Selasa, 12 Juli 2022

PAWUKON KERIS YANG COCOK

 


1. Wuku Sinta. Dewanya Sanghyang Batara Yamadipati = wataknya seperti raja dan pendita, banyak kemauan, keras, cepat bahagia, bakat kaya harta benda. Memanggul tunggul = mudah mendapatkan kesenangan hidup. Kaki belakang direndam dalam air = perintahnya panas didepan dingin belakang. Pohonnya : Kendayakan = jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burungnya : Gagak = mengerti petunjuk gaib. Gedungnya di depan = memperlihatkan simbol kekayaannya, pradah hanya lahir.
Keris yang Cocok : Panimbal, Condong Campur, Jalak Tilamsari, Jalak Dhinding, Jalak Sangutumpeng dan Jalak Ngore.
2. Wuku Landep. Dewanya Sanghyang Batara Mahadewa = bagus rupanya, terang hatinya, gemar bersemadi. Kakinya direndam dalam air = perintahnya keras didepan dingin dibelakang, kasih sayang. Pohonnya : Kendayakan = jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burungnya : Atat kembang (kakatua) = jadi kesukaan para agung, jika menghambakan diri jadi kesayangan. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Rarasinduwa, Sempana Badhong, Semar Mesem, Semar Getak, Semar Tinandhu dan Brojol.
3. Wuku Wukir. Dewanya Sanghyang Batara Mahayekti = besar hatinya, menghendaki lebih dari sesama. Tunggulnya : didepan = selalu beruntung, kariernya lancar, akhirnya hidup senang. Menghadapi air di bokor besar = baik budi pekertinya, menghormati orang lain. Pohonnya : Nagasari = bagus rupaya, sopan-santun, jika bekerja dicintai oleh pimpinan. Burungnya : Manyar = tak mau kalah dengan sesama, dapat mengerjakan segala pekerjaan. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir.
Keris yang Cocok : Sempana Kinjeng, Kebo Lajer, Pudhak Sategal, Putri Sinaroja, Campur Bawur dan Sadak.
4. Wuku Kurantil. Dewanya Sanghyang Batara Langsur = pemarah. Memanggul tunggul = akhirnya mendapat kesenangan hidup. Air dalam bokor besar disebelah kiri = serong hatinya, sering iri hati. Pohonnya : Ingas = tak dapat untuk berlindung, karena panas. Burungnya : Salindita = lincah / tangkas. Gedungnya terbalik di depan = boros.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Sengkelat, Tebu Sauyun, Bethok, Kebo Teki dan Kebo Lajer.
5. Wuku Tolu. Dewanya Sanghyang Batara Bayu = dapat menyenangkan hati orang lain, kalau marah berbahaya, tak dapat dicegah, Tunggulnya : dibelakang = kebahagiannya terdapat dibelakang hari. Pohonnya : Wijayamulya (Gaharu) = sangat indah rupanya, tajam roman mukanya, tinggi adat-istiadatnya, teliti, suka pada kesunyian, selamat hatinya. Burungnya : Branjangan = ringan tangan, cepat bekerjanya. Gedungnya di depan = suka memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Carangsoka, Sabuk Tampar dan Sabuk Inten.
6. Wuku Gumbreg. Dewanya Sanghyang Batara Cakra = keras budinya, segala yang dikehendakinya segera tercapai, tak mau dicegah, pengasih. Kaki sebelah yang di depan direndam dalam air = perintahnya dingin didepan, panas di belakang. Pohonnya : Beringin = jadi pelindung keluarganya, budinya tinggi. Burungnya : Ayam hutan = liar, dicintai oleh para agung, suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya di kiri = penyayang, tapi kalau sedang jengkel tidak.
Keris yang Cocok : Panimbal, Condong Campur, Jalak Tilamsari, Jalak Dhinding, Jalak Sangutumpeng dan Jalak Ngore.
7. Wuku Warigalit, Dewanya Sanghyang Batara Asmara = bagus rupanya,senang asmara, cemburuan, hatinya mudah tersentuh, Pohonnya : Sulastri = bagus rupanya, banyak yang cinta. Burungnya : Kepodang – gampang marah, cemburuan, tak suka berkumpul dengan orang banyak. Menghadapi Candi = Senang berprihatin, menyepi.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Rarasinduwa, Sempana Badhong, Semar Mesem, Semar Getak, Semar Tinandhu dan Brojol.
8. Wuku Warigagung, Dewanya sanghyang Mahayekti = berat tanggungannya, berkeinginan. Tunggulnya : di belakang = rejekinya dibelakang hari. Pohonnya : cemara = ramah bicaranya, lemah lembut perintahnya dan dihormati. Burungnya : Betet = keras kemauannya, pandai mencari kehidupan. Gedungnya dua buah di muka dan di belakang = ikhlasnya hanya setengah, jiwanya labil.
Keris yang Cocok : Sempana Kinjeng, Kebo Lajer, Pudhak Sategal, Putri Sinaroja, Campur Bawur dan Sadak.
9. Wuku Julungwangi, Dewanya sanghyang Sambu = tinggi perasaannya, tidak boleh disamai. Tunggulnya : di depan = selalu beruntung, kariernya lancar, akhirnya hidup senang. Menghadap air di bokor = dermawan tetapi harus diperlihatkan, Pohonnya Cempaka = dicintai oleh orang banyak. Burungnya Kutilang = banyak bicara dan perkataannya dipercayai orang, dicintai para pembesar.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Sengkelat, Tebu Sauyun, Bethok, Kebo Teki dan Kebo Lajer.
10 Wuku Sungsang, Dewanya sanghyang Gana = pemarah, gelap hati. Pohonnya : Kayutangan = tak suka menganggur, keras budinya, suka kepada kepunyaan orang lain. Burungnya : Nuri = pemboros, jauh kebahagiaannya. Gedungnya terbalik di belakang = ikhlasan dengan tidak pakai perhitungan.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Carangsoka, Sabuk Tampar dan Sabuk Inten.
11. Wuku Galungan, Dewanya Sanghyang Batara Kamajaya = teguh hatinya, dapat melegakan hati orang susah, cinta pada perbuatan baik, jauh kepada perbuatan jahat. Memangku air dalam bokor = suka bersedekah, pengasih, namun sedikit rejekinya. Pohonnya : Kayutangan = ringan tangan, keras budinya, gampang suka pada kepunyaan orang lain. Burungnya : Elang = gesit tingkahnya, pandai mencari nafkah.
Keris yang Cocok : Panimbal, Condong Campur, Jalak Tilamsari, Jalak Dhinding, Jalak Sangutumpeng dan Jalak Ngore.
12. Wuku Kuningan, Dewanya Sanghyang Batara Indra = melebihi sesama, tinggi derajatnya. Pohonnya : Wijayakusuma = menghindari keramaian, punya kharisma tinggi, orang senang bergaul dengannya. Burungnya : Urang-urangan = lincah, cepat bekerjanya, lekas marah, mudah ngambek. Gedungnya di belakang, jendelanya tertutup = hemat, banyak perhitungan.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Rarasinduwa, Sempana Badhong, Semar Mesem, Semar Getak, Semar Tinandhu dan Brojol.
13. Wuku Langkir, Dewanya Sanghyang Batara Kala menggigit bahunya sendiri = besar nafsunya, tidak sayang kepada badannya sendiri, yang melihat takut, buruk adat-istiadatnya, tidak mau menurut, murka, banyak larangan. Pohonnya : Ingas dan cemara tumbang = panas hati, tak boleh didekati orang. Burungnya Gagak = tanggap bisikan gaib.
Keris yang Cocok : Sempana Kinjeng, Kebo Lajer, Pudhak Sategal, Putri Sinaroja, Campur Bawur dan Sadak.
14. Wuku Mandasiyo, Dewanya Sanghyang Batara Brama, kuat budinya, pemarah, tak mau memberi ampun, jika marah tak dapat dicegah, tegaan. Pohonnya : Asam = kuat dan dicintai orang banyak, jadi pelindung sengsara. Burungnya : Platukbawang = rajin bekerja. Gedungnya tertutup di depan = hemat dan banyak rejekinya.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Sengkelat, Tebu Sauyun, Bethok, Kebo Teki dan Kebo Lajer.
15. Wuku Julungpujud, Dewanya Sanghyang Batara Guritno, = suka kepada keramaian, suka berdandan, tersiar baik, mempunyai kedudukan yang lumayan, tidak pernah kekurangan uang. Menghadap bukit/gunung = besar kemauannya, tak suka diatasi, menghendaki memerintah. Pohonnya : Remuyuk = indah warnanya, tidak berbau, disukai orang. Burung : Emprit Jowan = besar kemauannya tetapi pikirannya sukar diduga orang, halus budinya.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Carangsoka, Sabuk Tampar dan Sabuk Inten.
16. Wuku Pahang, Dewanya Sanghyang Batara Tantra = perkataannya melebihi sesama, tidak sabaran menepati janji. Bokornya di sebelah kiri di belakangnya = suka jalan serong. Memanggul keris = kasar perkataannya, panas hati, suka bertikai. Pohonnya : Kendayaan = jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burung : Cucakrowo = banyak bicaranya. Gedung di depan = boros.
Keris yang Cocok : Panimbal, Condong Campur, Jalak Tilamsari, Jalak Dhinding, Jalak Sangutumpeng dan Jalak Ngore.
17. Wuku Kuruwelut, Dewanya Sanghyang Batara Wisnu : tajam ciptanya, tinggi dan selamat budinya, melebihi sesama dewa. Memanggul : cakra = tajam hatinya, berhati-hati. Pohonnya : parijata = jadi pelindung dan besar kebahagiaannya. Burungnya : puter = jika berbicara mula-mula kalah, akhirnya menang, tidak pernah bohong, tidak suka terhadap perkataan yang remeh. Gedungnya di depan = memperlihatkan kekayaannya, angkuh dan tidak mau disepelekan.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Rarasinduwa, Sempana Badhong, Semar Mesem, Semar Getak, Semar Tinandhu dan Brojol.
18. Wuku Mrakeh, Dewanya Sanghyang Batara Surenggana = tawakal hatinya, ingatannya kuat, berkesanggupan/optimis, berani kepada kesulitan. Tunggulnya membalik = cepat naik karier, lekas hidup senang. Pohonnya : Trengguli = buahnya tidak berguna. Tak mempunyai burung = tak boleh disuruh jauh, tentu mendapat bahaya. Gedungnya dipanggul = memperlihatkan pemberian.
Keris yang Cocok : Sempana Kinjeng, Kebo Lajer, Pudhak Sategal, Putri Sinaroja, Campur Bawur dan Sadak.
19. Wuku Tambir, Dewanya Sanghyang Batara Syiwa = lahir dan batinnya terkadang berlainan, egois dan senang pamer. Pohonnya : Upas = bukan tempat perlindungan, tajam perkataannya. Burungnya : prenjak = suka membuat isu, Gedungnya tiga tertutup semua = tidak dapat kaya hanya setengah-setengah saja.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Sengkelat, Tebu Sauyun, Bethok, Kebo Teki dan Kebo Lajer.
20. Wuku Madangkungan, Dewanya Sanghyang Batara Basuki : mengutamakan keberadaan, senang melihat orang lain sengsara, keinginannya aneh-aneh dan sukar menemukan jati diri. Pohonnya : plasa = terhormat didaerah sendiri, sedang di kota tidak berarti apa-apa. Burungnya : pelung = suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya di atas = mendewa-dewakan kekayaannya, hemat.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Carangsoka, Sabuk Tampar dan Sabuk Inten.
21. Wuku Maktal, Dewanya Sanghyang Batara Sakti = berbudi teguh, lurus hatinya, optimis, gesit berkarya, baik pekerjaannya, kata-katanya enak didengar. Pohonnya : nagasari = bagus rupanya, lemah lembut tutur katanya, dicintai oleh pembesar. Burungnya : ayam hutan = suka tinggal ditempat sunyi, sukses dalam karier, banyak tanda-tandanya akan mendapat bahagia,. Gedungnya ditumpangi tunggul = kaya benda dan dihormati/berwibawa.
Keris yang Cocok : Panimbal, Condong Campur, Jalak Tilamsari, Jalak Dhinding, Jalak Sangutumpeng dan Jalak Ngore.
22. Wuku Wuye, Dewanya Sanghyang Batara Kuwera = mudah tersinggung, mudah ngambek, senang menyendiri, senang beramal, kata-katanya tegas dan tidak dapat menabung. Memasang keris terhunus disebelah kaki = waspada dan tajam hatinya. Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar tanda kebahagiannya, pemberani, kuat dan tetap hatinya. Burungnya : Gagak = tak suka kepada keramaian, tanggap gaib. Gedungnya terlentang di depan = pengasih tapi pemboros.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Rarasinduwa, Sempana Badhong, Semar Mesem, Semar Getak, Semar Tinandhu dan Brojol.
23. Wuku Manahil, Dewanya Sanghyang Batara Citragatra = menjunjung diri sendiri, dapat berkumpul ditempat ramai, bakat angkuh, selalu bersedia-sedia untuk membela diri. Air di bokor di belakangnya = halus perintahnya, tetapi tidak menghargai bawahan. Memangku tombak terhunus = waspada dan tajam hatinya. Pohonnya : Tegaron = liat hatinya, semangat perjuangan hidupnya tinggi. Burungnya : Sepahan = liar budinya, tajam pikirannya / perasa.
Keris yang Cocok : Sempana Kinjeng, Kebo Lajer, Pudhak Sategal, Putri Sinaroja, Campur Bawur dan Sadak.
24. Wuku Prangbakat, Dewanya Sanghyang Batara Bisma = pemarah, tangkas, pemalu, memperlihatkan watak prajurit, menghendaki jadi pemimpin orang, lurus pembicaraannya, segala yang dikehendaki tak ada sukarnya. Kakinya kanan direndam dalam air bokor = perintahnya dingin di depan panas di belakang. Pohonnya : Tirisan = panjang umurnya, cukup rejekinya, agak angkuh. Burungnya : urang-urangan = cepat kerjanya.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Sengkelat, Tebu Sauyun, Bethok, Kebo Teki dan Kebo Lajer.
25. Wuku Bala, Dewanya Sanghyang Batari Durga = suka berbuat huru-hara,membuat berita, jahil, suka bercampur dengan kejahatan, tak ada yang ditakuti, pandai sekali bertindak jahat. Pohonnya : cemara = ramai bicaranya, lemah lembut perintahnya dan dihormati. Burungnya : Ayam hutan = liar budinya, dicintai oleh pembesar, tinggi budinya, banyak tanda-tanda akan mendapat bahagia, suka tinggal ditempat yang sunyi. Gedungnya di depan = senang memperlihatkan kekayaannya.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Carangsoka, Sabuk Tampar dan Sabuk Inten.
26. Wuku Wugu, Dewanya Sanghyang Batara Singajalma = banyak akal, lekas mengerti, cerdas, baik budinya, tetapi tidak senang diingkari janji. Pohonnya : Wuni sedang berbuah = siapa yang melihat bagaikan mengidam, akan tetapi setelah dimakan sering dicela. Banyak rejekinya. Burungnya : Kepodang = pamer, cemburuan, tidak suka berkumpul. Gedungnya tertutup di belakang = hemat dan hati-hati membelanjakan uangnya.
Keris yang Cocok : Panimbal, Condong Campur, Jalak Tilamsari, Jalak Dhinding, Jalak Sangutumpeng dan Jalak Ngore.
27. Wuku Wayang, Dewanya Sanghyang Batari Sri = banyak rejekinya, bakti, teliti, dingin perintahnya dicintai oleh orang banyak. Bokor berisi air di depan dan duduk di atasnya = sejuk hatinya, sabar, rela hati, akan tetapi harus diperlihatkan pemberiannya. Pasang keris terhunus = perintahnya mudah didepan, sukar dibelakang. Pohonnya = Cempaka = dicintai oleh orang banyak. Burungnya = Ayam hutan = dicintai oleh pembesar, liar budinya, berbakat angkuh, senang tinggal ditempat yang sunyi.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Rarasinduwa, Sempana Badhong, Semar Mesem, Semar Getak, Semar Tinandhu dan Brojol.
28. Wuku Kulawu, Dewanya Sanghyang Batara Sadana = kuat budinya, besar harapannya, menarik dalam pergaulan, pemboros senang nraktir, bagi laki-laki suka berpoligami. Duduk di bokor berisi air ditepi kolam = sejuk hatinya, dingin perintahnya. Membelakangi senjata tajam = pikirannya terdapat dibelakang, kurang pandai. Pohonnya: Tal = panjang umurnya, besar harapannya, kuat budinya. Burungnya : Nuri, boros, murka. Gedungnya di depan = senang memperlihatkan kekayaannya.
Keris yang Cocok : Sempana Kinjeng, Kebo Lajer, Pudhak Sategal, Putri Sinaroja, Campur Bawur dan Sadak.
29. Wuku Dukut, Dewanya Sanghyang Batara Sakri = keras hatinya, selalu was-was, rajin, tajam pikirannya, segala yang dilihatnya berhasrat dipunyainya. Pohonnya : Pandanwangi = tidak menonjol. Burungnya : Ayam hutan = dicintai oleh para pembesar, liar dan tinggi budinya, besar harapannya, suka tinggal ditempat sunyi. Membelakangi gedungnya = sangat hemat. Berhadapan dengan dua bilah keris terhunus = selalu siaga dan waspada, serta serba ingin tahu.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Sengkelat, Tebu Sauyun, Bethok, Kebo Teki dan Kebo Lajer.
30. Wuku Watugunung, Dewanya Sanghyang Batara Antaboga dan Batari Nagagini. Antaboga = senang tinggal alam untuk bertapa. Nagagini = gemar kepada asmara. Keduanya sangat gemar kebudayaan dan ilmu kebatinan. Menghadap Candi = suka bertapa ditempat yang sunyi, gemar bersemedi dan mempelajari ilmu kebatinan. Pohonnya : Wijayakusuma = rupawan, tinggi budinya, tidak suka pada keramaian, terlihat angkuh, teliti. Burungnya : Gogik = cemburuan, mudah tersinggung dan tidak senang di tempat yang ramai.
Keris yang Cocok : Pandhawa, Carangsoka, Sabuk Tampar dan Sabuk Inten.

GENDING RARE " KOKOKAN PUTIHJAMBUL "

 


Kokokan Putih Jambul Makeber ngajekanginang
Teked Ngaje Kangingan Ditu ibebek Tuun
Jak Mekejang, Briak-Briuk Mesilemang..
Gending rare polos : puniki sering dinyanyikan oleh kakek/nenek dimasa lampau kepada cucunya tetapi seringkali terkesan sepele padahal memiliki makna filosofis yg tinggi ,
Kokokan warna putih berisi jambul simbol kesucian, bebek merupakan binatang unggas yg memiliki keistimewaan, hidupnya bisa diair di tanah dan diudara, tidak pernah berkelahi dengan sesamanya ataupun dengan yang lain.
Warna Putih kalau dalam arah Dewata Nawa Sanga warna putih arah timur dewa iswara senjatanya bajra ibaratkan pendeta suci (pedanda, pemangku dll) yang memakai pakaian putih mengunakan bajra dalam proses ritual keagamaan.
Jambul ibaratkan iketan rambut sulinggih (pedanda siwa) diikat oleh sesana kawikon dimana dalam melaksanakan perbuatan di bumi ini dalam arti luas selalu berkata berpikir dan bertingkah laku yang suci sesuai dengan ajaran agama.
“Mekeber ngaje kanginang” artinya menuju arah yang sangat disucikan oleh umat Hindu yaitu arah #Ersania, biasanya orang bali membuat merajan tentu letak lokasinya kaje kangin (timur laut). Tidak mungkin membuat pamerajan di arah kelod kauh (barat daya)
“Teked ngajekanginang ditu tuun jak mekejang ” setelah sampai ditempat suci maka umat Hindu turun bersama-sama melaksanakan tugas swadharmanya masing-masing, untuk ngayah secara tulus dan ihklas..

TAHAP KEPEMANGKUAN

 


Untuk menjadi Pinandita atau Pemangku, calon pemangku diwajibkan melaksanakan upacara PAWINTENAN Kepemangkuan yaitu pada tingkat PAWINTENAN Dasaguna.
Mengingat proses PAWINTENAN ini tidak dilakukan dengan proses amati raga, maka terhadap yang bersangkutan tidak Amari Aran, hanya dengan memperoleh sebutan Jro Mangku nama pribadi dan status Jro Mangku masih berkedudukan sebagai Walaka.
Fase menjadi Pemangku merupakan masa orientasi pengenalan Calon Siksa terhadap nabenya, demikian juga sebaliknya. Pada fase ini yang telah memperoleh gelar Jro Mangku mulai mengisi diri memahami kedudukan, fungsi dan hakekat jabatan yang dipikul sebagai Jro Mangku, sesuai ucap sastra Sukrtaning Pemangku, Widhisastra, Kusuma Dewa, Tattwa Sivapurana dan Adi Purwagama Sasana.
Sesungguhnya Jro Mangku merupakan perwujudan I Rare Angon yang memiliki tugas menggembalakan umat menuju pada kerahayuan jagat.
SYARAT MENJADI PEMANGKU :
SYARAT FISIK :
* Laki laki yang sudah menikah
* Laki laki yang Nyukla Brahmacari
* Wanita yang sudah kawin
* Wanita Kanya
* Pasangan suami istri
* Sehat fisik dan rohani, tidak cedangga, berbudi luhur, ingatan masih bagus
* Matang fisik dan rohani,.umur dewas,.usia minimal 21 tahun
SYARAT KESUSILAAN :
* Teguh melaksanakan ajaran Yama dan Nyama Brata dan ajaran kesusilaan lainnya.
* Teguh melaksanakan ajaran guru Bhakti
* Teguh melaksanakan Dharma sadhana
SYARAT PENGETAHUAN :
* Paham bahasa Indonesia
* Bersedia mendalami bahasa Kawi, Sansekerta Bali
* Bersedia mendalami intisari ajaran agama menyangkut tatwa susila dan acara agama.
SYARAT PENYUCIAN :
Melakukan PAWINTENAN penyucian minimal PAWINTENAN Dasaguna
SYARAT ADMINISTRASI :
1. Permakluman kepada Krama Merajan
2. Permakluman kepada Pengurus MGPSSR Kecamatan, Kabupaten
3. Memperoleh piagam Kepemangkuan dari pengurus MGPSSR Kota, Kabupaten atau dari Ida Pandita MPU
4. Bagi yang tidak pernah mengikuti Diklat yang diselenggarakan oleh MGPSSR cukup mendapat rekomendasi dari Bendesa Adat ditempat bertugas.
WEWENANG PEMANGKU :
Pemangku memiliki batas kewenangan yang terbatas, mengingat pemangku tergolong rohaniawan dalam status masih EKAJATI. Adapun wewenang yang ada pada pemangku adalah :
1. Penggunaan busana dan kelengkapan pemujaan.
* Rambut panjang atau bercukur
* Pakaian memakai destar putih, kain putih, kampuh putih, baju putih saat melaksanakan pemujaan upacara. Sedangkan diluar itu masih dibenarkan berpakaian sebagaimana umat lainnya.
* Dalam melakukan pemujaan berwenang memakai Genta, pasepan, bunga, gandaksata, tempat Tirta
* Dalam melakukan pemujaan tidak dibenarkan Menggunakan MUDRA, cukup dengan menggunakan ARCANA PRANAWA, MANTRA dan KUA MANTRA. Termasuk dalam hal memperoleh Tirta untuk suatu upacara.
BATAS KEWENANGAN DALAM MENGANTARKAN YADNYA :
* Pemangku memiliki kewenangan mengantarkan Yadnya tingkat Ayaban sampai Pulagembal, sementara tingkat Caru sampai manca sata, setelah memperoleh anugrah dari Pandita MPU yang menjadikan Pemangku.
* Pemangku dalam menghantarkan Pitra Yadnya memiliki Wewenang sampai Mendem Sawa.
TUGAS DAN KEWAJIBAN PEMANGKU :
* Menghantarkan Upacara Yadnya pada pura yang diemong jika pemangku pura atau melayani masyarakat untuk mengantarkan upacara Yadnya bila diminta sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
* Dalam melaksanakan tugasnya Pemangku berkewajiban menuntun umat atau warga dalam menjaga dan memelihara Kesucian serta menciptakan ketertiban dan kehidmatan pelaksanaan upacara.
* Secara pribadi Pemangku memiliki kewajiban senantiasa mengisi diri dengan pengetahuan keagamaan serta membangun kesucian dalam diri secara terus menerus .

BANTEN SEBAGAI YANTRA

 


bukti fisik permohonan melalui mantra yang disimbolkan dari penyucian diri
Tiga element yang luruh dalam kehidupan berkeyakinan di Hindu Dresta Bali meliputi TANTRA ( ajaran suci ) , MANTRA ( doa suci ) dan YANTRA ( simbol suci ) yang saling terkait dan melengkapi. Yang termaktub dalam tiga kerangka dasarnya yang meliputi Tatwa ( keyakinan) , Susila /Etika( tingkah laku yang baik ) and Upakara.( upa berarti dekat, kara berarti cara..cara yang terdekat dalam berkomunikasi dengan- Nya melalui kegiatan relegi .
Banten sebagai Yadnya ( yaj- memuja mempersembahkan ) ,adalah persembahan yang suci yang didasari pemurnian diri yang berupa Tapa ( tiada tergoda ), Brata ( mampu mengendalikan diri ) , Yoga ( pemusatan pikiran ) , Dyana ( pengendalian pikiran) dan Samadhi ( pengendalian indria ). Ini semua terlaksanakan dalam kegiatan persiapan dan pelaksanaan dalam menghaturkan suatu Banten sebagai Yadnya.
Terkait dengan Yadnya, ada Tiga element personal dalam Yadnya yang meliputi Sulinggih/ yang muput sesajian atau bebantenan, Krama atau prajuru sebagai saksi pelaksanaan Yadnya dan Pelaku Yadnya itu sendiri..
Bagi pelaku Yadnya , dalam hal ini harus menjalankan dan memahami Tiga Dharmaning Yadnya yaitu ; Dharma Kriya ( mengerti akan swadharma sebagai manusia ) , Dharma Jati ( menyelami kata hati atau intuisi ) dan Dharma Putus ( mampu berpikir, berkata dan berbuat yang baik dalam menjalankan Yadnya dengan tanpa mengharapkan hasil )..Inilah yang akan menjadi penguat dalam pelaksanaan Yadnya.
Dalam pelaksanaan Yadnya didasari juga oleh empat pelaksanaan dasar Yadnya ( Catur Polahing Yadnya ) meliputi
Sastra ( mengetahui makna dan tujuan dari Yadnya).Aksara ( kesucian diri dalam pelaksanan Yadnya yang mendasari jiwa ),.Aji ( adanya pemikiran dan konsentrasi yang baik dalam pelaksanaan Yadnya ), Saraswati ( kata hati yang paling dalam dengan pemikiran yang positif ). Dengan dasar ini maka pelaku Yadnya akan memahami hakikat Banten sebagai sesajian suci yang dihaturkan dalam yadnya. Dengan ini pula dapat menentukan jenis dan tingkatan Yadnya dan bantenya sesuai dengan kemampuan ( Dharmaning Kahuripan ). Pilihan Yadnya itu ada tiga yaitu Nista , Madya , Utama..dimana masing masing tingkatan ini juga dibagi tiga lagi misalnya Nistaning Nista, Nistaning Madya dan Nistaning Utama, begitu juga untuk tingkatan mandya ; madyaning nista, madyaning madya, madyaning utama, dan Utama..; utamaning nista, utamaning.madya dan utamaning utama
Yadnya adalah ketulusan untuk menghaturkan segala bentuk korban suci ( materi, waktu, tenaga, dan perasaan ) kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi ( Brahman yang dipuja dan disembah ) tidak boleh dikurangi atau dilebihkan. Namun boleh membuatnya menjadi GENEP TANDING SURUD KUANG ) /.cukup untuk dibuat Banten namun boleh kurang untuk disurud /makan - semua sarana Banten adalah simbol atau yantra yang harus lengkap adanya sebagai sarana komunikasi kepadaNya.
Jadi jangan sekali kali mengganti sarana upakara dalam Banten dengan menggunakan simbol atau gambar gambar yang tidak mewakili Yantra..Yadnya yang salah malah justru membawa petaka bagi pelakunya..
Jadi dapatlah dikatakan bahwa Banten adalah Yadnya yang didasari oleh kesucian jiwa dan pikiran untuk dapat menyatakan doa-doa harapan melalui simbol-simbol suci yang tertuang dalam bentuk, isi dari banten itu. Menghaturkan Banten sama halnya dengan mengucapkan mantra mantra dimana Banten memiliki keistimewaan sendiri dibandingkan hanya dengan ujar japa atau mantra saja.
Dalam pembuatan Banten ada empat jalan yang diaplikasikan ; meliputi..Bhakti Marga ( persembahan yang tulus ), Karma Marga ( didasari atas kehendak, perbuatan yang tulus ), Raja /yoga marga ( mengaplikasikan ajaran Weda dalam bentuk simbol suci ) dan JNANA marga.( Banten dibuat dengan pikiran yang jernih dengan konsentrasi yang tertuju kepada Nya ) .Untuk itulah Mebanten ( menghaturkan Banten ) juga disebut dengan MEYASA..( menjalani Yasa yang tertuang dalam catur Marga..) .
Jadi stop memojokan Banten atau sesajian sebagai pemborosan ritual. Jangan pernah mengganti simbol simbol suci dengan bentuk gambar .
Jangan pernah katakan tenggelam dalam lautan tradisi..karena pada hakikatnya semua dalam kehidupan ini dibangun dari elemen elemen tradisi yang membentuk budaya dan peradaban manusia...

Kamma menurut kedudukannya atau Tempat Terkondisi berbuahnya kamma

 


Antara lain terbagi menjadi :
a. Akusala-Kamma.
Perbuatan tidak baik, yaitu cetana (kehendak) yang berada dalam Akusala citta 12 (terdiri dari 8 lobhamūla citta, 2 dosamūla citta dan 2 mohamūla citta).
Hasil dari kamma ini berupa tumimbal lahir di 4 alam rendah (apāya), yakni alam neraka, alam binatang, alam peta dan alam asura.
Akusala kamma dibagi 3 macam yakni :
- Akusala kāya kamma : Perbuatan tidak baik melalui jasmani.
- Akusala vaci kamma :
Perbuatan tidak baik melalui perkataan.
- Akusala mano kamma :
Perbuatan tidak baik melalui pikiran.
b. Kāmāvacarakusala-Kamma.
Perbuatan baik yang berhubungan dengan kesenangan indera, yaitu cetanā (kehendak) yang berada dalam mahākusala citta 8.
Mahākusala Citta adalah kesadaran/pikiran yang maha baik, di mana kesadaran ini dapat menimbulkan kefaedahan dalam melaksanakan dana, sila, dapat menimbulkan jhāna, magga dan phala, sehingga mencapai objek Nibbāna (yaitu saat Mahā kusala Citta mencapai objek Gotrabhū ñāna).
Hasil dari kamma kāmavacarakusala ini berupa mahāvipaka yang bisa meneruskan kehidupan (patisandhi) pada alam alam baik atau kamasugati bhumi 7, yaitu dari alam manusia (1 alam), hingga alam dewa nafsu indera dari dewa cātummahārājika - paranimmitavasavatti (6 alam)
c. Rūpāvacarakusala-Kamma.
Perbuatan baik yang mencapai rūpa-jhāna, yaitu cetanā (kehendak) yang berada dalam rūpāvacarakusala kamma citta 5, yaitu terdiri dari :
- Rūpavacara pathama jhāna citta
- Rūpavacara dutiya jhāna citta
- Rūpavacara tatiya jhāna citta
- Rūpavacara catuttha jhāna citta
- Rūpavacara pañcama jhāna citta
Hasil dari kamma ini adalah terkondisi nya terlahir di alam alam Rupa Brahma.
d. Arūpāvacarakusala-Kamma.
Perbuatan baik yang mencapai arūpa-jhāna, yaitu cetanā (kehendak) yang berada dalam arūpāvacarakusala citta 4, terdiri dari :
- Upekkhā, Ekaggatāsahitam, ākasānancayatana kusalacittam : Kesadaran/pikiran baik yang keadaan konsepsi ruangan tanpa batas yang timbul bersama keseimbangan batin (upekkhā), pemusatan pikiran yg kuat (ekaggatā).
- Upekkhā, Ekaggatāsahitam, viññanañcāyatana kusalacittam : Kesadaran/pikiran baik yang keadaan konsepsi kesadaran tanpa batas yang timbul bersama keseimbangan batin (upekkhā), pemusatan pikiran yg kuat (ekaggatā).
- Upekkhā, Ekaggatāsahitam, ākiñcaññyatana kusalacittam : Kesadaran/pikiran baik yang keadaan konsepsi kekosongan yang timbul bersama keseimbangan batin (upekkhā), pemusatan pikiran yg kuat (ekaggatā).
- Upekkhā, Ekaggatāsahitam, nevasaññānāsaññayatana kusalacittam : Kesadaran/pikiran baik yang keadaan konsepsi bukan pencerapan pun bukan tidak pencerapan yang timbul bersama keseimbangan batin (upekkhā), pemusatan pikiran yg kuat (ekaggatā).

Perihal Penting Yang Harus Diketahui Oleh Soroh(Maxing class) Warga Pande.

 


Om Swastiastu
Bhisama Keempat, Tentang Larangan Memakai Tirtha Pedanda. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bhisama Keempat, adalah bhisama Mpu Siwa Saguna mengenai larangan menggunakan tirtha Brahmana Pedanda, tegasnya larangan memakai tirtha dari sulinggih keturunan Danghyang Nirartha (Dwijendra), yang memakai gelar Pedanda. Larangan itu sama sekali bukan didasari oleh niat merendahkan atau melecehkan sulinggih golongan lain, tetapi karena pemakaian tirtha dari Sira Mpu untuk segala upacara warga pande sebenarnya menyangkut beberapa prinsip yang sangat fundamental sifatnya bagi Warga Pande. Warga Pande sangat menghormati dan memuliakan semua sulinggih dari warga atau soroh manapun asal beliau berasal pada waktu beliau masih walaka.
Berikut dipaparkan mengapa Warga Pande tidak diperkenankan memakai tirtha sulinggih lainnya pada waktu melakukan upacara apapun di lingkungan mereka sendiri. Pelarangan itu tercantum dalam bhisama Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala yang berbunyi sebagai berikut: "Yan kita angupakara sawa, aywa kita weh aminta tirtha ring sang Brahmana Pandhita. Ngong anugraha kita ri wekas, samang da kita tan kanarakan".
" (kalau engkau mengupacarai mayat, janganlah hendaknya engkau mohon tirtha dari sang Brahmana Pandhita. Hal itu kuperingatkan kepadamu agar engkau tidak mendapat kesengsaraan di kemudian hari).
Dalam rontal Babad Pande Bratan, yang diketemukan di Jero Kawan Ubud, Kabupaten Gianyar (Gedong Kirtya Z 3494), yang dikoleksi oleh Jean F. Guermonprez, penulis buku: "Les Pande de Bali", dijelaskan lebih lanjut mengapa Warga Pande tidak boleh mohon tirtha kepada Brahmana Pedanda. Penjelasan Mpu Siwa Saguna adalah sebagai berikut: "Mwah yan kita mayadnya suka mwang dukha, aywa nurunakna tirtha Brahmana. Nguni kawitan ta kita madiksa widhi-krama minta nugraha ring paduka Bhatara. Mangkana kengeta, aja lali, weruhakena mwang sanak ira kabeh, kita kabeh aywa lupa ring Aji Dharma Kapandeyan, aywa kita lupa ring kejaten".
Dan lagi kalau engkau meyadnya baik yadnya yang ada kaitannya dengan suka maupun duka, janganlah nuwur (mohon) tirtha atau air suci dari Brahmana Pedanda. Mengapa? Karena sejak jaman dulu leluhurmu Madiksa Widhi-Krama, mohon panugrahan langsung ke hadapan Ida Bhatara. Demikianlah, ingatlah selalu, jangan lupa beritahukan hal itu kepada semua keturunanmu dikemudian hari. Janganlah lupa pada Aji Dharma Kapandean, janganlah engkau lupa pada jati dirimu).
Dari bhisama itu jelaslah bahwa penggunaan tirtha Sri Mpu bukan hanya pada waktu Pitra Yadnya saja, tetapi untuk segala upacara Panca Yadnya di lingkungan Warga Pande.
Berikut diuraikan alasan-alasan mengapa Warga Pande tidak dibenarkan memakai tirtha Sulinggih lain, selain tirtha Sri Mpu bilamana mereka melaksanakan segala upacara Panca Yadnya:
➡️ Pertama, karena pemakaian Sira Mpu merupakan penerusan tradisi leluhur yang telah berlangsung sejak jaman sebelum kedatangan Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali, karena jauh sebelum beliau datang di Bali, Warga Pande telah mempunyai sulinggihnya sendiri yaitu Sira Mpu. Tradisi itulah yang diwariskan dari generasi ke generasi, kendatipun pada jaya-jayanya sistem kerajaan di Bali banyak rintangan dan hambatan yang dialami oleh Warga Pande, karena banyak warga desa yang menolak pemakaian Sira Mpu pada waktu Warga Pande melakukan upacara Pitra Yadnya.
➡️ Kedua, Warga Pande tidak mempergunakan Pedanda, karena berdasarkan ajaran Panca Bayu, ada mantra-mantra khusus yang khusus berlaku bagi Warga Pande yang berhubungan dengan profesinya sebagai Pande yang tidak dipakai oleh para Pedanda. Mantra-mantra itu tidak boleh dilupakan dalam melaksanakan profesinya dan dalam berbagai upacara mereka. Mantra itu terdapat dalam Dharma Kepandeyan, seperti mantra sepit, palu dan mantra untuk perabot-perabot memande lainnya.
➡️Ketiga, karena Warga Pande sebagaimana juga dengan warga-warga lainnya di Bali mempunyai aturan tersendiri dalam pembuatan surat Kajang Kawitan bagi masing-masing soroh mereka pada upacara kematian. Kajang Kawitan untuk Warga Pande hanya dipahami secara mendalam oleh Sira Mpu Pande atau Mangku Pande saja dan oleh karena itu hanya merekalah yang berwenang membuatnya. Kajang Kawitan adalah semacam KTP atau SIM dalam kehidupan modern. Kalau KTP tidak cocok, misalnya photonya lain dengan orangnya, tentu saja KTP yang salah itu akan sangat menyulitkan.
➡️Keempat, karena tatacara padiksaan di kalangan Warga Pande sangat berbeda dengan tatacara padiksaan di kalangan warga lain, karena tatacara Mediksa Widhi-Krama, - yang akan diuraikan lebih mendalam dalam ketetapan tersendiri. Karena perbedaan yang sangat hakiki itulah mengapa Warga Pande tidak mempergunakan tirtha dari para Sulinggih lainnya, dalam segala jenis upacara mereka.
Hendaknya dipahami bahwa Bhisama keharusan memakai tirtha Sira Mpu sendiri bukan dilandasi oleh maksud merendahkan Sulinggih lain. Tidak beda halnya pada waktu kita mencari dokter. Kalau kita sakit gigi, misalnya, tentu dokter yang paling tepat adalah dokter gigi, bukan dokter ahli jantung, demikian juga sebaliknya. Kalau kita mencari dokter gigi, tentu bukan karena kita melecehkan atau menghina dokter ahli jantung.
Disarikan dari : ------------------------
Keputusan/Ketentuan Pesamuhan Agung IV (MSWP)Maha Semaya Warga Pande Provinsi Bali/Pusat.
Tanggal 1 Juni 2007
Di Wantilan Sri Keçari Warmadewa Mandapa Pura Agung Besakih.