan dalam Brihat Samhita Bab 73 sloka 1 yang berbunyi demikian.


“Raja membuat istananya hanya di ibu kota meskipun telah menaklukkan seluruh jagat raya. Istananya adalah suatu yang sangat penting dikeseluruhan ibu kota. Kamar tidurnya adalah tempat yang paling penting di dalam istana. Ratu adalah sumber kebahagian, cinta, kasih sayang, kenyamanan, dan penghibur hatinya.”

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kamar dalam Vastu Sastra dianggap bukan hanya sebagai tempat untuk berhubungan sex dan tidur. Tetapi juga merupakan tempat penyatuan jiwa. Sehingga sangat penting untuk menjaga kesucian dikamar. Selain itu, dikatakan juga bahwa 90 persen masalah keluarga berasal dari kamar tidur (Astiti, 2003:6). Sehingga dalam artikel ini penulis akan menguraikan tentang kamar yang ideal untuk keluarga bahagia ditinjauh dari Vastu Sastra. Berikut Ulasannya:




Hal- Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Membuat Kamar Ditinjauh Dari Perspektif Hindu (Vastu Sastra).


1. Letak Tempat Tidur (Rati Kasha)


Tempat yang paling ideal untuk kamar tidur (Rati Kasha) menurut Vastu Sastra adalah bagian Barat Daya dari rumah. Tempat tidurnya harus ditempatkan di bagian selatan pada bagaian ini. Tempat tidur anda boleh juga ditingkat atas (kalau rumah anda bertingkat) sebelah Barat Daya ruangan rumah. Hindarkan bagian timur laut rumah untuk menempatkan kamar tidur karena hubungan suami istri dilarang pada daerah ini. 


Posisi lantai pada Rati Kaksha harus lebih tinggi dari lantai rumah yang lainnya. Kamar tidur anda seharusnya dalam bentuk empat persegi panjang. Hindari bentuk yang tidak beraturan. Tempat tidur (ranjang) harus beradah di daerah Barat Daya dalam kamar tidur. Usahakan mengosongkan sedikit ruangan di bagian utara atau timur agar anda dapat dengan mudah bergerak.


2. Bentuk dan Tampilan Tempat Tidur


Usahakan membuat tempat tidur yang besar dan dihias dengan baik. Pastikan tidak terganggu baik dari penglihatan maupun pendengaran dari luar. Tutup pintu dan jendela menggunakan korden. Selain itu letaknya juga harus jauh dari dapur serta bebas dari gangguan anak-anak. Sebab Rati Kaksha hanya diperuntuhkan bagi orang yang sudah menikah. Anak-anak sebaiknya dilarang memasuki apalagi tidur dirungan ini. 


Pastikan memiliki kamar ganti, meja rias (diletakkan di timur atau utara kamar, Jangan berhadapan dengan tempat tidur), memiliki lemari pakaian, laci-laci serta memiliki pengharum ruangan. Menggunakan cahaya lampu yang redup, hal ini dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan, menciptakan suasana intim dan membantu melepaskan beban saat bercinta. Selain itu kamar juga perlu dilengkapi dengan alat musik yang lembut dapat diputar ketika bercinta, sebab music yang lembut dapat meningkatkatkan keintiman.


3. Hadiah


Berikan hadiah terhadap pasangan, baik itu berupa perhiasan, maupun bunga. Sebab hadiah dapat meningkatkan romantic dan dapat membuat pasangan anda tersanjung dan berharga. Bungan yang paling tepat diberikan kepada pasangan adalah bunga mawar. Berikan secara tiba-tiba agar pasangan menjadi senang dan terharu.


4. Peralatan Yang Boleh dan Tidak Boleh Berada di Kamar



Rati Kasha harus dilengkapi dengan bebagai peralatan seperti laci penyimpanan benda-benda penting, almirah, tempat penyimpanan barang berharga, lemari dan yang lainnya. Semuanya harus menghadapi ke utara atau timur. Hal yang tidak diperbolehkan berada di kamar adalah tempat sembahyang, karena spritualitas dan sensualitas tidak dapat berdampingan, jika ada ruangan pemujaan di kamar tidur, sebaiknya di tutup dengan korden. Jangan memasang kaca pecah di kamar. Letakkan beberapa penak-pernik di kamar seperti lilin, sepasang burung dan lainnya. Jangan menaruh kursi rusak di kamar, dan hindari menyapu pada mlm hari.


Tempatkan simbol Swastika di Luar rumah anda. Tanda ini adalah tanda Vastu yang sangat penting. Jangan menaruh tanaman berduri, tanaman kering, bunga mati. Usahkan memasang lukisan dikamar, jangan memasang foto orang yang telah meninggal di kamar dan gambar perang, kelaparan, kekeringan yang yang bersifat negative.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

5. Posisi Tidur


Saat tidur posisi kepala sebaiknya menghadap ke selatan karena seiring dengan pusat maknetis bumi. Jangan pernah menghadap ke Utara karena akan mengganggu tekanan darah dan sirkulasi darah anda. Selain ke Selatan anda juga dapat menghadap ke Timur dan kaki ke Barat. Hal ini sangat baik untuk ketenangan mental, pikiran dan perasaan spiritual. Kaki sebaiknya tidak menghadap ke matahari terbit. Usahakan jangan duduk atau tidur di bawah pasak atau balok. Sebelum tidur gunakan pakaian longgar dan bersih tidak robek. Pada pagi hari ganti sebelum jam 8 atau sesudah mandi. Usahakan tidur mirik kekiri setelah makan karena ini akan mengaktifkan organ pencernaan anda.

Dagang Banten Bali


6. Peralatan Lainnya


Jika anda perlu meletakan air minum di kamar, sebaiknya dibuatkan tempat khusus seperti meja. Letakkan menghadapa ke timur laut. Kemudian kamar mandi seharusnya diletakkan dibagian barat laut Rati Kasha. Ushakan kamar selalu dalam keadaan bersih, dan rapi. Rapihkan tempat tidur sebelum dan sesudah tidur. Jangan membawa pekerjaan dan kecemasan ke tempat tidur, karena tempat tidur adalah tempat untuk istrahat dan menghabiskan waktu bersama pasangan.


Sangat bagus jika anda menaruh ikan di kamar, karena ikan merupakan fungsi Vastu. IKan juga merupakan simbol bendera Kamadev yang melambangkan keinginan dan kegemaran. Jika tidak memungkinkan pasang gambar ikan. Usahakan wanita menggunakan anting-anting berbentuk ikan. Pada saat bersihkan kamar usahakan gunakan air garam saat mengepel.


7. Warna Kamar Yang Bagus


Usahakan menggunakan warna yang halus dan menyenangkan, seperti misalnya putih karena sesuai bagi para guru, ilmuan dan orang terpelajar. Kemudian Biru (warna saturnus) memancarkan intelektual dan kesehatan fisik seseorang, warna ini juga dapat menurunkan tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh, menyeimbangkan keseimbangan hormone, ketegangan otot, dll.


Warna lain yang bagus adalah Hijau (warna Merkuri) karena warna ini dapat memberi keseimbangan, kedamaian, menyejukkan, menenangkan, mengobati tekanan darah tinggi, dan mengontrol debaran jantung. Kuning (Yupiter) sangat bagus untuk para usahawan karena warna ini simbol dari kehangatan, energy dan kemurnian.



RELATED:
Konsep Arca Menurut Veda dan Susastra Veda
Perang Asimetris Dari Mahabharata Hingga Kini
Peran Ibu Sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama Menurut Perspektif Hindu
8. Warna Yang Harus Dihindari


Merah melambangkan kemarahan. Warna ini sangat kaya, hangat, kuat dan agresif. Warna ini tidak cocok untuk iklim yang sejuk dari kamar tidur. Warna ini akan mempercepat pernafasan dan denyut jantung, akan tetapi dapat mengobati batuk dan kedinginan.


Hindari warna hitam atau abu-abu, karena kedua warna ini akan menciptakan masalah diantara pasangan. Hitam dan abu-abu menunjukkan kesedihan dan penderitaan. Warna orange memacu kreatifitas, ambisi dan aktifitas yang energik. Warna ini akan melahirkan kebanggaan dan keinginan untuk melindungi diri dan orang lain, akan tetapi hindari penggunaan warna ini yang berlebihan karena warna ii dapat menciptakan kegugupan dan kelelahan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Warna Nila menggabungkan intuisi dan disiplin dengan kreatifitas. Warna ini juga melambangkan proses metabolism yang terjadi pada diri anda dan hokum abadi (rta) tentang pertumbuhan dan perubahan. Warna ini memiliki aspek negative seperti mengacu pada kelelahan pikiran, stagnasi, dan penderitaan yang berdampak pada kegagalan.


Warna yang tidak boleh di pakai di kamar adalah Coklat. Warna ini melambangkan kesuburan, akan tetapi biasa juga dihubungan dengan hal negative yang sangat kuat. Warna ini mengurangi vitalitas, menunjukkan kehilangan dan meniadakan dorongan kehidupan.


9. Hal Yang Perlu Dilakukan Bersama Pasangan


Usahakan referesing bersama pasangan, makan bersama, olaraga bersama, bergandengan tangan ketika bepergian, mengantar pasangan kemanapun pergi, ketawa bersama, jangan mengkritik pasangan, sering bermesraan, jangan marah ketika pasangan memiliki waktu sedikit, ucapkan selamat pagi, jangan marah kalau pasangan anda lupa terimah kasih, hargai setiap waktu bersama pasangan. Jangan mengabaikan pasangan ketika anda semakin tua, jangan mengeluh tentang pasangan kepada orang tua dan teman-teman karena itu dapat merusak hubungan. Lakukan sebanyak mungkin aktifitas bersama pasangan. 


Berikan semangat pada pasangan, jangan cerewet karena masalah sepele, baca buku bersama, nonton, dengar music, dan berikan kejutan pada pasangan pada hari-hari tertentu seperti Valentine Day (Astiti, 2003:1-82).




Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/04/cara-membangun-cinta-dan-romantika.html


Mas, Gede Raka. 2013. Pedoman Hidup Untuk Meraih Kebahagian Menurut Perspektif Hindu. Surabaya: Paramita.
Astiti, Sri. 2003. Tip-tip Kehidupan Yang Baik Vastusharstra dalam Cinta & Romantika Untuk Pasangan Bahagia. Surabaya: Paramita.
Dharmasastra3. 2010. Vastu Sastra. Diakses https//dharmassastra3. wordpress. com tanggal 16 April 2018 (online pukul 11:42).

Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu

 



Setiap orang yang lahir di dunia ini harus menyadari bahwa dirinya diciptakan oleh Sanghyang Widhi Wasa dan mempakan pancaran dari sinar suci-Nya. Sementara dalam kehidupannya, ia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan di mana mereka hidup, karena koderatnya sebagai mahluk sosial (homo socious) selalu harus berhubungan dengan dunia luar dan dunianya sendiri selaku individu. Di samping itu manusia juga dibelenggu oleh hukum kerja, karena itu mereka wajib melaksanakan tugas hidupnya walaupun harus menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang menimpa dirinya.



Di dalam menjalani kehidupannya, setiap orang harus berusaha menemukan kembali jati dirinya yang suci murni sebagai bagian yang menyatu dengan kepribadian-Nya. Namun kenyataan yang sering terjadi adalah betapa sulitnya manusia menemukan kesadaran untuk membebaskan dirinya dari belenggu dunia maya ini yang membuat dia lalai terhadap hakikat tujuan hidupnya. Dunia maya selalu menawarkan kenikmatan hidup yang seakan akan terasa langgeng, tetapi sering kali justru menambah beban masalah di dalam kehidupannya sehingga kehidupan yang damai makin sulit diwujudkan. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sehubungan dengan itu Agama Hindu mengajarkan Tapa Brata Sivaratri. sebagai petunjuk bagi umatnya untuk mencapai kesempurnaan hidup, membebaskan diri dari jerat maya, serta menemukan kebahagiaan dan kedamaian.


Foto: Mutiarahindu.com

Ajaran Tapa Brata Sivaratri

Tapa brata Sivaratri termuat di dalam berbagai pustaka suci agama Hindu, baik di dalam Itihasa Mahabharata dan Purana, maupun Nibanda. Di Indonesia, seorang pujangga bernama Empu Tanakung telah menggubah sebuah ceritra Lubdhaka yang ditulis dalam pustaka Sivaratrikalpa pada akhir jaman Majapahit, tentu dengan tujuan untuk meyakinkan umatnya agar dengan penuh keyakinan dapat melaksanakan brata Sivaratri yang ditetapkan dalam Veda.

Ceritra Lubdhaka ini hampir sama dengan mithologi Nishada di dalam Padma Purana yang ditulis sekitar 1500 tahun S.M. Namun yang terpenting dari mitologi itu ialah percakapan antara Maharsi Vasistha dengan Maharaja Dilipa tentang keutamaan brata Sivaratri. Dialog itu antara lain berbunyi sebagai berikut :


"Tuanku Raja dengarkanlah, saya akan menerangkan kepada tuanku tentang brata Sivaratri, yaitu brata yang paling utama sebagai jalan menuju Sivaloka. Malam ke 14 yang gelap, pada bulan Magha atau Palguna (Purwanining Tilem Kapitu) haruslah disadari sebagai "malam Siva" yang akan membebaskan semua dosa ("sarva papa paharini"). Mereka yang berpuasa dan tetap tidak tidur sambil memetik daun Bilwa selama malam itu untuk berbhakti kepada Siva, maka akan mencapai identitas Siva. Janganlah dibeberkan sembarangan walaupun oleh tuanku sendiri. Brata Sivaratri adalah brata yang paling istimewa, ibarat Mahamerunya pegunungan, Matahari dari yang bersinar, Guru dari para mahluk, Gayatrinya mantra, Amritanya cairan, Visnunya lelaki dan Arundhatinya wanita. Sivaratri yang dikaitkan dengan "bhavani" (bhakti yang murni), begitu terjadi kontak akan segera membakar bahan bakarnya dosa. Brata Agung Sivaratri ini adalah seperti yang telah diajarkan sebelumnya oleh Mahadeva kepada sinar-Nya.


Demikianlah percakapan antara Maharsi Vasistha dengan Maharaja Dilipa. Dikatakan pada pengelong 14 bulan Magha yang merupakan malam tergelap dalam satu tahun, Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasi Siva Mahadeva yang maha pengasih, penyayang, pelindung alam semesta, melakukan Yoga guna melebur dosa -dosa insan yang taat dan pasrah berbhakti kepadafNya.

Kemudian di dalam pustaka suci Mahabharata (Santi Parva) terdapat ajaran tentang brata Sivaratri yang diajarkan oleh Maharsi Bhisma kepada Yudhistira putra Pandu, dengan kisah kehidupan seorang pemburu bernama Susvara dari Varanasi, yang dalam penjelmaannya kemudian, mereka hidup sebagai Maharaja bernama Chitrabhanu.

Adapun ketentuan tentang pelaksanaan Tapa brata Sivaratri tercantum di dalam Lontar Aji Brata, yang pelaksanaannya mencakup tiga kegiatan secara bersamaan, yaitu : Mauna, Upavasa dan Jagra, dimulai pada pukul 06.00 ketika fajar menyingsing.


Mauna : berarti diam, berdiam diri tanpa suara, tanpa ucapan kata, dan mendiamkan pikiran dari obyek indera. Ini dilakukan selama 12 jam.

Upavasa : berarti mengendalikan hawa nafsu, tidak menikmati makanan, minuman dan sebagainya, selama 24 jam.


Jagra : berarti melek, tidak tidur sebagai latihan untuk meningkatkan kewaspadaan dan. kesadaran rohani, dilakukan selama 24 jam sampai 36 jam.

Di dalam melaksanakan Tapabrata Siwaratri di gunakan simbol-simbol suci atau praktika antara lain "Dalung" sebagai simbol kolam suci tempat munculnya Siva-Lingga, pohon beringin sebagai simbol pengganti pohon Bilva, Kwangen dan berbagai Upakara lainnya yang tidak dibicarakan pada naskah ini.

Bagi umat yang melaksanakan brata Sivaratri, kegiatannya diawali dengan persembahyangan, kemudian memasukkan Kwangen ke dalam Dalung, kemudian duduk menghadapi cawan berisi air dan 108 daun beringin serta Dupa yang menyala, bermeditasi melakukan "Nama smaranam" mengagungkan nama suci Siva sang pelebur "papa" dan pembawa "punia" memohon tuntunan dan sinar suciNya agar dijauhkan dari kelalaian yang membawa derita hidup.

Monabrata diakhiri pada petang hari (pukul 18.00 wib) sedangkan Upawasa diakhiri ketika fajar menyingsing yang diawali dengan persembahyangan "Lebur Brata" dilanjutkan mengambil Kwangen didalam Dalung dan memercikkan airnya ke ubun ubun, dengan harapan agar Hyang Widhi selalu menuntun kesucian pikirran dan perasaan hatinya.

Setelah upacara Lebur Brata maka "Jagra" dapat dilanjutkan dengan kegiatan TirthaYatra yaitu perjalanan ke tempat suci atau Pura sampai waktu Jagra itu berakhir. Berikut tinjauan filosofis dari hari suci Sivaratri

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Hakikat Kelahiran Manusia

Manusia adalah salah satudari berjuta juta jenis ciptaan Sanghyang Widhi Wasa yang selalu berupaya membebaskan dirinya dari penderitaan hidup dan mencari kebahagiaan.

Lubdhaka, Nishada, Susvara adalah merupakan sosok "sang pencari" yang meniti kehidupannya dengan penuh bhakti kepada Yang Maha Kuasa. Dengan bhakti itulah ia menemukan hakikat dinnya.

Veda mengajarkan bahwa setiap insan dapat hidup karena ada inti hakikat yang menghidupinya.

"Eko devas sarva bhutesu gundhas sarva vyapi sarva bhutantaratma karmadhyaksas sarva bhutadhivasas sakti ceta kevalo nirgunasca" (Svetasvatara Upanisad .VI .11)

("Satu sinar suci Tuhan yang tersembunyi dalam setiap insan, menjadi jiwa bathin semua ciptaan itu, Raja yang menyinari semua perbuatan dan menjadi saksi agung yang bersemayam di dalam hati.")

Inti hidup itu disebut "Atman" sedangkan Sanghyang Widhi Wasa sebagai penciptanya disebut "Parama Atman" atau Brahman. Pada hakikatnya Atman dan Brahman itu tunggal, yang di dalam Aitarya Upanisad disebut: "Brahman Atman aikhyam". Ibarat matahari dengan sinarnya, ibarat air samudera dengan setetes embun, demikianlah hakikat Brahman. dengan Atman yang menyinari Jiwa manusia itu. Kemudian ketika manusia lahir, maka sang J iwa dipengaruhi oleh bakat sifat dari "wasana karmanya".


Di dalam hidup ini setiap manusia akan terkena oleh pengaruh sifat alam yang disebut "Guna". Ada tiga guna yang selalu mangikuti dan mempengaruhi segala aktivitas manusia dalam hidupnya, yaitu: "Sattvam, Rajas, Tamas"; ketiganya disebut "Tri Guna". Sattvam ialah sifat sifat tenang, suci, benar dan sadar.

Rajas ialah sifat lincah, energik dan dinamis. Tamas ialah sifat -sifat lamban, malas dan statis.

Pengaruh Tri Guna itu masing masing berbeda untuk setiap orang, bergantung dari bakat sifat kelahirannya dan aktivitas latihan rohani sepanjang perjalanan hidupnya. Kecenderungan kecenderungan yang sering kita jumpai adalah dominasi pengaruh Rajas dan Tamas dalam wujud "Sadripu" (Kama, Lobha, Kroda, Mada, Moha, Matscarya) yaitu enam musuh utama yang menyelimuti pikiran manusia menjadi gelap dan bodoh atau linglung, sehingga manusia itu terperangkap oleh jerat Maya, yang membawa penderitaan bagi dirinya.


Demikianlah kecenderungan pengaruh Rajas dan Tamas dalam wujud Sadripu itu pada diri manusia sehingga kita seling menemukan suatu kenyataan hidup, bahwa dalam keadaan apapun, serta di manapun mereka ditempatkan seakan-akan kegelisahan senatiasa mengikutinya. Di tengah tengah kecukupan mereka masih merasa miskin, selalu merasa kekurangan, bahkan pada suasana gembira pun mereka masih merasa kekurangan sesuatu. Keadaan seperti itu adalah merupakan "Kerinduan Jiwa kepada Tuhan", karena sang Jiwa (Atman) memang mempunyai hakikat yang sama dengan penciptanya, Brahman Seru sekalian alam.

Selama jiwa ini terpisah dari sumbernya maka ia tak akan merasa tenang. Kebahagiaan sejati hanya terjadi bilamana Jiwa telah bersatu dengan sumbernya. Namun bila Jiwa terpisahkan dari Tuhannya maka ia akan mudah terperangkap ke dalam jerat Maya, kemudian menjadi budak dari pikirannya sendiri, sehingga ia tidak menemukan kebebasan. Jiwa itu menderita, yang keadaannya tidak lebih baik dari keadaan seorang istri yang hidup terpisah dari suaminya.

Walaupun diberikan segala kemewahan kepadanya namun mereka akan tetap murung dan sedih, bahkan tidak dapat terhibur. Kesedihannya itu akan berakhir bila ia bertemu dengan suaminya, memikat hatinya dan menjadikannya sebagai milik satusatunya. Begitulah Jiwa ini, akan tetap menderita selama belum bertemu atau menyatu dengan sumbernya, Sang Maha Sattvam, Siva sang pelebur dosa, Sanghyang Widi Wasa.

Demi melenyapkan kerinduan Jiwa, mendapatkan pancaran kasih dan menyatu dengan hakikat Atman, maka manusia harus melakukan latihan rohani.

Latihan Rohani

Sanghyang Widhi Wasa menciptakan manusia dengan memberikan organ tubuh yang sama, inti hidup yang sama dan hakikat Jiwa yang sejati sama dengan Dia. Apabila manusia tidak memelihara dirinya, membiarkan pikirannya dipengaruhi dan dijerat oleh ikatan Maya, maka sesungguhnya mereka telah menodai kemuliaan

Sanghyang Widhi, karena itu mereka terjerumus ke lembah dosa yang membawa duka dan nestapa. Mereka lupa bahwa Sang Pencipta bersemayam di dalam dirinya sebagai "Isvara", berada dimana-mana, memenuhi tempat yang tiada terbatas. Mereka juga lupa bahwa manusia tidaklah hanya terdiri dari segumpal darah dan daging, melainkan merupakan gudang harta karun dari ratna mutu manikam yang paling berharga, sebagai Kuil Tuhan, Brahma Wihara, Har Mandir, Pura Sanghyang Widhi Wasa, mikrokosmos tubuh yang mencakup seluruh alam semesta yang telah dirancang dengan sempurna. Karena itulah maka tubuh ini harus dirawat dan dijaga dengan penuh perhatian agar dapat diketahui rahasianya, dipecahkan misterinya, serta dikenal kodrat dan tujuannya.

Untuk menemukan jati diri manusia sebagai Pura Sanghyang Widhi Wasa, maka setiap orang harus melakukan latihan rohani melalui pengendalian pikiran dan idera, melaksanakan Upavasa, menundukkan pengaruh Sadripu, sehingga selalu sadar dan waspada terhadap jerat Maya yang mengakibatkan penderitaan Jiwa. Dalam hal ini pustaka suci Manu Smerti II sloka 88 menyebutkan: "Indriyanamvacaratam visayasvapacharesusanyameyatman alishe dvidvamyanteva vajinam" (Seperti halnya seorang kusir mengendalikan kuda kereta, begitulah orang yang berjiwa bijak berusaha mengendalikan inderanya dari pengaruh fantasi duniawi yang menyebabkan dirinyabuas).

Pengendalian indera ini menurut pustaka suci Sarasamuccaya harus dilakukan dengan cara mengendalikan pikiran, karena sesungguhnya pikiran itulah yang merupakan sumber penggerak keinginan yang kemudian akan menimbulkan tindakan baik dan buruk. Sloka 81 kitab suci Sarascamuscaya menyatakan: "Beginilah keadaan pikiran itu, selalu bimbang, jalannya tidak menentu, banyak yang diangan angankan, kadangkala berkeinginan, kadangkala ragu; bila ada orang yang mampu mengendalikan pikirannya, maka mereka itu pasti akan memperoleh kebahagiaan, baik di dunia ini, maupuh dalam dunia yang lain (Niskala)".

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

RELATED:
Pengertian, Makna Dan Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan
Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati
Pengertian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Bagi Umat HinduSifat pikiran memang mudah terpengaruh oleh ilusi duniawi (Mayapada), karena phenomena alam selalu merangsang dengan berbagai hal yang indah, sedap, lezat, nikmat, sehingga naluri keinginan (Kama) bangkit dan menutupi kesadarannya. Justru itulah setiap orang harus melatih diri secara bertahap mengurangi berbagai jenis makanan yang kurang bermanfaat bagi tubuhnya, mengatur makanan agar bermanfaat bagi kesehatan, disiplin menjalani pantangan seperti yang dilakukan pada hari suci Sivaratri ini.

Dengan mengendalikan pikiran, mengekang kemauan pikiran terhadap phenomena alam, maka indera ini dapat dikendalikan dari rangsangan jerat Maya, sehingga secara bertahap rohaninya terlatih dalam gerak evolusi spiritual mencapai kesempurnaan.

Karma Penebusan Dosa

Pengamalan Tapa Brata Sivaratri (Jagra, Upavasa dan Mauna), selain bermakna sebagai latihan rohani, juga mengandung nilai spiritual yang sangat tinggi yakni sebagai karma penebusan dosa yang dilakukan di dunia ini. Pengertian "penebusan dosa" ialah menebus kesalahan dan kelalaian(Asubhakarma) karena kebodohan (Awidya), dengan cara melakukan karma yang positif (Subhakarma) yang bernilai "plus", sehingga karma itu akan bergerak seimbang ke titik nol (Sunya). Pada kondisi Sunya itulah Jiwa akan terbebas dari belenggunya, ia mencapai "Jnana" kesadaran murni dalam "Samadhi", bersatu dengan hakikatnya yang sejati, Jiwanya menyatu dalam pengabadian penuh kepada Brahman yang abadi, maha pengasih dan maha suci.

"Tad buddhayas tad atmanas, tanisthas tat parayanah, gacchanty apunara writtim, jnana nirdhuta kalmasah" (Karma Samnyasa Yoga 17) '

(Bila pikiran hanya tertuju padaNya, menyerahkan seluruh Jiwa kepada-Nya, memuja hanya kepadaNya, dan menjadikan-Nya sebagai tujuan utama, maka dosanya akan dihapus oleh Jflana, kesadaran sejati, kemudian mereka akan pergi tak kembali lagi).

Upaya pencapaian pembebasan inilah yang dilambangkan dalam pelaksanaan Tapa Brata pada Hari Suci Sivaratri.



A. Lubdhaka, Nishada dan Susvara melambangkan manusia yang diliputi avidya, hidupnya papa namun patuh pada petunjuk Yang Maha Kuasa (Veda) dan melaksanakan svadharmanya dengan baik.

B. Kwangen sebagai simbol “Ongkaramrta” adalah lambang suci Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhava Siva yang digambarkan hadir dalam air kehidupan (Dalung) dan selalu menganugrahkan kasih-Nya kepada penyembah yang sradha dan bhakti.

C. Duduk tenang bermeditasi menghadapi Cawan berisi air dan 108 daun Bilva atau Beringin serta Dupa harum yang menyala melambangkan semangat mencari "kebenaran Sejati", menuju pembebasan diri dari belenggu Maya dengan mempelajari Veda Rahasyam yang berjumlah 108 Upanisad dan melaksanakan "8" bagian Yoga (Astangga Yoga) untuk menebus karma hingga mencapai titik "O" (sunya) serta Jiwa menemukan kesadaran murni dalam Samadhi mencapai yang "1" yaitu mencapai keadaan "Moksaka", dimana Jiwatman manunggal dengan sifat Brahman.

Dagang Banten Bali


D. Kegiatan Tirthayatra dalam Jagra Sivaratri bermakna memelihara kesucian hati dan kesadaran Jiwa yang telah dicapai agar tidak jatuh dan terseret kembali oleh jerat Maya. Sesungguhnya Tirthayatra atau perjalanan suci itu harus dilakukan selama masa hidup ini agar kesadaran mental selalu terpelihara dan kelalaian tak bersemi lagi.

Demikianlah Tapa Brata Sivaratri dilakukan sebagai latihan rohani dan karma penebus dosa. Karena itu makna filosofis Tapa Brata ini harus direalisasikan ke dalam pengabdian selama hidup melalui svadharma, yang dilandasi kesadaran mental yang tangguh agar kehidupan yang damai dapat terwujud.

Kesimpulan dan penutup

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Setiap manusia memiliki inti hidup (Atman) yang merupakan pancaran sinar suci yang sifat hakikatnya sama dengan Brahman. Hakikat kelahirannya membawa pengaruh karma. Ia terbungkus dan dipengaruhi oleh Tri Guna dan Maya sehingga semakin jauh dari sumbernya, serta mengakibatkan jiwanya menderita.
Pikiran sangat menentukan nasib manusia, oleh karena itu harus dikendalikan melalui pengekangan kemauan pikiran terhadap phenomena alam dan pengendalian indera dari rangsangan jerat maya. Dengan demikian secara bertahap rohaninya terlatih dalam gerak evolusi spiritual mencapai kesempurnaan. 
Tapabrata Sivaratri dilakukan sebagai latihan rohani dan karma penebusan dosa serta harus disadari sebagai pengabdian suci kepada Sanghyang Widhi Wasa melalui pelaksanaan svadharma yang dilandasi kesadaran mental yang tangguh agar kehidupan yang damai dapat terwujud.
Mari kita hayati dan laksanakan tapa brata Sivaratri ini sebagai latihan rohani dan karma penebusan dosa menuju kesempurnaan hidup, serta menumbuh suburkan kesadaran sradha dan bhakti demi keagungan Sanghyang Widhi Wasa.

Mari kita sadari pula bahwa sradha adalah tanaman yang sangat berharga dalam kehidupan ini, namun sebuah tiupan angin Mayapada akan menjadikannya layu. Karena itu jangan dibiarkan lahan hati yang subur menjadi tandus dipenuhi duri dan rumput nafsu. Mari kita oleh lahan hati ini dengan aliran kasih yang sejati dan taburkan benih nama Tuhan, sembari mencabut rumput-rumput keserakahan. Awasilah tanaman yang tumbuh dengan kesadaran Jiwa dan pagari lahan hati dengan tapabrata. Semoga bunga bunga bhakti dalam wujud cinta kasih yang murni akan menghasilkan buah kebahagiaan (Anandam), dimana Jiwa lebur ke dalam N ya, mencapai pembebasan.

Media Hindu Edisi Januari-Februari 2003, hal 26-29
https://www.mutiarahindu.com/2019/03/makna-filosofis-hari-suci-siwaratri.html.

Berbisnis Menurut Perspektif Agama Hindu

 



Untuk membangun kehidupan yang sejahtera. di dunia ini menurut ajaran Hindu harus ada tiga hal pokok yang wajib dikerjakan oleh manusia secara seimbang dan berkelanjutan. Tiga hal itu dalam Bhagawad Gita dinyatakan Krsi, Goraksya dan Vanijyan. Artinya bertani dalam artian luas, beternak dan berdagangUntuk menata tiga _ hal itu merupakan kewajiban para Vaisya sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawad Gita XVIII.44. Membangun kesejahteraan dengan tiga usaha utama itu haruslah dilakukan sebagai suatu wujud bhakti pada Tuhan. Dengan melakukan usaha pertanian, peternakan dan perdagangan yang benar sesuai dengan norma-normanya akan dapat mewujudkan alam yang lestari dan masyarakat yang sejahtera. Alam dan manusia adalah ciptaan Tuhan. Karena itu mewujudkan ajaran Agama Hindu itu dengan asih dan punia sebagai wujud bhakti pada Tuhan. Asih pada alam lingkungan dan punia atau mengabdi pada sesama umat manusia itu sebagai suatu hal yang tidak terpisah-pisah.



Mutiarahindu.com

Mengapa dalam dunia bisnis banyak muncul masyalah karena antara berbisnis dan beragama diimplementasikan secara dikotomis. Berbisnis itu dianggap hanya cari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan segala cara. Saat beragama melakukan pemujaan pada Tuhan untuk mohon ampun atas segala dosa-dosa yang dilakukan dalam kegiatan bisnis. Setelah yakin mendapatkan ampunan dari Tuhan selanjutnya berbisnis tanpa mengikuti kaidah-kaidah bisnis yang bermoral dan berdasarkan hukum bisnis.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jadinya permasyalahan itu timbul karena melakukan usaha bisnis tidak dianggap sebagai suatu wujud pengamalan ajaran Agama yang dianut. Sesungguhnya berbisnis itu adalah salah satu wujud dari pengamalan ajaran Agama. Bisnis yang dilakukan berdasarkan norma-norma bisnis yang benar dan bermoral, akan dapat menimbulkan multiplayer effek ekonomi yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Hal ini sangat ditekankan oleh setiap ajaran Agama. Dengan bisnis akan terbuka lapangan kerja. Terbukanya lapangan kerja dapat menyerap pengangguran. Ini adalah Yadnya nyata dari mereka yang berbisnis dengan baik. Bisnis akan dapat meberikan pajak untuk negara. Bisnis dapat mengembangkan berbagai macam cabang ilmu pengetahuan. Artinya bisnis memberikan nilai tambah pada ilmu pengetahuan. Ilmu bukan hanya untuk ilmu. Bisnis menjadikan ilmu untuk hidup. Bisnis menimbulkan interaksi sosial yang luas. Bisnis akan memberikan tetap hidupnya dinamika seni budaya. Kesemuanya itu akan terwujud apa bila berbisnis dilakukan dengan landasan moral Agama. Artinya para pengusaha hendaknya yakin bahwa dengan melakukan bisnis yang baik itu sebagai mereka sesungguhnya melakukan kehidupan beragama yang lebih nyata mengangkat berbagai harkat dan martabat hidup dan kehidupan ini. Resi Canakya menyatakan seorang pengusaha yang sukses dalam bisnis tidak ada bedanya dengan seorang Resi.


Bisnis Tanpa Moral Menimbulkan Dosa Sosial

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bisnis sesungguhnya suatu upaya kerjasama manusia untuk mensejahterakan akan hidupnya bersama di dunia ini. Dengan bisnis ini berbagai sumber-sumber ekonomi potensial dapat dikembangkan menjadi sumber ekonomi yang real. Menjadi sumber ekonomi yang real artinya secara nyata dapat memberikan tambahan produksi barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat. Kalau ada keseimbangan antara produksi barang dan jasa dengan kebutuhan masyarakat maka hal itu sebagai salah satu syarat menciptakan ekonomi yang stabil. Bisnis memberikan berbagai lapangan kerja kepada masyarata baik langsung maupun tidak langsung.


Melalui bisnis ini manusia dapat memajukan berbagai aspek kehidupanya. Seni budaya tidak akan subur dalam masyarakat yang miskin. Kalau kita perhatikan keadaan di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya, perkembangan bisnis sangat marak. Seharusnya kita sudah sangat makmur dan sejahtera. Mengapa kehidupan yang makmur sejahtera itu semakin jauh rasanya. Hal ini disebabkan tidak adanya keadilan dalam proses berbisnis. Mengapa tidak adanya keadilan karena rendahnya moral dalam melakukan bisnis. Nilai modal berupa uang dan barang sangat tidak seimbang dengan nilai tenaga, ketrampilan dan keakhlian manusia dalam melakukan bisnis. Uang dan barang dalam berbisnis jauh lebih utama dinilai tinggi dari nilai tenaga, ketrampilan dan keakhlian manusia. Hal ini karena hukum ekonomi tidak dilandasi moral. Memang hukum ekonomi akan berproses secara alami. Kalau jumlah SDM yang dibutuhkan lebih banyak dari daya tampungnya maka SDM itu akan menjadi lebih murah. Murahnya nilai SDM tersebut sesungguhnya jangan sampai melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan jasa keadilan Karena rendahnya moral dalam melakukan bisnis timbullah hukum rimba. Hukum rimba atau dalam Nitisastra disebutkan Matsya Nyaya adalah yang kuat memakan yang lemah. Tenaga kerja yang melimpah menyebabkan sementara pebisnis memperlakukan tenaga kerjanya secara tidak bermoral.




Banyak pebisnis yang usahanya sudah sangat menguntungkan tetapi karyawannya tidak digaji secara wajar. Padahal pengusaha tersebut hidup mewah berlebihan. Rumah, mobil, perjalanan dan fasilitas hidup lainnya serba berlebihan. Tetapi karyawan yang memiliki andil yang sangat besar dalam mensukseskan bisnisnya, mereka tetap saja dibayar rendah Maksimum sesuai dengan Upah Minimum Regional Sedangkan Upah Minimum Regional hitunghitungannya berdasarkan kebutuhan fisik minimum, bukan kebutuhan hidup minimum. Dilain pihak Negara menentukan pembangunan manusia seutuhnya. Tetapi hitung-hitungan upah hanya sebatas kehidupan fisik yang minimum lagi. Hal inilah yang akan menimbulkan dosa-sosial. Dalam kehidupan sehari-hari kita akan menyaksikan kehidupan yang senjang sangat menjolok. Ada orang dimana-mana punya rumah sampai mereka susah mau tidur dimana malam ini. Dilain pihak setiap tahun ada orang yang hidupnya sangat tegang karena kontrak rumah sudah habis. Sedangkan uang untuk ngontrak selanjutnya belum ada uang yang terkumpul. Untuk hidup sehari-hari saja masih sering ngutang sana-sini.


Orang-orang yang duduk di pemerintahan diharapkan dapat menjembatani hal ini. Tetapi mereka umumnya sibuk menghadiri acara-acara seremonial dan pidato-pidato yang muluk-muluk tanpa bukti memperbaiki kesenjangan. Merekapun tidak merasakan lagi hidup menderita karena sudah dilimpahi fasilitas yang berlebihan. Jangankan memperhatikan mereka yang jauh-jauh. Nasib bawahannya saja sering tidak mendapatkan perhatian yang wajar dan adil. Ada sementara pebisnis yang ingin berbisnis yang benar dan wajar untuk membangun kesejahteraan bersama secara adil. Merekapun sering mendapatkan berbagai kesulitan birokrasi yang berliku-liku. Bahkan Prof, DR. Sumitro Joyohadikusumo, bagawan ekonomi Indonesia pernah mengatakan bisnis Indonesia kena biaya siluman (informal cost) sampai 30 % dari total biaya produksi. Hal ini juga sebagai pendorong munculnya bisnis tanpa moral. Daribisnis tanpa moral itu memicu timbulnya tekanan batin yang sangat kuat pada masyarakat luas baik langsung maupun tidak langsung. Tekanan psykhologis yang struktural ini cepat atau lambat akan memunculkan. kekerasan sosial.


Dari kekerasan sosial inipun juga akan memunculkan dosa sosial yang lebih luas lagi. Moto bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecilkecilnya, meskipun secara teori sudah ditinggalkan, namun masih saja secara praktis digunakan. Hal itulah yang banyak menimbulkan berbisnis hanya mengejar keuntungan dengan mengabaikan nilai-niali kemanusian dan moralitas yang luhur.




Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/03/berbisnis-menurut-perspektif-agama-hindu.html

- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar