Kamis, 14 September 2017

Padudusan






Pedudusan 6 tanding 
Pedudusan 8 tanding 


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Padudusan Alit adalah upacara yadnya yang digunakan pada upacara tingkat madia di Sanggah Pasaksi yang  memakai Catur Rebah Babangkit Macagak/Bogem yang dalam tetandingan banten bali Aga, Sasananing Tukang Banten (26-habis), "Eteh-eteh Padudusan" disebutkan :
  • Untuk bungkak atau kelapa muda diperlukan 5 jenis airnya yaitu terdiri dari kelapa gading, kelapa hijau, kelapa bulan, kelapa merah/udang, dan kelapa sudamala yang dilengakapi dengan :
    • Pada pangedangan atau periuk tanah yang agak besar, berisi gambar nagapasa, dan di tengah-tengahnya gambaran padma selain itu digunakan sebuah kendi dan empat buah periuk disebut “Catur Kumbha”.
    • Tiap periuk diikat dengan benang masing-masing disesuaikan dengan warnanya seperti untuk yang di timur memakai benang warna putih, merah di selatan, kuning di barat dan hitam di utara, serta yang di tengah-tengah dengan benang campuran dari keempat warna tersebut.
      • Di dalam periuk masing-masing diisi bijabunga sesuai warnanya, serta  air yang diambil dari tempat-tempat yang dipandang suci.
      • Menggunakan cucukan yaitu binantang yang dipakai sebagai simbolis untuk mengambil segala ketidaksucian pada sebuah tempat, diri seseorang ataupun bangunan, upakara yang mulutnya dicucuk-cucukkan pada yang bersangkutan.
Pada Padudusan Alit,  pemujaannya ditujukan ke hadapan  Panca Dewata yaitu Dewa Iswara, Dewa Brahma, Dewa Mahadewa, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa.

Pedudusan 6 tanding : 
1.   aled meplekir, peras 2 tumpeng putih yi beras porosan benang kulit peras, tumpeng 2, raka, 

2.   aled meplekir, peras tumpeng putih kuning yi beras porosan benang kulit peras, tumpeng putih dan kuning, raka, orti,

3.   aled meplekir, pungun-pungun yi kebesan kampil, raka, orti, peras tulung payasan, 

4.   aled meplekir, kursika yi 5 tumpeng panca warna ( putih, kuning, selem, barak, brumbun ), raka, orti, peras tulung payasan, 

5.   aled meplekir, catur warna yi 4 coblong isi nasi 4 warna (barak, selem, putih, kuning), raka, peras tulung payasan, 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

6.   aled meplekir, gelar sanga (9 ceper isi kripik pisang, tape, bantal cenik, jaja, nasi saur), raka, peras tulung payasan, 



Pedudusan 8 tanding 
1.   aled meplekir, peras 2 tumpeng putih 
2.   aled meplekir, peras tumpeng putih kuning 
3.   aled meplekir, pungun-pungun yi 
4.   aled meplekir, kursika yi 
5.   aled meplekir, catur warna yi 
6.   aled meplekir, gelar sanga 
7.   aled meplekir, peras (beras, porosan, benang, kulit peras) 2 tumpeng putih yi klatkat sudamala, orti, raka, 

8.   aled meplekir, peras 2 tumpeng putih

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Rabu, 13 September 2017

Hindu Dharma




CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI



Agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan abad ke 8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa di Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Tengah, yang berasal dari abad ke 8.


Menurut urian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke 11, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usana Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Kahyangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa Beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajah Mada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke 19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke 16. Jasa Beliau amat besar dalam bidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula di bidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja, Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya Kanta tahun 1925 di Singaraja, perhimpunan Tjatur Wangsa Dirga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Pandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan Piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s/d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Apa yang disebut Hindu Dharma Indonesia sejak tahun 1959, yaitu sejak agama Hindu diakui secara formal oleh pemerintah Indonesia sebenarnya adalah perkembangan lebih lanjut ajaran Siwa-Buddha yang telah berkolaberasi dengan sekte-sekte dan juga dengan elemen-elemen asli Nusantara. Istilah ini sering dijumpai di dalam teks-teks kesusastraan Jawa Kuno dan juga di dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja baik di Jawa maupun di Bali. Istilah inilah yang digunakan oleh para sarjana yang telah melakukan penelitian secara mendalam di dalam bidang ini.
OM Shanti.
 


Selasa, 12 September 2017

Sejarah Hindu Bali


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Kehancuran Majapahit tahun 1478, bukannya menjadi pelajaran bagi umat Hindu di Bali. Seorang pedarmayatra (“pegungsi”) dari Majapahit diangkat menjadi Bagawanta kerajaan di Gelgel. Beliau adalah Danghyang Nirarta.
Tahun 1489, sebelas tahun setelah Kerajaan Majapahit Runtuh, Daghyang Nirarta datang ke Bali dengan membawa ajaran-ajaran yang sudah dipengaruhi oleh peta politik global saat itu (peta politik global abad 14-16 M ), yaitu konsep kasta-kasta dan perbudakan. Danghyang Nirartha juga melarang anak-anaknya menyembah patung-patung. (lihat : Bisama Danghyang Nirartha kepada keturunannya), ini jelas mengadopsi Al Quran yang menganggap patung sebagai Berhala.
Di Lombok Danghyang Nirarta mengajarkan Islam wetu telu, ajarannya dapat dilihat dalam geguritan Islam wetu telu, beliau bergelar Haji Duta Semeru, konon entah benar apa tidak beliau sudah pernah naik haji ke Mekkah dan namanya menjadi Haji Gureh (Singgih Wikarman,1998). Ada ceritra kesamaan kemampuan antara Danghyang Nirarta dengan Syekh Siti Jenar - tokoh sufi (Islam) yang dianggap Murtad oleh para Wali, yaitu sama-sama mampu menghidupkan cacing jadi manusia.
Menurut Babad Brahmana: “sewaktu Danghyang Nirarta tiba di Bali, terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Putri beliau yang bernama Ida Ayu Swabawa dicemari dan diperlakukan tidak senonoh oleh penduduk. Mendengar kisah sedih putrinya tersebut, Danghyang Nirartha berkenaan memberikan ajaran ilmu Rahasya keparamartaan yang mampu melenyapkan segala dosa. Setelah menerima ajaran itu Ida Ayu Swabawa lenyap menggaib dan berhasil mencapai alam Dewa, dan di stanakan di Pura Pulaki sebagai Dewi Melanting Adapun orang-orang yang menodai Ida Ayu Swabawa dikutuk menjadi wong Gamang di desa Pegametan”.(Soebandi,1998)

Kisah Ini merupakan upaya pemurtadan terhadap keyakinan agama Hindu, kerena umat Hindu digiring untuk mengganti peran Dewi Sri Laksmi - Sakti Dewa Wisnu/Betare Sedana, sebagai Dewa-dewi pemberi kemakmuran dan kesejahteraan, dengan Ida Ayu Subawa seorang anak manusia yang dinodai oleh penduduk yang tiada lain adalah anaknya sendiri dan kemudin diperkenalkan kepada umat sebagai Dewi Melanting. .
Selanjutnya dalam Babad tsb juga disebutkan “Ketika Danghyang Nirarta memberikan ajaran Ilmu rahasya kepada putrinya itu, ternyata didengar oleh insan berwujud seekor cacing kalung, cacing kalung tersebut, tiba-tiba supa (musna) dosa papanya dan seketika menjelma menjadi Manusia perempuan dan diberi nama Nyi Berit”.
Kisah ini mencerminkan sikap “ rasis (kastaisme)” dan sikap “megalomania-nya” si penulis babad Brahmana, karena menggatakan Nyi Berit sebagai Jelmaan Cacing kalung. Karena sejatinya Nyi Berit adalah penduduk Bali yang lebih dahulu menetap di Bali (Bali Age) yang kebetulan hidupnya saat itu kurang beruntung. Sikap rasis dan superior ini ternyata berbuah karma, karena dikemudian hari Nyi Berit ini melahirkan anak dari Danghyang Nirartha.
Dalam babad Brahmana juga ditemukan kalimat : "rambut beliau Danghyang Nirartha di-Stanakan di Pura Kapurancak yang disebut SINIWI DI KAPURANCAK, sehingga Pura tersebut disebut PURA RAMBUT SIWI".
Penyebutan rabut Danghyang Nirartha yang Siniwi di Kapurancak supaya dipuja oleh umat Hindu Bali seluruhnya, mencerminkan kepribadian si penulis Babad yang mencoba mengeser keyakinan Umat Hindu Bali yang semula memuja Betare Rambut Sedana sebagai manifestasi Dewa Wisnu bersama Saktinya Dewi Sri-laksmi, diganti oleh beliau Danghyang Niratha bersama anaknya Ida Ayu Swabawa.
Betare Rambut Sedana merupakan manifestasi Dewa Wisnu didampingi oleh saktinya dewi Sri Laksmi, bertugas memberikan kesejahteraan, kemakmuran dan harta benda kepada para pemuja yang setia memuja beliau setiap hari.
Umat Hindu yang pernah membaca lontar Wawacan Sulanjana atau mendengar ceritra Rakyat Jawa mengetahui bahwa Dewi kesuburan dan kesejahteraan (Dewinya Padi dan Tumbuh-tubuhan bermanfaat) adalah Dewi Sri atau disebut juga Sanghyang Asri. Dewi Sri atau Sanghyang Asri distanakan di Sawah-sawah dan lumbung padi. Jadi yang disebut Dewi Melanting bukanlah Ida Ayu Swabawa melainkan Dewi Sri Laksmi- sakti dari Betare Rambut Sedana (Wisnu). Sedangkan Betare Rambut Sedana adalah nama lain dari Dewa Wisnu yang bertugas memberikan kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan kepada para Bhakta-nya.
Karena dianggap "Sakti" dan "mumpuni dibidang agama" pada zamannya maka Danghyang Nirarha diangkat menjadi Bagawanta kerajaan di Gelgel. Pada saat itu yang menjadi penguasa di Gelgel adalah Dalem Waturenggong (1460-1550 M).
Tidak berapa lama setelah menjabat sebagai Bhagawanta Kerajaan Gelgel, Danghyang Nirarta sang puruhita kerajaan gelgel menerapkan teori RASIS (Kasta) yang sejak semula telah menjadi Ideologinya, dan merestukturisasi masyarakat Bali menjadi berbagai macam kasta.
Dengan mengadopsi DALIL-DALIL WEDA versi kaum misionaris Kristen-Portugis di India maka Catur Warna diadopsi menjadi Catur Kasta ( dari bahasa Portugis : Caste) dan ditetapkan menjadi Awig-Awig (peraturan kerajaan).
Untuk mendukung gagasan-nya membentuk kasta-kasta di Bali, Danghyang Nirarta menuliskannya dalam lontar “ Widhi sastra sakeng niti Danghyang Nirarta” (Singgih Wikarma 1998 : Leluhur orang Bali dari dunia babad dan sejarah. Penerbit Paramita, Surabaya, halaman 63).
Semenjak itu munculah Kasta yang dilekatkan kepada agama Hindu di Bali. Kasta Brahmana yang isinya terdiri dari anak-anak keturunan Danghyang Nirarta, termasuk juga keturunan yang sebelumnya dikatakann sebagai “supa-an-cacing kalung”(Nyi Berit), dan anak yang dikatakannya PENYEROAN (asisten rumah tangganya Bendesa Mas) yang bernama Ni Patapan. Kasta Ksatrya diberikan kepada keturunan dalem Gelgel, di kecualikan kepada keturunan Dalem Taruk yang ditetapkan sebagai Sudra. Kasta Wesya ditetapkan kepada Keturunan Majapahit yang menyertai Dalem Samprangan, Sedangkan Kasta sudra ditetapkan kepada penduduk Bali Age/
Sistem Baru ini mengabaikan Sastra-Sastra, lontar-lontar Agama Hindu, maupun Prasasti-prasasti yang sudah ada di Bali sebelumnya, seperti prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Udayana mapun raja Anak Wungsu.
Pada Prasasti Bila, yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu tahun 995 C atau 1073 M), M) menyebutkan peran para Brahmana. Itu berarti yang disebut Brahmana pada zaman itu pasti bukan Anak cucu Danghyang Nirartha, karena Danghyang Nirartha baru tiba di Bali th. 1489 M atau hampir 500 th setelah prasasti Bila diterbitkan. Yang disebut para Brahmana pada prasasti Bila th. 995 C (1073 M) pastilah Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, serta para Bhamana keturunan Rsi Markandeya dan Mpu Kepandean yang sudah Dwijati (Mpugdala) yang membantu raja Anak Wungsu.
Seperti dicatat dalam sejarah, bahwa pada saat Prabu Udayana menjadi raja di Bali (989-1011M), terdapat 9 sampradaya (sekte agama Hindu) di Bali. Untuk membangun agama Hindu di Bali, Prabu Udayana meminta bantuan 5 Brahmana bersaudara yang berasal dari JAMBUDWIPA/INDIA ( I Gusti Bagus Sugriwa : Babad Pasek. Penerbit Balimas Dps. Halaman 15) yang menetap di Jawa Timur, diantaranaya : Mpu Rajakerta yang kemudian menjadi Senopati Kuturan sekaligus Bhagawanta Kerajaan, didampingi oleh saudara-saudaranya : Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Gnijaya. Sedangkan adiknya yang paling kecil Mpu Baradah tetap tinggal di Jawa diminta oleh Raja Airlangga (Anak Prabu Udayana - kakak dari Anak Wungsu) menjadi Bhagawanta kerajaan di Kahuripan- Jawa Timur.
Setelah kasta-kasta ini disahkan di Bali, diberlakukan pula perbudakan. Raja-Raja Bali dengan dukungan Kelompok “Brahmana hasil Strukturisasi “, membuat awig-awig untuk mengesahkan perbudakan. Menghukum rakyat Bali yang beragama Hindu (awig-awig tersebut tidak berlaku bagi umat selain umat Hindu) yang melanggar awig-awig sebagai budak dan boleh di jual oleh Raja. Raja-raja Bali memperoleh harta untuk membangun Puri-purinya yang megah dengan mengekspor para budak ber-agama Hindu kepada Kompeni di Batavia.
Sistem Kasta dan Perbudakan ini jelas mengadopsi konsep-konsep Injil dan per-budakan dalam masyarakat Arab dan Eropa tanpa reserve. Karena dalam Agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta dan Perbudakan.
Sistem Perbudakan yang dijadikan komoditas Ekspor oleh Raja-Raja Bali, menyumbang hampir 60 % budak-budak kepada VOC di Batavia. Budak-budak beragama Hindu dari Bali di jual ke Batavia, Hindia Barat, Afrika Selatan, dan pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai contoh: klan Sudira di Depok yang disebut “Belanda Depok”, adalah orang yang berasal dari Gianyar dan tidak ada sedikitpun identitas ke Hinduan atau Bali nya yang tersisa, hanya saja kalau kita tanya mereka mengaku kakeknya berasal dari Gianyar-Bali, Demikian juga Untung Surapati, budak belian berasal dari Bali berkat perjuangannya yang gigih dan kecerdasannya bisa menjadi Tumenggung di Pasuruan - Jawa Timur tetapi identitas ke Hinduan-nya sedikitpun tidak tersisa.
Para Durjana menguasai Umat Hindu
Dari manakah Raja-Raja Bali saat itu mendapat ilmu tentang perbudakan dan kasta-isme?, Apa sumbangan para “Brahmana” dan para Raja Bali saat itu ( abad 14-19 ) terhadap umat dan Agama Hindu?, Kenapa para Durjana serakah bisa menguasai umat Hindu di Bali saat itu ?.
Inilah tanda-tanda kehancuran Agama Hindu di Indonesia. Karena para “Brahmananya” tergoda oleh prestise pribadi, harta dan kuasa. Para Brahmana dan Raja tidak cerdas mengamati peta politik global, tidak peduli terhadap ajaran kitab suci Weda. Para Raja bermahkotakan Emas, dan Para Brahmana juga berkalung dan ber Ketu (mahkota) bertatahkan permata dan emas, sementara rakyat/umat-nya telanjang tanpa busana, fenomena ini sangat menarik minat wisatawan Eropa datang ke Bali, untuk melihat kemolekan gadis-gadis Umat Hindu Bali yang ber-telanjang dada mondar-mandir dijalan. Dan ini membanggakan para raja-raja Bali untuk kembali mendatangkan dolar.

Sebelum kedatangan Danghyang Nirarta, tidak ada kasta-kasta maupun Budak dari Bali. Umat Hindu di Bali tidak ada yang bernama Anak Agung, Ida Bagus, Cokorda, maupun I Dewa. Silahkan lacak nama-nama orang Bali pada Babad-babad, kapan nama-nama itu mulai muncul dalam khasanah nama-nama orang Bali. Tidak ada yang namanya AA.IB. IC. ID,IGN IGst, maupun I Wayan yang mengaku Brahmana, Ksatrya, maupun Sudra. Martabat orang Bali ditentu-kan oleh perilakunya. Warna nya ditentukan oleh pekerjaannya. Bahkan Sri Kresna Kepakisan raja Pertama Gelgel sebelumnya bernama Ketut Kresna Kepakisan, karena merupakan anak ke 4 dari Danghyang Kepakisan seorang Brahmana dari Jawa Timur. Kresna Kepakisan tidak bernama Ida Bagus Kresna Kepakisan, meskipun beliau anak seorang Brahmana, tidak juga memakai nama Anak Agung atau I Dewa Kresna Kepakisan, meski beliau menjadi raja diraja Bali. Namanya cukup menjadi Sri Kresna Kepakisan.
Begitu pula raja-raja Bali maupun Jawa sebelumnya seperti; Sri Ugrasena, Sri Kesari Warmadewa, Sri Udayana, Sri Wijaya, Sri Dharmawangsa dll, cukup memakai gelar Sri, sedangkan panglima perang pejabat kerajaan lebih senang memakai nama-nama binatang, seperti; Kebo Iwo, Kebo Parud, Gadjah Mada, Gadjah Maruga, Patih Wulung, dll. sebagai tanda bahwa Agama Hindu dan adat Bali/Jawa saat itu sangat egaliter. Salah seorang anak Sri Kresna Kepakisan, yaitu Dalem Taruk anak anaknya bernama I Gede Pulasari, I Gede Bandem, I Gede Balangan, Merupakan generasi ke 3 Dinasti Kepakisan, tidak memakai gelar bentukan Danghyang Nirarta dan Dalem Waturenggong.
Kasta di Bali pada masa kolonial
Th. 1882, kolonialis Belanda mendirikan Raad Van Kerta, mahkamah adat Bali, dengan alasan politik etis. Hakim-hakim pada Raad Van Kerta diisi oleh para Pedande (bukan Sri Empu, Bujangga Wisnawa maupun Rsi), meskipun tidak jarang mereka tidak mengerti masalah hukum, dan tidak mengerti teks-teks hukum keagamaan seperti Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama yang ditulis dalam bahasa jawa kuno.
Belanda membantu pegangan para hakim Raad Van Kerta dengan menterjemahkan teks-teks tersebut kedalam Bahasa Melayu dan bahasa Bali untuk digunakan sebagai acuan hukum oleh anggota Raad Van Kerta.
Terjemahan teks-teks dari bahasa Jawa kuno kedalam bahasa Melayu dan bahasa Bali disesuaikan dengan selera dan kepentingan kolonialisme dan misionarisme. Hal ini sama dan sebangun dengan upaya Max Muller beserta kawan-kawannya dalam menter-jemahkan kitab Weda yang disesatkan untuk diterapkan pada masyarakat Hindu di India. Geoffrey Robinson mengomentari hal ini sebagai rekayasa tradisi Bali yang paling mencengangkan oleh Kolonial Belanda.
(Geoffrey Robinson; Sisi Gelap Pulau Dewata, 2005 hal. 51).
Kitab Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama, sewaktu diterapkan oleh Raja-Raja Hindu di Jawa, tidak pernah menerap-kan kasta-kasta, karena tidak ada satu kata pun dalam kitab Hukum Hindu maupun kitab Weda yang berisi kata kasta.
Kasta tidak dikenal dan merupakan kata asing bagi umat Hindu, apalagi menjadikan para pesakitannya sebagai Budak. Kasta dan Budak adalah akal-akalan kolonialis semata, sebagai cerminan tradisi kitab Injil dan Al Quran yang diberlakukan di Arab dan Eropa.
Pada tahun 1910 kolonialis Belanda meng ikuti jejak rekan Eropa-nya di India yaitu kolonialis Inggris, mendukung penetapan konsep kasta sebagai fondasi prinsipil masyarakat Bali. Dengan demikian koloni-alis Belanda, melegalkan dan meneguhkan hierarki kasta beserta seperangkat aturan menyangkut hubungan antar kasta dan hak-hak istimewa kasta, yang sebelum-nya tidak pernah ada dalam praktek di Bali. Dalam kata-kata V.E. Korn, orang Belanda, pakar Bali dan kontrolir Badung 1925 : ” Bukan saja triwangsa diberi tempat yang terlalu penting, tetapi juga dilindungi melalui sederet pasal-pasal yang sangat jauh melampaui para raja dan teks-teks hukum tempo dulu”. Pendeknya, apa yang diartikan sebagai usaha Belanda untuk bergiat dalam “tradisi” Bali sebagai politik etis, sebetulnya adalah penciptaan tatanan hierarki baru yang pasti, di mana kekuasaan golongan kasta tinggi lebih besar daripada sebelumnya, dan terlebih lagi di sahkan oleh struktur legal, ideologis dan koesif negara kolonial. (Geoffrey Robinson,Sisi Gelap Pulau Dewata,2005 halaman 51)
Pemurtadan Umat Hindu makin menjadi-jadi dengan tujuan Konversi
Umat Hindu telah dibuat tersesat oleh sarjana pseudoilmiah dan misionarisme, juga oleh umat Hindu sendiri yang tercemar pemikiran misionaris dan tidak kukuh mempertahankan Dharma. Penyesatan tersebut bahkan sampai ketingkat pemurtadan, menentang perintah kitab suci Yayur Weda XXVI.2 : Yathemam vacam kalyanim avadani janebhyah, Brahma rajanyabhyam sudraya caryaya ca svaya caranaya ca artinya : hendaknya wartakan sabda suci ini kepada seluruh umat manusia, baik kepada para Brahmana, para raja-raja maupun kepada masyarakat pedagang, petani dan nelayan serta para buruh, kepada orang-orangku maupun orang asing sekalipun.
Juga pemurtadan Sloka BG. XVIII.70 : Adhyesyate ca ya imam, dharmyam samwa-dam awayoh,jnanayajnena tena‘ham, istah syam iti me matih/ Mereka yang membaca percakapan-Ku ini, oleh mereka Aku telah dipuja dengan yadnya Ilmu Pengetahuan. Demikian telah Aku nyatakan.
Sraddhawan anasuyas ca, srinuyad api yo narah, so’pi muktah subham lokan, prapnuyat punyakarmanam (BG.XVIII.71) Artinya : Orang yang mempunyai keyakin-an dan tidak mencela Orang seperti itu, walaupun hanya sekedar mendengar orang berbicara kitab suci. Ia juga akan dibebaskan, mencapai dunia kebahagiaan sebagai manusia yang berbuat kebajikan.
Rakyat Bali yang bukan “berkasta Brahmana “ dilarang belajar Weda. Hanya mereka yang menyebut dirinya kasta “Brahmana” saja yang boleh belajar agama. Agama dimono-poli oleh Satu kelompok, sedang rakyat tidak boleh belajar Agama Hindu, kalau belajar Agama Hindu nanti bisa Buduh (=gila) katanya. Bahkan Konon buku-buku Resi Gotama terbit berisikan perintah untuk mengecor mulut orang-orang diluar Kasta Brahmana, apabila berani membaca Weda, memerintahkan untuk mengecor dengan timah panas telinga orang-orang diluar kasta Brahmana kalau berani mendengar mantra/seloka Weda. Dengan Kata lain Umat diluar kasta Brahmana tidak boleh mendengar dan membaca Kitab Weda.
Kemudian dipromosikan pula konsep ayuwe were tan siddhi palania, (plesetan atau pelintiran dari, Ayu Were Siddhi palania didalam kitab purwagama) dan “anak mule keto” suatu ungkapan yang selalu terdengar kalau ada anak-anak/umat Hindu bertanya tentang Agama Hindu. Nawegang antuk linggih, juga suatu ungkapan yang selalu terdengar mendahului percakapan terhadap orang yang baru dikenal. Inilah pemurtadan dan penyesatan yang menjadi-jadi.
Pemurtadan dan penyesatan tersebut didukung oleh pemerintah kolonialis Belanda dan kaum misionaris kristen yang di-kirim untuk mengalih agamakan orang Bali. Pemerintah Kolonialis menguatkan konsep kasta dalam praktek pemerintahan kolonial. Dalam Notulen konferensi administratif tanggal 15-17 september 1910, collectie Korn no 166; Pemerintah kolonial Belanda mendukung konsep kasta, sebagai pondasi prinsipil masyarakat Bali. Dalam penerapan-nya, Pemerintah kolonial Belanda memper-luas kasta-kasta dengan mengangkat pegawai pamong praja yang pro kolonial dan memberi nya gelar bangsawan secara turun temurun.
V.E. Korn menyatakan bahwa sebelum pemberlakuan pemerintahan kolonialis Belanda di Bali, banyak kaum non kasta yang meduduki jabatan-jabatan dalam otoritas politik seperti : sebagai punggawa, sedahan, perbekel dan sebagainya dibanding sesudah-nya. Pemerintah Belanda begitu yakin pada gagasan bahwa ketiga kasta tertinggi menyusun fondasi terpenting masyarakat Bali, maka nyaris anggota kasta-kasta itu sajalah yang ditunjuk untuk memegang jabatan tinggi. Dengan mengutip beberapa contoh, Korn mengatakan bahwa di Buleleng (Bali Utara) sebelum aturan kastaisme diterapkan, 16 dari 26 Punggawanya bukan dari ketiga kasta tinggi. Bahkan banyak kelompok diluar ketiga kasta menduduki jabatan tinggi misalnya sebagai pejabat pajak dan hakim pada masa pra kolonial. (V.E. Korn : Het Adatrecht van Bali, 1932 dalam Sisi Gelap Pulau Dewata oleh Geoffrey Robinson, 2005)

Penolakan sistem Kasta yang dikait-kaitkan dengan Agama Hindu bukannya tidak pernah ada saat itu, bahkan saat gagasan pengadopsian Catur Warna menjadi empat kasta dimunculkan, para Cendikiawan Hindu maupun yang perduli akan perkembangan Agama Hindu sudah bereaksi memprotesnya, misalnya dengan terbitnya Surya Kanta, koran berbahasa Melayu di Bali tahun 1920-an. Tetapi gempuran para Indolog pendukung kastaisme ditambah dukungan penguasa pribumi boneka kolonialis dan “Brahmana palsu”, lebih dahsyat dari pada yang menentang kastaisme. Terlebih lagi kondisi umat Hindu saat itu tidak berdaya oleh kolonialisme, sehingga konsep kaku kasta maupun aturan-aturannya tetap dijalankan, meski terus mendapat penentangan.
Pada tanggal 20 Juni tahun 1916 warga Desa Lodjeh, Karangasem, memprotes keputusan Raad Van Kerta, disusul pada bulan Mei 1917 warga Desa Sukawati Gianyar. Dengan todongan bedil kolonialis Belanda, protes-protes tersebut dapat dipadamkan dengan dibayar nyawa warga Umat Hindu yang tidak berdaya. Pada kasus Sukawati sebanyak 5 orang umat Hindu mati dibunuh, 11 orang luka-luka dan 26 orang ditangkap dan di jual sebagai budak. (Geoffrey Robinson: Sisi gelap Pulau Dewata, LKiS Yogya.2006)
Kasta dan Perbudakan tidak sesuai dengan ajaran kitab Weda. Tidak ada satu kata-pun dalam kitab Weda maupun kitab Hukum Hindu yang memuat kata kasta. Kasta dan perbudakan merupakan produk import yang berasal dari budaya perbudakan masyarakat Arab dan Eropa yang tercemin dalam kitab suci Al Qur’an dan Injil (baca Injil Imamat 25/44-46, keluaran 21/1-6, timotius 6/1,titus 2/9, Efesus 6/5-6. I Petrus 2/18 maupun Al Qur’an Surat An Nissa ayat 24 dan Surat Al Mu’minuum ayat 1-6).
Bahwa Agama Hindu telah disudutkan dari dua sisi. Dari sisi kebijakan pemerintahan kolonial dan sisi pemikiran. Bahkan sampai Indonesia merdeka praktek-praktek pengang-katan pejabat berdasarkan kastaisme terus berlanjut.
Ir. Soekarno yang lahir dari rahim Ni Nyoman Rai Sarimben, warga pasek Bale Agung Buleleng - leluhurnya satu Ayah dan satu Ibu dengan Ken Dedes-Permaisuri Ken Arok, salah satu Leluhur Raja-Raja di Jawa, mengganti nama ibundanya menjadi Ida Ayu Nyoman Rai, guna melanggengkan Kasta-isme yang tidak tahu diri.

????????
banyak pertanyaan yg belum terjawab 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
 Istilah "Siwa-Buddha" atau "Buddha-Siwa" dijumpai dalam sejumlah teks, seperti Sang Hyang Kamahayanikan, Negarakrtagama, Sutasoma dan lain-lain. Istilah "Siwa-Buddha" ini sebagai bentuk dwandwa. Buddha timbul dari adwaya dan adwayajñana (=Prajñaparamita) dalam adwaya yoga. Dalam S.H . 48 disebutkan: (am - ah = sanghyang adwaya) bapa sira de bhatara hyang Buddha ... sanghyang adwayajñana, sira ta dewi bharali Prajñaparamita ngaran ira. Sira ta ibu de bhatara hyang Buddha. Sang hyang diwarupa sira ta bhatara hyang Buddha ngaran ira. Sementara itu 'siwa' dan 'saiwa' begitu juga 'buddha' dengan 'bauddha' atau 'bodha' menarik dicermati. 'Siwa' adalah ajaran atau juga prinsip tertinggi, atau dewa; sementara 'saiwa' adalah pengikut ajaran Siwa. Demikian pula halnya di dalam Buddhisme; 'buddha' adalah ajaran atau prinsip tertinggi atau dewa; sementara 'bauddha' atau 'bodha' adalah pengikut jalan Buddha.

Istilah Siwa-Buddha ini juga sering digabungkan dengan unsur-unsur Tantra, sehingga disebut "Siwa-Buddha Tantra. Dengan kata 'tantra' ini mencerminkan bahwa ajaran Siwa-Buddha ini juga sangat diwarnai oleh ajaran-ajaran Tantra, khususnya Wajrayana. Ada juga sarjana memberi istilah 'Siwa Tantra' dan 'Buddha Tantra'. Dengan kata 'tantra' ini mencerminkan baik Siwa maupun Buddha sudah bersifat Tantris, berbeda dari agama Buddha pada awalnya (earlier Buddhism).
Selanjutnya istilah ini digunakan untuk menyatakan penunggalan (unity) agama Siwa dan Buddha yang terjadi di Indonesia, khususnya para periode Jawa Tengah dan Jawa Timur dan hidup dan dijaga dengan baik di Bali. Warisan spiritual nenek moyang orang Jawa sejak abad ke-5 hingga ke-15 diamankan dan dikembangkan di Bali. Kita harus berterima kasih kepada Bali karena di sini warisan kesusastraan Jawa Kuno diamankan. Tidak saja diamankan tetapi dibaca, diapresiasi, dikaji dan dijadikan pedoman dalam praktek keagamaan dan sosial di Bali. Nilai-nilai bersumber dari ajaran ini dipakai menata kehidupan masyarakat Bali. Di Bali sampai kini Kakawin Arjunawiwaha termasuk karya yang kerap dibaca dalam perkumpulan mabasan. Satu bait atau lebih dari Kakawin Arjunawiwaha digunakan pada upacara-upacara keagamaan, yang berhubungan dengan dengan Dewayadnya (X) dan Pitrayadnya (XIII). Kesusastraan Jawa Kuno dalam bentuk kakawin maupun parwa sering dibaca, diterjemahkan dalam upacara-upacara keagamaan. Dengan demikian karya-karya tersebut cukup dikenal di Bali; masyarakat memberikan apresiasi yang tinggi terhadap karya-karya ini.
OM Shanti.

Senin, 11 September 2017

Mralina n Melaspas Tugu Penunggun Karang





CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Mrelina 
spt dan pejati pmralina 

Melaspas 
caru selem 
tumpeng 11
tebasan sapu laken 
tebasan pasupati 


Cara nanding :

spt/soroan pengambean tebasan : 
soroan pengambean :
tebasan ...
pejati pmralina :

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Melaspas 
Caru selem :
Tumpeng 11 :

Tebasan sapu laken :
tamas, aled, pejati, kulit sayut, tumpeng putih kuning meplekir, tulung sangkur 2, kojong rasmen, peras tulung, raka,  payasan, kuangen 1, be ayam n bebek sebulu-bulu, sampyan nagasari 


Tebasan pasupati 


Minggu, 10 September 2017

Fungsi Dulang Sebagai Wadah Sesajen Bagi Umat Hindu

Dagang Banten Bali


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI



kegiatan upakara yadnya umat Hindu di Bali, tidak pernah lepas dengan penggunaan perangkat upacara yang berbentuk dulang.

Dikatakan demikian, karena memang perangkat ini selalu dipakai untuk tempat salah satu bebantenan, sesajen atau tempat sarana upacara pemujaan oleh para sulinggih atau pandita.


Dalam mengenter upacara keagamaan atau dalam bahasa Bali sebagai ‘pamuput’ upacara yadnya.

“Dulang merupakan perangkat yang sangat penting, setiap melaksanakan upacara yadnya agama Hindu di Bali sebagai wadah sesajen atau banten.

Tetapi ingat tidak semua sesajen ditempatkan di atas dulang,” jelas Jero Mangku Ketut Maliarsa, kepada Tribun Bali, Senin 8 Maret 2021.

Ada juga sesajen yang menggunakan tempat bokoran, ingka, tamas, nare, keben dan lain-lainnya.

“Apakah selain dulang itu tidak sakral? tidak demikian, karena umat Hindu dalam melaksanakan yadnya akan ada tumbuh dalam hatinya rasa (perasaan), rasional ( pikiran), dan filsafat (tatwa),” sebutnya.

Ketiganya ini akan mampu memunculkan ketenangan batin, atau ketenteraman jiwa dalam mengimplementasikan sradha baktinya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya.


Dulang dikatakan penting, dalam setiap upacara yadnya di Bali, juga karena diyakini mempunyai nilai sakral, magis, dan bervibrasi religius.

“Disebut demikian, jika dilihat dari bentuk dulang ini, terdiri dari dua sisi bawah dan sisi atasnya yang berbetuk lingkaran berbeda.

Yaitu ada yang besar dan ada yang kecil,” katanya.

Tetapi kedua sisi lingkaran tersebut, bermakna simbol yang sama yaitu lingkaran adalah bundar atau kosong, sunyi dalam bahasa Bali disebut sunia.


Yang berarti melambangkan perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

“Bentuk dulang ini juga ada yang menghubungkan antara lingkaran atas yang berdiameter kurang lebih 40 - 45 Cm dan lingkaran bawahnya yang berdiameter 15 - 20 Cm, disebut suku tunggal sebagai penyangga lingkaran besarnya,” sebut pemangku asli Bondalem ini.


Hal itu juga tidak lepas sebagai simbol Hyang Maha Tunggal.

Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa secara religius filsafat agama Hindu diyakini oleh para umatnya tentang lingkaran atau bulatan itu melambangkan kosong atau sunyi (sunia) berarti begitulah para umat Hindu mengimplementasikan eksistensi rasa keyakinannya kepada Tuhan.

Pembuatan dulang di Bali menggunakan bahan kayu, dan ada juga menggunakan bahan dari logam.

Walaupun bahan dasarnya berbeda tetapi fungsi dan maknanya sama saja.

Para sulinggih atau pandita Hindu, pasti menggunakan dulang sebagai sarana perlengkapan melaksanakan pemujaan.

Dulang ini dipergunakan untuk menempatkan sarana pemujaan seperti pedupaan, pedipaan, petirtaan, tempat bija dan lain sebagainya.

“Ida sulinggih menggunakan dua buah dulang dalam memimpin upacara yadnya,” sebutnya.

Sehingga dulang sangat penting dalam upakara Hindu di Bali. (*)


Sabtu, 19 Agustus 2017

banten tebasan pengideran







Tebasan Pengideran terdiri dari 4 tanding yi 
tebasan darma wiku 
tebasan sidapurna
tebasan merta uttama 
tebasan rudraks/kusuma dewa

Cara nanding : 
tebasan rudraksa/kusuma dewa : tamas, kulit sayut, tumpeng meplekir misi 2 rudraksa, 2 tulung sangkur, raka, kojong rasmen, kuangen, sampyan nagasai 

Kamis, 17 Agustus 2017

Banten Guru Bendu




terdiri dari 2 tanding yi 
Guru dan Bendu
me be bebek putih guling 

cara nanding 
Guru :
tamas, kain putih, kulit sayut, raka, kojong rasmen, tumpeng ruru peplekir, taluh bebek lebeng, daksina metaluh bebek matah, peras tulung payasan, sampyan nagasari 

Bendu :
tamas, lain putih, kulit sayut, raka, kojong rasmen, tumpeng ruru peplekir, taluh siap lebeng, daksina metaluh siap matah, peras tulung payasan, sampyan nagasari