|
Dagang Banten Bali
|
//Pemujaan Datonta di Trunyan adalah contoh paling arkais, bahwa sebelum kedatangan dewa-dewa India, Bali telah memiliki kepercayaan asli. //
Bali Kuna ternyata memiliki sejarah peradaban Tuhan tersendiri sebelum ia kena pengaruh kebudayaan India. Istilah Brahma, Wisnu, dan Siwa yang kini lebih mengakar di Bali terang memiliki sejarah lain -- sebagai "hak milik yang didatangkan dari luar. Teks-teks tua semisal; Tantu Panggelaran, Kakawin Usana Bali, memberi penjelasan tidak langsung, bagaimana "aryanisasi" itu dilakukan di Bali, termasuk bagaimana "dewa-dewa luar" itu jenak di Bali, dan kini menjadi bagian utuh dari kepercayaan orang Bali.
Nun di abad purba, sebelum kebudayaan India mempengaruhi Bali, pulau ini bukanlah wilayah tanpa peradaban Tuhan. Pemujaan Datonta di Trunyan adalah contoh paling arkais, bahwa sebelum kedatangan dewa-dewa India, Bali telah memiliki kepercayaan asli. Datonta atau disebut juga Ratu Sakti Pancering Jagat, merupakan dewa tertinggi orang Trunyan, dianggap sebagai Batara Katon, dewa yang dapat dilihat.
Selain itu, orang Trunyan juga memuja Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar, permaisuri dari Ratu Sakti Pancering Jagat. Penduduk di Trunyan memahami ini sebagai Dewi Danu, karena memang bersama sang anak, Ratu Gde Dalem Dasar, sosok dewa ini dipercaya sebagai penguasa Danau Batur. Toh tidak cuma orang Trunyan memiliki dominasi Tuhan seperti itu, di seluruh Bali, di wilayah-wilayah peradaban lebih kuna senantiasa ada sebutan-sebutan untuk aspek kedewataan asli Bali. Sebut saja misalnya Ratu Maduwe Jagat, sebuatan untuk penguasa danau di Pura Batur.
Sebutan-sebutan kedewataan seperti Ratu Sunaring Jagat, panggilan untuk penguasa laut, atau sebutan Tuhan lokal semisal Ratu Manik Maketel, Ratu Mas Magelung, Ratu Gede Basang Bedel, Ratu Gede Purus Mandi, Ratu Gede Penyarikan, adalah contoh asli di mana aspek kedewataan itu sampai kini tetap akrab di Bali. Untuk pemujaan pada leluhur misalnya, orang Bali kuna kerap menyebut leluhurnya dengan Kaki Patuk untuk leluhur laki, Nini Patuk untuk leluhur wanita.
Tentu tak cuma aspek kedewataan saja yang bisa ditemukan dengan sebutan asli Bali. Ritual-ritual penting pun tetap bisa dirujuk ke wilayah paling kuna. Dalam upacara kesuburan, upacara penolak bala misalnya, dominasi Bali purba tetap dipraktikan utuh.
Banyak bukti bisa dirunut dari upacara pemujaan kesuburan zaman Bali purba. Dari amatan Made Sutaba, manakala manusia Bali purba memasuki masa bertani, upacara pemujaan pada dewi kesuburan jelas menjadi ritus utama dari ritus-ritus yang lain. Temuan tahta batu yang tersebar di sawah-sawah maupun tegalan di sejumlah desa-desa purba di Bali, menunjukkan betapa kuatnya pemujaan kesuburan kala itu. Di daerah Tabanan, semisal Desa Penebel tahta batu ini disebut pengrasak, di Buleleng disebut pepupun, sementara di Teja Kula, wilayah Buleleng timur dikenal dengan sebutan batu kukuk. Memasuki zaman lebih kemudian, pemujaan kesuburan dihadirkan dalam bentuk Celak Kontong Lugeng Luih. Berupa simbol kemaluan laki-laki dan wanita dalam adegan sanggama – yang dalam penamaan kemudian dihadirkan sebagai simbol lingga yoni, yakni personifikasi Siwa sebagai mahapencipta.
Laporan menarik dilakukan Purusa Mahaviranata (almarhum) berkaitan dengan ritus kesuburan di Desa Kayu Putih, Buleleng. Dikatakan, di Pura Desa Bale Agung desa setempat terdapat peninggalan berbentuk silinder yang diujungnya digambarkan bentuk kemaluan laki-laki secara naturalis kemudian dimasukkan ke dalam batu berlubang berbentuk lesung. Pelinggih ini mempunyai pemimpin upacara khusus disebut Kabayan. Pelinggih dan simbol batu yang dipuja di tempat ini disebut “Dewa Gede Celak Kontong,” mengingatkan orang pada pemujaan yang sama di Dalem Tamblingan. Palinggih ini sangat penting artinya dalam alam kepercayaan masyarakat, sehingga pada waktu upacara ‘ngusaba’ dan upacara ‘nangluk merana’ diadakan upacara dihadapan palinggih ini dan sebelumnya diadakan ‘mendak tirta’ ke Pura Munduk Luhur yang dianggap oleh masyarakat sebagai tempat memberikan kesuburan.
Di Bali selain pemujaan kesuburan lewat penghadiran Dewi Sri, pemujaan pada “tokoh” bernama Men Burayut, dengan atribut payu dara subur, dikerubuti banyak anak juga merupakan citra dari pemujaan kesuburan masyarakat Bali. Demikianlah ketika sistem kepercayaan orang Bali lebih tertata, hari pemujaan kesuburan dimasukkan dalam sistem kalender pawukon, datangnya setiap 210 hari, lazim disebut Tumpek Bubuh, diperuntukkan khusus untuk penghormatan pada tumbuh-tumbuhan. Sementara penghormatan untuk kesuburan binatang peliharaan dilakukan pada hari Tumpek Uye. Dari seni tampak kian jelas, bahwa kategori-kategori Indianisasi pada sejumlah upacara di Bali nyaris tiada berdasar. Justru sebaliknya, dilakukan penyegaran dan penamaan baru. Pemujaan kesuburan memang merupakan tradisi dunia, tidak menunjukkan dominasi kultur pendatang.
Upacara-upacara seminal ngusaba nini, bajang colong dalam upacara manusa yadnya, upacara kurban sapi yang lazim disebut jaga-jaga, dan banyak upacara khas Bali harus dirujuk hulunya pada peradaban Bali purba. Banyaknya temuan gundukan batu pemujaan, menhir, teras berundak, dan bentuk-bentuk pemujaan yang mempergunakan batu, semata menunjukkan peradaban Bali purba telah memiliki kepercayaan pada kekuatan –kekuatan alam – yang mana dalam peradaban Bali kemudian diterjemahkan sebagai kekuatan-dewa dewa penguasa alam. Maka berkomentarlah Dr Van der Hoop, tokoh terkemuka bidang arkeologis, bahwa pura-pura kuna di Bali tidak bisa ditelusuri asal-usulnya dari candi-candi India, tetapi harus dicari pada tempat-tempat suci atau tempat-tempat pemujaan berbentuk batu, megalitik.
Merujuk temuan paling purba di Pura Batu Madeg, Besakih, Made Sutaba membenarkan komentar Van der Hoop, bahwa cikal bakal Pura Batu Madeg adalah pemujaan batu megalitis, batu tegak sebagai simbul pemujaan roh leluhur, karena itu pura itu disebut Batu Madeg, batu tegak. Pura Besakih yang terdiri dari 86 gugusan pura-pura, pada awalnya merupakan pemujaan purba punden berundag-undag, tempat pemujaan roh leluhur. Menurut Sutaba, orang Bali purba sangat memulikan tempat-tempat tinggi, terutama gunung, karena orang Bali purba sangat percaya, bahwa di gunung yang tinggi itulah roh nenek moyang mereka bersemayam. Barangkali pemujaan pada Ratu Bukit dalam wujud laki-perempuan di teras teratas gugusan Pura Besakih merupakan palinggih tertua, bisa jadi tinggalan paling purba dari peradaban Besakih kini.
Kelenturan peradaban Bali purba menghadapi pengaruh asing ternyata tidak mengikis wajah aslinya. Maka akan keliru mencari rujukkan upacara asli Bali ke sumber-sumber teks India. Upacara semisal saba di Trunyan saba di Tigawasa jelas merujuk pada tradisi lampau, saat Bali belum kena pengaruh Hindu, lebih khusus lagi Hindu Majapahit.
Sepanjang sejarah masuknya pengaruh Hindu di Bali memang tidak menunjukkan ada tanda-tanda vandalisme, pemusnahan tradisi asli. Di Bali sebagaimana dikatakan Dr. A.J. Bernet Kempers, masa lampau dan masa sekarang adalah satu, utuh dalam paduan harmoni. “Dan orang Bali dahulu tidaklah lebih buta daripada kita terhadap pengaruh yang meluhurkan jiwanya,” kata Kempers penulis buku Bali Purbakala (1956).
Bali, menurut penilaian Kempers, yang kini masih sangat penuh akan kehidupan keagamaan dan kesenian, tentunya di masa lampau menjanjikan gambaran yang sangat menarik ketika cara-cara hidup Indonesia kuno berhadapan dengan kebudayaan Hindu, dan dapatlah sangat baik dibandingkan dengan sejarah kebudayaan Jawa dahulu: hanya tentu saja dengan coraknya sendiri. Untuk pengertian yang lebih baik dari apa yang dapat dinamakan “penghidupan secara Indonesia dengan secara Hindu” dan dari kebudayaan Indonesia pada umumnya, maka pengetahuan tentang Bali kuna ternyata tak dapat diabaikan.
Merujuk Bali Majapahit sebagai satu-satunya acuan berpikir dan tentu sama artinya dengan mengelebui peradaban. Dan sejarah tidak membuat orang kian cerdas ketika politik dominasi merajalela. Maka ketika orang bicara tentang peradaban Bali, sudilah menengok kearifan masa silam, di mana manusia Gilimanuk membangun peradaban sendiri – dan budaya agama kealaman kini belum tentu setara dengan pencapaian mereka.
I Wayan Westa
Penulis/Pekerja Kebudayaan