Rabu, 13 Juli 2022

Rahina Tumpel Landep

 


Hari Raya Tumpek Landep jatuh pada Sabtu, Saniscara Kliwon Wuku Landep, atau 14 hari setelah Hari Raya Saraswati. Hari raya ini dilaksanakan setiap 210 hari. Saat itu umat Hindu di Bali memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Dewa Siwa atau Sang Hyang Siwa Pasupati di hari raya ini.
Menurut Dosen Program Studi Agama Hindu di Universitas Hindu Indonesia (Unhi), I Kadek Satria SAG MPdH, tumpek adalah akhir dari panca wara yaitu kliwon. Sedangkan saniscara adalah akhir dari sapta wara. Akhir inilah yang disebut sebagai puncak. Puncak yang dimaksud adalah kondisi di mana umat harus mengingat begitu sampai pada perjalanan akhirnya. Umat harus mengingat bagaimana perjuangannya hingga mencapai puncak, dan pasti menggunakan banyak piranti untuk mencapainya. Pada titik itulah umat merunduk untuk memuja Sang Penguasa Ketajaman yaitu Sang Hyang Siwa Pasupati.
Jadi Tumpek Landep inilah dijadikan sebagai momen umat Hindu untuk memohon ketajaman tersebut, agar berguna dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Mempersembahkan Banten Pasupati yang harus dirangkai (Ditanding). dan kunci utama yang sesungguhnya adalah pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati di Sanggah Kemulan. Kenapa?
Karena Sang Hyang Siwa bersifat purusha dan pradhan. Inilah cikal bakal dari kemulan dan taksu. Purusha kita puja pada kemulan, dan Pradhana kita puja pada taksu yang memberikan kita penguatan atas kehidupan ini.
"Setelah melakukan pemujaan, sebaiknya umat nunas (Mengambil) lungsuran atau sarin amertha yang kita mohonkan sebagai penguat jasmani dan rohani." ungkapnya
Namun hampir seluruh umat Hindu di Bali membuatkan upacara untuk kendaraan bermotor. Kadek Satria mengungkapkan, bahwa hal tersebut kurang tepat. Sebab menurutnya, kendaraan bermotor dapat diartikan sebagai simbol kemakmuran. Sehingga sebaiknya dibuatkan upacara pada saat Tumpek Kuningan atau Hari Raya Kuningan.

Apakah kaitan Tumpek Landep dan Ukir?

 


Apakah kaitan Tumpek Landep dan Ukir? Berikut ini penjelasannya bagi masyarakat Hindu di Bali.
Hari suci pada wuku Landep, adalah Tumpek Landep yang dirayakan setiap hari Sabtu Kliwon Landep, atau hari ini Sabtu 9 April 2022. Dalam lontar Sundarigama, disebutkan bahwa hari suci ini diyakini sebagai hari suci bagi Bhatara Siwa dan Sang Hyang Pasupati, sebab beliau melakukan yoga semadi.
Untuk itu, umat Hindu disarankan membuat sesajen persembahan di merajan yang ditujukan kepada Bhatara Siwa. Sesajen tersebut, diantaranya adalah tumpeng putih kuning adanan dengan lauk ayam putih, ikan teri, terasi merah, dan sedah woh.
Untuk sesajen yang dihaturkan kepada Sang Hyang Pasupati adalah sasayut pasupati, sasayut jayeng perang, sasayut kusuma yudha, suci, daksina, pras, ajuman, canang wangi, tadah pawitra, reresik. Biasanya dalam prosesi upacara umat Hindu, pada Tumpek Landep ini akan diupacarai semua benda tajam khususnya senjata.
Filosofinya memohonkan ketajaman kepada Sang Hyang Pasupati, dengan merapalkan mantra Dhanurdhara atau ajian ilmu panah. Tujuannya untuk mengasah ketajaman batin dan pikiran umat manusia. Layaknya setajam senjata perang pada zaman dahulu seperti keris dan pedang.
Dijelaskan pula, pada Tumpek Landep ini manusia harus menyadari adanya hakekat kematian sebagai teman dekat dari semua makhluk hidup. Untuk itulah, seharusnya semua berbuat baik sebelum ajal menjemput. Hal ini tersirat dalam kutipan 'rumaketa sanak tuhu ring sanjata tkeng pati'.
Atau mendekatkan sanak saudara pada hakekat senjata dan kematian yang sejati. Setelah Saraswati, Banyupinaruh, Soma Ribek, Sabuh Mas, dan Pagerwesi.
Pada Umanis Ukir, yaitu setiap hari Minggu wuku Ukir diyakini sebagai hari suci Bhatara Guru, sebab beliau melakukan yoga semadi. Sehingga pada Minggu Umanis Ukir, umat Hindu memohon anugerah keselamatan dan kesejahteraan kehadapan Bhatara Guru.

Leak keturunan

 


Leak keturunan adalah ilmu pengeleakan yang diterima secara genetik dan bersifat otomatis. Ilmu pengeleakan ini dapat diwariskan dari seorang penekun leak kepada keturunannya yang ia pilih, meskipun dapat saja berubah sifat setelah berpindah tuan.
Ada beberapa cara mewariskan ilmu leak yaitu:
1. Air susu ibu
Bila seorang wanita yang telah menguasai ilmu leak ingin mewariskan ilmunya kepada anaknya, saat sedang menyusui ia akan mentransfer ilmunya kepada sang anak yang masih bayi, sehingga saat dewasa secara tidak sadar sang anak telah menguasai ilmu leak.
2. Cairan orang tua
Seorang penekun leak yang sudah tua akan susah mati akibat ilmu yang telah menguasai di tubuhnya, maka jalan satu-satunya adalah mewariskan ilme leak tersebut, ia menyuruh cucu atau anak yang paling ia sayangi untuk menelan air liur, muntahan atau busa dari mulutnya, otomatis ilmunya berpindah ke anak/cucu tersebut.
3. Mimpi
Seseorang penekun ilmu leak yang telah meninggal akan memilih salah satu keturunannya yang dianggap mampu sebagai pewaris, dengan cara mendatangi si terpilih dalam mimpinya dan memberi suatu jimat, maka secara tidak sadar ia akan mewarisi limu leak milik leluhurnya.
4. Mewariskan ilmu diam-diam
Suatu saat orang yang menguasai ilmu leak berniat mewariskan ilmunya, ia akan mendatangi cucu atau anaknya yang dipilih saat sedang tertidur, kemudian ia akan melakukan ritual untuk mewarisi ilmu leaknya kepada yang bersangkutan.
Di beberapa kasus ilmu leak yang telah diwariskan tanpa disadari oleh keturunan si leak, tidak dipakai oleh pewarisnya namun hanya disungsung sebagai warisan leluhur. Bentuk pewarisan ilmu pengeleakan ini dapat dengan ngelakoni atau hanya sekedar nyungsung atau dihormati semata.

Ritual Calonarang

 


Dalam ritual Calonarang banyak perlengkapan yang sarat makna. Seperti halnya Wadah, Pohon Biu (pisang) Saba serta Gedang (Pepaya) yang tak sekadar hiasan. Bahkan, pertunjukan tak akan bisa dilaksanakan, jika sarana tersebut belum dipenuhi. Calonarang merupakan seni pertunjukan yang sampai saat ini sering dipentaskan. Baik sebagai Balih – balihan maupun sebagai ritual tedunnya Ida Bhatara Tapakan. Mengangkat kisah Rangda Dirah sebagai alur cerita, Calonarang identik dengan kesan mistis dan karauhan.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs. I Nyoman Suarka , M.Hum mengatakan, Calonarang bukanlah cerita mengenai sebuah kejahatan, tidak juga mengenai Ilmu Kekebalan, apalagi Ilmu Pangleakan. Lantas, apa makna dari sarana tersebut? Suarka menuturkan, dalam Lontar Andhabhuwana diceritakan tentang asal muasal keberadaan Dewi Uma berubah menjadi Dewi Durga (penguasa kuburan).
Kisah itu berawal saat Bhatara Siwa menyuruh Dewi Uma mencari susu yang tugasnya cukup berat untuk dilakukan. Dalam memperoleh susu, Dewi Uma harus merelakan diri untuk melayani si pengembala. Ketika telah mendapatkan susu dan kembali ke Khayangan untuk menyerahkannya kepada Dewa Siwa, Dewi Uma melakukan kebohongan. Ia tidak menyebutkan asal muasal di mana susu itu diperolehnya.
Singkat cerita pertempuran pun terjadi. Melihat hal tersebut, Hyang Tunggal memberikan pengarahan dan menjelaskan tentang kesalahpahaman tersebut. Mereka diberikan hukuman atas perbuatannya. Lalu setelah dilebur, beberapa anggota tubuh Dewi Uma berubah menjadi berbagai jenis tumbuhan, keringatnya menjadi bunga gemitir, Payudaranya menjadi Pohon Pepaya, air susunya menjadi Pohon Pisang Saba, badannya menjadi Pohon Pule. Kemudian tangan kanan menjadi Pohon Kepuh, tangan kirinya menjadi Pohon Kepah, Semua Tulangnya menjadi Tebu Ireng, jari jemarinya menjadi Pohon Pisang Gancan.
“Maka dari itu, dalam kisah Calonarang digunakan pohon Pisang dan pohon Pepaya disimbolkan sebagai tubuh dari Sang Durga,” paparnya.

Beberapa mitologi Di Bali (Hindu)

 


Di Bali (Hindu) ada beberapa mitologi yang dahulu kerap disampaikan orang tua, agar orang patuh akan aturan. Namun kini banyak mitologi unik ini mulai terlupakan di tengah kemajuan zaman. Salah satunya adalah larangan menyapu pada malam hari. Ada apa dengan aktivitas ringan malam hari ini?
Meski kebanyakan orang tua tak menjelaskan alasannya. Namun, menurut Jro Mangku Pada asal Tabanan ini, menyapu malam hari berisiko menghilangkan benda berharga yang tak sengaja jatuh di lantai.
“Zaman dahulu kan penerangan terbatas, jadi bisa saja benda-benda penting tak sengaja jatuh. Sehingga dikhawatirkan bisa ikut tersapu. Selain itu, menyapu pada malam hari juga hasilnya tak maksimal, karena kotoran, seperti debu atau sampah bisa tertinggal karena tak terlihat,” jelasnya.
Tak hanya menyapu, memotong kuku malam hari juga dilarang. Hal ini dianggap mengundang pamali atau sial. “Ya, seperti itu tadi, kan penerangan terbatas. Nah, memotong kuku malam hari bisa berisiko menyebabkan jari terluka. Sehingga ini mungkin yang disebut mengundang sial,” kata Jro Mangku.
Kemudian ada pula larangan memberikan carikan atau sisa makanan kepada orang tua. Hal ini juga menurutnya berkaitan dengan etika. Layaknya, anak-anak menyuguhkan makanan yang masih sukla kepada orang tua.
Mitos unik lainnya, yakni menempatkan sapu lidi anyar atau belum pernah digunakan untuk menyapu di sebelah bayi sebagai penangkal gaib. Konon sapu lidi memiliki kekuatan yang membuat takut makhluk gaib. Sehingga sapu lidi secara tak langsung dijadikan penjaga bayi agar tenang dan tidurnya nyenyak.
“Diletakkan di samping bayi, agar mudah digapai si ibu. Sapu lidi kan banyak gunanya. Misalnya sebagai penghalau serangga atau binatang. Jadi sapu lidi diletakkan dekat bayi,” katanya.

Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya

 


Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya adalah Pura Kahyangan Jagat yang merupakan tempat untuk nuur atau nunas tirta.
Dalam Buku Babad Sidakarya yang disusun oleh I Nyoman Santun dan I Ketut Yadnya tahun 2003, menceritakan mengenai sejarah pura ini.
Diceritakan, terdapat seorang brahmana yang berasal dari Kerajaan Keling, Jawa Timur. Brahmana Keling ini memiliki hubungan keluarga dengan Raja Dalem Waturenggong.
Brahmana Keling bermaksud akan menjumpai saudaranya dengan penampilannya yang lusuh, untuk mengutarakan keinginannya membantu jalannya upacara tersebut. Namun masyarakat yang berada di sekitar lokasi tidak memercayainya, bahwa Brahmana Keling memiliki hubungan kekeluargaan dengan raja.
Brahmana Keling diusir dengan cara yang hina. Dengan perasaan jengkel dan sambil meninggalkan lokasi upacara, ia mengeluarkan kutukan (pastu).
Singkat cerita, Raja Dalem Waturenggong memerintahkan I Gusti Tegeh Kori, yang merupakan Raja Badung, untuk mendirikan sebuah pura di lokasi peristirahatan Dalem Sidakarya. Pura ini pada awalnya bernama Pura Dalem Sidakarya.
Karena pemujaan Sad Kahyangan terpusat menjadi satu, maka pura ini kemudian diberi nama Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya. Mutering memiliki makna pusat, Jagat berarti alam atau dunia, sedangkan Dalem Sidakarya adalah gelar dari Brahmana Keling.
Untuk menghormati jasa Brahmana Keling, Raja Dalem Waturenggong mengeluarkan sabda bahwa Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya adalah Pura Kahyangan Jagat yang merupakan tempat untuk nuur atau nunas tirta atau memohon air suci jika masyarakat melaksanakan upacara di tingkat madya, hingga utama atau besar.
Piodalan di Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya jatuh pada hari Sabtu, Saniscara Kliwon Wuku Landep, atau bertepatan dengan Hari Tumpek Landep. Selama piodalan di pura ini, biasanya akan dipentaskan sebuah tari sakral bernama Tari Telek, yang diikuti dengan Ida Sesuhunan berwujud Barong dan Rangda mesolah napak pertiwi (Menari).

RAHINA SUCI PURNAMA

 


Purnama dan Tilem adalah hari yang dianggap suci oleh Umat Hindu. Purnama sesuai dengan namanya jatuh pada setiap malam pada waktu bulan penuh (Sukla Paksa).
Mangku I Wayan Satra mengatakan, pada Purnama dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Candra atau Dewa Bulan, "Ini merupakan manifestasi Sang Hyang Widi yang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (Mala), " papar Mangku Satra.
Pada hari ini, lanjut Mangku Satra, hendaknya diadakan persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upacara yadnya. Beberapa sloka yang berkaitan dengan pelaksanaan hari suci Purnama terdapat dalam Lontar Sundarigama.
Pada umumnya, di kalangan umat Hindu sangat meyakini mengenai rasa kesucian yang tinggi pada hari Purnama. Sehingga hari itu disebutkan dengan 'Devasa Ayu', yakni hari baik. Oleh karena itu, setiap datangnya hari-hari suci yang bertepatan dengan hari Purnama, maka pelaksanaannya disebut 'Nadi'. "Tetapi, sesungguhnya tidak semua hari Purnama disebut ayu, tergantung juga dari petemon dina dalam wariga," imbuhnya.
Menurut sastra Agama Hindu, Lontar Purwa Gama menuntun umat Hindu agar selalu ingat melaksanakan suci laksana, khususnya pada hari suci Purnama. Hal ini memiliki tujuan untuk mempertahankan serta meningkatkan kesucian diri, terutama para wiku atau pemuka agama. Hal itu dilakukan untuk mensejahterakan alam beserta isinya, karena semua mahluk akan kembali ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Namun, tetap tergantung kepada tingkat kesucian masing-masing.
Menurut sastra Agama Hindu, proses penyucian diri penekanannya terletak pada 'Suci Laksana' karena pada pelaksanaan mengandung makna yang sangat tinggi. Hal ini memiliki arti penekanan tersebut sudah terjadi penyatuan dari pelaksanaan Catur Yoga. " Catur Yoga tersebut dapat menyucikan Stula Sarira (badan kasar) dan Suksma Sarira (Atma) yang ada pada diri manusia, khususnya umat Hindu Bali," ujar Satra.