Senin, 11 Juli 2022

Catur Purusa Artha

 


Didalam ajaran agama Hindu ada empat tujuan hidup manusia yang disebut dengan catur Purusa Artha.
Dharma (kebenaran; dalam kontek lebih luas dapat diartikan sebagai pengetahuan),
artha (kekayaan),
kama (keinginan, nafsu, seksual), dan
moksa (pelepasan dari ikatan lahir-hidup-mati, kebebasan).
Seks merupakan salah satu kebutuhan biologis bagi mahkluk hidup, khususnya oleh mahkluk yang berkaki dua, memiliki hidung, bertangan dua, berjalan dengan berdiri, memiliki pikiran, yang disebut manusia.
Hubungan seks dianggap surganya bagi pasangan suami-istri, tak jarang membuat seseorang tenggelam dalam kesenangan dunia material. Hubungan seks (kama) merupakan salah satu tujuan hidup manusia setelah kekayaan (artha), akan tetapi untuk mencapai tujuan tersebut harus berlandaskan pada dharma (kebenaran, aturan, hukum). Demikian halnya melakukan hubungan badan (bersanggama, hubungan intim) memiliki tata kramanya sendiri.
Adapun untuk “Asanggama (berhubungan badan)” haruslah dipilh juga hari baiknya, ini bertujuan untuk menurunkan putra yang “Suputra Mahotama” , penurut, pintar, berbakti pada orang tua, murah rejeki dan berwibawa. bila tidak maka keturunan yang akan terlahir akan menyebabkan kesusahan bagi keluarga dan lingkungannya.
Secara umum berkaitan dengan masalah tata krama senggama, sebaiknya anda tidak melakukan senggama itu pada saat hari-hari berikut ini :
Hari-hari suci atau rerahinan jagat,
Bulan purnama/tilem,
Tanggal ke 14 (prawani) sehari sebelum purnama/tilem,
Purwanin dina dan purwanin asih,
Weton suami atau istri,
Pada saat menstruasi untuk masa empat hari.
adapun hari yang paling baik untuk berhubungan badan adalah
Soma Umanis,
Budha Pon
Sukra Pon
Lontar Pamedasmara menetapkan hari terlarang lebih banyak lagi dan berlaku untuk umum kepada siapa saja yaitu;
purnama, tilem, purwani, hari wetonan, kala ngruda, kala mrtyu, minggu wage, selasa paing, selasa wage, rabu kliwon, kemis pahing dan sabtu kliwon.
Hari – hari yang mesti dihindari adalah
Anggara Paing,
Redite Wage,
Anggara Wage,
Budha Kliwon,
Wrespati Paing,
Saniscara Kliwon (tumpek)
Purnama dan Tilem
Saat weton ( hari Otonan / Petemuan Otonan) suami / istri.
Luang (Urip Saptawara + Urip Pancawara = Ganjil )
Selain itu adapun Hari – hari yang mesti dihindari adalah;
“Purwanin dina” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ;
Anggara Klion / anggarkasih,
Budha Klion, Sukra Wage,
Saniscara Klion / Tumpek.
“Purwanin Sasih” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ;
tanggal dan panglong ping 6, 8, 14.
“Pati Pata” sangat tidak baik memulai sesuatu pekerjaan / memulai dewasa, yaitu;
Juli / Kasa tanggal 10,
Agustus / Karo tanggal 7,
September / Katiga tanggal 3,
Oktober / Kapat tanggal 4,
November / Kalima tanggal 8 panglong 10,
Desember / Kanem tanggal 6 panglong 8,
Januari / Kapitu tanggal 11 panglong 11,
Februari / Kaulu tanggal 13 panglong 13,
Maret / Kasanga tanggal 7 panglong 6,
April / Kadasa tanggal 6 panglong 6,
Mei / Jyesta tanggal 1,
Juni / Sadha tanggal 4
“Dagdig Karana” Tidak baik membangun Karya, yaitu;
Redite tanggal 2,
Soma tanggal 1,
Anggara tanggal 10,
Budha tanggal 7,
Wrespati tanggal 6,
Sukra tanggal 2
Saniscara tanggal 7
“Pati Paten” Semua Karya dan Asanggama teramat dilarang, yaitu;
Eka Sungsang nuju Indra,
Dwi Tambir nuju Sri,
Tri Kaulu nuju Uma,
Catur Wariga nuju Kala,
Panca Pahang nuju Yama,
Sad Bala nuju Brahma,
Sapta Kulantir nuju Rudra,
Asta Langkir nuju Uma,
Nawa Uye nuju Guru,
Dasa Sinta nuju Rudra
“Kala Mertyu” sangatlah buruk, karena sangat berbahaya. dilarang untuk bersenggama juga, yaitu;
Redite Medangkungan,
Anggara Wayang,
Budha Sinta /Pagerwesi,
Wrespati Taulu,
Sukra Pujut,
Saniscara Medangsia
“Kala Ngruda” tidak baik untuk memulai suatu pekerjaan
Soma Umanis Sungsang,
Soma Paing Menail,
Redite Pon Dukut
“Sampar Wangke”
Soma Aryang
Pengaruh Hari Senggama menurut hari Menstruasi
bila persetubuhan dilakukan setelah masa mentruasi, antara lain:
senggama pada hari ke 4-5, lahir anak yang pendek,
pada hari ke 6, lahir anak yang bodoh,
pada hari ke 7, lahir anak yang kelak bodoh dan mandul,
pada hari ke 8, lahir anak yang sifatnya ingin selalu berkuasa,
pada hari ke 9, 10, 12, 14 dan 16, lahir anak yang tabiat dan sifatnya bijaksana serta suci,
pada hari ke 11 dan 13, lahir anak yang sifatnya jelek dan bahkan malas sembahyang serta anti agama,
pada hari ke 15 dan 17, lahir anak yang kelak banyak keturunan.
Sifat Anak berdasarkan senggama menurut penanggal/pangelong
hubungan suami istri bila dilakukan pada penanggal antara lain:
penanggal yang baik melakukan senggama, hubungan suami istri:
penanggal ping 3, baik dilakukan, karena pertemuan manusia.
penanggal ping 5, baik sekali, akan menjadi orang yang berprilaku suci.
penanggal ping 7, pertemuan hadiah, baik dilakukan senggama, anak yang lahir akan jadi dermawan.
penanggal ping 9, baik kesedana, namanya naga maya.
penanggal ping 10, baik, namanya sri molek, murah sandang pangan.
penanggal ping 11, baik, sri molek, anak dicintai dan berlaku cinta kasih.
penanggal ping 13, baik, anak akan selalu berbahagia.
Pangelong ping 5 dan 11, sangat baik, namanya sri maulekan.
penanggal yang dilarang dan dihindari untuk melakukan senggama, hubungan suami istri:
penanggal ping 1, pertemuan dewa, baik dilakukan senggama, akan tetapi anak pertama akan meninggal,
penanggal ping 2, jelek dilakukan, akan menemukan suatu pertentangan, anak akan suka menentang orang tua,
penanggal ping 4, tidak baik, anak yang lahir akan menjadi cacat.
penanggal ping 6, baik dilakukan, anak yang dilahirkan menjadi pintar tetapi akan menjadi licik dan jahat
penanggal ping 8, mantu mesatru, anak yang dilahirkan akan selalu bermusuhan dan banyak penderitaan.
penanggal ping 12, tidak baik, anak akan menderita dan kesakitan.
penanggal ping 14, sangat tidak baik, selalu kesusahan, serba buruk
penanggal ping 15, tidak boleh melakukan hubungan suami-istri.
semua pangelong, hindari.
Hubungan intim (senggama) Suami Istri dalam Weda
Tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh anak.
Sebab, kelak diharapkan anak menjadi penyelamat keluarga, membebaskan leluhur dari api neraka?
Karena itulah seoran anak disebut putra, artinya dapat membebaskan orang tua, atau leluhur dari pendritaan alias neraka. Itulah sebabnya kehadiran seorang anak begitu penting bagi keluarga Hindu, khususnya Bali.
Anak atau rare yang dapat membebaskan penderitaan keluarga, menjadi tempat berlindung orang tuanya, dan akhirnya kemudian menjadi penerus keturunan, haruslah anak yang baik, rare yang utama yang di dalam sastra Kanda Pat Rare disebut sebagai suputra.
Hal ini juga terungkap dalam beberapa sastra Hindu sebagai berikut : membuat sebuah telaga untuk umum, itu lebih baik daripada menggali seratus sumur. Melakukan yadnya, itu lebih tinggi mutunya, daripada membuat seratus telaga. Mempunyai seorang putra, itu lebih berguna daripada melakukan seratus yadnya, asalkan putra utama alias suputra.
Niti Sastra menyebutkan :
“Sang Hyang Candra teranggana pinaka dipa memadangi rikala ning wangi. Sang Hyang Surya sedeng prabhasa maka di pamemadangi ri bhumi mandala. Widya sastra sudharma dipa ri kanang tri bhuwana sumene prahaswara. Yening putra, suputra sadhu gunawan memadangi kula wandhu wandhawa”.
Artinya :
“Bulan dan bintang sebagai pelita yang menerangi di waktu malam. Matahari yang sedang terbit sebagai pelita menerangi seluruh wilayah Bumi. Ilmu pengetahuan, sastra utama sebagai pelita menerangi ketiga dunia dengan sempurna. Kalau di kalangan putra (anak) maka anak yang utama (suputra) menerangi seluruh keluarga”.
Demikian pula di dalam lontar Putra Sasana dinyatakan :
“Mapa palaning suputra, pari purna dharmayukti, subhageng rat susilanya, ambek santa sedu budi, kinasihaning nasemi, pada ngakwa sanak tuhu, sami tresna sih umulat, apan wus piana ageng widhi, yan suputra unggul ring sameng tumitah”.
Artinya :
“Bagaimanakah pahala seorang suputra yang sempurna dan berbuat dharma, termasyur susila dan bagus, hatinya damai dan berbudi mulia, setiap orang mengasihinya, semua mengaku keluarga, semua jatuh hati melihatnya, oleh karena Tuhan telah memastikan bahwa, orang-orang yang suputra unggul di antara semua mahluk”.
Untuk menciptakan atau mendapatkan anak atau rare yang suputra, amat tergantung kepada upaya-upaya yang anda lakukan. Ada tata karma senggama yang harus anda jalani.
Seperti contoh kasus berikut ini, dikutipkan dari epos Ramayana dan Mahabharata.
Dalam Ramayana:
Prabu Dasarata betul-betul mengadakan persiapan matang sebelum “membuat” anak. Atau sebelum senggama alias bersetubuh dengan istrinya. Jadi, sebelum Dasarata melakukan “pertemuan” dengan istrinya, beliau dan istri terlebih dahulu elakukan upacara persembahyangan. Karena motivasi beliau bersenggama dengan istrinya, adalah untuk mendapatkan anak yang suputra, bukan untuk pemuasan birahi atau nafsu semata.
Karena tujuannya untuk mendapatkan anak yang suputra alias anak yang utama, maka beliau melakukan tata karma senggama, menurut anjuran para Maha Rsi, maka begitu pula yang beliau peroleh. Empat anak dari tiga istrinya di memiliki kualitas tinggi. Bahkan anak tertua, yaitu Rama tak lain adalah titisan Dewa Wisnu. Tentu tak mudah menghadirkan “Wisnu” dalam keluarga, atau tentu tak mudah usaha yang dilakukan, sehingga dipercaya sebagai ayah Dewa Wisnu. Jika Wisnu ibarat magnit, maka beliau tentu hanya mau mendekati logam yang bersih tak berkarat. Dasarata salah satu contoh manusia yang bersih dalam arti seluas-luasnya.
Contoh lain, kita bisa melihat pada kasus kelahiran Rahwana dan adik-adiknya.
Wisrawa, seorang bhagawan sakti mandraguna, ketika melakukan senggama dengan Dewi Sukesi, adalah semata-mata karena dorongan nafsu birahi belaka. Mereka bukanlah suami-istri, karena kedatangan bhagawan sebenarnya adalah untuk melamar Dewi Sukesi, atas perintah atau permintaan anaknya Prabu Danapati. Tapi, malah dikawin sendiri. Akibat perkawinan itu, lahirlah Rahwana, Suparnaka, Kumbakarna dan Wibisana.
Menurut cerita, hanya Wibisana lahir dari “prosedur” perkawinan yang benar, artinya sah secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Karena ketika akan mengadakan “pertemuan” terakhir itu, sang bhagawan dan sukesi baru sdar, bahwa perbuatannya yang terdahulu sungguh tidak terpuji, tidak layak dilakukan oleh seorang bhagawan.
Mereka baru menyadari, bahwa hanya sepasang suami-istri yang sah, yang bias melakukan hubungan intim begini. Karena dilandasi oleh kesadaran dan budi luhur, maka lahirlah Wibisana, manusia bijaksana dan berbudi luhur.
Begitu pula dengan kelahiran Pandawa dan Korawa.
Dewi Gandari yang menjadi ibu Korawa, diliputi perasaan penuh ambisi kekuasaan ketika bersenggama dengan suaminya. Gandari ingin punya anak banyak, karena ia berpikir dengan jumlah yang banyak pasti akan kuat. Dengan demikian, harapan Gandari, Kerajaan Astina, yang merupakan kerajaan adikuasa, akan tetap di pegang oleh anaknya. Harapan Gandari terpenuhi, ia punya anak 100 orang, sehingga sering disebut seratus Korawa.
Yang menarik adalah kasus Kunti.
Kunti, Istri pandu ini, oleh seorang resi sakti, diberikan kekuatan kesaktian untuk memanggil Dewa. Maka, ketika ia ingin anak yang bijaksana, teguh memegang dharma, ia memohon kepada Bhatara Dharma. Ketika ingin anaknya yang teguh fisiknya, teguh juga pendiriannya, ia mohon kepada Bhatara Bayu. Begitu pula ia mohon kepada Bhatara Indra, agar dianugrahi anak yang sakti mandraguna, ahli dalam ilmu perang, maka lahirlah Arjuna. Bahkan Kunti pun bias memanggil Dewa untuk kepentingan Madri, istri Pandu yang lain. Madri pun melahirkan anak kembar, Nakula dan Sahadewa, karena Kunti memohon kepada Bhatara Aswin yang juga kembar.

Dalam kenyataan hidup di masyarakat, kita sering melihat banyak anak lahir tanpa tata karma perkawinan yang benar.
Di Amerika Serikat, pernah ada hasil penelitian, bahwa anak yang lahir dari hasil perkosaan sangat potensial untuk menjadi penjahat. Seperti disadari, anak yang lahir dari perkosaan tentu anak yang tidak diharapkan. Yang diperkosa maupun yang emperkosa, tentu tidak memiliki rencana dan persiapan untuk “membuat” anak. Yang diperkosa tentu memberontak penuh dendam. Begitu pula, yang memperkosa akan berjuang penuh nafsu untuk melampiaskan nafsu bejatnya. Maka, hasilnya tentulah seorang anak yang dipenuhi sifat-sifat dendam dan penuh nafsu.
Bahkan setelah menikah secara sah, persenggamaan itupun tidaklah dapat dilakukan sebebasnya. Oleh karena, pada saat-saat tertentu, masih terdapat larangan-larangan untuk melakukan persenggamaan. Maka dari itu, bagi suami istri perlu memperhatikan sikapnya masing-masing, agar tidak mempunyai pengaruh yang tidak baik.
Menurut pandangan agama Hindu di Bali, bahwa sesungguhnya sang penganten itu, masih dikatakan mempunyai sifat-sifat wyawahara (pertentangan-pertentangan). Wyawaraha inilah yang meresapi badan dan jiwa pengantin, yang menyebabkan mereka menjadi leteh (cemar)dan cuntaka (cacat). Agar cemar cuntaka tersebut hilang, maka pegantin itu perlu diupacarai prayas cita (disucikan), dan disertai dengan pengupakara (sesajen) yang disebut mawidhi-widhana mesakapan byakala nganten. Penyucian diri sang penganti itu sangat perlu, untuk menghapus cemer dan cuntaka yang ada pada diri mereka. Dengan demikian, anak yang diperolehnya nanti itupun akan terlepas dari kecemaran dan kecatatan.
Didalam lontar Anggastyaprana disebutkan bahwa kalau “pertemuan” (persenggamaan) tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan, maka tiada bedanya bagaikan pertemuan atau perkawinan binatang kidang atau menjangan. Selanjutnya disebutkan pula, kalau sang istri sedang tidak suka untuk digauli, hendaknya jangan dipaksa atau diperkosa, jangan mencaci-maki dan lain-lain. Begitu pula pada saat si istri sebel ring dewek (menstruasi) jangan diajak bersenggama. Kalau dipaksa, maka persenggamaan itu leteh dan cuntaka. Seandainya itu terjadi, dan kebetulan menghasilkan pembuahan, maka anak yang lahir, akan membawa bermacam-macam penyakit, nakal dan angkuh terhadap ibu bapaknya, sangat menyusahkan orang tuanya. Akibat lainnya adalah sang istri sering mengalami keguguran.
Proses Reproduksi yang baik dan terkendali
Dalam proses reproduksi atau pembuatan anak perlu diperhatikan waktu yang dibenarkan dan yang dilarang oleh ajaran agama Hindu atau yang pas untukmewujudkan keinginan punya anak laki atau perempuan. Posisi tubuh atau gaya bermain kedangkalan penting diperhatikan terutama untuk pasangan yang mengalami kesulitan punya anak. Namun sejauh itu Weda belum mengatur.
Memahami waktu yang dilarang dan dibenarkan sangat diperlkan bila ingin mendapatkan anak suputra sadhu gunawan, karena lontar Pameda smara menyatakan sebagai berikut:
“Yan asanggama ring istri wenang pilihan rahinane sane kinucapayu, riwekasan yan adue anak lanang istri pahalanya dirgayusa tur saidep warah yukti,tan angambekaken dursile, tan langgana, tuhu ring karya, bhakti ring guru. Mangkana kapanggih de sang aniti brata yukti”
Artinya:
bila meggauli istri pada hari yang baik, maka bilananti punya anak akan diperoleh anak yang panjang umur, penurut, tidak nakal, tekun bekerja, hormat pada guru atau orang tua. Itulah yang didapat oleh orang yang mampu mengendalikan diri dalam menggauli istrinya.
Dibandingkan dengan Kitab suci Sarasamuccaya dan Pamedasamara, Veda Smrti tidak banyak menetapkan hari – hari terlarang.
Misalnya;
Dalam Weda Smrti III. 45-47 hanya menetapkan larangan menggauli istri pada saat menstruasi yang lamanya lebih kurang empat hari dan purwani yaitu sehari sebelum purnama atau sehari sebelum tilem. Khusus untuk kaum brahmana, agar tetap terjaga kesuciannya dilarang menggauli istri pada bulan purnama (poornima) dan pada hari pertama, kedelapan dan keempat belas setelah bulan mati ( tilem/amavasya). Demikian dalam Weda Smrti IV. 128.
Rtu kalabhigamisyat
swadaraniratah sada,
parwawarjam wrajeccainam
tad wrato rati kamyaya (Manawa Dharmasastra III.45)
artinya:
hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas dengan istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan kelamin pada hari apasaja kecuali parwani.
Rtu swabhawikah strinam
ratrayah sodasa smrtah,
caturbhiritaraih sardhanam
ahobhih adwigarhitaih (Manawa Dharmasastra III.46)
artinya:
enam belas hari dan malam setiap bulannya termasuk empat hari yang berbeda-beda dari yang lainnya dan yang tercela orang yang budiman dinamakan waktu-waktu yang wajar bagi wanita.
Nasamadyasca tasrastu
ninditai kadasi ca ya,
trayodasi ca sesastu
prasasta dasa ratrayah (Manawa Dharmasastra III.47)
artinya:
tetapi diantara hari-hari itu sampai hari ke empat, hari ke 11, hari ke 13, dinyatakan terlarang dan hari-hari lainnya dianjurkan.
Amawasyamastamim ca
paurnamasim caturdasim
brahmacari bhawennityam
apyritau snatako dwijah (Manawa Dharmasastra IV.128)
artinya:
seorang brahmana dan juga snataka hendaknya tetap suci pada saat-saat sebagai pada waktu malam pertama terang bulan, pada malam bulan purnama dan sehari sebelum purnama, walaupun saatnya baik untuk bersenggama.
Didalam Veda ada dinyatakan
“…O suami yang bodoh, yang penuh kejantanan, saya melarang engkau melakukan senggama pada waktu subuh dan waktu matahari memancarkan sinarnya”.
Bersenggama hanya dibenarkan pada malam hari.
Mengacu pada Bhagavata Purana 3.14.23 yang mengisahkan kehamilan Dhiti, hubungan badan yang paling ideal dapat dilakukan 3 jam setelah matahari tenggelam atau 3 jam sebelum matahari terbit dan hindari waktu-waktu saat tengah malam.
Karena dikatakan waktu-waktu yang tidak tepat seperti sandya dan tengah malam adalah waktu dimana mahluk-mahluk dan roh-roh jahat sedang berkeliaran dan saling berebut untuk mendapatkan kesempatan terlahir kembali.
Veda menegaskan bahwa proses masuknya atman (jiva) kedalam kandungan terjadi pada saat pembuahan sel telur oleh sperma, sehingga jika terjadi pada saat yang tidak tepat seperti ini dikhawatirkan yang akan menjelma adalah jiva-jiva yang berasal dari mahluk-mahluk yang bertabiat jahat.
Disamping faktor waktu, faktor lokasi berhubungan badan juga sangatlah menentukan, sehingga dianjurkan untuk melakukan hubungan badan di tempat yang bersih, menyenangkan dan nyaman di rumah. Hubungan badan sama sekali tidak boleh dilakukan di tempat-tempat suci seperti tempat ziarah suci (tirthas), pura, kuil atau mandir. Juga tidak dibenarkan melakukan hubungan badan di tempat-tempat angker, seperti tempat pembakaran mayat/kuburan, ashrama seorang guru, di rumah seorang Vaisnava, dibawah pohon suci seperti beringin, mangga, nim, bodi dan lain-lainnya, di Gosala (kandang sapi), di hutan dan juga di dalam air (Subudhi, narayanasmrti, 2010).
Waktu-waktu sakral yang wajib dihindari bersenggama adalah purnama, bulan mati, prawani/sehari sebelum purnama dan bulan mati, hari-hari besar keagamaan atau hari suci, hari paruh gelap ke delapan. Kitab Sarasamuccaya menegaskan,
“Hendaknya seorang suami dan istri yang menghendaki hidup langgeng dalam berumah tangga, menghindari untuk melakukan senggama pada bulan mati (tilem), paruh terang dan paruh gelap ke delapan (😎, paruh terang dan paruh gelap ke empat belas/14 (prawani) serta pada bulan purnama” (Sarasamuccaya 255).
Keterangan lontar Sarasamuccaya dipertegas dalam kita Siva Purana, bahwa:
“seseorang tidak dibenarkan melakukan hubungan seksual pada saat hari Sivaratri (sehari sebelum bulan mati), dan juga dilarang melakukan pemujaan atau sembahyang kepada Tuhan usai melakukan hubungan seks sebelum mandi, dengan kata lain suami istri wajib hukumnya untuk menyucikan diri (mandi) jika hendak melakukan pemujaan kepada Tuhan setelah melakukan hubungan seksual”.
Dalam kitab Siva Purana terdapat kisah sebagai berikut (hanya ditulis poinnya saja): Rsi Suta berkata:
… ada sebuah peristiwa pada saat Sivaratri ketika semua sedang melakukan puasa, Sudarsana melakukan hubungan seksual dengan istrinya dan kemudian melakukan pemujaan. Tapi sebelum ia melakukan ibadah, ia tidak mandi. Untuk perbuatan ini Deva Siva marah dan berkata. (Siva Purana, Kotirudra Samhita XIII. 26)
Dewa Siva bersabda:
Wahai orang yang tidak memiliki tata krama, kamu melakukan hubungan seksual dengan istri pada saat Sivaratri. Tanpa mandi engkau melakukan pemujaan. Engkau sebenarnya dekat dengan ketikdakbijaksanaan. Karena engkau telah melakukan ini secara sadar, jadilah orang yang lamban dan tidak sadar. Anda adalah orang yang tak tersentuh bagi-Ku. Hindari menyentuh-Ku. (Siva Purana, Kotirudra Samhita XIII. 29-30)
Selain itu, dalam berbagai literatur Veda (seperti Siva Purana), demikian juga dalam tradisi, bersanggama juga dilarang pada saat istri sedang menstruasi (kotor kain), seorang istri yang sedang menstruasi tidak dibenarkan untuk diajak seranjang, bahkan tidak dibenarkan diajak berbicara (hal ini terutama dilakukan oleh orang yang mempelajari spiritual). Hal ini dijelaskan didalam lontar Agastya Parwa.
Tempat brahmahatya yang terpenting pada siang hari adalah pada wanita juga. Sesungguhnya ia berkurang setiap bulan, brahmahatya pada wanita keluar berbentuk darah itulah yang disebut kotor kain di masyarakat. Oleh karena itu, orang yang hendak mencapai surga tidak boleh memegang perhiasannya dan makanan apalagi satu tempat tidur dengan wanita yang sedang kotor kain, karena sebenarnya ke luar brahmahatyanya turut pula mendapat dosa yang diajak berbicara lebih-lebih pula kalau sampai disentuh. Sungguh-sungguh itu larangan menurut Sang Hyang Agama.
Wanita yang tidak keluar brahmahatyanya disebut kuming di masyarakat.
Tidak diajak serta dalam pergaulan, tidak dibenarkan ikut dalam upacara kematian (tileman) pada Hyang Siwamandala, dan sebagainya, Yajna Sradha. Dia harus berhenti sebagai pelayan pekerjaan-pekerjaan itu meskipun ikut menyentuh saji. Maka itu anak yang belum kotor kain dan wanita tua yang tidak kotor kain lagi memegang saji Bhatara sampai saat ini (Agastya Parwa halaman 58).
Artikel yang berkaitan dengan Hari Baik Berhubungan Intim (Senggama):
Cara Membuat Anak Keturunan yang Suputra
Do’a mantra memohon anak keturunan
Cara memilih hari Baik ala nak bali
Dewasa Ayu Nganten, Pawiwahan atau Pernikahan
Orang Bali WAJIB Ketahui hal ini
Note: Sudarsana putra brahmana Dadhici (sloka 20), istri Sudarsana bernama Dukula (sloka 21). Sudarsana melakukan penebusan dosa dengan metode pemujaan Candi dan syair agung kepada dewi Parvati dengan ketaatan yang luar biasa (sloka 37). Dewi Parvati berkenan, Sudarsana dijadikan anak angkat (sloka 39), Sudarsana diupacarai ritual penyucian dengan Ghee, diberikan tiga senar suci dengan simpul tunggal dan isntruksi tentang Sivagayatri terdiri dari enam belas suku kata (sloka 42-43). Kemudian, Sudarsana melakukan pemujaan Samkalpapuja (sloka 44). Ini membuat dewa Siva berkenan (45).
Akan tetapi, bila memang tidak ingin mewujudkan keluarga bahagia selamat sekala-niskala, dengan anak-anak yang suputra, maka semua aturan itu tidak berlaku. Artinya, bersenggama semata-mata untuk kesenangan atau pemuasan nafsu belaka, itu boleh dilakukan kapan saja dimana saja.
Jadi, disamping pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh kesalahan menghitung hari, dalam menentukan hari perkawinan, maka gerak pikiran, sikap, gaya, maupun sifat-sifatsaat melakukan senggama, juga berpengaruh terhadap bayi.
Kwee Tek Hoay, dalam bukunya penghidupan di Sananya Kubur, menyebutkan bahwa, pada saat menanam bibit (bersenggama) harus betul-betul memperhatikan kebersihan gerak pikirannya, agar supaya roh-roh yang tidak baik jangan sampai menjelma sebagai anaknya kelak.

5 bentuk yadnya

 


Yadnya kalau di Bali memang identik dengan upacara. Tetapi sesungguhnya bentuk yadnya itu bukan hanya sekedar upacara.
Ada 5 bentuk yadnya :
1. Yadnya dalam bentuk upacara/upakara
2. Yadnya dalam bentuk pengendalian diri/tapa
3. Yadnya dalam bentuk perbuatan/karma
4. Yadnya dalam bentuk uang/punia
5. Yadnya dalam bentuk ilmu/jnana
Selain dengan upacara bagaimana contoh pelaksanaan yadnya sehari hari?
Dewa Yadnya : Rajin bersembahyang, selalu berdoa dalam melaksanakan kegiatan,mempelajari dan melaksanakan ajaran agama,menjaga tempat suci
Pitra yadnya : menghormati orang tua,membantu orang tua,merawat orang tua,menjadi anak yang suputra
Manusa yadnya : saling menolong antar sesama,saling menghormati dan mengormati, membantu sesama,merawat diri,melakukan upacara untuk meningkatkan kesucian diri.
Rsi Yadnya : menghormati guru,mentaati dan mengamalkan ajaran baik dari guru,menjaga kesejahteraan atau membantu para sulinggih,pemangku.
Butha Yadnya : menjaga lingkungan, menjaga kebersihan,menyayangi semua mahluk ciptaan tuhan.
Inilah sebenarnya yang lebih penting daripada sekedar upacara. Kita mengidentikan yadnya tersebut hanya dengan upacara. Dalam kehidupan sehari hari essensi yadnya tidak begitu kita perhatikan.
***************
Manawa Dharmasastra V.109 :
“ Adbhirgatrani suddhayanti mana satyena suddhayanti, Widyatapobhyam bhutatma buddhir jnanena suddhayanti”

Pawintenan Pemangku, dapat dibedakan dalam tiga jenis

 


Pawintenan Pemangku, dapat dibedakan dalam tiga jenis, tergantung dari banten ayaban yang dipakai :
1. Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati
2. Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit
3. Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur
Pawintenan dengan Banten Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai saktinya Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan pawintenan dengan ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan memuja dua Dewa – Dewi yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar Siwa yang berfungsi sebagai pelindung umat manusia.
Kemudian pawintenan dengan ayaban Banten Catur adalah penyucian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pawintenan Pemangku Suami-Isteri
Pemangku suami isteri dalam melaksanakan upacara pawintenan hendaknya dilakukan bersama-sama oleh suami dan istrinya. Bila sebelum menikah laki-laki yang diwinten, maka setelah menikah, pawintenan suami istri harus dengan banten ayaban yang sama seperti ketika suaminya mawinten dahulu. Upacara pawintenan ulang bagi suami ini disebut pawintenan masepuh. Dalam suatu rumah tangga, tidak boleh ada suami atau istri yang salah seorang diantaranya tidak mawinten. Artinya kedua orang baik suami maupun istri haruslah sudah disucikan.
Guna untuk mendapatkan kesucian kepemangkuan tersebut
Dalam kemangku Hindu, menurut pandangan beberapa sastra lontar
Secara etimologi, kata Pamangku berasal dari bahasa Jawa Kuna dari kata“Pangku” yang artinya menyangga atau menopang. Kata menyangga atau menopang rupanya parallel dengan arti kata dharma dari kata “dhr” menjadi “dhara” yang artinya juga menyangga. Kata pangku ini mendapat awalan "pa" mengalami nasalisasi menjadi Pamangku dalam lidah Bali diucapkan Pemangku. Dihubungkan dengan kata dharma yang memiliki arti sama, maka seorang Pamangku adalah penyangga dharma sekaligus figur dari perwujudan dharma itu sendiri (Sang Paragan Dharma).
Menurut Lontar Widhisastra kata Pamangku diuraikan menjadi “PA”
bermakna “Pastika pasti” yang artinya paham akan hakekat kesucian diri. “MANG” bermakna “Wruh ring tata-titining Agama” artinya paham mengenai pelaksanaan ajaran agama. “MANG” juga merupakan aksara suci untuk “Iswara” atau Siwa. Menurut pustaka Purwwa gama sasana, Dewa Iswara merupahan Guru Niskala bagi
warga desa pakraman, Baliau Sang Hyang Iswara juga dijuluki Sang Hyang Ramadesa. “KU” bermakna “kukuh ring Widhi” yang artinya teguh dan konsisten berpegangan kepada aturan-aturan kebenaran yang berasal dari Tuhan atau Hyang Widhi Wasa.
Lontar Sukretaning Pamangku, menguraikan bahwa, Pamangku
adalah perwujudan I Rare Angon, yakni manifes, personal dari Dewa Siwa dalam fungsinya sebagai Dewa Gembala, seperti dinyatakan sebagai berikut:
"Iki sukretaning Pamangku ring kahyangan, wenang tegesing Pamangku kawruhakna kang mawak Pamangku ring sariranta, I Rare Angon mawak Pamangku ring sariranta. "
Terjemahannya
"Ini tata aturan tentang Pamangku di suatu pura, yang dimaksud dengan Pamangku untuk diketahui, yang berwujud Pamangku dalam dirimu, sesungguhnya I Rare Angonlah yang berwujud Pamangku. dalam dirimu".
Pemahaman tentang kepemangkuan berserta sesana Pemangku.
Sesana Pemangku adalah suatu landasan moral yang patut menjadi pedoman seorang pemangku di dalam menjalankan profesinya agar Pemangku tetap dipandang sebagai perantara antara Umat dengan Ida Bhatara dan sebaliknya pula anatara Ida Bhatara dengan Umat. Landasan moral dalam berprilaku sebagai seorang Pemangku.Kode etik ini terdiri dari:
1. Wewenang Pemangku. Dalam melaksanakan tugasnya Pemangku berwenang untuk :
a. Memimpin / mengantarkan suatu upacara sesuai dengan pawintenannya dan panugrahan dari Nabe, (Sesuai dengan batasan-batasnnya atau kewenangannya yang diberikan oleh guru Nabe).
b. Memimpin Upacara dipura yang menjadi amongannya.
c. Dalam melaksanakan tugasnya berpakaian serba putih dan bersih. Boleh berambut panjang ataupun bercukur, maupun menutup kepalanyan dengan destar.
d. Mengahaturkan banten, nunas pamarisudha banten, memberi ijin untuk nedunang bhusana, arca, daksina ataupun kelengkapan di Pura, serta melarang orang lain yang melakukan hal-hal tidak baik di Pura.
Menurut Lontar Raja Purana Gama. Ekajati yang tergolong pamangku dibedakan jenisnya, sesuai dengan tempat dan kedudukannya, dimana beliau ini melaksanakan tugasnya, yaitu:
1. Pamangku Kahyangan (Pemangku Kusuma Dewa) Pamangku Kahyangan adalah Pamangku yang bertugas pada Kahyangan yang meliputi Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat maupun Sad Kahyangan. Masing-¬masing pura ini memiliki seorang atau lebih Pamangku pemucuk dan mengemban tugas dan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan pada pura yang, diemongnya. Selain itu memahami tentang keberadaan pura serta upacara dan upakara yang semestinya dilaksanakan. Pemangku tersebut sering juga disebut Mangku Gde/Mangku Pemucuk. Seperti Pemangku Desa, Dalem, Puseh serta sesungsungan desa lainnya, Kahyangan Jagat serta. Dangkahyangan.
2. Pamangku Pamongomong (Pembantu Pemangku Kusuma Dewa) Pamangku Pamongmomg juga disebut dengan sebutan Jro Bayan, atau dengan sebutan Mangku alit, yang memiliki tugas sebagai pebantu dari Pemangku Gde di suatu pura, yang sering juga disebut Pamangku alit, dengan tugas pokok mengatur tata pelaksanaan dan jalannya upacara, dan hal-hal lainnya sesuai dengan perintah Pemangku Gde.
3. Pamangku Jan Banggul Pamangku Jan Banggul juga disebut dengan sebutan Jro Bahu, disebut juga Pamangku alit, yang bertugas sebagai pembantu Pemangku Gde, dalarn menghaturkan atau ngunggahang bebanten, menurunkan arca pratima, memasang bhusana pada pelingih, nyiratan wangsuh pada dan memberikan bija kepada umat yang sembahyang, serta hal-hal lainnya sesuai dengan perintah / waranuggraha Pemangku Gde pada pura tersebut.
4. Pamangku Cungkub Pamangku Cungkub yaitu: Pamangku yang bertugas di Mrajan Gde yang memiliki jumlah Palinggih sebanyak sepuluh buah atau lebih.
5. Pamangku Nilarta Pamangku Nilarta adalah Pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai pura Kawitan atau pura Kawitan dari keluarga tertentu.
6. Pamangku Pandita Pamangku Pandita memiliki tugas muput yadnva seperti Pandita. Adanya Pemangku jenis ini didasarkan atas adanya tradisi atau purana pada daerah tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan pemuput Pandita. Sehingga segala tugas, menyangkut pelaksanaan Panca Yadnya diselesaikan oleh pemangku tersebut, dengan mohon tirtha pamuput dengan jalan nyelumbung.
7. Pamangku Bhujangga Pamangku Bhujangga adalah pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai paibon.
8. Pamangku Balian Pamangku ini hanya bertugas melaksanakan swadharma Balian, dapat nganteb upacara atau upakara hanya yang berhubungan pengobatan terhadap pasiennya.
9. Pamangku Dalang Pamangku yang melaksanakan swadharma sebagai Dalang, dapat nganteb upacara atau upakara yang hanya berhubungan dengan swadharma Pedalangannya saja, seperti mabayuh pawetonan atau Nyapuh Leger.
10. Pamangku Tapakan / lancuban Pamangku ini hanya bertugas apabila pada suatu pura melaksanakan kegiatan nyanjan atau nedunan Bhatara nunas bawos, untuk kepentingan pura tersebut untuk, memohon petunjuk, dari dunia niskala.
11. Pamangku Tukang Pamangku ini juga disebut Pamangku Undagi, pamangku yang paham akan ajaran Wiswakarma serta segala pekerjaan tukang, seperti Undagi, Sangging, Pande dan sejenisnya, dapat nganteb upacara atau upakara hanya sebatas yang berhubungan dengan tugas beliau sebagai tukang.
12. Pamangku Sang Kulputih Pamangku Sang Kulputih swadharmanya sebagai pemangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dalam pemujaannya.
13. Pamangku Sang Kulpine Pamangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dan Kusuma Dewa dalam swadharmanya sebagai pembantu Pamangku Sang Kulputih.
14. Pamangku Kortenu, Pamangku Kortenu adalah Pemangku yang bertugas di Pura Prajapati, selain nganteb di Pura yang di emongnya, juga dapat nganteb upacara yang berhubungan dengan Pitra Yadnya, seperti Ngulapin Pitra pada saat akan melaksanakan upacara Atiwa-tiwa dan lain sebagainya.
Ada juga yang sistem Ulu Apad
adalah pembagian tugas adat yang terdiri dari 6 tingkatan yang terbagi menjadi dua sisi yaitu sisi kanan dan sisi kiri atau Kebot Tengawan. Sistem ini dipimpin oleh Jero Kubayan .
Jero Kubayan yang bertugas sebagai pemimpin segala upacara Jero Kebawu tugasnya sama seperti Jero Kubayan menghaturkan persembahyangan hanya sifatnya sebagai pengganti apabila Jero Kubayan berhalangan,
Jero Singgukan sebagai asisten Jero Kubayan dalam jalannya upacara,
Juru Saih Nem (Ke-6 juru).
Selanjutnya 3 di bawahnya ini ada
Jero Penyarikan mengurus ternak-ternak peliharaan,
Juru Pemalungan sebagai juru balungan,
Juru Penguan bertugas membuat sarana upakara di Pura,
Hal yang menarik dari Sistem Ulu Apad ini adalah sistem pergantian jabatan yang ditentukan apabila salah satu pewaris ke-6 Ulu Apad tersebut menikah,
Contohnya :apabila putra dari Jero Kubayan menikah maka Jero Kebawu naik tingat menjadi Jero Kubayan, dan putra dari Jero Kubayan sebelumnya yang mengisi posisi paling bawah, begitu juga berlaku untuk putra-putra dari ke-6 Ulu Apad tersebut, jadi dapat dikatakan tugas seorang Jero Kubayan berakhir apabila anaknya sudah menikah.
pada sistem Ulu Apad jika anaknya sudah menikah maka yang orang tua anak tersebut akan pensiun, jika sudah menikah jero yang dibawah naik menjadi Jero Kubayan begitu seterusnya diikuti dengan kedudukan – kedudukan dibawahnya, bisa juga berganti jika salah satunya meninggal,

YADNYA YANG AGUNG

 


Om Swastyastu
Om Awighnam Astu Namo Sidham
Dikisahkan dalam Kitab Suci Purana, ada pasangan suami istri melakukan perjalanan suci Dharma Yatra, untuk memenuhi makanannya, mereka mencari sisa-sisa dari orang yang selesai panen di suatu ladang. Setelah selesai dimasak, buburnya dijadikan 2 mangkok dan setelah berdoa, begitu mereka mau makan, tiba-tiba ada orang tua renta menghampiri mereka. Orang tua ini berkata: Anakku kakek lapar sekali, sudah 2 (dua) hari tidak makan dan minum, kalau sekiranya Anaku tidak keberatan mohon dibagi buburnya. Kedua orang bhakta-yatra ini dengan senang hati melayani kakek ini, kedua mangkok bubur ini dipersilahkan untuk dimakan. Tetapi, Kakek ini memakannya hanya sedikit, lalu pergi dan menghilang.
Bhakta-yatra ini sangat kaget dengan menghilangnya Kakek ini, dalam benaknya orang tua yang datang tadi itu bukan orang sembarangan. Tidak lama kemudian, ada sabda gaib menggema dari langit.
Isi sabdanya:
Wahai AnakKu yang menghampiri kalian tadi adalah Aku "Dewa Siwa". Apa yang kalian persembahkan tadi merupakan "Yadnya Agung" yang nilainya melebihi dari nilai "Yadnya Asvameda", yang pernah dulu dilakukan pada saat selesai perang Bharata Yuddha di kerajaan Astina Pura.
Mengapa hanya semangkok bubur tergolong Yadnya Agung?
Kalian mendapatkan bahan bubur itu dengan cara yang benar (dharma).
Bubur yang kalian persembahkan itu tergolong yadnya satwika (segar, bersih, dan suci).
Kalian memasaknya dengan memanjatkan doa terlebih dahulu.
Sebelum kalian memakan bubur itu, kalian persembahkan terlebih dahulu kepada Tuhan.
Kalian telah mempersembahkannya dengan tulus dan iklas.
Yadnya banten yang kita warisi dari Leluhur sebenarnya ada 4 jenis yadnya banten yaitu:
Banten perwujudan:
banten daksina tapakan, banten dewa-dewi, dan banten catur.
Banten penyucian;
banten pedudusan untuk dewa-dewi, banten dyuskamaligi untuk orang meninggal, banten byakala untuk butha, dan banten byakala dan prayascita untuk manusia.
Banten persembahan:
banten ajuman, rayunan, dan boga untuk dewa-dewi, banten saji tarpana untuk pitra, dan banten segehan untuk butha.
Banten permohonan: banten peras, sesayut, dan tebasan.
Dalam setiap melakukan yajña harus selalu mengacu kepada weda. Ada 5 (lima) dasar pertimbangan yang dipakai di dalam mewujudkan masyarakat sejahtera (dharma siddhyartha) yang disebut dengan “Pañca Tarka. Hal ini, tersurat dalam pustaka śuci Manawa Dharmaśastra:
karyan so wekṣya saktimca,
desa kalañca tattwatah,
kurute dharma siddhyartham,
Wisva rupam punah- punah.
Setiap beryadnya supaya mempertimbangan:
1 Tujuan (iksa)
2 Sesuai kemampuan (sakti)
3 Sesuai kondisi setempat (desa)
4 Sesuai waktu (kala)
5 Sesuai filsafat (tattva)
Supaya setiap melakukan yajña, mendapatkan anugrah dari Hyang Widhi, Para Dewa, dan Leluhur, maka waktu, tempat, dan caranya harus tepat. Seperti mencari susu sapi, harus dilakukan tepat tempatnya, tepat waktunya, dan tepat cara memerasnya.
Di sekujur tubuh sapi mengandung zat susu, tetapi susu hanya bisa ke luar hanya dari putingnya, diperas pada pagi hari, dengan cara yang tepat.
Begitu juga untuk memproleh anugrah dari Hyang Widhi, Dewa-Dewi, dan Leluhur harus pada tempat, waktu, dan cara yang tepat.
Dalam kitab suci juga sudah tercantum bahan yang dipakai membuat yadnya yaitu
1 Bunga (puṣpam).
2 Buah, bije (phalam).
3. Air (toyam).
4. Dupa
Begitu juga hirarki landasan yang dipakai dalam setiap melakukan yajña, yaitu:
Śruti,
Smṛti,
Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang bijaksana sebagai penghayat veda),
Acara (tradisi-tradisi dari orang suci), dan
Atmanastusti (rasa puas diri sendiri).
Om samastha lokha sukino bhavantu Om
Om Hyang Widhi, semoga semua makhluk hidup berbahagia di alam semesta ini.