Bentuk “Panca Genta” adalah 5 (lima) buah benda sakral yang memiliki bentuk yang berbeda-beda seperti Genta Padma, Genta Uter dan Genta Orag memiliki bentuk yang agak mirip, Katipluk berbentuk seperti gendang dan Sungu atau Sangka dibentuk dari kulit kerang besar sebagai terompet. Tetapi ke lima itu memiliki fungsi yang sama saat pelaksanaan Upacara Bhuta Yadnya.
“Panca Genta” adalah Agem-ageman Wajib bagi Ida Rsi Bhujangga Waisnawa. “Panca Genta” tersebut adalah alat yang dipergunakan dalam pelaksanaan untuk menyelesaikan atau “muput” Bhuta Yadnya. Kewajiban sebagai Agem-ageman diperkuat lagi dengan isi beberapa Lontar, seperti Lontar Iti Siwa Lingga, Lontar Tutur Dangdang Bungalan, Lontar Aji Janantaka, Lontar Resi Wesnawa, Lontar Tutur Lebur Sangsa dan beberapa lontar lainnya, seperti di bawah ini.
Dalam Lontar Iti Siwa Linggga (1-3) menyebutkan :
….Iti Siwa Lingga nga. penerusan kadi ring arep, mwah katekaning mangke, tan wenang margiang pwa sira, apan ika rumaga bayu, sabda, idep, muang tutur manon nga. ika Siwa makewenang siwi akena ring wong ika ring Bali nga : sahananing magama tirtha ring Bali kabeh, maka wenang nyiwi terah turunan Ida Budha Mahayana, Siwa Pasupati, Ida Siwa Waisnawa nga. iki Siwa Trini linggih ngaskara dewa miwah ngentas pitra mekadi merayascita jagat pada wenang nga.
Malih tedesing agama, nga. anak Budha Mahayana, nga. Budha Hina, anakSiwa Pasupati nga. Ida Siwa, anak Ida Siwa Waisnawa, Ida Rsi Waisnawa nga. pada-pada kasungan raja pinulah maka Trini nga. apan ika metu saking angganira sedaya, nga. Wekasan Rsi Waisnawa punika kang sinanggeh, Sangguhu Bhujangga nga. antuk warna tunggal, agem tunggal, antuk suara-suara kekalih, Ida Siwa, Ida Bodha. Malih tetesing agama Siwa, Bodha, Sangguhu Bhujangga nga. sami Sang Trini linggih, wenang ngaskara, dewa, pada wenang pwa sira, muah angreka wenang, wiyaktiniya mzring rupit …… (Lontar Iti Siwa Lingga 1-3, dalam Made Gambar Ketatwaning Tukang Banten. Hal.9).
Terjemahan bebasnya :
……demikianlah yang dimaksud Siwa Lingga namanya, kelanjutan dari yang di depan , dan sampai sekarang, tidak boleh dilaksanakan itu, oleh karena (itu) penjelmaan dari “bayu”, “sabda”, “idep” dan “tutur” yang nyata, Siwa Lingga itu hendaknya dihormatioleh orang-orang di Bali yang beragama Tirtha (Hindu), sudah sepatutnya menghormati keturunan Budha Mahayana, Siwa Pasupati, dan Ida Siwa Waisnawa, beliau semua berkedudukan sebagai “Siwa Trini”, dan memiliki kewenangan dalam hal “ngaskara dewa”, “ngentas pitra”, termasuk juga “merayascita”(membersihkan/ menyucikan/ mecaru) meruwat bumi.
Demikian pula ajaran agama menegaskan bahwa keturunan Budha Mahayana adalah Budha Hina, keturunan Siwa Pasupati adalah Ida Siwa, keturunan Ida Siwa Waisnawa adalah Ida Rsi Waisnawa, ketiganya samasama dianugerahi kewenangan, oleh karena semuanya lahir dari “raga”beliau (Tuhan). Selanjutnya Rsi Waisnawa ini juga disebut Sangguhu (Sang + Guhu) Bhujangga, warnanya tersendiri, “agem” tersendiri, demikian pula ucapan-ucapan dengan yang dua lainnya seperti Ida Siwa dan Ida Bodha. Lagi tambahan petunjuk agama, Siwa, Bodha, Sangguhu Bhujangga semuanya berkedudukan sebagai “Sang Trini”, berhak ngaskara dewa, semuanya sama-sama berhak, demikian pula “angreka”, sesungguhnya dari suatu yang sangat rumit………. .
Dari paparan Lontar Iti Siwa Lingga di atas, jelas menyebutkan tentang kewajiban dari Ida Rsi Bhujangga Waisnawa, serta memiliki “agem-ageman” tersendiri yang merupakan “agem-ageman wajib”, yaitu salah satunya berupa penggunaan Panca Genta. Hal ini sangat jelas, dan dipaparkan dalam beberapa lontar antara lain Lontar Eka Pratama, Lontar Aji Janantaka dan lain sebagainya yang menyebutkan tentang Panca Genta sebagai senjata atau agem-ageman Ida Rsi Bhujangga Waisnawa. Misalnya dalam Lontar Aji Janantaka (16.b-17.a) menyebutkan tentang Panca Genta, dan dalam isi Lontar ini dengan jelas berbunyi sebagai berikut :
……raris kasunggi Ida Bhujangga Alit, tur kiniring wong kabeh sepanengakena saksana dateng ring salu-panjang, tur kalinggihang angayoning banten akeh, tur sregep ikang siwa-krana, saha sarwa sanjata kabeh, genta-wuter, gentaa-padma, genta-orag, genta-katipluk, gentasangka, saha sarwa weda, tegep sarwa pangruwat letuhing jagat kabeh…..(Lontar Aji Janantaka. 16.b-17.a)
Terjemahan bebas :
…..lalu diboponglah Ida Bhujangga Alit, lalu di antar oleh banyak orang dan tiba di rumah atau balai panjang, dan duduk menghadapi banten(upakara) banyak, serta lengkap dengan Siwa Upakarana (alat pemujaan), serta lengkap dengan alat-alat perlengkapan untuk melaksanakan upacara, genta-uter, genta-padma, genta-orag, genta-katipluk (damaru), gentasangka (sungu), serta mantra-mantra weda siap untuk membersihkan atau meruwat bimi ini……….)
,Dalam Lontar Aji Janantaka ini jelas sekali menyebutkan alat atau senjata yang digunakan sebagai “agem-ageman wajib” oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa di dalam “muput” Bhuta Yadnya adalah Panca Genta yang terdiri dari : Genta Uter, Genta Padma, Genta Orag, Genta Katipluk (Damaru) dan Genta Sungu atau Sangka, serta mantra-mantra Weda untuk meruwat bumi.
Fungsi “Panca Genta” adalah menghubungkan secara spritual antara para Sadhaka dengan para Dewa-Dewa, juga menarik dan mengumpulkan roh-roh alam bawah seperti setan, tonya, memedi, bhuta kala, dan roh-roh yang mengganggu alam ini, untuk dibersihkan, dan berfungsi untuk “Nyomya” atau meng inisiasi para roh-roh jahat dan roh alam bawah, agar sifat Bhuta berubah menjadi sifat Dewa.
Makna philosofis “Panca Genta” adalah sebagai schok therapy untuk bisa membangkitkan roh-roh astral agar tertarik berkumpul, dan dengan suaranya yang riuh dan khas membuat roh-roh alam bawah dan yang bersifat negatif tertarik untuk muncul sehingga mudah di “Somya”.atau dirubah dari Bhuta menjadi Dewa. Disamping itu Panca Genta memiliki makna sebagai tanda atau “tetenger” bahwa upacara Bhuta Yadnya sudah dimulai serta sebagai alat konsentrasi bahwa tujuan Upacara Bhuta Yadnya tersebut adalah untuk “Nyomya” Bhuta.
Rahayu…
Reference
1. Image : https://www.google.com/
2. Dauh, I Wayan, Anak Agung Gede Dira. 2020. PANCA GENTA AGEM-AGEMAN IDA RSI BHUJANGGA WAISNAWA PADA UPACARA BHUTA YADNYA. Vidya Wertta Volume 3 Nomor 2 Tahun 2020. Fakultas Ilmu Agama, Seni dan Budaya Universitas Hindu Indonesia