Selasa, 12 Juli 2022

Satwa Cupak swargha

 


Di kisahkan setelah I gde cupak berhasil mengalahkan Garuda Agung yg menjadi bencana di kerajaan gobang wesi, maka secara tidak langsung ia telah memenangkan sayembara dr raja kerajaan tersebut.
Singkat cerita Cupak madeg ratu dsb I gusti Ngurah Cupak bersama istrinya Raden Dewi, hidup sangat berbahagia walaupun cupak adlh orang yg kurang berpendidikan dan buruk rupa namun Raden Dewi sangat menyayanginya, slalu mengajari tentang agama, sastra dan berbagai ilmu kepemerintahan ataupun tentang kehidupan. Sehingga lambat laun Cupak pun menjadi orang yg tekun dlm pelajaran sastra agama dan tata kelola pemerintahan dan mengerti tentang ilmu kediatmikaan.
Saking sabarnya Raden Dewi membingbing Gde Cupak sehingga benar2 mjd orang yg berbudi dan slalu taat pada ajaran agama dan sastra,
Dan pada suatu ketika gusti Gde Cupak merasa malu akan kebaikan Isyrinya Raden Dewi dia merasa kasihan sekali melihat paras putri yg cantik berbanding terbalik dgn wajahnya yg begitu kurang sepadan bahkan jauh dr kata tampan,
Gde Cupak merasa kecewa dan memohon kpd dewata agar di berikan anugrah.
Singkat cerita pun gde cupak melakukan semedi dan dia pun teringat kata2 ayah angkatnya nang bekung bahwa dia adlh titisan dewa yg dipungut nya dlm bentuk jamur( Ong) yg tumbuh di batu
Sehingga terlahirlah dua orang anak yg sangat berbeda parasnya yg satu dsb Gde Cupak yg berperawakan gempal dan rakus dan satunya lagi dsb Gerantang yg berparas elok bagaikan dewa smara.
Diceritakan setelah Gde Cupak melihat kehidupannya masa lalu, dgn kpolosnya dia pun berniat akan ke sorga untuk mencari bapaknya yaitu Dewa Brahma,
Gde cupak mulai kebingungan, klau dia pulang k Majalangu dia akan dicaci dan diusir kembali.
Dan dalam doanya dia meminta maaf kepada ayah ibu angkatnya dan Adiknya Gerantang atas kesalahan2 yg telah di perbuatnya, dan mengirim utusan untuk menyampaikan permohonannya sekaligus meminta restu dr Adindanya Gerantang,
Dengan kesadaran tsb Gusti Gerantang pun memberikan restunya pertemuan mereka mjd sangat mengharukan.
Permohonan maaf Gusti Cupak di terima dan merestui perjalanannya menuju sorga loka.
Singkat cerita begitu ceria Gusti Cupak karna dia akan bertemu dgn Ayahnya Bhatara Brahma.
Tan pa mengetahui arah yg di tuju, atas nasehat Gerantang dan ajaran2 ke moksa an yg dipelajarinya, dia pun mengawali berjalan ke arah selatan menuju barat daya.
Karna menurut ceritra dr nang bekung disanalah arah dewa Brahma dan timur laut arah dewa Rudra dan dewa Yama dan disanalah gerbang menuju sorga yg dijaga oleh Dewa Ganapati.
Tanpa pikir panjang lagi Gde Cupak langsung menuju arah selatan.
Dlm perjalanan banyak sekali bertemu rintangan2
Di setiap perempatan dan persimpangan jalan dia mengucapkan mantra2 supaya bisa selamat sampai d sorga,
Dikisahkan sampailah dia di kawasan yg sunyi dan disana matahari seperti senja yg indah dsb Sunian tara perbatasan Mayapada dan alam lainya.
I gusti cupak berjalan dan berjalan sampai menemukan pertigaan ( Bayu sabda idep). Berjalan lagi berapa lama bertemu dgn raksasa yg beringas dia pun menyapa dgn halus, raksasa pun mempersilakan,
Bertemu dgn Macan yg warnanya merah menghadapnya Gde cupak pun menyapa bahwasanya dia adlh saudaranya yg berwujud Darah, berjalan lagi bertemu dgn Ular naga yg warna sisiknya kuning menyala menghadangnya dia pun menyapa dgn halus bahwasanya dia juga adlh saudaranya yaitu i Lamas maka cupak pun dipersilakan melalui begitu juga ketemu dgn buaya yg besar dan berwarna hitam dia adlh perwujudan dr ari2. Demikian banyak halangan2 yg ada.
Sampailah pd sebuah perempatan /Catuspata.klau di tubuh dsb dada tampak dara.
Bertemu dgn batu macepak adlh mulut, bertemu dgn dua matahari yg sinarnya menyilaukan Surya kembar dsb Mata, bertemu dgn Titi ugal agil adlh lidah, ketemu Tegal penangsaran adlh kulit, ketemu gua rejeng jurang pangkung adlh hidung dan telinga,ketemu hutan dsb itu rambut ,ketemu kayu curiga adlh bulu mata dll….
Banyak dikisahkan disana halangan yg ada semuanya adlh rangkaian dr organ2 tubuh, begitulah keadaan di suniantara antara svargha dan naraka.
Dikisahkan semua rintangan telah dilalui oleh gusti cupak dan berjalan menuju arah timur laut sampailah di bwah loka di sana ditanya oleh para penjaga, badannya tinggi besar dan suaranya yg bagaikan petir, terjadilah perseteruan karna Cupak belum waktunya ke kayangan,
Saking sengitnya datanglah seorang Brahmana yaitu Narada muni adlh putra dr Bhatara Brahma, pengikut dr Narayana/Wisnu, dan seorang penyembah SiWA yg taat, beliau menyarankan agar Cupak di ruat sebelum mencapai Brahma loka, dikarena Cupak masih memiliki kekotoran2.
Brahmana muni memberikan tiga penglukatan
Penglukatan Air, Api,dan Angin…
Udaha, Agni dan Matra/ Mantara…
Dan di berikan ajian kelepasan/ moksha dgn demikian baru cupak bisa mencapai Brahma loka.
Begitulah singkatnya dr ceritra cupak swargha.
Adapun nilai2 yg terkuak di sana adlh
Cupak sbg simbolis dr Sarira/tubuh
Gerantang adlh simbolis dr Sang Ruh/jihwa
Banaspati dan tuadaya adlh simbol kelahiran dan kematian.
Narada muni adlh simbol dr ajaran kesucian / Saraswati.
Raden Dewi simbol dr kesabaran kelembutan kesetiaan.
Sarira belum boleh langsung naik ke kayangan sebelum adanya prosesi2 di Mayapada spt ngaben peroras/ memukur sehingga bisa dsb hyang..
Setelah sekian undag baru bisa dsb Bhatara, jikalau pun pertisentanya bisa menebus dgn berbuat kebaikan2.

WIKU / WIKU - WIKUAN

 


Orang yang bagaimana disebut WIKU ? Pertanyaan seperti itu kerap muncul dalam perbincangan banyak orang . Melalui pertanyaan itu mereka seakan INGIN MEMBEDAKAN yang mana WIKU dan yang mana WIKU - WIKUAN . Keinginan MEMISAHKAN yang ASLI dengan yang PALSU adalah WAJAR dan MANUSIAWI .
KARENA DALAM PERTEMUAN BANYAK WIKU MISALNYA . TIDAK LAGI MUDAH MENUNJUK YANG MANA WIKU - WIKUAN DAN YANG MANA WIKU SEJATI .
KEDUANYA MENAMPAKKAN DIRI DENGAN ATRIBUT DAN AKSESORIS YANG NYARIS TIDAK BERBEDA .
Istilah WIKU - WIKUAN bukan buatan karena MERASA IRI ( TIDAK ) ini murni karena melihat PRAKTEK DIMASYARAKAT .
Istilah itu tercantum dalam beberapa PUSTAKA tentang WIKU dan KEWIKUAN . Kenyataan itu menandakan bahwa Fenomena WIKU - WIKUAN ternyata sudah menjadi KELUHAN JAGAT sejak dahulu bahkan sebelum teks - teks itu disusun .
Sekarang kembali kita pertanyakan , SIAPAKAH YANG SEBENARNYA YANG DISEBUT WIKU ITU ?
PERTANYAAN IN TENTU SANGAT RELEVAN . KARENA SEKARANG INI PERKEMBANGAN JUMLAH WIKU SANGAT PESAT .
Dari berbagai Pustaka tentang WIKU dan KEWIKUAN , kita mendapat berbagai petunjuk bagaimana caranya mengenali sosok WIKU .
Tiga diantara petunjuk itu adalah :
1) . WIKU adalah ORANG SUCI
WI berarti TIDAK
KU berarti KOTOR
( secara harfiah seorang wiku adalah orang
Yang tidak kotor , atau orang suci .
Apanya yang suci ?
Suci badan kasarnya . Suci badan halus -
nya . dan suci pula badan pembungkus
Atmanya ) .
2) . WIKU adalah seorang SADHAKA .
( yang disebut SADHAKA adalah orang yang
Menggelar SADHANA . yang dinamakan
SHADANA adalah YOGA ) .
3) . WIKU adalah orang yang Bertongkatkan
SHASTRA .
( Maksudnya ..... Orang yang disebut wiku
Adalah orang yang menggunakan
SHASTRA sebagai pegangan .
SHASTRA menjadi pegangan sang wiku
Ketika menempuh hidup . dan ketika
menyongsong mati ) .
ITULAH SEBABNYA
DALAM BERBAGAI CERITA
DIANALOGIKAN BAHWA WIKU
YANG TIDAK BERSHASTRA
TIDAK BEDA
DENGAN ORANGTUA RENTA
TANPA TONGKAT .
Seperti itulah barangkali jadinya apabila WIKU TIDAK BERTONGKAT SHASTRA . Keadaannya SANGAT MEMPRIHATINKAN dan sekaligus SANGAT MEMBAHAYAKAN ! . karena bagaimana mungkin seorang WIKU akan berhasil MERAHAYUKAN JAGAT . apabila MERAHAYUKAN DIRINYA SENDIRI saja ia TIDAK MAMPU . mana bisa seorang WIKU mengentaskan kesengsaraan ATMA orang banyak . Sedangkan ATMA SENDIRI belum tentu bebas dari PAPA dan SENGSARA .
ITULAH SEBABNYA
KEADAAN SEORANG WIKU
YANG TIDAK MEMILIKI
TONGKAT SHASTRA
ATAU YANG KEHILANGAN SHASTRA
SANGAT MEMPRIHATINKAN .
KEHADIRANNYA JUGA DIPANDANG
SANGAT BERBAHAYA
BAGI KERAHAYUAN
SEGALA YANG HIDUP DI JAGAT INI .
Ajaran tentang TONGKAT SHASTRA sebenarnya TIDAK HANYA DITUJUKAN kepada para WIKU . Pesan NITI SHASTRA itu terutama di TUJUKAN kepada para CALON WIKU . BAIK CALON YANG SUDAH MATANG .
HAMPIR MATANG . CALON SETENGAH MATANG ATAU MATANG SEPARO . ATAUPUN CALON YANG MASIH MENTAH .
apa yang dikatakan NITI SHASTRA itu tidak ubahnya sebagai sebuah PERINGATAN KERAS agar jangan sampai TIDAK MEMPERCAYAI AJARAN TONGKAT SHASTRA .
Kalau sampai TIDAK MEYAKINI KEBENARAN PESAN itu . Maka akan TERJADI seperti tertulis dalam karya Shastra SALAMPAH LAKU
" HANA WONG PANGRESEK JAGAT "
Maksudnya ....
ADA ORANG ( CALON )
YANG KEHADIRANNYA
TIDAK LEBIH
SEKEDAR MENAMBAH
JUMLAH ORANG ( WIKU )
DI DUNIA YANG SEMAKIN SESAK INI

3 RITUS PAGERWESI

 


Marilah kita perhatikan lebih rinci melihat rerainan Pegorsi ini karena upacara peneguhan jiwa ini terlebih dahulu diawali oleh ritus upacara sebelumnya yaitu: Kajeng Kliwon Pemelastali, Saraswati, Soma Ribek dan Sabuh Mas serta puncaknya adalah Buda Kliwon Sinta yang di sebut dengan Pegorsi.
Ritus (upacara) ini intinya tidak terpisahkan dari tujuannya yaitu peneguhan jiwa (Pagerwesi) yang dilakukan oleh masyarakat secara umum. Sementara Pegorsi lebih penekanannya pada fungsi kesulinggihan yang ritusnya sebagai peneguhan angga sariranya yang menjadi lingga dalam melakukan pemujaan kehadapan Ida Bhatara Siwa Pramesti Guru. Kalau dilihat dari sudut pandang sesana akan berbeda teknis pelaksanaan dan tanggung jawabnya. Sekarang kami akan bahas dari persiapan diri dalam menyambut ritus Pegorsi bukan rerainan Pagerwesi yaitu:
Kajeng Kliwon Pemelastali atau Watugunung
Runtuh merupakan ritus yang sangat vital sekali khususnya bagi seorang Bujangga (Sulinggih) dan seorang Brahmana Guru kalau ingin melakukan pemujaan kehadapan Ida Bhatara Siwa Pramesti Guru. Pada saat ini para sulinggih akan melakukan pemujaan dengan sesayut panca lingga yang mempunyai makna menjadikan angga sariranya sebagai lingga sehingga dirinya akan menjadi dasar bhuana yang akan diciptakan. Dalam kaitannya ini, seperti apa tertulis dalam kisah Watugunung Runtuh bahwa Sanghyang Wisnu ketika mengalahkan Watugunung adalah dengan menjadi kura-kura (bedawang), berkepala cakra, dan berbadankan naga. Dalam implementasi dari cerita tersebut di simbulkan kura-kura sebagai dasar dalam proses linggih lingga didalam diri bersifat kedalam, agar selanjutnya untuk bisa melakukan proses pengringkesan dan ngelinggihin aksara didalam dirinya melalui metode pati urip aksara untuk nantinya bisa menjadikan diri sebagai siwa sekala. Ritus ini secara spesifik sangat rahasia (pingit) yang dilakukan oleh bhujangga resi dan brahmana guru di griya secara turun temurun sejak dulu. Maka dari itu kami tidak akan membabarkan proses ritusnya secara detail.
Saraswati
Sebelum membahas “nyaraswati” sebagai persiapan untuk melakukan pemujaan pada saat Pegorsi bukan piodalan Saraswati, baca dan pahamilah isi lontar Medang Kemulan yang berisi “cerita” Watugunung Runtuh karena cerita Watugunung Runtuh merupakan petunjuk dari ritus “ngelihggihin aksara di awak dan nengetin setra” dalam proses ritus ke bhuana alit, sehingga kita akan mengerti kenapa Watugunung dibunuh oleh Dewa Wisnu dalam wujud kura-kura (bedawang). Selanjutnya dihidupkan kembali oleh Begawan Buda, Wraspati, dan Sukra. Terakhir tidak boleh dibunuh lagi oleh Dewa Siwa.
Artinya bahwa hendaknya pada saat wuku Watugunung harus belajar Pati Urip Aksara. Puncaknya adalah pada saat tengah latri (tengah malam) dina Sabtu Kliwon tepat pada dina piodalan Saraswati, akhir dari pelajaran Saraswati. Ini merupakan ritual khusus bagi yang melaksanakan ritus Saraswati (nyaraswati) yang dimiliki griya yang menjalankan tradisi aguron-guron. Kami tekankan kembali Nyaraswati dilakoni oleh kalangan khusus (sulinggih) dengan prosesi upacaranya hingga tepat tengah malam. Ini berbeda dengan odalan Saraswati dimana masyarakat umum melakukannya cukup dengan persembahyangan saja.
Banyu Pinaruh
Sehari setelah Saraswati dilaksanakan ritus Banyu Pinaruh. Pelaksanaan Banyu Pinaruh bagi kalangan masyarakat umum tentu berbeda dengan pelaksanaan seorang Bujangga (Sulinggih). Paling tampak dalam pelaksanaannya, dimana pada rerainan Banyu Pinaruh ini para sisya akan tangkil (datang) ke griya untuk nunas (memohon) berkat dari Sang Sulinggih (Resi) yang sebelumnya ngelarang panyaraswati. Banyu pinaruh untuk masyarakat nangkil ke griya nunas keputusan dengan ritus: loloh nasi yasa dan pengelukatan banyu pinaruh dan Jika sesana bujangga ngelebar Brata di segara dan pengelukatan ring segara nunas nasi pradnyan metatakan tamas busung nyuh gading dan bungkak nyuh gading. Inilah yang membedakan sesana dan teknis pelaksanaannya bagi yang “ngodalin saraswati” proses nyurud ayu dilakukan oleh masyarakat di griya dan belajar aji saraswati “nyaraswati” nyurud ayu dilakukan oleh Bujangga di segara.
Soma Ribek
Soma Ribek jatuh pada hari Senin (Soma) wara Pon wuku Sinta, sehari setelah Banyu Pinaruh dan dua hari setelah hari Saraswati. Menurut pustaka Sundari Gama pada hari ini Sanghyang Tri Murti Amertha beryoga, dengan pulu/lumbung (tempat beras dan tempat padi) selaku tempatnya.
Pada hari ini disarankan umat menyampaikan rasa syukur atas keberadaan pangan. Aspek perayaan pangan ini dirayakan dengan menghentikan aktivitas pertanian selama sehari, seperti: dilarang menumbuk padi, menggiling beras, dan sebagainya. Hari ini peralatan pertanian, seperti tengala, cangkul, lampit dstnya disucikan dengan sesaji dan doa-doa serta widhi widana dipusatkan pada persembahyangan di pulu, lumbung atau tempat-tempat penyimpanan padi dan beras.
Soma Ribek
Bagi kalangan petani, adalah semacam Hari Pangan. Yang dipuja adalah Sang Hyang Tri Pramana yaitu: Dewi Sri, Bhatara Sadhana, dan Dewi Saraswati, dengan menghaturkan upakara di lumbung dan di pulu (gentong beras). Banten atau sesaji yang dihaturkan adalah nyahnyah, gringsing, geti-geti, pisang mas dan wangi-wangian, tanda syukur atas waranugraha berupa amertha (makanan) dan kesuburan pertanian. Pada hari Soma Ribek juga dilarang melakukan jual beli padi dan beras.
Sabuh Mas
Sehari setelah Soma Ribek adalah Sabuh Mas. Jatuh pada hari Anggara wara Wage wuku Sinta merupakan pesucian Sang Hyang Mahadewa dengan melimpahkan restunya pada “raja berana”, semua aset perhiasan berharga seperti segala perhiasan emas, perak, permata, manik-manik dan sebagainya. Benda-benda berharga ini dikumpulkan dan disucikan dengan upacara yadnya/widhi widhana. Bagi umat Hindu Bali hari ini semacam perayaan Hari Aset Berharga.
Soma Ribek dan Sabuh Mas, kedua rerainan ini adalah ritus bagi masyarakat yang secara sesana merupakan tanggung jawab dari bujangga (sulinggih) dalam memberikan restu. Secara lebih sederhana dapat dimaknai bahwa Soma Ribek sebagai pengingat pentingnya ketahanan pangan dalam kehidupan; “bek” sama dengan penuh (maksudnya penuh akan ketersediaan pangan (tentu juga sandang dan papan). Kemudian Sabuh Mas menandai pentingnya untuk menyimpan harta kekayaan dalam bentuk logam mulia.
Jika seluruh kekayaan dari hasil pengolahan pertanian disimpan dalam bentuk pangan (padi) di (Jineng, Glebeg, Klumpu dll) tentu saja pangan tersebut bisa rusak, karena terlalu lama disimpan atau karena tempat penyimpanan kurang/tidak memadai. Oleh karena itu, sangat penting juga untuk menyimpan logam mulia (disimbolkan dengan emas). Inilah yang bisa sewaktu-waktu dicairkan (Jaman dahulu memaki system barter) untuk memenuhi kebutuhan pangan serta kebutuhan dasar lainnya. Itulah pesan yang bisa diambil dari Soma Ribek dan Sabuh Mas.
Terakhir ada muncul pertanyaan; kenapa pelaksanaan ritus Rerainan ini menjadi bagian dari Pegorsi? Tiada lain karena (syarat) agar terpenuhinya pangan, sandang, dan papan sebagai rangkaian untuk dapat terwujudnya kertha ning jagat (masyarakat yang sejahtera). Mewujudkan kesejahteraan masyarakat ini merupakan tanggung jawab Bujangga (Resi), sebab itu Sang Bujangga juga disebut sebagai Sang Kertha. Ini hendaknya tetap diperhatikan oleh seorang sulinggih Bujangga di Bali, bahwa tanggung jawab Brahmana Bujangga Rsi adalah bagaimana menciptakan dan menjamin kehidupan masyarakat yang sejahtera secara lahir dan batin (raga dan rohani).

CUNTAKA BAGI PAMANGKU

 


🙏 Om Swastyastu 🙏
Iki Sanghyang Haji Panusangan, ngaran pangeleburan letuhing, sarira, palania tan keneng sebelan, saluiring mageleh ring, prajamandala, wenang sakama-kama, apan sanghyang mantra luwih utama, yan tasak dening ngrangsukang mantra iki, saksat mawinten, ping telu, gelarakna siang ratri.”_*
Artinya :
Ini ajian Panusangan namanya, pembasmi kekotoran diri, pahalanya tidak terkena sebelan, segala noda di dunia, bisa diucapkan dimana-mana, karena ajian sangat utama, apabila mantap dan matang dalam pelembagaannya, ibaratnya mawinten tiga kali, ucapkan siang malam.
*Pujanya 😘
*_..."Idep aku anganggo aji katomah, amangsa amungsung aku tan pabresihan, aku pawaking setra, suka kang akasa, suka kang prethiwi, tan ana aku keneng sebelan, apan aku teka amresihin awak sariranku, teka bresih 3X."_*
*CUNTAKA BAGI PAMANGKU*
Pamangku pada dasarnya tidak ikut terkena cuntaka yang disebabkan oleh orang lain, (pamangku tan milu keneng cuntakaning len). Hal ini dimaksudkan bahwa bilamana ada salah seorang warga masyarakat di desanya atau keluarga dekat yang meninggal, pamangku tidak kena cuntaka. Oleh karenanya pamangku masih dapat melanjutkan tugasnya di pura. Tetapi bila pamangku mengalami musibah kematian, diantara anggota keluarga di rumahnya sendiri, pamangku tersebut terkena cuntaka selama tiga hari, atau lebih lama sesuai dengan tingkat hubungan kekeluargaannya.Dalam lontar Tata Krama Pura dijelaskan :
*_....”yan pamangku kahalangan pati ngarep ring,, pahumahania, tigang, dina cuntakania yan sang Brahmana Pandita, tan hana cuntakania. Malih I Pamangku tan milu keneng cuntaka Wong len, Yan arep anak lan putunia pejah, pitung dina cuntakania. Tutugning sengkerning cuntakania teke wenang I Pamangku aprayascita.”_*
Terjemahannya :
_...”Bilamana Pamangku mendapat halangan kematian di rumahnya, tiga hari cuntakanya. Kalau pendeta tidak ada cuntakanya. Dan lagi Pamangku tidak ikut terkena cuntaka orang lain. Kalau terhadap anak dan cucunya yang meninggal tujuh hari cuntakannya. Setelah tiba berakhir cuntakanya sepatutnya Pamangku itu melaksanakan upacara prayascitta.”_
Masih dalam lingkungan kematian, bagi Pamangku yang rumahnya berdampingan dengan pura tempatnya bertugas, maka bilamana di rumah itu ada kematian dianjurkan bila akan menyimpan jenazah di rumah agar dipindahkan ketempat lain. Untuk jelasnya berikut ini akan kami kutipkan dari lontar Widhi Sastra Satya Mandala sebagai berikut :
*_’Mwah yan hana kahyangan panyiwian sang ratu, yadyan prasadha ring kahyangan ika, masanding umahnia maparek, tan pabelat marga, ri tekaning kaparekan de Mangku Bhatara, hageakna prateka haywa ngaliwari salek suwenya. Yan hana halangan bhumi bhaya kinwan de sang ratu dohaken anyekah wangke ika, yan prahimba marep juga same anyekeh wangke, yang anti amreteka, wenang mulih ring dunungania nguni, haywa nyekeh sawa ring dunungan de Alangku sasuwe-suwenia Imeh ikang parahvangan sang Rathu phalania sang ratu gering, reh de Mangku cemer. Yan doh anyekeh wangke selat marga rurung, limang dina de Mangku kacuntakan dadi de Mangku ulah ulih ring kahyangan, ngaturang pasucian. Yan de Mangku nyekeh wangke ring umahnia, salaiwase tan kawasa de Mangku ka kahyangan, sapuputan sawa mabhasmi luwar cuntakania"_*
Terjemahannya :
_”Dan lagi bila ada pura pemujaan. Raja maupun prasadha di pura itu, berdampingan rumahnya berdekatan tidak dibatasi jalan, tat-kala Pamangku kematian, agar secepatnva diupacarakan jangan melewati waktu sebulan. Bilamana karena suatu halangan wabah, (agar) disuruh oleh sang Raja untuk menjauhkan menyimpan jenazah itu, (bila berkehendak menyimpan jenazah itu). Pada waktunya akan mengupacarai boleh untuk di bawa pulang ketempatnya semula janganlah menyimpan jenazah itu di rumah Pamangku, (oleh karena) selamanya akan tercemar aura tempat persembahyangan Raja yang akan berakibat sang Raja akan tertimpa penyakit oleh karena Pamangku menyimpan yang menyebabkan leteh. Bila jauh tempatnya menyimpan jenazah itu, dibatasi jalan lima hari lamanya Pamangku terkena cuntaka, Pamangku diperkenankan keluar masuk ke pura untuk menghaturkan pesucian- Bila Pamangku menyimpan jenazah itu dirumahnya, selama itu tidak diperkenankan Pamangku itu pergi ke pura, setelah selesainya jenazah itu dibakar, saat itu berakhirlah cuntakanya pamangku itu.”_
Demikianlah Pamangku karena tugasnya ditempat suci dan karena tingkat penyucianya tidak sama dengan sulinggih patut menjauhi hal-hal yang dipandang dapat menyebabkan leteh dan cemer. Bila karena suatu keadaan yang tidak terhindarkan seperti karena kematian salah seorang anggota keluarganya disatu rumah, maka upaya penyucian diri Pamangku dilakukan dengan upacara prayascitta. Kecuntakan bagi Pamangku selain disebabkan karena kematian salah satu anggota keluarganya, atau karena nyekeh sawa (menyimpan mayat dirumahnya) juga terjadi karena Pamangku mengambil istri baru. Dalam hal serupa itu lontar Tatwa Siwa Purana memberi petunjuk sebagai berikut :
*_...”yan sampun madeg Pamangku, tan kawenang cemer, yan wenten Pamangku malih mengambil rabi, ri wusnia mapawarangan, wenang sire mangku manyepuh pawintenan nguni. Mwah ngaturang pasapuh ring pura mwah wadone punika wenang nyepuh. Apang tan kari kareketan letuh, yan tan nawur penyapuh, tan kawenang ka pura. Yan marabi saking paiccan nabe, mwang guru wisesa, kalih saking pakramane ngaturin marabi, punika dados ngaturang pangerebu alit, ring pura pura nenten ja masepuh.”_*
Terjemahannya :
_...”kalau sudah menjadi Pamangku, tidak boleh cemer, kalau ada Pamangku beristri baru, setelah selesai upacara perkawinannya patut Pamangku itu melaksanakan upacara nyepuh pawintenannya yang lalu dan lagi menghaturkan upacara pasasapuh di pura, dan istrinya itu patut melaksanakan. upacara nyepuh. Supaya tidak terkena letuh (cemar), kalau tidak melaksanakan upacara penyapuh tidak diperkenankan ke pura. Kalau mengambil istri karena pemberian guru atau pemerintah maupun dan warga masyarakat yang memberikan, atau menyuruh beristri, diperkenankan hanya menghaturkan upacara pangrebu yang sederhana di pura, tidaklah dengan upacara penyapuh.”_
Bagi Pamangku wanita yang cuntaka karena kotor lain juga berlaku sebagaimana umumnya. Dan setelahnya mabersih diri (mandi berkeramas) masih diperlukan tingkat pembersihan lebih lanjut seperti prayascitta atau setidak-tidaknya dengan matirta sebelum akan melaksanakan tugas ke pura. Demikian halnya cuntaka karena melahirkan atau keguguran kandungan, batas cuntakanya sesuai dengan cuntaka yang berlaku bagi masyarakat umum.

BHUTA DASANGKARA BHUMI

 


Bhuta Dasangkara* adalah sepuluh jenis bhuta kala yang dapat menyebabkan ketidak-seimbangan alam ini yang biasanya muncul pada saat sasih Ka enem, kapitu, kaulu, dan kasanga.
• *_Bhuta_* yaitu mahluk kegelapan.
• *_Dasa_* = sepuluh (seperti “Dasa Sila” untuk mendapatkan kesejahteraan).
• *_Angkara_* yaitu perbuatan dahsyat bahkan juga dapat memusnahkan alam sekitarnya.
Dalam *Lontar Bhasundari Tattwa* disebutkan kesepuluh *_bhuta_* tersebut yaitu :
1. *BHUTA MASTAKA* : merasuki segala binatang yang memiliki mulut, memakan segala jenis, bagian tumbuh-tumbuhan. Menyebabkan tumbuhan tidak bisa dijaga, dirawat.
2. *BHUTA ANGGA* : merasuki segala binatang yang berjalan dengan dada, tubuh, MERACUNI (wisya) segala jenis tumbuhan.
3. *BHUTA TANGAN* : merasuki segala jenis binatang yang memiliki tangan, mampu mengambil lalu memakan segala jenis biji-bijian (sarwa wija), umbi-umbian.
4. *BHUTA PUPU* : merasuki segala jenis binatang yang memiliki kaki, menyebabkan rusak daun segala jenis tumbuhan.
5. *BHUTA AMATA* : merusak segala jenis tumbuhan yang memiliki SOCA (mata tunas pada batang), misalnya bambu dll, sehingga mati buku (mati ruas).
6. *BHUTA TUTUK* : merasuki segala jenis cacing (kermi), memakan bagian daun segala macam tumbuhan, sehingga daunya busuk.
7. *BHUTA LET* : memunculkan sejenis ANTIGA (telor, bibit) yang dapat merusak akar dan daun, sehingga tumbuh-tumbuhan menjadi mati.
8. *BHUTA IRUNG* : merasuki segala jenis bintang yang menghisap sari, hingga dapat menghancurkan bunga berbagai jenis tumbuhan.
9. *BHUTA PURUS* : merasuki segala jenis binatang yang dapat melakukan hubungan senggama, kemudian menetaskan telor kemudian menjadi ulat yang dapat merusak tumbuh-tumbuhan.
10. *BHUTA TALINGA* : merasuki segala jenis binatang yang berada didalam rongga tanah, hingga merusak umbi, akar berbagai tumbuhan.
Ketika berbagai tumbuhan, binatang telah dirasuki oleh kesepuluh wujud Kala, hingga menghasilkan WISYA (racun, bakteri, virus, penyakit), maka tentunya akan menyebabkan seluruh manusia yang bergantung pada *_“sarwa Prani”_*, berbagai mahluk hidup lainnya akan sengsara, sakit bahkan meninggal secara mengerikan.
Semacam siklus berantai, tumbuhan dirasuki Wisya para Bhuta (kala), kemudian binatang yang memakan tumbuhan akan sakit bahkan binasa, lalu manusia yang mengkonsumi, berinterakasi dengan mereka pun sangat mudah tertular WISYA Bhuta Dasangkara Bhumi, tiada lain manifestasi KALA.
Ritus *_“caruning sasih”_* adalah salah satu upaya NISKALA yang sangat penting dilakukan agar terhindar dari pengaruh KALA berwujud Bhuta Dasangkara Bhumi tentu dilengkapi dengan berbagai upaya SEKALA (bersifat nyata) dengan selalu menjaga kebersihan, hindari merusak alam.
*.....“Angreka kita Bayu Sweta Wijaya, Anapuh awu jagat pada Buana Agung Buana Alit, amurtyaken Bhatara Bayu, anungaleken Sang Hyang Panca Bayu Murti. Angreka Cakra Bayu Murti, angalaraken Sapuh Jagat, angawe suci Nirmala jagat pada,"*
*"Ong Sang Nang Wang Sang Namah”*

MAKNA KOBER GANAPATI PADA UPACARA NANGLUK MRANA

 


Upacara *Nangluk Mrana* yang dilaksanakan pada sasih ke enam. *Nangluk Mrana* adalah salah satu nama jenis upacara yang bermakna untuk memohon kehadapan Ida Shang Hyang Widi Wasa agar berkenan mengendalikan hama penyakit yang dapat berpengaruh buruk bagi kehidupan di dunia ini.
Upacara *Nangluk Mrana* merupakan suatu cetusan rasa bhakti yang diwujudkan dalam upacara keagamaan, yaitu upacara yang dilaksanakan di pesisir pantai atau di rumah, dengan harapan agar seluruh masyarakat akan terhindar dari segala marabahaya atau serangan hama penyakit, upacara ini juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan seluruh alam semesta. Sehingga terjadi keseimbangan antara *Bhūana Agung* dan *Bhūana Alit*, upacara ini akan menciptakan rasa bhakti masyarakat desa dan diberikan kesejahteraan dan keselamatan baik dalam sekala dan niskala. Berdasarkan pengamatan pada upacara *Nangluk Mrana* *_Ganapati_* lah yang dipuja untuk membersihkan segala hama dan penyakit.
Penggambaran *_Gaṇapati_* dalam upacara *Nangluk Mrana* yang diwujudkan dalam sebuah gambar di atas kain putih, hal ini dijelaskan dalam lontar *Gaṇapati tattwa*, sebagai berikut:
*_.....“Haywa cawuh, adomrana de nira telas, bihan panglukatan Gaṇapati, wénang angge midér, śa,ampel gading rajah gaṇa, tangan kiwa ngagém cakra, tangan téngen ngagém gadā,dulurnya banten, ajuman putih kuning, suci asoroh mahiwak pitik putih jambul, toyanya mewadah sangku témagā, sékar shudāmala saha prasaantun, arthanya 1.100, samsam don katima, rajahhan ika lebokakéna ring sangku, ri huwus pinuja tiwakakéna ring kamranan,”_*
(Gaṇapati Tattwa)
Artinya :
Inilah pengelukatan (pembersihan) Gaṇapati, boleh digunakan di sekeliling (yang hendak dibersihkan), bahannya bambu ampel gading digambari gana, tangan kanan memegang cakra tangan kiri memegang gada. Disertai dengan upakara : ajuman putih kuning, suci satu dagingnya bebek (itik) putih jambul, airnya ditempatkan pada sangku tembaga yang diisi kembang sudamala serta pras sesantun, disisi uang sesari 1.100, samsam daun ketima. Bambu ampel gading yang telah digambari gana itu dimasukan pada sangku yang sudah berisi air. Setelah dipuja gunakanlah pada tempat yang tercemar hama dan penyakit.
Pada upacara *Nangluk Mrana*, *_Gaṇapati_* dipuja karena Beliau sebagai pembasmi segala penyakit dan hama. Jika dikaitkan dengan makna dari berbagai upākara, terdapat tujuan dihadirkanya *_Gaṇapati_* adalah sebagai *_”pengeruwat”_* atau menetralisir kekuatan *_Bhūtakala_* pada lingkungan tempat upacara agar pengaruh buruknya tidak menggangu jalannya upacara yang dilakukan dan seluruh umat, juga bertujuan untuk meruwat *_Dewi Durgā_* sebagai sumber dari datangnya penyakit dan hama. Hal ini pun disuratkan dalam lontar *Korawasrama* menyatakan *_Gaṇapati_* sebagai pengeruwat (pembersih segala kotoran), yang diuraikan dalam cerita sebagai berikut :
Awalnya *_Bhatari Uma_* mendengar *_Shang Hyang Maḥeswāra_*, bahwa anaknya yaitu *_Gana_* pandai menebak. Kemudian *_Uma_ meminta untuk ditebak. *_Gaṇa_* pada mulanya tidak mau, tetapi atas desakan *_Uma_*, *_Gana_* menyerah ia tunduk kepada *_Uma_*.
Setelah itu dilihat pustakanya yang bernama linggapranala, maka ditebaklah dua pengalaman masa lalu *_Uma_*. Pertama tentang ihwalnya dipeluknya *_Uma_* oleh gembala sapi ketika hendak meminta susu. Sedangkan yang kedua mengenai ihwalnya melayani Radite, anak dari *_Bhatara Guru_* dengan *_Sundari_*. *_Uma_* tak dapat mengingkari tebakan *_Gana_*. *_Uma_* merasa tak baik jika berbohong. Maka ia pun diajari serta diperbolehkan melihat kitab tersebut. Dengan bimbingan *_Gana_*, *_Uma_* pun membaca satu – persatu, masing – masing lembar kitab tersebut. Karenanya *_Uma_* merasa sangat malu, maka ia meminta kitab tersebut agar *_Gaṇa_* tak menebak lagi.
Tetapi tidak diberikan oleh *_Gaṇa_*. *_Uma_* menjadi marah dan disobeknya kitab tersebut, akibatnya *_Uma_* terkena tulah dan berubah menjadi *_Durga_*. Lalu *_Uma_* yang telah berubah menjadi durga mengejar *_Gana_* untuk minta dilukat agar kembali menjadi *_Uma_*. Kemudian *_Gaṇa_* meruwat *_Durga_* dengan melakukan pengastuti disertai tindakan upacara. maka *_Durgā_* pun kembali menjadi *_Uma_*.
Maka dalam upacara *Nangluk Mrana* yang jatuh pada sasih ke enam di mana adanya pergantian musim sehingga timbulnya hama, penyakit dan bencana alam, maka *_Gaṇapati_* lah yang dipuja sebagai perabas segala rintang, pengeruwat atau pengelukat (pembersih) dan menghalau segala bencana alam, penyakit dan hama yang timbul dari *_Dewi Durgā_* yang mempengaruhi alam dengan menggunakan senjata *_Cakra_* dan *_Gada_*.
*Kober Gaṇapati* di upacara *Nangluk Mrana* memiliki seni penggambaran wujud *_Gaṇapati_* dengan model wayang Bali, *_Gaṇapati_* di gambarkan dengan wujud manusia berkepala gajah, perut buncit, berdiri di atas bunga teratai, dengan atribut tangan kanan membawa senjata *_Cakra_*, dan tangan kiri membawa senjata *_Gada_* yang ditancapkan pada sanggar surya / sanggah cucuk di sebelah kanan.
Adapun unsur makna dalam penggambaran *_Gaṇapati_* dan atribut yang digunakan, yaitu sebagai berikut :
*Makna Gaṇapati berkepala gajah.*
1. Kepala gajah besar, yang berarti *_Gaṇapati_* memiliki makna sebagai kecerdasan dan penguasa segala pengetahuan.
2. Daun telinga yang lebar, Gaṇapati memiliki sifat yang peka dalam membedakan hal yang baik dan buruk, cepat mengambil tindakan dalam mengatasinya.
Jika dikaitkan dengan upacara *Nangluk Mrana*, makna *_Gaṇapati_* adalah sebagai Dewa yang menyelesaikan semua rintangan dengan pengetahuan dan kecerdasan serta dengan pendengaran yang peka, beliau mampu mendengar penderitaan dari alam semesta, sehingga *_Gaṇapati_* dengan cepat hadir untuk melenyapkan penderitaan umat manusia dari penyakit dan hama.
*Makna senjata Gada.*
1. *_Gada_* disebut juga sebagai *_Daṇda_* yaitu tongkat penghukum bagi siapa pun yang melakukan kesalahan.
2. *_Gada_* disebut sebagai *_Kaumodakī_* yaitu kekuatan yang menakjubkan dan mempesona yang dapat memancar serta mempengaruhi pikirian.
3. Gada diidentikan dengan kekuatan dari *_Dewi Kalī_*, yaitu kekuatan dari waktu, ia yang menghancurkan siapa saja yang menentangnya. *_Gada_* oleh *_Dewi Kalī_* dijadikan sebagai senjata untuk menghalau rintangan yang dapat mempengarui alam semesta.
Jika dikaitkan dengan upacara *Nangluk Mrana* maka fungsi dan makna *_Gada_* adalah sebagai senjata untuk menghukum dan memerangi para Bhuta yang berprilaku tidak benar, serta senjata ini sebagai alat untuk merabas segala rintangan yang terdapat pada saat rangkaian upacara berlangsung.
*Makna senjata Cakra.*
1. Cakra merupakan senjata dari Dewa Vīsṇu yaitu senjata yang hanya dapat melukai yang berbuat kesalahan. Berdasarkan konsep *_Dewata Nawa Sangga_*, senjata Cakra beristana di arah Utara.
2. Cakra merupakan Senjata yang dilambangkan sebagai pikiran yang universal, tenaga yang tiada batasnya yang mengembangkan dan mereduksi seluruh alam semesta secara berulang – ulang.
3. terdapat aksara Hrṁ, yang melambangkan abadi, tidak berubah, pusat yang tidak bergerak, asal pertama segalanya dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
4. Simbol dari Cakra menyerupai bunga padma memiliki unsur makna sebagai alam semesta tanpa noda.
5. Tangan kanan membawa Cakra yang memiliki makna sebagai simbol Dewa pengetahuan, penyelamat semua mahkluk.
Penggambaran senjata *_Cakra_* memiliki makna sebagai keseimbangan alam semesta yaitu antara *_Bhūana Agung_* dan *_Bhūana Alit_*, *_Cakra_* yang merupakan sebagai senjata untuk kesadaran diri untuk memahami keseimbangan alam semesta, dari sifat senjata *_Cakra_* yang tanpa noda, maka penyimbolan senjata *_Cakra_* pada upacara *Nangluk Mrana* sebagai, senjata cakra sebagai pembersih dan penyelamat semua mahkluk hidup dari segala bencana, penyakit dan hama di alam semesta ini yang muncul pada saat sasih ke-enam.
*Makna Gaṇapati berdiri di atas bunga teratai.*
Bunga teratai bermakna sebagai beristananya manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa, yaitu *_Gaṇapati_* yang merupakan kekuatan dari kebenaran, bunga teratai bermakna sebagai kekuatan tiga alam. Hal ini sangat sesuai dengan makna *_Gaṇapati_* yang diberi tugas sebagai penguasa tiga alam. Serta bunga teratai sebagai kekuatan *_sattvika_* dikarenakan, bunga teratai meski pun hidup pada tiga tempat ia tidak pernah ternodai.