Didalam ajaran agama Hindu ada empat tujuan hidup manusia yang disebut dengan catur Purusa Artha.
Dharma (kebenaran; dalam kontek lebih luas dapat diartikan sebagai pengetahuan),
artha (kekayaan),
kama (keinginan, nafsu, seksual), dan
moksa (pelepasan dari ikatan lahir-hidup-mati, kebebasan).
Seks merupakan salah satu kebutuhan biologis bagi mahkluk hidup, khususnya oleh mahkluk yang berkaki dua, memiliki hidung, bertangan dua, berjalan dengan berdiri, memiliki pikiran, yang disebut manusia.
Hubungan seks dianggap surganya bagi pasangan suami-istri, tak jarang membuat seseorang tenggelam dalam kesenangan dunia material. Hubungan seks (kama) merupakan salah satu tujuan hidup manusia setelah kekayaan (artha), akan tetapi untuk mencapai tujuan tersebut harus berlandaskan pada dharma (kebenaran, aturan, hukum). Demikian halnya melakukan hubungan badan (bersanggama, hubungan intim) memiliki tata kramanya sendiri.
Adapun untuk “Asanggama (berhubungan badan)” haruslah dipilh juga hari baiknya, ini bertujuan untuk menurunkan putra yang “Suputra Mahotama” , penurut, pintar, berbakti pada orang tua, murah rejeki dan berwibawa. bila tidak maka keturunan yang akan terlahir akan menyebabkan kesusahan bagi keluarga dan lingkungannya.
Secara umum berkaitan dengan masalah tata krama senggama, sebaiknya anda tidak melakukan senggama itu pada saat hari-hari berikut ini :
Hari-hari suci atau rerahinan jagat,
Bulan purnama/tilem,
Tanggal ke 14 (prawani) sehari sebelum purnama/tilem,
Purwanin dina dan purwanin asih,
Weton suami atau istri,
Pada saat menstruasi untuk masa empat hari.
adapun hari yang paling baik untuk berhubungan badan adalah
Soma Umanis,
Budha Pon
Sukra Pon
Lontar Pamedasmara menetapkan hari terlarang lebih banyak lagi dan berlaku untuk umum kepada siapa saja yaitu;
purnama, tilem, purwani, hari wetonan, kala ngruda, kala mrtyu, minggu wage, selasa paing, selasa wage, rabu kliwon, kemis pahing dan sabtu kliwon.
Hari – hari yang mesti dihindari adalah
Anggara Paing,
Redite Wage,
Anggara Wage,
Budha Kliwon,
Wrespati Paing,
Saniscara Kliwon (tumpek)
Purnama dan Tilem
Saat weton ( hari Otonan / Petemuan Otonan) suami / istri.
Luang (Urip Saptawara + Urip Pancawara = Ganjil )
Selain itu adapun Hari – hari yang mesti dihindari adalah;
“Purwanin dina” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ;
Anggara Klion / anggarkasih,
Budha Klion, Sukra Wage,
Saniscara Klion / Tumpek.
“Purwanin Sasih” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ;
tanggal dan panglong ping 6, 8, 14.
“Pati Pata” sangat tidak baik memulai sesuatu pekerjaan / memulai dewasa, yaitu;
Juli / Kasa tanggal 10,
Agustus / Karo tanggal 7,
September / Katiga tanggal 3,
Oktober / Kapat tanggal 4,
November / Kalima tanggal 8 panglong 10,
Desember / Kanem tanggal 6 panglong 8,
Januari / Kapitu tanggal 11 panglong 11,
Februari / Kaulu tanggal 13 panglong 13,
Maret / Kasanga tanggal 7 panglong 6,
April / Kadasa tanggal 6 panglong 6,
Mei / Jyesta tanggal 1,
Juni / Sadha tanggal 4
“Dagdig Karana” Tidak baik membangun Karya, yaitu;
Redite tanggal 2,
Soma tanggal 1,
Anggara tanggal 10,
Budha tanggal 7,
Wrespati tanggal 6,
Sukra tanggal 2
Saniscara tanggal 7
“Pati Paten” Semua Karya dan Asanggama teramat dilarang, yaitu;
Eka Sungsang nuju Indra,
Dwi Tambir nuju Sri,
Tri Kaulu nuju Uma,
Catur Wariga nuju Kala,
Panca Pahang nuju Yama,
Sad Bala nuju Brahma,
Sapta Kulantir nuju Rudra,
Asta Langkir nuju Uma,
Nawa Uye nuju Guru,
Dasa Sinta nuju Rudra
“Kala Mertyu” sangatlah buruk, karena sangat berbahaya. dilarang untuk bersenggama juga, yaitu;
Redite Medangkungan,
Anggara Wayang,
Budha Sinta /Pagerwesi,
Wrespati Taulu,
Sukra Pujut,
Saniscara Medangsia
“Kala Ngruda” tidak baik untuk memulai suatu pekerjaan
Soma Umanis Sungsang,
Soma Paing Menail,
Redite Pon Dukut
“Sampar Wangke”
Soma Aryang
Pengaruh Hari Senggama menurut hari Menstruasi
bila persetubuhan dilakukan setelah masa mentruasi, antara lain:
senggama pada hari ke 4-5, lahir anak yang pendek,
pada hari ke 6, lahir anak yang bodoh,
pada hari ke 7, lahir anak yang kelak bodoh dan mandul,
pada hari ke 8, lahir anak yang sifatnya ingin selalu berkuasa,
pada hari ke 9, 10, 12, 14 dan 16, lahir anak yang tabiat dan sifatnya bijaksana serta suci,
pada hari ke 11 dan 13, lahir anak yang sifatnya jelek dan bahkan malas sembahyang serta anti agama,
pada hari ke 15 dan 17, lahir anak yang kelak banyak keturunan.
Sifat Anak berdasarkan senggama menurut penanggal/pangelong
hubungan suami istri bila dilakukan pada penanggal antara lain:
penanggal yang baik melakukan senggama, hubungan suami istri:
penanggal ping 3, baik dilakukan, karena pertemuan manusia.
penanggal ping 5, baik sekali, akan menjadi orang yang berprilaku suci.
penanggal ping 7, pertemuan hadiah, baik dilakukan senggama, anak yang lahir akan jadi dermawan.
penanggal ping 9, baik kesedana, namanya naga maya.
penanggal ping 10, baik, namanya sri molek, murah sandang pangan.
penanggal ping 11, baik, sri molek, anak dicintai dan berlaku cinta kasih.
penanggal ping 13, baik, anak akan selalu berbahagia.
Pangelong ping 5 dan 11, sangat baik, namanya sri maulekan.
penanggal yang dilarang dan dihindari untuk melakukan senggama, hubungan suami istri:
penanggal ping 1, pertemuan dewa, baik dilakukan senggama, akan tetapi anak pertama akan meninggal,
penanggal ping 2, jelek dilakukan, akan menemukan suatu pertentangan, anak akan suka menentang orang tua,
penanggal ping 4, tidak baik, anak yang lahir akan menjadi cacat.
penanggal ping 6, baik dilakukan, anak yang dilahirkan menjadi pintar tetapi akan menjadi licik dan jahat
penanggal ping 8, mantu mesatru, anak yang dilahirkan akan selalu bermusuhan dan banyak penderitaan.
penanggal ping 12, tidak baik, anak akan menderita dan kesakitan.
penanggal ping 14, sangat tidak baik, selalu kesusahan, serba buruk
penanggal ping 15, tidak boleh melakukan hubungan suami-istri.
semua pangelong, hindari.
Hubungan intim (senggama) Suami Istri dalam Weda
Tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh anak.
Sebab, kelak diharapkan anak menjadi penyelamat keluarga, membebaskan leluhur dari api neraka?
Karena itulah seoran anak disebut putra, artinya dapat membebaskan orang tua, atau leluhur dari pendritaan alias neraka. Itulah sebabnya kehadiran seorang anak begitu penting bagi keluarga Hindu, khususnya Bali.
Anak atau rare yang dapat membebaskan penderitaan keluarga, menjadi tempat berlindung orang tuanya, dan akhirnya kemudian menjadi penerus keturunan, haruslah anak yang baik, rare yang utama yang di dalam sastra Kanda Pat Rare disebut sebagai suputra.
Hal ini juga terungkap dalam beberapa sastra Hindu sebagai berikut : membuat sebuah telaga untuk umum, itu lebih baik daripada menggali seratus sumur. Melakukan yadnya, itu lebih tinggi mutunya, daripada membuat seratus telaga. Mempunyai seorang putra, itu lebih berguna daripada melakukan seratus yadnya, asalkan putra utama alias suputra.
Niti Sastra menyebutkan :
“Sang Hyang Candra teranggana pinaka dipa memadangi rikala ning wangi. Sang Hyang Surya sedeng prabhasa maka di pamemadangi ri bhumi mandala. Widya sastra sudharma dipa ri kanang tri bhuwana sumene prahaswara. Yening putra, suputra sadhu gunawan memadangi kula wandhu wandhawa”.
Artinya :
“Bulan dan bintang sebagai pelita yang menerangi di waktu malam. Matahari yang sedang terbit sebagai pelita menerangi seluruh wilayah Bumi. Ilmu pengetahuan, sastra utama sebagai pelita menerangi ketiga dunia dengan sempurna. Kalau di kalangan putra (anak) maka anak yang utama (suputra) menerangi seluruh keluarga”.
Demikian pula di dalam lontar Putra Sasana dinyatakan :
“Mapa palaning suputra, pari purna dharmayukti, subhageng rat susilanya, ambek santa sedu budi, kinasihaning nasemi, pada ngakwa sanak tuhu, sami tresna sih umulat, apan wus piana ageng widhi, yan suputra unggul ring sameng tumitah”.
Artinya :
“Bagaimanakah pahala seorang suputra yang sempurna dan berbuat dharma, termasyur susila dan bagus, hatinya damai dan berbudi mulia, setiap orang mengasihinya, semua mengaku keluarga, semua jatuh hati melihatnya, oleh karena Tuhan telah memastikan bahwa, orang-orang yang suputra unggul di antara semua mahluk”.
Untuk menciptakan atau mendapatkan anak atau rare yang suputra, amat tergantung kepada upaya-upaya yang anda lakukan. Ada tata karma senggama yang harus anda jalani.
Seperti contoh kasus berikut ini, dikutipkan dari epos Ramayana dan Mahabharata.
Dalam Ramayana:
Prabu Dasarata betul-betul mengadakan persiapan matang sebelum “membuat” anak. Atau sebelum senggama alias bersetubuh dengan istrinya. Jadi, sebelum Dasarata melakukan “pertemuan” dengan istrinya, beliau dan istri terlebih dahulu elakukan upacara persembahyangan. Karena motivasi beliau bersenggama dengan istrinya, adalah untuk mendapatkan anak yang suputra, bukan untuk pemuasan birahi atau nafsu semata.
Karena tujuannya untuk mendapatkan anak yang suputra alias anak yang utama, maka beliau melakukan tata karma senggama, menurut anjuran para Maha Rsi, maka begitu pula yang beliau peroleh. Empat anak dari tiga istrinya di memiliki kualitas tinggi. Bahkan anak tertua, yaitu Rama tak lain adalah titisan Dewa Wisnu. Tentu tak mudah menghadirkan “Wisnu” dalam keluarga, atau tentu tak mudah usaha yang dilakukan, sehingga dipercaya sebagai ayah Dewa Wisnu. Jika Wisnu ibarat magnit, maka beliau tentu hanya mau mendekati logam yang bersih tak berkarat. Dasarata salah satu contoh manusia yang bersih dalam arti seluas-luasnya.
Contoh lain, kita bisa melihat pada kasus kelahiran Rahwana dan adik-adiknya.
Wisrawa, seorang bhagawan sakti mandraguna, ketika melakukan senggama dengan Dewi Sukesi, adalah semata-mata karena dorongan nafsu birahi belaka. Mereka bukanlah suami-istri, karena kedatangan bhagawan sebenarnya adalah untuk melamar Dewi Sukesi, atas perintah atau permintaan anaknya Prabu Danapati. Tapi, malah dikawin sendiri. Akibat perkawinan itu, lahirlah Rahwana, Suparnaka, Kumbakarna dan Wibisana.
Menurut cerita, hanya Wibisana lahir dari “prosedur” perkawinan yang benar, artinya sah secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Karena ketika akan mengadakan “pertemuan” terakhir itu, sang bhagawan dan sukesi baru sdar, bahwa perbuatannya yang terdahulu sungguh tidak terpuji, tidak layak dilakukan oleh seorang bhagawan.
Mereka baru menyadari, bahwa hanya sepasang suami-istri yang sah, yang bias melakukan hubungan intim begini. Karena dilandasi oleh kesadaran dan budi luhur, maka lahirlah Wibisana, manusia bijaksana dan berbudi luhur.
Begitu pula dengan kelahiran Pandawa dan Korawa.
Dewi Gandari yang menjadi ibu Korawa, diliputi perasaan penuh ambisi kekuasaan ketika bersenggama dengan suaminya. Gandari ingin punya anak banyak, karena ia berpikir dengan jumlah yang banyak pasti akan kuat. Dengan demikian, harapan Gandari, Kerajaan Astina, yang merupakan kerajaan adikuasa, akan tetap di pegang oleh anaknya. Harapan Gandari terpenuhi, ia punya anak 100 orang, sehingga sering disebut seratus Korawa.
Yang menarik adalah kasus Kunti.
Kunti, Istri pandu ini, oleh seorang resi sakti, diberikan kekuatan kesaktian untuk memanggil Dewa. Maka, ketika ia ingin anak yang bijaksana, teguh memegang dharma, ia memohon kepada Bhatara Dharma. Ketika ingin anaknya yang teguh fisiknya, teguh juga pendiriannya, ia mohon kepada Bhatara Bayu. Begitu pula ia mohon kepada Bhatara Indra, agar dianugrahi anak yang sakti mandraguna, ahli dalam ilmu perang, maka lahirlah Arjuna. Bahkan Kunti pun bias memanggil Dewa untuk kepentingan Madri, istri Pandu yang lain. Madri pun melahirkan anak kembar, Nakula dan Sahadewa, karena Kunti memohon kepada Bhatara Aswin yang juga kembar.
Dalam kenyataan hidup di masyarakat, kita sering melihat banyak anak lahir tanpa tata karma perkawinan yang benar.
Di Amerika Serikat, pernah ada hasil penelitian, bahwa anak yang lahir dari hasil perkosaan sangat potensial untuk menjadi penjahat. Seperti disadari, anak yang lahir dari perkosaan tentu anak yang tidak diharapkan. Yang diperkosa maupun yang emperkosa, tentu tidak memiliki rencana dan persiapan untuk “membuat” anak. Yang diperkosa tentu memberontak penuh dendam. Begitu pula, yang memperkosa akan berjuang penuh nafsu untuk melampiaskan nafsu bejatnya. Maka, hasilnya tentulah seorang anak yang dipenuhi sifat-sifat dendam dan penuh nafsu.
Bahkan setelah menikah secara sah, persenggamaan itupun tidaklah dapat dilakukan sebebasnya. Oleh karena, pada saat-saat tertentu, masih terdapat larangan-larangan untuk melakukan persenggamaan. Maka dari itu, bagi suami istri perlu memperhatikan sikapnya masing-masing, agar tidak mempunyai pengaruh yang tidak baik.
Menurut pandangan agama Hindu di Bali, bahwa sesungguhnya sang penganten itu, masih dikatakan mempunyai sifat-sifat wyawahara (pertentangan-pertentangan). Wyawaraha inilah yang meresapi badan dan jiwa pengantin, yang menyebabkan mereka menjadi leteh (cemar)dan cuntaka (cacat). Agar cemar cuntaka tersebut hilang, maka pegantin itu perlu diupacarai prayas cita (disucikan), dan disertai dengan pengupakara (sesajen) yang disebut mawidhi-widhana mesakapan byakala nganten. Penyucian diri sang penganti itu sangat perlu, untuk menghapus cemer dan cuntaka yang ada pada diri mereka. Dengan demikian, anak yang diperolehnya nanti itupun akan terlepas dari kecemaran dan kecatatan.
Didalam lontar Anggastyaprana disebutkan bahwa kalau “pertemuan” (persenggamaan) tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan, maka tiada bedanya bagaikan pertemuan atau perkawinan binatang kidang atau menjangan. Selanjutnya disebutkan pula, kalau sang istri sedang tidak suka untuk digauli, hendaknya jangan dipaksa atau diperkosa, jangan mencaci-maki dan lain-lain. Begitu pula pada saat si istri sebel ring dewek (menstruasi) jangan diajak bersenggama. Kalau dipaksa, maka persenggamaan itu leteh dan cuntaka. Seandainya itu terjadi, dan kebetulan menghasilkan pembuahan, maka anak yang lahir, akan membawa bermacam-macam penyakit, nakal dan angkuh terhadap ibu bapaknya, sangat menyusahkan orang tuanya. Akibat lainnya adalah sang istri sering mengalami keguguran.
Proses Reproduksi yang baik dan terkendali
Dalam proses reproduksi atau pembuatan anak perlu diperhatikan waktu yang dibenarkan dan yang dilarang oleh ajaran agama Hindu atau yang pas untukmewujudkan keinginan punya anak laki atau perempuan. Posisi tubuh atau gaya bermain kedangkalan penting diperhatikan terutama untuk pasangan yang mengalami kesulitan punya anak. Namun sejauh itu Weda belum mengatur.
Memahami waktu yang dilarang dan dibenarkan sangat diperlkan bila ingin mendapatkan anak suputra sadhu gunawan, karena lontar Pameda smara menyatakan sebagai berikut:
“Yan asanggama ring istri wenang pilihan rahinane sane kinucapayu, riwekasan yan adue anak lanang istri pahalanya dirgayusa tur saidep warah yukti,tan angambekaken dursile, tan langgana, tuhu ring karya, bhakti ring guru. Mangkana kapanggih de sang aniti brata yukti”
Artinya:
bila meggauli istri pada hari yang baik, maka bilananti punya anak akan diperoleh anak yang panjang umur, penurut, tidak nakal, tekun bekerja, hormat pada guru atau orang tua. Itulah yang didapat oleh orang yang mampu mengendalikan diri dalam menggauli istrinya.
Dibandingkan dengan Kitab suci Sarasamuccaya dan Pamedasamara, Veda Smrti tidak banyak menetapkan hari – hari terlarang.
Misalnya;
Dalam Weda Smrti III. 45-47 hanya menetapkan larangan menggauli istri pada saat menstruasi yang lamanya lebih kurang empat hari dan purwani yaitu sehari sebelum purnama atau sehari sebelum tilem. Khusus untuk kaum brahmana, agar tetap terjaga kesuciannya dilarang menggauli istri pada bulan purnama (poornima) dan pada hari pertama, kedelapan dan keempat belas setelah bulan mati ( tilem/amavasya). Demikian dalam Weda Smrti IV. 128.
Rtu kalabhigamisyat
swadaraniratah sada,
parwawarjam wrajeccainam
tad wrato rati kamyaya (Manawa Dharmasastra III.45)
artinya:
hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas dengan istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan kelamin pada hari apasaja kecuali parwani.
Rtu swabhawikah strinam
ratrayah sodasa smrtah,
caturbhiritaraih sardhanam
ahobhih adwigarhitaih (Manawa Dharmasastra III.46)
artinya:
enam belas hari dan malam setiap bulannya termasuk empat hari yang berbeda-beda dari yang lainnya dan yang tercela orang yang budiman dinamakan waktu-waktu yang wajar bagi wanita.
Nasamadyasca tasrastu
ninditai kadasi ca ya,
trayodasi ca sesastu
prasasta dasa ratrayah (Manawa Dharmasastra III.47)
artinya:
tetapi diantara hari-hari itu sampai hari ke empat, hari ke 11, hari ke 13, dinyatakan terlarang dan hari-hari lainnya dianjurkan.
Amawasyamastamim ca
paurnamasim caturdasim
brahmacari bhawennityam
apyritau snatako dwijah (Manawa Dharmasastra IV.128)
artinya:
seorang brahmana dan juga snataka hendaknya tetap suci pada saat-saat sebagai pada waktu malam pertama terang bulan, pada malam bulan purnama dan sehari sebelum purnama, walaupun saatnya baik untuk bersenggama.
Didalam Veda ada dinyatakan
“…O suami yang bodoh, yang penuh kejantanan, saya melarang engkau melakukan senggama pada waktu subuh dan waktu matahari memancarkan sinarnya”.
Bersenggama hanya dibenarkan pada malam hari.
Mengacu pada Bhagavata Purana 3.14.23 yang mengisahkan kehamilan Dhiti, hubungan badan yang paling ideal dapat dilakukan 3 jam setelah matahari tenggelam atau 3 jam sebelum matahari terbit dan hindari waktu-waktu saat tengah malam.
Karena dikatakan waktu-waktu yang tidak tepat seperti sandya dan tengah malam adalah waktu dimana mahluk-mahluk dan roh-roh jahat sedang berkeliaran dan saling berebut untuk mendapatkan kesempatan terlahir kembali.
Veda menegaskan bahwa proses masuknya atman (jiva) kedalam kandungan terjadi pada saat pembuahan sel telur oleh sperma, sehingga jika terjadi pada saat yang tidak tepat seperti ini dikhawatirkan yang akan menjelma adalah jiva-jiva yang berasal dari mahluk-mahluk yang bertabiat jahat.
Disamping faktor waktu, faktor lokasi berhubungan badan juga sangatlah menentukan, sehingga dianjurkan untuk melakukan hubungan badan di tempat yang bersih, menyenangkan dan nyaman di rumah. Hubungan badan sama sekali tidak boleh dilakukan di tempat-tempat suci seperti tempat ziarah suci (tirthas), pura, kuil atau mandir. Juga tidak dibenarkan melakukan hubungan badan di tempat-tempat angker, seperti tempat pembakaran mayat/kuburan, ashrama seorang guru, di rumah seorang Vaisnava, dibawah pohon suci seperti beringin, mangga, nim, bodi dan lain-lainnya, di Gosala (kandang sapi), di hutan dan juga di dalam air (Subudhi, narayanasmrti, 2010).
Waktu-waktu sakral yang wajib dihindari bersenggama adalah purnama, bulan mati, prawani/sehari sebelum purnama dan bulan mati, hari-hari besar keagamaan atau hari suci, hari paruh gelap ke delapan. Kitab Sarasamuccaya menegaskan,
“Hendaknya seorang suami dan istri yang menghendaki hidup langgeng dalam berumah tangga, menghindari untuk melakukan senggama pada bulan mati (tilem), paruh terang dan paruh gelap ke delapan (, paruh terang dan paruh gelap ke empat belas/14 (prawani) serta pada bulan purnama” (Sarasamuccaya 255).
Keterangan lontar Sarasamuccaya dipertegas dalam kita Siva Purana, bahwa:
“seseorang tidak dibenarkan melakukan hubungan seksual pada saat hari Sivaratri (sehari sebelum bulan mati), dan juga dilarang melakukan pemujaan atau sembahyang kepada Tuhan usai melakukan hubungan seks sebelum mandi, dengan kata lain suami istri wajib hukumnya untuk menyucikan diri (mandi) jika hendak melakukan pemujaan kepada Tuhan setelah melakukan hubungan seksual”.
Dalam kitab Siva Purana terdapat kisah sebagai berikut (hanya ditulis poinnya saja): Rsi Suta berkata:
… ada sebuah peristiwa pada saat Sivaratri ketika semua sedang melakukan puasa, Sudarsana melakukan hubungan seksual dengan istrinya dan kemudian melakukan pemujaan. Tapi sebelum ia melakukan ibadah, ia tidak mandi. Untuk perbuatan ini Deva Siva marah dan berkata. (Siva Purana, Kotirudra Samhita XIII. 26)
Dewa Siva bersabda:
Wahai orang yang tidak memiliki tata krama, kamu melakukan hubungan seksual dengan istri pada saat Sivaratri. Tanpa mandi engkau melakukan pemujaan. Engkau sebenarnya dekat dengan ketikdakbijaksanaan. Karena engkau telah melakukan ini secara sadar, jadilah orang yang lamban dan tidak sadar. Anda adalah orang yang tak tersentuh bagi-Ku. Hindari menyentuh-Ku. (Siva Purana, Kotirudra Samhita XIII. 29-30)
Selain itu, dalam berbagai literatur Veda (seperti Siva Purana), demikian juga dalam tradisi, bersanggama juga dilarang pada saat istri sedang menstruasi (kotor kain), seorang istri yang sedang menstruasi tidak dibenarkan untuk diajak seranjang, bahkan tidak dibenarkan diajak berbicara (hal ini terutama dilakukan oleh orang yang mempelajari spiritual). Hal ini dijelaskan didalam lontar Agastya Parwa.
Tempat brahmahatya yang terpenting pada siang hari adalah pada wanita juga. Sesungguhnya ia berkurang setiap bulan, brahmahatya pada wanita keluar berbentuk darah itulah yang disebut kotor kain di masyarakat. Oleh karena itu, orang yang hendak mencapai surga tidak boleh memegang perhiasannya dan makanan apalagi satu tempat tidur dengan wanita yang sedang kotor kain, karena sebenarnya ke luar brahmahatyanya turut pula mendapat dosa yang diajak berbicara lebih-lebih pula kalau sampai disentuh. Sungguh-sungguh itu larangan menurut Sang Hyang Agama.
Wanita yang tidak keluar brahmahatyanya disebut kuming di masyarakat.
Tidak diajak serta dalam pergaulan, tidak dibenarkan ikut dalam upacara kematian (tileman) pada Hyang Siwamandala, dan sebagainya, Yajna Sradha. Dia harus berhenti sebagai pelayan pekerjaan-pekerjaan itu meskipun ikut menyentuh saji. Maka itu anak yang belum kotor kain dan wanita tua yang tidak kotor kain lagi memegang saji Bhatara sampai saat ini (Agastya Parwa halaman 58).
Artikel yang berkaitan dengan Hari Baik Berhubungan Intim (Senggama):
Cara Membuat Anak Keturunan yang Suputra
Do’a mantra memohon anak keturunan
Cara memilih hari Baik ala nak bali
Dewasa Ayu Nganten, Pawiwahan atau Pernikahan
Orang Bali WAJIB Ketahui hal ini
Note: Sudarsana putra brahmana Dadhici (sloka 20), istri Sudarsana bernama Dukula (sloka 21). Sudarsana melakukan penebusan dosa dengan metode pemujaan Candi dan syair agung kepada dewi Parvati dengan ketaatan yang luar biasa (sloka 37). Dewi Parvati berkenan, Sudarsana dijadikan anak angkat (sloka 39), Sudarsana diupacarai ritual penyucian dengan Ghee, diberikan tiga senar suci dengan simpul tunggal dan isntruksi tentang Sivagayatri terdiri dari enam belas suku kata (sloka 42-43). Kemudian, Sudarsana melakukan pemujaan Samkalpapuja (sloka 44). Ini membuat dewa Siva berkenan (45).
Akan tetapi, bila memang tidak ingin mewujudkan keluarga bahagia selamat sekala-niskala, dengan anak-anak yang suputra, maka semua aturan itu tidak berlaku. Artinya, bersenggama semata-mata untuk kesenangan atau pemuasan nafsu belaka, itu boleh dilakukan kapan saja dimana saja.
Jadi, disamping pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh kesalahan menghitung hari, dalam menentukan hari perkawinan, maka gerak pikiran, sikap, gaya, maupun sifat-sifatsaat melakukan senggama, juga berpengaruh terhadap bayi.
Kwee Tek Hoay, dalam bukunya penghidupan di Sananya Kubur, menyebutkan bahwa, pada saat menanam bibit (bersenggama) harus betul-betul memperhatikan kebersihan gerak pikirannya, agar supaya roh-roh yang tidak baik jangan sampai menjelma sebagai anaknya kelak.
Demikian dulu info mengenai hari baik dan buruk dalam melaksanakan “Asenggama / berhubungan intim” hendaknya di patuhi karena ini merupakan berdasarkan perhitungan Wariga – Dewasa. semoga bermanfaat.