Minggu, 23 Agustus 2015

LINGGA YONI




Dagang Banten Bali



Pengertian Lingga Yoni
Pengertian mengenai Lingga-Yoni, yaitu sebagai lambang alat reproduksi lelaki dan perempuan.Dalam kamus Jawa Kuna Indonesia mendefinisikan: “Linga tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti keterangn, petunjuk; Lingga, lambang kemaluan lelaki (terutama Lingga Siwa dibentuk tiang batu), patung dewa, titik tugu pemujaan, titik pusat, pusat poros, sumbu”. “Yoni rahim, tempat lahir, asal Brahmana, Daitya, dewa, garbha, padma, naga, raksasa, sarwa, sarwa batha, sudra, siwa, widyadhara dan ayonia.
Bentuk Yoni yang ditemukan di Indonesia pada umumnya berdenah bujur sangkar, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, seringkali di bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. Pada salah satu sisi yoni terdapat tonjolan dan laubang yang membentuk cerat. Pada penampang atas Yoni terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat. Beberapa ahli mengemukakan bahwa bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), Jagati, Padma, Kanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga atau arca.
2.2 Lingga Yoni Sebagai Pratima
Seperti yang telah dibahas sebelumnya pratima merupakan perwujudan-perwujudan, bentuk, arca, personifikasi. Demikianlah perwujudan itu tidak merupakan bentuk yang sebenarnya(asli) dari dewa, tetapi sebagai manifestasi dari bentuk dewa, dan itulah sebabnya mereka yang menghormat langsung kepada dewa(tuhan). Salah satu bentuk manifestasi dari dewa tersebut salah satunya adalah berupa Lingga Yoni. Lingga dan Yoni mempunyai suatu arti dalam agama setelah melalui suatu upacara tertentu. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan mereka.
Lingga Yoni merupakan salah satu bentuk ikon Siva yang paling banyak digunakan, ditemukan hampir di semua mandir Siva. Bentuknya bundar, eliptik, citra aniconic, biasanya diletakan di atas dasar bundar, atau pitha. Sivalinga adalah simbol paling kuno paling sederhana dan Siva, khususnya Parasiva, Tuhan di luar semua bentuk dan sifat-sifat. Pitha merepresentasikan Parashakti, kekuatan Tuhan.
The Oxford Dictionary of World Religions menambahkan: “Lingga adalah simbol energi generatif. Menyebut ini sebagai “phallic worship” (pemujaan palus) adalah salah secara total memahami represenrasi secara miniatur atau bentuk simbolik, menciptakan dan melepaskan kekuatan dengan mana dia diasosiasikan.”Ada perbedaan sangat mendasar antara dua definisi pertama dengan dua definisi terakhir. Lingga sebagai simbol Ayah (Tuhan) dan Yoni sebagai Ibu (pertiwi), sebagai alam semesta, telah dipuja oleh umat Hindu sejak 3.500 tahun sebelum masehi. Lingga dan Yoni diwujudkan menjadi tempat suci atau bangunan suci dalam bentuk arca pelinggih, candi, seperti bangunan Padmasana yang kita kenal sekarang. Ciri utama yang melekat pada bangunan arsitektur suci “Lingga” atau “Linga” adalah:
1. Wujud Lingga, bentuk vertikal, ujung oval, umumnya terbuat dan batu andesit sebagai wujud cahaya Brahman yang transendental untuk menciptakan alam semesta beserta isinya.
2. Aksara “OM”(AUM), gema suara Brahman dan simbol kekuatanNya untuk penciptaan.
3. Bangunan Suci “Yoni” tempat tegaknya “Lingga” untuk menciptakan alam semesta, dengan kelengkapan kekuatan Bedawangnala (naga, kura-kura) yang didepannya Nandi, mengawal, menjaga keseimbangan ciptaan Nya.
Dalam Ganapatitattwa perwujudan batara siwa dilambangkan dengan lingga. Lingga pada hakekatnya mempunyai arti , peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat beragama Hindu. 

Sabtu, 22 Agustus 2015

Sejarah Nyepi, Dari India, Majapahit, Hingga ke Bali

 
 
 
Dagang Banten Bali

 
 https://www.facebook.com/SejarahBali?ref=stream
 
Sejarah Nyepi, Dari India, Majapahit, Hingga ke Bali
Perayaan Tahun Baru Saka atau Nyepi dirayakan setiap tahun oleh umat Hindu di Indonesia dan di negara lainnya. Bagaimana sejarah atau awal mula Tahun Saka dan Nyepi ?
Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang.
Mantra-mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan.
Tingkatan isi Weda yang demikian itu menyebabkan Maharesi Hindu membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya.
Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir (human origin).
Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (India).
Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta.
Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.
Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad pertama sebelum masehi.
Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu tersebut di atas. Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India.
Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka.
Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu.
Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat.
Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu.
Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).
Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra).
Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.
Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.
Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan.
Di alun-alun Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.
Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII.
Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala.
Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga.
Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian.
Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi. [bbn/riset bbcom/parisadha]

Hindu Agama Air

Hindu Agama Air apa Agama Api ?
Agama Hindu di Indonesia, terutama di Bali, pernah dikenal atau disebut dengan Agama Tirtha atau “Agama Air”. Ini karena begitu intensnya penggunaan Air (suci) dalam semua upacara keagamaan dan juga dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sehari-harinya. Bila diperhatikan hampir pasti atau bahkan selalu akan kita dapatkan air dipercikkan.
Sekilas ini tampak berlawanan dengan agama Veda awal yang sering disebut oleh orang-orang justru sebagai “agama api”. Hal ini juga disebabkan karena hampir semua upacara pengorbanan (yajna) dalam Veda adalah Homam atau upacara api suci. Pusat kehidupan dalam masyarakat Veda adalah tungku Homam, tempat dipujanya para Devata dan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yajnapurusha melalui Agnihotra.
Lalu Hindu Lebih tepat disebut Agama Tirtha Apa Agama Api ya?


Dagang Banten Bali

copas
 http://www.hindugaul.com/index.php/76-hindu-agama-air-atau-agama-api
Agama Veda awal yang sering disebut oleh orang-orang justru sebagai “agama api”. Hal ini juga disebabkan karena hampir semua upacara pengorbanan (yajna) dalam Veda adalah Homam atau upacara api suci. Pusat kehidupan dalam masyarakat Veda adalah tungku Homam, tempat dipujanya para Devata dan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yajnapurusha melalui Agnihotra.
Bahkan disebutkan bahwa pengantara utama antara manusia dengan para deva adalah Agni, Api. Mantra-mantra Veda dimulai dengan …agnimile purohitam…, dan seterusnya. Sukta terpenting dalam Veda, Sri Purusha-sukta, menunjukkan bahwa bahkan alam semesta diciptakan melalui Yajna, terutama api suci. Begitu pula mantra persembahan yang terkenal …brahma-arpanam brahma-havir brahma-agnau… jelas menunjukkan bahwa upacara api suci, Homa, atau Agnihotra adalah bentuk upacara Veda terpenting. Lalu bagaimana dengan agama Hindu yang mengutamakan penggunaan Air? Apakah tidak sesuai dengan Veda?

Ada suatu bagian dalam Veda, Rik Taittiriya-aranyakam yang disebut Surya Namaskara Prashnam yang memiliki 32 Anuvakam (bagian). Anuvaka ke-22 memuat yang dikenal sebagai Mantra Pushpam, yang terdiri dari 12 Mantra (Pancasat). Mantra Pushpam ini memiliki kedudukan yang sangat penting sampai saat ini dalam masyarakat penganut Veda. Baik dalam upacara Homam tradisional maupun pemujaan umum di Pura dengan kehadiran Archa, dsb. mantra-mantra ini selalu diucapkan.
Boleh dikatakan tidak ada upacara tradisional Veda tanpa pengucapan Mantra Pushpam. Rangkaian pertama dari Mantra Pushpam adalah Pancasat ke 78-84. Yang ke dua adalah Pancasat 85 dan 86, bersama dengan rangkaian ke tiga yaitu Pancasat 87-89, berhubungan dengan pelaksanaan Yajna yang disebut Aruna Ketuka Sayanam. Mantra-mantra dari rangkaian pertama (Rik 78-84) mengungkapkan kepada kita bahwa APAH (Air) adalah merupakan dasar yang menyokong (adharam) dan prinsip yang mengandung (adheyam) bagi semua unit waktu (Kala) beserta semua ciptaan termasuk juga Prana (energi kehidupan), segala jenis tanaman pangan, Tattva-tattva, dan Chanda atau bentuk-bentuk susunan mantra seperti Gayatri, Anustuph, dsb. Rik-rik ini (78-84) menyatakan bahwa orang yang bermeditasi pada Air, Jalam atau Apah sebagai “personifikasi semua Devata”, Sarva Devata Svarupam (dengan demikian berarti bermeditasi kepada Tuhan yang hadir dalam Air), akan memeroleh segala yang baik sebagai hasilnya.

Ada disebutkan pula dalam Veda Taittiriya Samhita, “apohista mayoh bhuvastha na urjeh dhadatana – apoh janayata ca nah, Wahai Apah, Engkau adalah yang menganugerahkan kebahagiaan, maka anugerahilah kami dengan makanan (hidup) dan penglihatan yang agung serta indah (dari Kebenaran Tertinggi). Jadikanlah kami turut berbahagia dalam kebahagiaan-Mu dalam hidup saat ini juga. Setelahnya semoga kami mencapai kediaman-Mu yang penuh kenikmatan.” Rik ini menunjukkan bagaimana Air (Apah) dipuja sebagai Sarva Devata Svarupa dan identik dengan Tuhan Sendiri. Uttararchika Saman (Bagian ke dua dari Samaveda Samhita) kembali secara khusus menyatakan hubungan antara Apah dan anugerah yang kita peroleh dengan memahaminya sebagai Sarva Devata Svarupam.
“Wahai Air, Engkau menghapuskan segala noda dan demi menyucikan diri dari segala noda kami menghampiri-Mu. Anugerahilah kami keturunan yang mampu memanfaatkan Air dengan benar”(Saman ke-1839). Bagi para Jnani, Air bukan sekedar pemuas dahaga dan pembersih kekotoran badan, namun memiliki prinsip Ketuhanan yang terkandung di dalamnya.
Berkaitan dengan peran penting Agni dalam Veda seperti yang umumnya kita ketahui, maka Atharva (Anuvaka ke-5, 20.2) mengungkapkan hubungan antara Agni dengan Apah, “Semua Agni bersemayam dalam Air (seperti Vadava-analam/panas bumi dalam lautan, petir dalam awan hujan, panas dalam pencernaan manusia, panas yang mematangkan buah-buahan, dsb) – semoga semua api ini dimanfaatkan dengan benar”.
Jadi bahkan Api/Agni terkandung dan berhubungan erat dengan Air. Bila kita kembali ke Mantra Pushpam, maka pancasat ke-84 memvisualisasikan seluruh alam semesta sebagai sebuah kapal besar yang mengarungi lautan Air yang mahaluas. Seluruh alam semesta disokong oleh Air yang merupakan Sarva Devata Svarupa dan masuk ke dalam Purusa sebagai sumbernya. Seorang Upasaka yang memahami kebenaran sejati yang terkandung dalam Air sedemikian rupa disebut Sthitaprajna yang akan memeroleh anugerah menjadi Pushpavan (dilimpahi kehormatan dan kemuliaan), Prajavan (memeroleh keturunan yang baik), dan Pasuman (memiliki banyak ternak).

Sebelumnya kita diberikan gambaran bagaimana seorang jiwa yang telah sangat maju rohaninya mampu memahami hubungan kosmis yang menyatukan segalanya sebagai emenasi Tuhan Tertinggi, sebagaimana proses penciptaan diuraikan dalam Purusha-suktam. Setelah itu dijelaskan hubungan air dengan seluruh alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Pancasat berikutnya menyatakan, “Segenap alam semesta ini berakar dalam Air. Intisari (rasam) dari Air bercahaya, rasam itu terwujud sebagai sinar putih dari orbit matahari. Hamba mengumpulkan rasam ini dan menghaturkannya dalam wadah-wadah air yang suci.”
Kata rasam dalam bahasa Sanskrit dapat berarti bermacam-macam. Di sini menyatakan intisari kehidupan, yang memberikan kekuatan hidup, dan intisari itu terkandung dalam air. Mantra ini dilantunkan saat menghaturkan Soma-rasam kepada para Deva dalam suatu upacara Veda yang disebut Soma-yajna. Perasan Soma (ekstrak) adalah kekuatan kehidupan yang kekal. Ketika kekuatan ini dihubungkan dengan Air, dia divisualisasikan sebagai sinar putih matahari yang kemudian disalurkan ke dalam kumbham, periuk wadah Air Suci. Dengan menyatakan bahwa akar seluruh dunia adalah Air, maka ditegaskan kembali bahwa intisari kekuatan dalam airlah yang mewujudkan seluruh dunia ini.
Dari manakah sumbernya? Secara mental Surya Mandala, bulatan matahari, adalah tempat bersemayamnya intisari ini. Tuhan Yang Maha Esa, Parabrahman, kemudian dipahami sebagai sumber energi matahari dan juga secara rohani hadir sebagai Jiwa Utama dari matahari, Surya-narayana. Oleh karena itu, upasaka yang memahami Tuhan sebagai yang divisualisasikan bersemayam dalam Surya-mandala, memahami pula sumber dari rasam yang terkandung dalam Air, setelah itu dia juga mampu memeras dan mengumpulkannya dalam wadah suci. Dengan demikian Air ini diberkati dengan intisari kekuatan kehidupan.
Keseluruhan proses demikian disebut Yajna Aruna Ketuka Sayanam. Siapa pun yang melaksanakan Yajna ini dengan tepat, maka dia akan “kembali menyatu dengan matahari”, Surya Sayujyam. Maknanya adalah dia akan kembali kepada Sang Sumber Segalanya, Tuhan Tertinggi yang divisualisasikan bersemayam dalam Surya Mandala. Dia yang memuja Aruna Ketuka Agni, memahami-Nya sebagai intisari dari Air, diberkati dengan kata “Mithunavan bhavati”, yaitu akan memeroleh kebahagiaan di masa kehidupannya di dunia saat ini dan juga setelahnya. Keseluruhan bagian Veda ini menunjukkan bahwa praktik keagamaan yang memusatkan pada air, sesungguhnya tidak berbeda dari yang berpusat pada api. Terlebih lagi ditunjukkan hubungan istimewa antara Surya dengan Air.
Mengingat bahwa agama Hindu yang berkembang di Indonesia, khususnya di Bali, memang memiliki corak berpusat pada Surya, maka sebenarnya dengan merujuk pada sumber-sumber asli Veda ini sangatlah tidak mengherankan jika air memegang peranan yang amat penting. Pelaksanaan Surya-sevana dan “pembuatan air suci” oleh para Sulinggih kita sungguh mencerminkan praktik rohani (upashana) dari bagian Veda ini.

Benang Tridatu






Benang Tridatu. _________________________ Mungkin Sahabat Dharmika sudah tidak asing lagi dengan jenis benda ini. Apakah Benang tridatu itu? Mohon diperhatikan gambar, bahwa benang atau gelang banyak jumlahnya yang dililitkan dalam satu tagan (gambar terakhir) ada yang tidak dapat disebut benang tridatu (menurut konsep Hindu) karena warnanya tidak pas.Pembuatannyapun harus memenuhi syarat. Kalau tidak demikian, maka benang ini hanya sebagai assesoris. Karena itu, silahkan ikuti dibawah ini. _________________________ Mengenal Lebih Jauh Benang Tridatu. Konsep Ketuhanan Hindu. Banyak yang mengatakan bahwa Hindu menyembah banyak Tuhan. Ini perlu diluruskan walau sebenarnya tidak perlu karena hanya menghabiskan energi untuk menjawab hal-hal yang remeh. Penjelasan lebih lanjut tentang bahwa Hindu bukan penyembah banyak Tuhan, memang pada saat ini sangat dibutuhkan, karena sraddha dan pengetahuan agama oleh umat masih kurang atau bahkan ada yang eksrtrim, bahwa Hindu adlah budaya Bali. Akibat dari pengetahuan yang masih kurang, tidak jarang generasi muda menjadi bimbang dan bahkan sampai luntur dengan keyakinannya, sehingga ada yang sampai beralih keyakinan. Hal ini tidak terlepas dari bahwa mereka senantiasa mendapat pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab dengan tepat, tidak bisa mereka jawab dengan perasaan yakin akan kebenaran jawabannya, sehingga akhirnya banyak yang luluh dengan cemohan itu dan mereka ragu dengan agamanya sendiri. Secara singkat, pada dasarnya, ada dua konsep ke Tuhanan dalam Hindu yaitu Saguna Brahman dan Nirguna Brahman. Dalam tataran Nirguna Brahman, maka kedudukan Tuhan (Brahman) dalam posisi tidak terbayangkan (sudah umum diketahui oleh masyarakat). Hal ini sering juga disebut acintya (A=tidak, cintya dibayangkan), wyapi wyapaka-nirwikarah. Acintya tidak dapat dibayangkan (tan kagrahita dening manah). Sifat yang acintya ini bisa meresap kedalam semua ciptaanNya (Pantheisme), CiptaanNya berada didalam Tuhan (Panentheisme), sehingga sering dijabarkan sebagai monisme (yang banyak itu Satu). Juga dalam wacana Sanatana Dharma, Tuhan/Brahman juga ada dikonsepkan sebagai Saguna Brahman, Tuhan yang dengan sifat-sifat, sering disimbolkan dengan tiga kekuatan atau energi atau shakti : Brahma-Wisnu dan Shiwa. Dalam kehidupan sehari-hari inilah kemudian, tiga shakti ini diwujudkan dalam berbagai simbul seperti : Kahyangan Tiga di Desa Pekraman (Puseh-Dalem dan Bale Agung) dan yang terakhir dengan simbul benang Tridatu. Benang Tridatu. Sejarah Sejarah pemakaian benang TRIDATU dimulai pada abad 14-15 saat Dalem Watu Renggong berkuasa menjadi raja diraja di Bali, saat menaklukkan dalem Bungkut / Dalem Nusa, oleh patih Jelantik, telah terjadi kesepakatan anatara Dalem Bungkut/Nusa dengan Dalem Bali, bahwa kekuasaan Nusa diserahkan kepada Dalem Bali begitu pula rencang dan ancangan Beliau (Ratu Gede Macaling) dengan satu perjanjian akan selalu melindungi umat Hindu / masyarakat Bali yang bakti dan taat kepada Tuhan dan leluhur, sedangkan mereka yang lalai akan dihukum oleh para rencang Ratu Gede Macaling,. Bila Beliau akan melakukan tugasnya maka Kulkul Pajenanengan yang kini disimpan dan disungsung di Puri Agung Klungkung akan berbunyi sebagai pertanda akan ada malapetaka atau wabah, sehingga supaya dapat membedakan masyarakata yg Bakti dengan tidak ditandai dengan pemakaian benang TRIDATU, dan sejalan dengan identitas maka benang TRIDATU merupakan Indentitas semeton Hindu Bali yang tidak tergantikan oleh apapun karena selalu dilindungi oleh aura kedewataan. Namun kini Tridatu tidak saja untuk Hindu di Bali, namun sudah menyebar ke Manca Negara, terakhir yang terbanyak di Rusia. Makna Benang dalam upacara keagamaan umat Hindu dimanfaatkan sebagai sarana dan prasarana upacara, baik itu menyendiri atau pada bebanten yang digunakan. Benang pada banten seperti dalam banten pajati, pabuat, pamendak dengan segeh agung, mengikat jempol kaki dan tangan orang meningal, pamegat, pementasan wayang gedog dan masih banyak lagi. Kegunaan benang dalam upacara keagamaan umat Hindu demikian memiliki makna khusus yang perlu ditelaah lebih mendalam. Demikian juga dengan benang Tri Datu yang perlu diuraikan, dan dimaknai. Biasanya dipakai gelang tangan, kalung, berisi uang kepeng, dan lain-lain. Ada angapan bahwa benang Tri Datu sebagai penjaga diri, jimat, sekedar ikut-ikutan trend, paica atau banyak lagi. Hampir semua orang Bali yang beragama Hindu mengetahui benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri datu. Secara etimologi Tri Datu berasal dari kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti raja, jadi Tri Datu berarti tiga raja. Tiga raja di sini adalah tiga Dewa utama dalam agama Hindu. Tiga Dewa dimaksud adalah Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Sastra-sastra agama menguraikan bahwa Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warn

Wija atau bija adalah lambang Kumara





Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.
Tata Cara Menempatkan Bija
Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an / Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan. Ibaratnya menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan haruslah di tanah yang subur. Maka dari itu menaruh bija di badan manusia ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an dalam diri.
Hendaknya bija diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari kedewataan /ke-Siwa-an. Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa. Yaitu sebagai berikut:
1. Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
2. Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
4. Di dalam mulut atau langit-langit.
5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.
Pada umumnya dikarenakan ketika persembahyangan dalam sarana pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija. Maka cukup difokuskan pada 3 titik yaitu :
1. Pada Anja Cakra, sedikit diatas, diantara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
2. Pada Wisuda Cakra, Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
3. Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Kenyataannya hingga dewasa ini dalam masyarakat Hindu-Bali, selain pada titik-titik diatas. Ada juga yang meletakkan pada titik-titik yang lain. Misalnya ditaruh diatas pelipis, sebelah luar atas alis kanan dan kiri. Ada juga yang menaruh pada pangkal di telingah bagian luar.
Bisa dikatakan kurang tepat menaruh bija selain pada 3 titik-titik yang telah disebutkan diatas. Karena titik-titik yang lain dalam tubuh kurang peka terhadap sifat kedewataan atau Tuhan yang ada dalam diri manusia. Sehingga cukup sulit menumbuh kembangkan sifat Kedewataan dalam diri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari penggunaan Bija dalam persembahyangan ialah untuk menumbuh kembangkan sifat Kedewataan/ Ke-Siwa-aan / sifat Tuhan dalam diri. Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu tidak berada di surga atau di dunia tertinggi melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.

Lontar-lontar yang ada di Bali

Dagang Banten Bali


Lontar-lontar yang ada di Bali umumnya bercorak Siwaistik, hal ini erat kaitannya dengan dasar kepercayaan Hindu yang berkembang di Indonesia dan di Bali khususnya. Adapun jenis-jenis lontar yang bercorak Siwaistik (dalam Sura, 1993), adalah sebagai berikut :
......
Lontar-lontar Tattwa.
Lontar-lontar jenis ini memuat ajaran Ketuhanan, di samping itu juga ajaran tentang penciptaan alam semesta, ajaran tentang kelepasan dan sebagainya. Yang tergolong lontar-lontar jenis ini antara lain : 1) Bhuwanakosa, 2) Ganapatitattwa, 3) Jnanasiddhanta, 4) Bhuwana Sangksepa, 5) Sanghyang Mahajnana, 6) Tattwajňāna, 7) Wrhaspati Tattwa, 😎 Siwagama, 9) Siwatattwapurana, 10) Gong Besi, 11) Purwabhumi Kamulan, dan lain-lain.
......
Lontar-lontar Etika
Lontar-lontar jenis ini berisi ajaran tentang etika, kebijakan tuntunan untuk menjadi orang sadhu, dan yang termasuk jenis lontar ini yaitu : 1) Sarasamuscaya, 2) Slokantara, 3) Siwasasana, 4) Agastyaparwa, 5) Wratisasana, 6) Silakrama, 7) Pancasiksa, 😎 Rsi Sasana, 9) Putra Sasana.
......
Lontar-lontar Yajna
Lontar-lontar tentang yajna banyak sekali jenisnya. Umumnya lontar ini berisi petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan yajna, baik mengenai jenis banten atau sesajennya, perlengkapannya dan sebagainya. Beberapa jenis lontar ini antara lain :
.....
Yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan Dewa Yajna meliputi lontar : (1) Dewa Tattwa, (2) Sundarigama, (3) Wrhaspatikalpa, (4) Catur Wedhya.
.......
Yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan Pitra Yajna adalah lontar : (1) Yama Purwana Tattwa, (2) Yama Tattwa, (3) Empu Lutuk Aben, (4) Kramaning Atiwa-tiwa, (5) Indik Maligya, (6) Putru Sesaji, (7) Bacakan Banten Pati Urip.
......
Yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan Rsi Yajna, meliputi lontar : (1) Kramaning Madiksa, (2) Yajna Samkara.
.....
Yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan Manusa Yajna yaitu lontar : (1) Dharma Kahuripan, (2) Eka Pratama, (3) Bacakan Banten Pati Urip, (4) Janma Prawerti, (5) Puja Kalapati, (6) Puja Kalib.
Yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan Bhuta Yajna adalah lontar : (1) Ekadasarudra, (2) Pancawalikrama (3) Indik Caru (4) Bhama Krtih (5) Lebur Sangsa, (6) Pratingkahing Caru.
Lontar-lontar yang erat hubungannya dengan pelaksanaan Yajna adalah lontar-lontar Wariga, antara lain : (1) Wariga, (2) Purwaka Wariga, (3) Wariga Gemet, (4) Wariga Krimping, (5) Wariga Pararasian, (6) Wariga Palalawangan, (7) Wariga Catur Winasa Sari, (😎 Wariga Winasa Sari.
Lontar-lontar Puja
Lontar-lontar puja erat sekali kaitannya dengan lontar-lontar Yajna. Kalau lontar Yajna berisi petunjuk-petunjuk pelaksanaan Yajna, maka lontar puja berisi puja untuk menghantarkan Yajna dalam upacara agama. Lontar-lontar ini juga dijadikan pegangan oleh para sulinggih/pedanda pada waktu “memuja” dan “muput” upacara agama. Lontar-lontar puja ini antara lain: 1) Weda Parikrama, 2) Surya Sewana, 3) Arghapatra, 4) Puja Ksatrya, 5) Puja Mamukur, 6) Kajang Pitra Puja,dan 7) Kusumadewa.

Menurut Lontar Wariga Catur Winasasari ada sembilan jenis Padmasana sebagai sthana Tuhan dalam wujud Siwa-Buddha. Padmasana ini diberikan nama sesuai dengan posisinya di dalam arah mata angin: dik dan widik. (1) Padma Kencana di Timur, (2) Padmasana di Selatan, (3) Padmasari di Barat, (4) Padma Lingga di Utara, (5) Padma Asta Sadana di Tenggara, (6) Padma Noja di Barat Daya, (7) Padma Kara di Barat Laut, (😎 Padmasaji di Timur Laut, dan (9) Padma Kurung di tengah-tengah (madya) beruang tiga dan menghadap ke "lawangan" (pintu keluar).
Berdasarkan atas ruang singgasana dan tingkat pepalihannya, Padmasana dibedakan atas:
1. Padmasana Anglayang: Padmasana ini beruang tiga mempergunakan bedawang nala dengan palih tujuh.
2. Padma Agung: Padmasana ini beruang dua mempergunakan bedawang nala dengan palih lima.
3. Padmasana: Padma beruang satu dengan palih lima mempergunakan bedawang nala.
4. Padma Sari: Padma ini beruang satu dengan palih tiga, tidak mempergunakan bedawang nala.
5. Padma Capah: Padma ini beruang satu dengan palih dua dan mempergunakan bedawang nala.
Padma Sari dan Padma Capah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai tempat pengayatan (penyawangan) dan pedagingan-nya hanya diisi pada bagian puncak dan dasar saja. Sedangkan yang lain, yang menggunakan bedawang nala, pedagingan pada saat upacara pemelaspas (penyucian) menggunakan tiga pedagingan pada saat upacara, yaitu dasar, tengah (madya) dan atas (puncak). Melalui proses ini bangunan Padmasana yang merupakan manifestasi konsep Padma dalam Siwa-Buddha Tattwa menjadi tersucikan dan menjadi sthana Bhatara Siwa dan/atau Bhatara Buddha. Pada bangunan (pelinggih) ini Bhatara Siwa dan Buddha berwujud niskala, gaib, parama suksma, parinirmala sehingga tidak lagi diwujudkan dalam bentuk nyasa-nyasa, seperti arca, lingga, dan sebagainya. Ini juga disebut Acintya Puja, tidak lagi Murti Puja.

Yadnya





·

Dagang Banten Bali



Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda 

Renungan Sabtu
Hewan yang Dibunuh untuk Yadnya
SERINGKALI ada yang bertanya, apakah boleh hewan dibunuh untuk dipersembahkan sebagai yadnya dalam ritual Hindu? Pertanyaan ini muncul beberapa tahun terakhir, sesuatu yang tak pernah ditanyakan di masa lalu. Pertanyaan muncul karena ada “aliran dalam Hindu” yang ketat dalam melaksanakan prinsip ahimsa (tak boleh menyakiti apalagi membunuh) yang disertai pula prinsip vegetarian yang kuat. Dengan prinsip seperti itu maka semua persembahan kepada Tuhan tidak memakai daging.
Bahkan konon ada ritual caru yang tidak memakai hewan karena bisa diganti dengan bahan lain yang bukan binatang. Nah, apakah itu yang benar atau apakah membunuh hewan untuk korban itu yang benar, ajaran Hindu tak memberikan pembenaran yang absolut. Semuanya ada rujukan dan umat silakan memilih sesuai keyakinan. Beragama itu berdasarkan “rasa hati” yang tentu saja pijakannya adalah keyakinan. Setelah itu baru keiklhasan dan ketulusan.

Dalam lontar Sunarigama disebutkan ada dua cara untuk melakukan ritual. Pertama dengan menghaturkan sesajen (banten), terutama bagi masyarakat umum. Yang kedua dengan tapa brata yoga samadhi, terutama untuk mereka yang sudah mencapai tingkat kerohanian tertentu dan “wruh ring tattajnana”. Sama-sama dengan tujuan mencapai suatu kesucian, baik suci lahir dan batin maupun suci pada lingkungan.
Bagi yang menggunakan sesajen memang diperbolehkan mempersembahkan segala hasil bumi termasuk hewan peliharaan. Justru hasil bumi dan hewan yang dipakai persembahan itu akan tumbuh semakin baik dan hewan yang dibunuh akan “lahir kembali” dalam status yang lebih tinggi dari keadaan semula. Ini juga disebutkan dalam sloka Manawa Dharmasastra V.40. Bunyinya: Osadyah pasawa wriksastir, yancah pakhanam praptah, yajnartham nidhanam praptah, praapnu wantyutsritih punah. Terjemahannya: Tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, ternak, burung lainnya yang telah dipakai untuk upacara akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang.
Karena korban itu adalah “penyucian” maka buah yang dipetik dari pohonnya untuk persembahan akan membuat pohon itu berlipat buahnya pada musim selanjutnya. Dan hewan, termasuk burung dan ikan, akan menjadi “suci” sehingga pada kelahirannya kelak, statusnya lebih baik dari semula.
Dalam ritual Hindu di Bali pada tingkat caru yang lebih besar dengan menggunakan banyak binatang, ada upacara yang disebut mepepada. Ini adalah ritual untuk membuat hewan itu “suci” sebelum dijadikan korban. Pendeta yang memimpin ritual akan memberikan doa-doa sesuai dengan wujud hewan itu, apakah berkaki dua atau empat, apakah burung atau ikan dan seterusnya. Inti doa adalah agar roh hewan itu “menghadap” pada dewa sesuai dengan yang telah digariskan arahnya dan jika kemudian lahir kembali akan menjadi manusia, bukan lagi binatang. Hewan itu kemudian diberikan busana (dililitkan kain) di bawa berkeliling di tempat upacara sesuai putaran jarum jam, diperciki tirta (air suci) dan seterusnya disembelih dengan “penuh kasih sayang tanpa kebencian”. Begitu aturannya, bahwa pelaksanaannya mungkin tak terasa ada “kasih sayang” saat menyembelih itu soal lain.
Dalam sloka Manawa Dharmasastra sebelumnya (MD V.39) sudah ditegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara korban dan korban ini sudah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi dan isinya. Dengan begitu unsur ahimsa tidak berlaku di sini karena baik hewan korban maupun umat yang beryadnya sama-sama untuk mencapai kesucian dalam ritual itu.
Bagaimana dengan pantangan makan daging? Jika hewan yang disembelih itu untuk yadnya yang berarti sudah dilaksanakan “penyucian” maka dagingnya pun tak masalah untuk disantap. Tapi untuk hal ini terjadi silang pendapat karena sumber sastra pun ada banyak. Manawa Dharmasastra sloka V.33 menyebutkan bahwa seorang dwijati (pendeta) haruslah tidak makan daging. Namun disebutkan “jika memakannya tidak bertentangan dengan aturan”. Nah ini sering dijadikan pembenar, karena hewan yang disembelih “sesuai dengan aturan” maka dagingnya bisa dimakan. Itu sebabnya pendeta Hindu di Bali tak semuanya vegetarian, ada yang masih makan daging tapi terbatas, misalnya, hanya daging bebek.
Dengan begitu marilah kita arif, tidak mencemoh orang melakukan yadnya dengan mengorbankan binatang, tetapi juga tidak menyalahkan orang yang tak mau mengorbankan binatang. Biarkan mencari jalannya sendiri sepanjang tidak ada yang dirugikan.