Senin, 11 Juli 2022

Saptabhangi

 


Berani memastikan atas segala hal yang tidak diketahui pasti pada ranah keyakinan adalah sumber penyakit perpecahan, pertengkaran, kebencian, kecemburuan, dst.
Kaum Jaina di Hindu memiliki 7 penilaian pembeda.
1. Syat Asti: Sepertinya ada
2. Syat Nasti: Sepertinya tidak
3. Syat Asti Ca Syat Nasti Ca: Sepertinya ada dan tidak
4. Syat Awaktawyam: Sepertinya tak terlukiskan
5. Syat Asti Ca Awaktawyam Ca: Sepertinya ada dan tak terlukiskan
6. Syat Nasti Ca Awaktawyam Ca: Agaknya tidak dan takterlukiskan
7. Syat Asti Ca Nasti Ca Awaktawyam Ca: Agaknya ada dan tidak serta tak terlukiskan
Apa yang disampaikan diatas adalah bersumber di Rig Weda. Swami Wiwekananda juga menyebutkan bunyi terjemahan salah satu sloka tersebut pada Parlemen Pertemuan Delegasi Lintas Agama dì Chicago USA.
Inilah alasan mengapa di Hindu Nihil konflik sektarian. Sebab Hindu mengerti bahwa dalam membicarakan ranah Dharma kita semua layaknya sekelompok orang buta yang hendak melukiskan gajah yang sama berdasarkan hasil rabaan kita masing-masing.

Maka tidak salah bila
Astika dan Nastika adalah sebenarnya sama.
Theism dan Atheism ada dalam satu perahu yang sama bernama KEYAKINAN yang sedang mengarungi samudra Kebenaran (Dharma).
Agus Wirawan Sudewa R
A set of belief system

Mencapai Sunyata

 


Apakah yang dimaksud Sunyata itu?
Adaptasi dari penjelasan oleh IB. Agastia (2008) bahwa Dhang Hyang Kamalanatha dalam dua karyanya yaitu Dharma Sunya dan Dharma Putus menekankan bahwa sunya adalah merupakan Kesadaran Sejati yang dihasilkan ketika telah bersatunya dengan Paramasiwa.
Dengan kata lain Sunya adalah kesadaran Paramasiwa dan itu adalah Chidakasa (Penjelasan Maharsi Wasista kepada Sri Rama dalam Yoga Wasista Maharamayana (Bhagawad Gita)). Inilah kesadaran Tulen yang harus dicapai segenap Umat Hindu.

Trisadaka dengan berbagai tafsir

 


Usaha berpolemik kembali mengenai Sadaka yang maknanya sudah final ada baiknya menekankan pada ulasan dibawah ini daripada merobah tatanan konsep yang sudah lumrah kita terima beratus-ratus tahun mengenai Trisadaka dengan berbagai tafsir jaman now.
Apramāda ngaranya tan palêh palêha, pong-pongên ikang urip sādhana ning magawaya yogasamādhi, hawya hinêlem-hêlêm, gawayakena tekang sādhana.
Sādhana ngaranya makamārga daçaçila, umangunakên ikang yoga, yatika ummungguh lawan inung gwan ngaranya. Ika ta sang prayatna gumawayakên ikang rwaçila, lawan jnāna, yatika tan pramada ngaranya.
Yang bernama apramāda, ialah tidak segan-segan menggunakan hidup itu sebagai Sadhana guna melakukan yoga dan samadhi. Janganlah mengundur-undur melakukan Sadhana itu. Sadhana namanya, jalan melakukan yoga dengan berdasarkan Dasasila (sepuluh bagian dari Yama dan Niyama Brata), yang menegakkan yoga itu, itulah yang disebut bertempat dan ditempati. Orang yang melakukan dengan cermat kedua itu, kesusilaan (çila) dan kebijaksanaan (jnana), ia disebut tidak mengabaikan kewajiban (pramāda).
-Kutipan Wrhaspati Tattwa oleh I.B.O. Puniyatmadja, th 1976-
Jadi yang bisa disebut Sadaka adalah ia yang telah menjalankan proses hidup Sadhana sehingga disebut Sadaka. Sehingga ini menjadi watak seorang Wiku yang menghargai ajaran Guru/Nabe-nya dan secara cermat menjalani Sila serta memiliki Kebijaksanaan yang melebihi orang biasa. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang memiliki silsilah untuk menjadi sadaka memilih absen karena merasa tidak siap melakukan sadhana karena disana dituntut “perfect” atau sempurna. Oleh karena akan menjadi panutan orang luas.
Adalah solusi bebas polemik dengan adanya Sarwa Sadaka dan juga pemekaran ke Punduk Dawa. Jadi memang ada hal-hal yang tidak bisa kita kritisi seenaknya karena menyangkut sebuah kebiasaan atau dresta yang telah diterima beratus-ratus tahun. Jangan karena alasan era modern dan demokrasi kedepan juga konsep misal Kabayan (Orang Suci Agung yang diangkat dari garis silsilah tertentu) atau yang serupa dengan itu juga hendak dibicarakan ulang. Ada banyak hal demikian di Bali. Maka itu hendaknya tidak diutak-atik.

Maharsi Vararuci (Wararuci)

 


Maharsi Vararuci (Wararuci) adalah seorang Maharsi kelahiran India Selatan atau tepatnya Kerala (Malabar Coast-India). Beliau diperkirakan hidup pada tahun 300 SM. Ada banyak karya sastra Beliau diluar bidang kerohanian. Akan tetapi yang terkenal dari Beliau adalah Niruktasamuccaya atau juga dikenal dengan Vararuci Samuccaya atau Sarasamuccaya.
Pengaruh ajaran Beliau sampai ke Nusantara adalah kemungkinan besar melalui jembatan penguasa yang bermarga Varma yang aslinya dari Kalinga (India Selatan) yang merupakan golongan Brahmana-Ksatria. Raja Bali sendiri yang terkenal yaitu Udayana adalah berasal dari marga Varma (nama Udayana sebenarnya nama terkait sinar yaitu artinya: Rising : terbit : muncul: merekah).
Pengaruh-pengaruh Kalinga bisa dilihat di Bali adalah mengenai kata-kata berunsur Cinta sebagai nama kota ataupun kerajaan misal nama daerah Cintamani artinya Kasih Brahma. Kemudian Medang Kemulan sendiri artinya Cinta kepada asal (Brahma). Kemudian selanjutnya di Bali juga oleh keturunan Varma selanjutnya ibu kota kerajaan dinamakan Semarapura yang artinya juga kota kasih (cinta).
Sumber pemaparan adalah juga berasal dari buku Dr. I Gst Putu Phalgunadi dan juga hasil diskusi dengan brother Mishra seorang Brahmana yang menekuni ritual dan spiritual yang berasal dari Varanasi yang juga adalah kota dimana Sang Budha di kremasi.

SARWA SADAKA VERSUS TRISADAKA

 


Sejak 1999 di Bali muncul istilah Sarwa Sadaka sebagai cetusan keinginan kelompok-kelompok warga mendudukkan Sulinggih mereka sejajar dengan Pedanda (yang lebih populer sebagai Pendeta sejak zaman Dalem Waturenggong di abad ke-15). Kelompok ini menggunakan istilah Sarwa Sadaka sebagai counter Trisadaka.
Istilah Trisadaka sejak berabad-abad telah ditafsirkan keliru, jika mengacu pada Lontar Eka Pratama yang menyatakan bahwa tiga kelompok Sadaka adalah: Sadaka yang berpaham Siwa, Sadaka yang berpaham Bauddha (Boddha), dan Sadaka yang berpaham Mahabrahmana (Bujangga).
Kekeliruan tafsir itu terjadi karena Sadaka yang berpaham Siwa dan Bauddha terlanjur diterjemahkan sebagai Pedanda Siwa-Boddha. Keterlanjuran itu membuat gerah para sisia Pandita Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh, dll. yang juga disyahkan sebagai Sulinggih yang berpaham Siwa. Yang dimaksud dengan berpaham Siwa adalah penganut Sekta Siwa Sidanta.
Penggunaan istilah Sarwa Sadaka sebagai counter Trisadaka dalam upaya menunjukkan eksistensi Pandita Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh, dll.
Sebenarnya kurang tepat, karena pengertian Sarwa Sadaka dapat dirumuskan sebagai Semua Pendeta dari berbagai Sekta, kecuali kalau memang ada terkandung maksud di kemudian hari bila Sampradaya eksis sebagai Sekta, maka para Pendetanya mempunyai legitimasi yang sama dengan Sulinggih/ Sadaka yang ada sekarang.
Jika tidak demikian, istilah Sarwa Sadaka sebaiknya tidak digunakan, cukup dengan penegasan PHDI dalam bentuk bisama, bahwa yang dimaksud dengan Trisadaka adalah Sulinggih/ Sadaka yang berpaham Siwa, Boda, dan Bujangga.

Nirgunabrahma dan Sagunabrahma

 


Hindu memiliki referensi Naskah Suci yang banyak. Tuhan juga disebut dengan banyak nama. Jadi ada banyak list nama yang disematkan umat manusia kepada Beliau yang disebut Ia yang terpurba dan tanpa nama.
Nirgunabrahma dan Sagunabrahma sebenarnya hal yang tunggal dan satu kesatuan. Nirgunabrahma adalah Ia yang tanpa nama, tanpa sifat, tanpa kepribadian, tanpa attribute, tak terpikirkan===sedangkan Sagunabrahma adalah Ia yang dapat dipikirkan sebab memiliki nama ataupun sebutan jadi disini sekaligus bermakna memiliki sifat, kepribadian, attribute, dst., sehingga dapat digambarkan, disimbolkan, disebutkan, dicitrakan, dipikirkan, dst.
Kadang kita juga menyentuh ranah yang Nir atau Nihil itu dengan simbol. Misalkan saja orang bijaksana membuatkan simbol Acintya. Sehingga yang Acintyapun diusahakan untuk dapat dipikirkan.
Kita dibekali pengetahuan yang demikian akan tetapi kebanyakan orang ribut prihal sebuatan atau nama dari Tuhan. Inilah mengapa kita diajarkan untuk mampu melihat persamaan/kesetaraan pada segala hal yang tampak berbeda. Sutasoma juga mengajarkan hal yang sama selain itu ada banyak naskah suci di Nusantara sendiri yang demikian hingga sampai kepada Sebun Bangkung yang diwariskan Dhang Hyang.
Raditya edisi 280 ini ada wacana dari bapak Wijaya menjelaskan juga masalah sejarah Hindu yang sesuai kebenaran. Di foto adalah hanya satu halaman sebab ulasan beliau cukup detail jadi untuk menyimak selengkapnya bisa melihat di majalah tersebut. Sehingga dengan rasa hormat kepada redaksi majalah Raditya ini termasuk promosi dari saya supaya kita semua mendukung keberadaan Majalah Hindu. Kita sudah kehilangan Media Hindu dan ada banyak warta bernafaskan Hindu yang tumbang seiring waktu oleh karena kendornya daya beli kita karena penurunan kesejahteraan.

Jnana - Bhakti - Niskama Karma

 

Diajarkan dan diterangkan kepada kita bahwa ada 3 bentuk jalan untuk mencapai kesatuan atau yoga untuk bebas dari kemelekatan atau Moksa.
Jnana-Bhakti-Niskama Karma
Dengan jnana atau pengetahuan yang dilandaskan bhakti atau cinta dan pelayanan (love all serve all) yang murni, maka kita akan mampu menerapkan Niskama Karma atau bertindak tanpa motif ke-akuan dan tidak mengharapkan hasil dari perbuatan baik maupun merasa telah melakukan perbuatan baik.
Orang yang demikian disebut memiliki keyakinan yang mantap dan yang akan mampu membawanya kepada pembebasan atau keselamatan (salvation) dengan kata lain moksa bebas dari dualisme suka dan duka, hinaan dan pujian, dst., sebab ia akan dibimbing oleh atmanya secara langsung (Atharwa Weda 8.270) oleh karena ia bertolak dari yang baik menuju ke yang lebih baik.