Hari Raya Tumpek Landep jatuh pada Sabtu, Saniscara Kliwon Wuku Landep, atau 14 hari setelah Hari Raya Saraswati. Hari raya ini dilaksanakan setiap 210 hari. Saat itu umat Hindu di Bali memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Dewa Siwa atau Sang Hyang Siwa Pasupati di hari raya ini.
Menurut Dosen Program Studi Agama Hindu di Universitas Hindu Indonesia (Unhi), I Kadek Satria SAG MPdH, tumpek adalah akhir dari panca wara yaitu kliwon. Sedangkan saniscara adalah akhir dari sapta wara. Akhir inilah yang disebut sebagai puncak. Puncak yang dimaksud adalah kondisi di mana umat harus mengingat begitu sampai pada perjalanan akhirnya. Umat harus mengingat bagaimana perjuangannya hingga mencapai puncak, dan pasti menggunakan banyak piranti untuk mencapainya. Pada titik itulah umat merunduk untuk memuja Sang Penguasa Ketajaman yaitu Sang Hyang Siwa Pasupati.
Jadi Tumpek Landep inilah dijadikan sebagai momen umat Hindu untuk memohon ketajaman tersebut, agar berguna dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Mempersembahkan Banten Pasupati yang harus dirangkai (Ditanding). dan kunci utama yang sesungguhnya adalah pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati di Sanggah Kemulan. Kenapa?
Karena Sang Hyang Siwa bersifat purusha dan pradhan. Inilah cikal bakal dari kemulan dan taksu. Purusha kita puja pada kemulan, dan Pradhana kita puja pada taksu yang memberikan kita penguatan atas kehidupan ini.
"Setelah melakukan pemujaan, sebaiknya umat nunas (Mengambil) lungsuran atau sarin amertha yang kita mohonkan sebagai penguat jasmani dan rohani." ungkapnya
Namun hampir seluruh umat Hindu di Bali membuatkan upacara untuk kendaraan bermotor. Kadek Satria mengungkapkan, bahwa hal tersebut kurang tepat. Sebab menurutnya, kendaraan bermotor dapat diartikan sebagai simbol kemakmuran. Sehingga sebaiknya dibuatkan upacara pada saat Tumpek Kuningan atau Hari Raya Kuningan.