Senin, 09 Juli 2018

ARDHANARESWARI







onsep Ardhanareswari mempunyai latar belakang Weda dan kesusastraan Weda. Di dalam simbologi Weda dijelaskan melalui beberapa nama yang merupakan pasangan: Pita-Mata, Parardha-Avarardha (setengah atas-setengah bawah), Katamardha-Visvardha (setengah tak diketahui-setengah dunia), Prana-Apana, Yuvan-Yuvati, Mitravaruna-Urvasi, Purnakumbha-Kumbhini, Nara-Nari, Deva-Devi, Dasa-Aditi, Manas-Kama, Uparisvit-Adhahsvit, Prayati-Svadha (energi-material), Parastat-Avastat, Visvasrj-Visvasrsti, Suparna-Suparni dan pasangan-pasangan lain laki-laki dan wanita yang muncul bersama-sama di dalam kosmogoni Veda.
Kata 'Ardhanareswari' terdiri atas tiga kata: 'ardha', 'nari', dan 'isvara' bermakna 'isvara' (adalah Siwa) dengan 'nari' (yaitu Parwati) sebagai 'ardha' (yaitu setengah/separoh). Sebuah bentuk atau wujud dimana tubuh yang sama dibagi oleh Siwa dan Parwati masing-masing mencerminkan separuh bagian dari bentuk yang sama. Artinya, satu bagian berwujud Siwa, satu bagian lainnya merupakan perwujudan Parwati, pasangannya, namun dalam satu wujud. Satu wujud mempunyai dua bagian: setengah laki-laki, setengah wanita. Kedua belahan ini menyatu dan menunggal di dalam satu wujud. Acintya atau disebut juga Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Licin merupakan wujud penunggalan itu. Dalam wujudnya sebagai Acintya jenis kelamin: laki-laki atau wanita tidak nampak lagi. Di sini tidak ada batas pemisah atau pembeda Siwa dengan Sakti, Purusa dengan Pradhana, laki-laki dengan perempuan, Siwa dengan Buddha, Adwaya dengan Adwaya Jnana. Dikatakan Siwa-Buddha tunggal.
Pada dasarnya konsep ini memposisikan dua kekuatan yang berbeda, saling bertolak belakang dalam sifat sebagai kekuatan yang disatukan untuk mencapai penunggalan.
Di dalam mazab Tantrayana, Ardhanareswari merupakan konsep penunggalan antara Siwa dan Sakti. Penunggalan ini merupakan asal muasal alam semesta beserta segala isinya.
Ardhanareswari adalah juga konsep penunggalan Siwa-Buddha. Konsep ini sebagai wujud konsep Rwa Bhineda, dua kekuatan yang saling bertolak belakang namun saling memerlukan untuk diajak bekerja sama menuju kepada satu tujuan tertinggi. Dunia dengan segala isinya berasal dari dua kekuatan berbeda: Purusa-Pradhana, Siwa-Parwati, Siwa-Sakti, laki-laki-wanita. Di dalam ajaran Buddha ini diistilahkan dengan Adwaya-Adwaya Jnana, Adi Buddha-Prajnaparamita. Persatuan dari dua kekuatan yang antagonis ini disebut Ardhanareswari. Di Bali disebut Bhatara Ardhanareswari sebagai Sang Hyang Tunggal. Di Pura Besakih penyatuan Siwa-Buddha diwujudkan dalam wujud Sang Hyang Surya-Chandra.
Ikonografi Ardhanareswari atau Ardhanareswara sangat banyak jumlahnya tersebar di penjuru India dan Indonesia. Inilah salah satu murti dari Siwa. Di Bali arca Ardhanareswari disimpan di Pura Puseh Tejakula, Buleleng dan di Pura Melanting Pejeng Gianyar, Bali. Dalam masa klasik arca ini disebut Hari-Hara. Hari sebagai aspek Pria, sedangkan Hara sebagai aspek wanita.
Dalam praktek keagamaan Hindu di Bali eksistensi konsep Ardhanareswari dijabarkan ke dalam berbagai bentuk dalam berbagai tataran. Banten Ardhanareswari dibuat manakala membangun yajna Ngenteg Linggih di Pura/parhyangan. Banten (sesajen) ini dipersembahkan melalui puja stuti ketika digelar Upacara Mejejiwan di bale Peselang. Pendeta Siwa dan Buddha juga dipandang sebagai aspek-aspek dari konsep Ardhanareswari. Pendeta Siwa dipandang sebagai representasi aspek Purusa; sementara pendeta Buddha sebagai representasi aspek Pradhana; jika pendeta Siwa dipandang sebagai langit, maka pendeta Buddha sebagai pertiwi; jika di dalam prosesi pemujaannya pendeta Siwa dari atas ke bawah; sementara pendeta Buddha dari bawah ke atas. Mereka melakukan pendakian rohani dan menunggal di dalam pemujaan Yang Maha Tunggal disebut Siwa-Buddha yang ber-sthana di atas Padmasana. Karena konsep inilah dihadirkan dua Pendeta (Siwa dan Buddha) di dalam muput suatu karya yajna, apalagi tergolong uttama.

Yadnya Kurban Hewan





Pasu Yadnya ke-6
Weda adalah merupakan sumber tertua daripada tradisi intelektual orang Asia khususnya India dan pada umumnya Dunia. Para insan intelektual saat ini memiliki tafsiran beragam atas kapan kebudayaan Weda yang muncul pertamakali di India (Jambu Dwipa/Hindustan) ini dimulai. Weda tersebut disebutkan didapat oleh Para Maharsi berbeda-beda dalam samadinya.
Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa Weda ini mulai dikumpulkan dan dirangkum atau dikompilasi pada masa 5000/4000 tahun sebelum masehi dan paling akhir adalah 1000 tahun sebelum masehi. Sedangkan kita ketahui bahwa usaha merangkum Weda ini dilakukan oleh Bhagawan Wyasa menjadi Catur Weda. Jadi penerimaan Para Maharsi berbeda dibagi dalam 4 Weda: Rig, Sama, Yayur dan yang terakhir disebut Atharwa Weda karena disebut datang dari Atharwan.
Weda sebenarnya adalah Yajna (Yadnya) hanya saja Yadnya yang dimaksud disini adalah bukan bermakna Yadnya Kurban Hewan seperti yang akan saya bahas saat ini. Yadnya Weda bermakna sangat luas dan disebutkan bahwa Yang Agung juga melakukan Yadnya sehingga Dunia Material ini terbentuk atau terlahirkan dan juga akan mengalami akhir disuatu masa adalah merupakan dalam siklus Yadnya dari Sang Pencipta yang telah menjadi tanpa awal dan tanpa akhir.
Rig Weda ada memuat berbagai stanza yang menyebut masalah persembahan yang dihaturkan saat Yadnya dijalankan dan dimaklumi bahwa pemujaan yang bersifat murni adalah amat sangat jarang muncul sebagai landasan dari Yadnya sebab umumnya kita ajukan harapan dan permintaan pada proses Yadnya tersebut. Sama Weda dan Yayur Weda lebih dikaitkan pada ritual daripada Yadnya. Kemudian sloka-sloka text Brahmana menerangkan berbagai hal mengenai Yadnya Kurban dengan umumnya berisi perbandingan dan hubungannya sebagai contoh untuk mudah dimengerti. Misalkan Kurban dibandingkan atau di indentifikasi sebagai pakaian atau Wastra, Kijang dibandingkan dengan sebuah kendaraan, dst.
Pada bekas reruntuhan Kota Mohenjodaro dan Harrapa di lembah sungai Sindu ditemukan altar pemujaan homa atau hotra yang juga berisi persembahan Kurban Hewan sesuai juga yang tersurat pada Atharwa Weda. Juga dari hasil temuan bukti arkeologi dapat dikatakan dengan pasti bahwa ada praktek Yoga dan pemujaan kepada Dewi.
Yadnya dalam artian diluar daripada apa yang dimaknai Kurban Suci Hewan adalah merupakan aspek penting dari tradisi Weda. Yadnya bermakna mempersembahkan dan juga diperkenankan untuk berisi permintaan dan permohonan. Karena Yadnya yang murni tersebut adalah amat sangat jarang.
Untuk di Bali persembahan Kurban Yadnya Hewan kemungkinan dimulai dari Era Kertarajasa, Maharaja dari Singosari Jawa yang telah mengakusisi Bali pada masanya. Beliau disebut sebagai Bhakta Bhairawa yang sangat taat. Dan sejak saat itu Bali kemudian juga memiliki penganut Hindu atau Sanatana Dharma agama Siwa Bhairawa. Sedangkan bila dilihat masih dipertahankannya persembahan sate tanpa daging oleh penduduk desa-desa tertua di Bali maka dapat dipastikan bahwa Hindu atau Sanatana Dharma dari agama Waisnawisme dan Buddhisme adalah yang pertamakali dianut di Bali (Dugaan Para Ahli juga demikian).
Istilah Kurban Hewan di Bali adalah juga berasal dari Sanskerta yaitu kini disebut Jatah. Jatah sendiri sebenarnya bermakna penyembelihan hewan sehingga pada persembahan yang disebut Jatah akan berisi sebelumnya proses penyembelihan hewan dan umumnya dari Babi dan Hewan yang dianggap suci lainnya. Daging dan kepala hewan itu kemudian dirangkai sebagai persembahan. Istilah Jejatah kini lebih umum bermakna sate dari daging kurban hewan pada persembahan tersebut. Kemudian Gayah adalah persembahan dari tulang Hewan Kurban atau dari hasil Jatah. Akan tetapi untuk dibeberapa tempat di Bali istilah Gayah dan Jatah adalah disamakan.
Pada aspek banten Bali yang dibagi dua maka persembahan ini termasuk rangkaian Yadnya harapan atau permohonan penyucian kepada aspek Bhutakala serta penyucian bagi hal-hal yang bersifat lahiriyah dan duniawi.
Sangat disayangkan kini juga ada yang ikut latah dalam mispersepsi prihal Siwa Bhairawa. Sebagaimana dengan masalah perbantenan di Bali yang dimana juga kebanyakan orang tidak bisa menyebutkan maknanya kecuali dengan istilah “memang demikian” atau “mule keto”. Pemahaman tentang Bhairawapun juga ada yang semena-mena melihatnya dari sudut ketidak tahuan dan bahkan menjurus penghakiman negatif. Hal demikian sangat dimaklumi karena terbatasnya pengetahuan kita akan sejarah masa lalu. Konon Pura dengan juga disematkan nama Siwi disebut adalah Pura yang didedikasikan bagi Bhairawa dimasa lalu. Sebab nama Siwi tersebut adalah nama lain dari Bhairawa.








Minggu, 08 Juli 2018

upacara homatraya





Dalam lontar Widhi Sastra Roga Sangara Bumi dijelaskan tentang upacara homatraya, harus dilakukan jika teijadi berbagai keanehan, seperti;
a. sapi kawin dengan kerbau,
b. musim kemarau berkepanjangan,
c. wabah penyakit (gering/pandemi) dan hama merajalela
Upacara tersebut dilaksanakan oleh para dwijati dengan tujuan untuk membersihkan jagat.
Barkaitan dengan makna homatraya, lontar Nitisastra Purbasesana , menyebutkan berasal dari kata;
a. homa berarti yoga sakti, dan
b. traya berarti tiga.
upacara homa tersebut mesti dipimpin oleh ; Brahmana Siwa, Brahmana Budha dan Ksatrya Putus
Dalam lontar Nitisastra Pedanda Sakti Wawu Rauh juga dijelaskan tentang kondisi yang mengharuskan agar dilaksanakan upacara homa.
Disebutkan, jika berbagai keanehan dan penderitaan melanda dunia, maka harus dilakukan upacara Panca Bali Krama, upacara Ngelukat Jagat yang disebut upacara Homa Traya.

sampradaya sesat?


Oleh Ida Pedanda Asraya Jati Manuaba
sampradaya sesat?
Jika orang sudah menekuni tattwa, akan memahami bahwa sampradaya bukanlah hal asing dalam Hindu.
Sampradaya artinya garis aguron-guron atau garis perguruan di mana ilmu Weda itu diajarkan dari guru ke murid.
Jadi, umat Hindu yang belajar di Sampradaya artinya belajar menekuni ajaran Weda.
Seharusnya, umat Hindu malu karena tidak pernah tahu bagaimana caranya belajar Weda. Sementara itu, umat Hindu digempur habis-habisan oleh agama lain karena tidak bisa ‘membela diri’ dengan ilmu pengetahuan agama yang mapan.
Kehadiran sampradaya atau garis aguron-guron ini sebenarnya sudah lama ada dalam Hindu. Sebagai contoh, semua pedanda yang ada saat ini adalah produk dari sistem aguron-guron Dang Hyang Dwijendra yang dimulai 500 tahun lalu. Jadi, sistem perguruan ini turun-temurun, dari guru (nabe) ke murid (sisya). Ini adalah ‘sampradaya’ yang sudah ada lama di Bali yang kita kenal dengan sistem siwa dan sisya.
Orang yang ingin belajar di sampradaya itu bukan main-main. Pantangannya banyak. Mereka tidak boleh berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak berhubungan di luar nikah dan bahkan dilarang makan daging (ahimsa).
Orang yang belajar Weda dalam sampradaya adalah orang yang mempraktikkan semua pantangan itu sehingga mereka sesungguhnya bukan manusia sembarangan. Merekalah yang sesungguhnya menegakkan ajaran dharma secara nyata. Merekalah benteng Hindu di masa depan.
Ini mengingatkan saya pada ramalan kuno di tahun 1478, saat Majapahit hancur oleh serbuan Demak. Saat itu, pendeta kerajaan Majapahit, yang kita kenal sebagai Sabda Palon Nayagenggong bersabda bahwa lima ratus tahun setelah runtuhnya Majapahit akan ada agama buddhi, agama cinta kasih yang mengingatkan semua orang akan jati dirinya.
Sabda Palon Nayagenggong adalah Dang Hyang Dwijendra, atau Bhatara Sakti Wawu Rauh.
“Kelak lima ratus tahun setelah ini aku akan kembali, membawa ajaran agama buddhi (agama cinta kasih) dan akan kusebarluaskan. Barangsiapa yang tidak mau mengambil ajaran ini akan ditelan oleh zaman.

TAHUN ‘CAKA’ TIDAK ADA







Terima kasih semua teman yang telah mengirimi kami ucapan SELAMAT TAHUN BARU ‘CAKA’. Tapi, maaf, tidak ada TAHUN ‘CAKA’.
Tahun ‘Å›aka’ dibaca ‘shaka’ adalah tahun yang dipakai dalam peradaban kuno Bharata Warsa (India Kuno) dan Bharata Kanda (negara-negara Asia Tenggara) yang dalam penulisan huruf Devanagari ditulis शक dan dalam aksara Bali ditulis ᬰᬓ dibaca ‘shaka’ bukan ‘CAKA’. Berdasarkan ilmu bahasa (fonologi) suara 'sha' ini merupakan konsonan sa-palatal atau ‘sa-talawya’ditulis menjadi ‘Å›aka’.
Artinya apa? Tidak bisa ditulis ‘CAKA’.
Berdasarkan kesepakatan internasional penulisan kata शक ditulis ‘Å›aka’, ini diatur dalam aturan internasional alihaksara Sanskerta atau dikenal sebagai International Alphabet of Sanskrit Transliteration (IAST).
Kalau ngotot menulis tahun ‘Å›aka’ dengan huruf C maka teman-teman harus menulis dengan Ç yang dalam bahasa Perancis C dengan coret koma di bawahnya ini disebut C-cedilla. Kalau menulis tahun ‘Å›aka’ dengan tulisan C, dan tidak disertakan coret koma di bawahnya, maka ini keliru. Lebih baik menulis dengan huruf S: SELAMAT TAHUN BARU SAKA…. Sekalipun ini tidak sepenuhnya benar, tapi tidak begitu jauh menyimpang seperti tulisan ‘CAKA’.
Sejarah penulisan tahun शक (‘Å›aka’)
Istilah tahun ‘Å›aka’ adalah serapan dari Sanskrit atau bahasa Sanskerta yang diserap masuk dalam bahasa Melayu Kuno, Sunda Kuno, dan Jawa Kuno dan kita warisi sampai saat ini. Jika kita ikuti International Alphabet of Sanskrit Transliteration (IAST) maka penulisan tahun शक yang benar adalah ‘Å›aka’.
Kenapa banyak orang-orang tua di Indonesia menulis tahun Çaka?
Alasannya: Mereka terpengaruh pendidikan Belanda dan Perancis.
Penulisan श — yang merupakan konsonan sa-palatal atau ‘sa-talawya’— telah ditetapkan oleh Dr. Colebrooke dengan huruf Åš.
Tetapi beberapa sarjana Peranciis dan Belanda dan Prancis merubah huruf Åš dengan huruf Ç. Ini diikuti juga oleh orang Indonesia tamatan sekolah Belanda. Semenjak itu penulisan tahun ‘Å›aka’ ditulis menjadi Çaka. Ucapan tahun baru ‘Å›aka’ akhirnya berubah menjadi Çaka. Hanya saja ini berlangsung tidak lama karena ada koreksi ulang dan kembali secara internasional ditetapkan menjadi ‘Å›aka’.
Profesor Tjok Rai Sudharta, pakar Sanskerta terbaik Indonesia era 1970-1990an, menjelaskan bahwa Sir William Jones tidak sepakat kalau ‘sa-talawya’(sa-palatal) ditulis Ç. Pembelaan ini tercantum dalam “A Dissertation on the Orthography of Asiatick Words in Roman Letters”. Sir William Jones mempertahankan alihaksara huruf-huruf Sanskerta ke dalam huruf-huruf Latin yang dilakukan oleh Dr. Colebrooke setelah menganalisisnya dari sudut phonology, antara lain rumusannya bahwa huruf ‘sa-talawya’ditulis Åš.
Pendapat Sir William Jones diperkuat oleh Sir Monier Monier Williams yang telah menyusun Kamus Sanskrit English yang sangat penting dalam pembelajaran Sanskerta di dunia akademik.
Aturan penulisan ini (yang dirumuskan oleh Dr. Colebrooke, Sir William Jones, Sir Monier Monier Williams) pada akhirnya mendapat pengakuan oleh ahli-ahli bahasa Sanskerta di seluruh dunia: Secara internasional tidak lagi ‘sa-talawya’ditulis dengan huruf Ç (C-cedilla) tapi dengan Åš. Artinya penulisan tahun Çaka tidak benar yang benar secara internasional adalah ‘Å›aka’.
Celakanya, sudah pernah diajarkan dan beredar penulisan tahun Çaka di sekolah-sekolah Belanda di Nusantara. Yang umum terjadi adalah banyak orang Indonesia tidak bisa menulis Ç (C-cedilla) dan menggantinya secara serampangan dengan C biasa. Penulisan Çaka pun menjadi ‘CAKA’. Kesalahan ini seperti salah turunan, diwariskan sampai kini.
Kekeliruan Ç (C-cedilla) berubah menjadi C ini juga terjadi dalam kata-kata lain, seperti penulisan Śiva (Śiwa), sampai kini ada yang menulis Ciwa karena pernah diajarkan di sekolah masa penjajahan Belanda bahwa Śiwa ditulis Çiwa. Akibat tidak secara benar menulis Ç (C-cedilla) maka tertinggal banyak dalam kutipan penulisan buku-buku Belanda yang dulunya menulis Çiwa ketika dikutip menjadi Ciwa. Ciwa tidak memiliki arti dimaksud. Sama halnya kata Çanti menjadi Canti. Kalau mau aman maka tulislah sesuai pengucapannya menjadi Shanti. Lebih baik menulis kata Śiwa menjadi Shiwa, daripada mau menulis Çiwa akhirnya tertulis Ciwa. Penulisan yang benar adalah Śiwa, atau kalau mau aman tidak bisa menulis Ś lebih dianjurkan menulis seusai suara yang dihasilkan Shiwa atau Shiva.
Kembali kepenulisan tahun ‘Å›aka’, tahun depan ada baiknya tidak lagi mengirim ucapan TAHUN BARU ‘CAKA’. Tulisanlah SELAMAT TAHUN BARU ‘ÅšAKA’ — ini penulisan yang sesuai dengan International Alphabet of Sanskrit Transliteration (IAST). Kalau tidak bisa menulis Åš (s dengan coret di atas atau acute accent) tulis saja: SELAMAT TAHUN BARU SAKA.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘Å›aka’ ditulis syaka. Artinya kalau mengikuti KBBI maka ditulis: SELAMAT TAHUN BARU SYAKA…
Kami lebih menganjurkan dan memilih menulis tahun ‘Å›aka’ tidak tahun Syaka. Jika semua serapan kata dari bahasa Sanskerta dengan ‘sa-talawya’di-indonesia-kan menjadi 'sy' bisa banyak menimbulkan kebingungan yang meluas, seperti kata Åšanti harus ditulis Syanti, lalu Åšiwa ditulis Syiwa?
Terima kasih sahabat dan keluarga kami yang telah mengirimi ucapan SELAMAT TAHUN BARU ‘CAKA’. Apapun tulisannya — entah ‘SHAKA’, SAKA, ÇAKA atau ‘CAKA’— semua doa dan niat tulusnya kami terima dengan suka cita.
Tapi, mohon ya, mohon tahun depan tidak lagi salam ditulis dengan tulisan ‘CAKA’. Tulislah ‘ÅšAKA’. Kalau pakai HP tekan huruf S agak lama, maka di layar akan muncul pilihan huruf Åš.

OM SHREE MAHA GANADIPATAYÄ’ NAMAHA



Dagang Banten Bali



CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

GENAH UTAMA LINGGIH ARCA IDA BATHARA GANA.
OM SWASTIASTU
However, it is important to know where to place these idols and placing it in the right location and time could definitely bring a positive change to you and your fortunes. Here are a few pointers one needs to know, to get the maximum serenity and good luck.
It is believed that northeast space in home is the best direction to offer prayers. If it is unavailable place the idols such that it faces west or north. Best suitable is north region as it is the home of Lord Shiva, father of Lord Ganesha.
If there is no separate room for worshipping and one chooses to place idols in bedroom, then you need to place it in north east corner and see to it that your legs are not pointed towards idols while sleeping.

"OM SHREE MAHA GANADIPATAYÄ’ NAMAHA"
OM SHANTI SHANTI SHANTI OM.
GENAH UTAMA LINGGIH ARCA IDA BATHARA GANA.

OM SWASTIASTU
Namun, penting untuk mengetahui di mana untuk menempatkan berhala-berhala ini dan menempatkannya di lokasi yang tepat dan waktu pasti akan membawa perubahan positif kepada anda dan nasib anda. Berikut adalah beberapa petunjuk yang perlu diketahui, untuk mendapatkan ketenangan maksimum dan keberuntungan.
Hal ini diyakini bahwa ruang timur laut di rumah adalah arah terbaik untuk menawarkan doa. Jika itu tidak tersedia tempat berhala seperti itu menghadap ke barat atau utara. Paling cocok adalah wilayah utara karena merupakan rumah dewa siwa, Bapak Dewa Ganesha.
Jika tidak ada ruang terpisah untuk beribadah dan satu memilih untuk menempatkan berhala di kamar tidur, maka anda harus menempatkan di sudut timur utara dan melihat bahwa kaki anda tidak menunjuk ke berhala ketika tidur.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

"OM SHREE MAHA GANADIPATAYÄ’ NAMAHA"

OM SHANTI SHANTI SHANTI OM.
·

 Om Gum Ganapataye Namaha

Sabtu, 07 Juli 2018

Devata Navasanga








DEWATA NAWA SANGHA
Dewata Nawa Sangha adalah sembilan gelar kemahakuasaan atau perwujudan Sang Hyang Widhi dalam fungsi dan tugas beliau sebagai penguasa alam semesta. Kesembilan kemahakuasaan Sang Hyang Widhi inilah menjaga agar dunia ini selalu sejahtera, subur dan lestari. Kesembilan kemahakuasaan Sang Hyang Widhi ini menempati kesembilan penjuru mata angin. Tiap penjuru mata angin mempunyai senjata tertentu dan urip (nilai) tertentu juga dan juga mempunyai aksara suci masing-masing. Kesembilan kemahakuasaan Sang Hyang Widhi beserta arah mata angin yang dijaga yaitu :
1. TIMUR
Dewata Penguasa Daerahnya : ISWARA.
Warnanya : Putih.
Uripnya (Nilainya) : 5 (Lima).
Senjatanya : Bajra.
Aksara Sucinya : SA.
2. TENGGARA
Dewata Penguasa Daerahnya : MAHESORA.
Warnanya : Dadu.
Uripnya (Nilainya) : 8 (Delapan).
Senjatanya : Dupa.
Aksara Sucinya : NA.
3. SELATAN
Dewata Penguasa Daerahnya : BRAHMA.
Warnanya : Merah.
Uripnya (Nilainya) : 9 (Sembilan).
Senjatanya : Gada.
Aksara Sucinya : BA.
4. BARAT DAYA
Dewata Penguasa Daerahnya : RUDRA.
Warnanya : Jingga.
Uripnya (Nilainya) : 3 (Tiga).
Senjatanya : Mosala.
Aksara Sucinya : MA.
5. BARAT
Dewata Penguasa Daerahnya : MAHADEWA.
Warnanya : Kuning.
Uripnya (Nilainya) : 7 (Tujuh)
Senjatanya : Nagapasa.
Aksara Sucinya : TA.
6. BARAT LAUT
Dewata Penguasa Daerahnya : SANGKARA.
Warnanya : Hijau.
Uripnya (Nilainya) : 1 (Satu).
Senjatanya : Angkus.
Aksara Sucinya : SI.
7. UTARA
Dewata Penguasa Daerahnya : WISNU.
Warnanya : Hitam.
Uripnya (Nilainya) : 4 (Empat).
Senjatanya : Cakra.
Aksara Sucinya : A.
8. TIMUR LAUT
Dewata Penguasa Daerahnya : SAMBU.
Warnanya : Biru.
Uripnya (Nilainya) : 6 (Enam).
Senjatanya : Trisula.
Aksara Sucinya : WA.
9. TENGAH
Dewata Penguasa Daerahnya : SIWA.
Warnanya : Pancawarna.
Uripnya (Nilainya) : 8 (Delapan).
Senjatanya : Padma.
Aksara Sucinya : I dan YA.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI