Jumat, 12 Maret 2021

Menurut keputusan seminar kesatuan tafsir. Brata Śiwarātri terdiri dari:

 


A. Utama, melaksanakan:
- Monobrata (berdiam diri)
- Upawāsa (tidak makan, tidak minum)
- Jāgra (berjaga, tidak tidur)
B. Madya, melaksanakan:
- Upawāsa
- Jāgra
C. Niṣṭha, hanya melaksanakan: Jāgra
Umat (seorang sādhakā) melaksanakan sesuai kemampuan masing-masing, jika tidak mampu melaksanakan tingkat utama, maka lakukan pada tingkat madya, jika tidak mampu melaksanakan madhya makan lakukan tingkat niṣṭha.

______________________________
1. Upawāsa
Puasa adalah dilatihnya indria lidah dari dorongan obyek-obyeknya. Berpuasa walaupun tidak sempurna namun diimbangi dengan jnāña (pengetahuan) lebih baik daripada semangat menggebu-gebu berpuasa sehari penuh namun pikirannya merenungkan obyek-obyek pemuas indria (game-online, film, novel, dsb).
Upawāsa dilaksanakan besok dari pagi hari saat matahari terbit (pukul 6 waktu setempat) sampai esok harinya pada pukul 6 pagi (Tilem Sasih Kepitu). Upawāsa Śiwarātri dilaksanakan selama 24 jam penuh.
2. Monobrata
Monobrata bukan berarti diam membisu, melainkan hendaknya melatih untuk tidak berbicara yang bukan-bukan (bergosip, ghibah, dsb). Sesungguhnya kita tidak bisa menjadi tanpa keinginan & kita tidak bisa menjadi diam. Keinginan-keinginan itu dapat disucikan, kita hendaknya berkeinginan menggunakan lidah & pikiran kita dengan aktifitas berjapa.


3. Jāgra
Jāgra artinya "sadar", kesadaran itu dalam pelaksanaan Brata Śiwarātri disimpulkan dengan melaksanakan melek semalam suntuk.
Cara ini sangat praktis. Kita dapat menjaga pikiran kita tetap terhubung dengan Śiwa dengan berpikir tentang Śiwa. Kita dapat menjaga telinga kita tetap terhubung dengan Śiwa dengan mendengar nyanyian rohani-Nya. Kita dapat menjaga lidah kita tetap terhubung dengan Śiwa dengan melafalkan Nama Suci Śiwa & memakan lungsuran (jika tidak berpuasa) — inilah yang disebut pelepasan ikatan terhadap segala sesuatu yang bersifat material, pelepasan ikatan bukanlah berarti menonaktifkan indria-indria.
Jāgra dilakukan besok mulai pukul 06.00 sampai esok harinya pukul 18.00 (36 jam).
Photo: @gdvibesbali

Tata cara Brata Siwaratri

 



Pada suatu hari, terjadi percakapan antara Hyang Girīndraduhita (Pārwatī) dengan Hyang Jagatpati (Śiwa).


Giriputri:— Atas kasih Paduka kepada-Ku, ajarkanlah tata cara pelaksanaan brata Śiwarātri yang ingin hamba lakukan, semoga brata ini kelak akan dipraktikkan oleh orang yang berjaga pada waktu bulan Magha malam keempatbelas gelap, prawanining tilĕm Kapitu. (Śiwarātri Kalpa, 36.2)

Jagatpati:— O Adinda Ku-sayang, senangnya hati Kakanda mendengarkan pertanyaan-Mu, Kakanda akan memberitahu Adinda cara melaksanakan brata yang luar biasa pahalanya. Dengarkanlah. Ia yang mematuhi kata-kata Kakanda oleh karenanya akan menuju Rudraloka, tidak akan memasuki kawah neraka. (Śiwarātri Kalpa, 36.3)


— Di waktu pagi sesudah menggelar pemusatan pikiran pada-Ku, datanglah kerumah guru, menghormatinya dan juga memohon diri melaksanakan brata, menjunjung kaki guru. Sesudah itu mandilah, membersihkan gigi, mengatur pelaksanaan pemujaan Hyang Śiwānala, disertai dengan berpuasa dan bersikap diam (tidak berbicara yang bukan-bukan) , hendaknya pakaian selalu dalam keadaan bersih. (Śiwarātri Kalpa, 37.1)

— Sesudah berakhirnya siang hari, pada waktu malam harinya hendaknya ia berjaga dan tidak tidur, sambil taat berpikir tentang-Ku senantiasa. Pujalah Hyang Kumāra (Kārtikeya) dan Hyang Gajendrawadana (Ganeṣa) meminta perestuan. Pada malam hari itu, selama 12 jam, laksanakan tata cara puja sesuai yang diperlukan. (Śiwarātri Kalpa, 37.2)

— Musik dan lagu-lagu rohani hendaknya dinyalakan untuk menggelakkan rasa kantuk di mata, atau bersama-sama mengucapkan kidung suci dalam keramaian (saṅkīrtana). Aku lebih berbahagia lagi kalau ia dapat menceritakan kisah si pemburu pada waktu itu. Ia pasti akan mendapatkan alam yang paling utama bagi dia yang menceritakan perjalanan ātmā si Lubdhaka. (Śiwarātri Kalpa, 37.5)

— Sesudah sirna malam itu pada esok harinya berikanlah derma (sumbangan) pada orang-orang yang berkumpul (yang melaksanakan brata Śiwarātri), persembahkanlah Śiwalingga emas kepada maha pandita yang bersusila tinggi dan paham akan Weda. Siapapun disana berilah derma dengan semampunya, selalu terbebaskan dari waktu jaga tidur siangnya, lakukanlah amanat itu. (Śiwarātri Kalpa, 37.6)


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

— Setelah selesai sempurna melaksanakan brata yang Ku-katakan, maka lanjutlah dengan kegiatan bertirtayatra. Seribu juta dosa laknat yang ia lakukan pada kelahiran terdahulunya seketika akan sirna ketika melaksanakan brata Śiwarātri yang serba utama. (Śiwarātri Kalpa, 37.7)

— Walaupun seluruh hidupnya ia berbuat kebatilan, menyakiti perasaaan orang lain, membunuh seorang brahmana, dan lagi tidak tahu berterima kasih, durhaka pada seorang guru, membunuh janin pada kandungan — semua dosa-dosa itu akan sirna oleh karena ia berjaga di waktu Śiwarātri yang sangat utama ini. (Śiwarātri Kalpa, 37.8)

— Walaupun tidak melaksanakan brata tetapi terjaga tidak tidur pada waktu-waktu demikian, seluruh kelahiran manusia, baik tua-muda, laki-perempuan, segera akan menuju Śiwālaya, menikmati kebahagiaan transedental tanpa berkeluh kesah. (Śiwarātri Kalpa, 37.9)

— Demikianlah wejangan Hyang Īśwara kepada para dewatā, Hyang Girīndratanaya memberi salam penghormatan dan mematuhi semua sabda Hyang Jagatpati yang telah diberikan, demikilanlah para hyang (dewatā) yang ikut mendengar diskusi Śiwa dan Śakti-Nya melaksanakan brata Śiwarātri sampai ke Triloka. (Śiwarātri Kalpa, 37.10)

SANGGAH KEMULAN (RONG TIGA)

 


Sanggah Kamulan berasal dari 2 kata, "sanggah" berarti tempat pemujaan, dan "kamulan" berasal dari kata mūla yang berarti awal atau sumber. Jadi Sanggah Kamulan adalah tempat untuk memuja asal mula darimana manusia itu diciptakan, siapakah Beliau?⁣

"Pada kamulan kanan adalah ayahmu, Sang Parātmā. Pada kamulan kiri adalah ibumu, Sang Śivātmā. Pada kamulan tengah adalah Bhaṭāra Dalem sebagai Hyang Ātmā (Tuhan), yaitu roh dari ayah dan ibu (yang telah) kembali ke Dalem (asal mula) menjadi Sang Hyang Tunggal" — Lontar: Tutur Gong Besi, lembar 3a⁣

Gong Besi lebih lanjut menyatakan:—

"Aku maraga lanang, meraga wadon, meraga daki, dadi aku meraga sawiji, nga. Aku Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Tunggal." — Aku berwujud laki-laki, juga berwujud perempuan, telah menjadi kotor (papā), beragalah Aku sebagai makhluk hidup. Namun sesungguhnya Aku esa tiada duanya. ⁣

Jadi, umat Hindu bersembahyang dihadapan Sanggah Kamulan tiada lain sedang memuja asal mula diri kita sendiri yaitu Bhaṭāra Hyang Guru (Tuhan Yang Maha Esa).⁣

"Demikianlah hendaknya ia menghaturkan penghormatan kepada Bhaṭāra Guru dan leluhur yang telah disucikan, dan itulah yang sedang kau puja di Kemulan." — Lontar Sundarigama


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

"Akulah kurban suci, ritus pengurbanan, Akulah apa yang kau persembahkan, Aku adalah kurban yang dikurbankan dan orang yang khusyuk dalam upacara kurban. Aku juga yang memberkahi pengurbanan itu. Siapakah ini? Siapakah kau? Siapakah kalian? Pada kenyataannya semua itu adalah Aku, Aku adalah realitas satu-satunya di alam semesta. — Śiva Mahāpurāṇa, 2.2.26.47-48

Adapun Lontar Śivāgama, lembar 328, menyiratkan begitu pentingnya Sanggah Kamulan dibangun sebagai satu-satunya pemujaan yang harus ada pada masing-masing pekarangan untuk memuja Bhaṭāra Dalem (Tuhan) sebagai Sang Hyang Ātmā.⁣

"Dia adalah Sang Hyang Paramawisesa Dalem Kawi. Kalian sehat berasal dari Dalem Kawi, sakit dari Dalem Kawi, hidup dari Dalem Kawi, kematian juga dari Dalem Kawi. Dari Sang Hyang Pemutering Jagat-lah asal mula segala sesuatu, menjadi beranekaragam oleh karena kehendak-Nya Sendiri." — Lontar: Tutur Gong Besi, lembar 3b.⁣

______________________________

yo devānām prabhavaś co'dbhavaś ca
vīśvādhipo rudro maharṣiḥ
hiraṇyagarbham paśyata jāyamānam
sa no buddhyā śubhayā samyunaktu

"Dia adalah sumber dan darimana para devatā itu berasal, penguasa segalanya, Mahaṛṣi Rudra (Bhaṭāra Guru), yang mengawasi segala ciptaan alam semesta (Hiraṇya-garbha). Semoga Dia memberikan cahaya pengetahuan kepada kita." — Śvetāśvatara Upaniṣad (4.12)⁣

______________________________ ⁣


Photo: @ayomoto.id

Kenapa Terawangan Balian Sering Salah




Dalam lontar Aji palayon dikatakan, bahwa jika hendak pergi kepada seorang balian, maka harus mengedepankan akal sehat. Jika sesuai dengan sastra agama dan logika, barulah dijalankan. Jika tidak, maka tinggalkan saja. Namun jika kita berbicara masalah logika, rasional atau nalar yang mengedepankan akal sehat, dalam tataran niskala, maka hal tersebut bukanlah sebuah hal yang mutlak diperlukan. Sebab dunia niskala berisikan banyak hal-hal di luar nalar namun itu terjadi.
Demikian pula, jangan sekali-kali menelan mentah-mentah apa yang diucapkan oleh seorang balian. Sebab jaman sekarang, tidak sedikit balian yang ngaku-ngaku ririh.
Berdasarkan Bhairawa Tantra, Manusia Terbagi atas 2 Golongan.
1. Prawerti adalah Hubungan Manusia dengan Tuhan dari Hati, mempelajari Agama Hindu, Filsafat, Paham mengenai Upakara dan folosopinya, paham dan menjalankan Weda.
2. Niwerti adalah Hubungan Manusia dengan Tuhan untuk dengan mengandalkan kekuatan, kesaktian, kewisesan, yang bermuara pada satu kekuatan supranatural, kekuatan magis, dan melebihi kekuatan normal lainnya. Kebalikan dari Prawerti. Niwerti adalah Golongan Manusia yang mengutamakan Hubungan Manusia dengan Tuhan menggunakan ritual.
Jika Prawerti, maka akan seperti berikut.


Jika seorang Hindu Bali meninggal dunia, maka kerabatnya akan melaksanakan upacara yang bernama ngaben. Maka seusai upacara ngaben, ia tidak usah pusing apakah yang diaben mendapatkan tempat atau malah dirajam di neraka. Ia yakin akan hukum karma yang ada di dunia sana dan ia sudah sangat puas melakukan ngaben dengan tuntunan sastra yang benar.
Jika Niwerti maka akan seperti berikut.
Setelah Ngaben. Orang bali akan bertanya kembali. Apakah kakek saya yang baru diaben mendapatkan tempat, apakah ia tidak sengsara di sana, atau banten apakah yang kurang dan jika ia menderita di alam sana. Apakah yang harus dilakukan agar hukumannya dapat dikurangi? Dengan tujuan itu, maka ia pergi ke tempat balian, untuk meluasang, apakah kakeknya mendapatkan tempat atau tidak.
Apakah yang harus dilakukan agar hukumannya dapat dikurangi? Dengan tujuan itu, maka ia pergi ke tempat balian, untuk meluasang, apakah kakeknya mendapatkan tempat atau tidak. Jika dihukum atau dalam keadaan susah, maka banten apa yang harus dibuat agar hukuman kakek bisa sedikit dikurangi. Dengan bertanya seperti itu, maka sang balian kerauhan dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi.


Perlu diperhatikan, bahwa balian adalah manusia. Sehebat apa pun manusia, maka ia pasti melakukan kesalahan. Ada sebuah kisah yang menarik mengapa balian tidak mungkin menerawang sisi niskala dengan tepat seratus persen.
Kok Bisa?
Saat manusia diciptakan, maka yang membungkus Atman adalah Citta(Pikiran), Buddhi(Kecerdasan), Ahamkara(Ego).
Sisi rohani dengan pancaran kekuatan supranatural adalah satu cerminan dari kekuatan Buddhi(Kecerdasan),jika Buddhi itu sedang bekerja, maka Ahamkara atau rasa Egonya akan membungkusnya kembali sama seperti saat manusia diciptakan.
Ahamkara ini memiliki lapisan yang tebal, sehingga sulit untuk melihat dengan terang. Sehingga, berdasarkan AJARAN HINDU, sangat sulit Manusia untuk bisa menerawang.
Balian dengan meneropong hal-hal berbau niskala, tidak akan mungkin mampu melihat seratus persen benar, terlebih lagi balian yang ngaku-ngaku sakti. Apa yang harus diperbuat? Yang perlu dilakukan adalah bahwa sesuatu kegiatan beragama kita jalankan saja dengan petunjuk sastra
atau dengan tuntunan sang pandita. Jika menemukan sebuah kejanggalan, maka barulah cari solusinya dengan jalan niskala, namun tetap dengan mengedepankan akal sehat sebagai sebuah Fllterisasi.
Sumber : @nafashindu
#infodewata #hindu





Makna Pedanda Baka

 



Pedanda Baka, hampir semua masyarakat Bali pasti pernah mendengar cerita ini sewaktu kecil, kisah Sang Cangak Maketu, atau Bangau Bermahkota Pendeta, dongeng sederhana, namun bermakna sangat dalam, kisah yang mempertanyakan kesucian dari seseorang yang berperilaku suci.

.
Kisah ini tergolong kedalam Cerita Tantri atau Pañchatantra, kumpulan dongeng India Kuno yang menggunakan binatang sebagai tokoh utamanya, yang secara tidak langsung menggambarkan perilaku masyarakat, penguasa, bahkan para pemuka agama kala itu. Kisah Pedanda Baka merupakan dongeng di dalam dongeng, kisah ini diceritakan oleh Patih Sembhada, seekor serigala, ketika memprovokasi seekor Singa yang bernama Raja Candha Pinggala dengan Resi Nandhaka, seekor banteng, dan Sembadha berhasil membuat mereka saling membunuh.
.
Secara singkat dongeng ini mengisahkan, seekor bangau tua yang mengenakan mahkota pendeta dengan bulu putih yang bersinar cerah seperti kain sutra, ia berdiri dengan satu kaki selama berjam-jam di tepi Telaga Kemudasara, seperti sedang bermeditasi, membuat seluruh ikan merasa takjub dengannya, kemudian ia berkata bahwa ia sudah mendapat pencerahan dan diutus oleh Hyang Kuasa untuk menyelamatkan semua ikan, karena telaga itu akan surut, namun pada akhirnya ia memangsa semua ikan lugu dan polos itu yang percaya dengan tipuan Sang bangau.
.

Sederhananya, kisah ini mengajarkan, banyak sekali orang yang kelihatannya berperilaku baik dan tulus ternyata memiliki niat tertentu untuk kepentingannya sendiri dengan memperdaya orang-orang yang mempercayainya. Namun, disisi lain kisah ini menjadi sindiran perilaku para Pendeta pada zaman kerajaan yang berperan sebagai penjabat penting dalam sistem politik kerajaan. Bahkan saat itu cerita ini sempat dilarang untuk diceritakan karena dianggap merendahkan kaum Pendeta.
.

Dalam istilah Bali, Pedanda Baka, berarti pendeta yang sebetulnya palsu, sehingga gampang untuk melanggar swadarma. penyebab dari fenomena ini, karena sebagian masyarakat yang tak peduli dengan ajaran agama dan menyerahkan sikap keagamaan kepada pendeta, termasuk para pedanda baka.
.
Dirangkum oleh @calonarangtaksu @global.bali #pedandabaka #sangcangak


Kamis, 11 Maret 2021

Ida Mas Dalem Segara, Sulinggih Berusia 23 Tahun, Ini Kisahnya






MUPUT : Ida Mas Dalem Segara dengan pakaian kebesarannya ketika muput upacara. (IDA MAS DALEM SEGARA FOR BALI EXPRESS)





Apa yang tergambar dalam benak Anda ketika menyebut kata Sulinggih? Tentu yang terbayang adalah seorang pendeta suci yang berpakaian serba putih, berambut panjang yang diperucut, juga berjenggot putih. Namun, bayangan sosok seperti itu akan buyar, bila melihat Sulinggih Ida Mas Dalem Segara yang ala kids zaman now. Kenapa buyar? Karena pasti berseberangan dengan yang dibayangkan.





Ida Mas Dalem Segara, seorang Sulinggih muda berperawakan gagah. Tak seperti Sulinggih pada umumnya, Ida Mas Dalem Segara membiarkan rambut hitam bergelombangnya terurai. Gaya bicaranya yang santai, membuatnya cepat akrab dengan para pamedek yang tangkil ke griyanya di kawasan Jalan Drupadi XIV Denpasar.


Usai melayani para pemedek yang malukat, Sulinggih berusia 23 tahun ini pamit mohon izin untuk berganti pakaian. Beberapa saat kemudian, pria tamatan SMA ini sudah terlihat dengan santai duduk di atas sebuah Bale Pangiring yang terletak di pelataran griyanya.

“Ampura nggih, saya lebih suka berpenampilan begini jika di rumah. Apa adanya, yang terpenting bukan apa yang saya kenakan. Tapi, seperti apa jiwa dan karma yang saya lakukan,” ujar Sulinggih asal Peguyangan, Buleleng, ketika menerima kunjungan Bali Express (Jawa Pos Group), kemarin. Melihat penampilannya, Sulinggih ini mirip idola kids zaman now, bila melihat model rambutnya, pakaiannya yang modis, ditopang posturnya yang semampai plus wajahnya yang rupawan.


Pria yang sejak kecil menetap di Denpasar ini, mengaku cukup berat menjalankan takdirnya menjadi seorang Sulinggih. Bahkan, tak pernah menyangka perjalanan hidupnya akan sejauh ini. “Dari kecil saya memang dekat dengan hal - hal spiritual. Beliau benar – benar menuntun saya lewat berbagai cobaan dalam hidup,” ungkapnya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Ida Mas Dalem Segara bercerita, sejak kecil tak pernah merasakan kasih sayang ayahnya sebagai orang tua. Ia tumbuh dan dibesarkan oleh ibunya. “Bisa dibilang saya seorang yatim. Tidak memiliki ayah, saya sepenuhnya bergantung pada ibu. Ibu merawat saya dari kecil hingga tamat SMA,” paparnya.
Ketika SMA, Ida Mas Dalem Segara memutuskan untuk memulai membangun usaha di bidang pakaian. Di luar perkiraan, usaha yang dirintisnya ternyata tumbuh dengan pesat. Ia mulai menerima banyak orderan, sehingga terus melebarkan sayap bisnisnya hingga memiliki toko dan cabang di sejumlah daerah.


Merasa ada di atas angin, ia terus mengembangkan usahanya hingga benar – benar maju.
“Suatu malam ada sosok gaib yang datang menyampaikan bagaimana seharusnya jalan saya kedepan. Awalnya saya belum bisa menerima untuk menjadi seorang Sulinggih. Sebab, bisnis saya sedang maju. Jika saya menerima, artinya saya harus siap melepaskan usaha dan segala bentuk keduniawian lainnya," akunya. Namun bayangan agar menjadi seorang Sulinggih, terus berkecamuk di benaknya.
Setahun sebelum ia bersedia melaksanakan proses madwijati, Ida Mas Dalem Segara bermimpi masuk ke sebuah dimensi ruang, di mana ia melihat masa depan.

“Saya melihat sekelebat kejadian yang berganti ganti, saya juga melihat diri saya ketika di umur lanjut usia, tengah berdiri di utara rumah dengan pakaian serba putih. Dan anehnya, setelah mimpi tersebut, orang – orang mulai datang silih berganti, nunas ini dan itu. Minta petunjuk dan tuntunan dalam setiap persoalan hidup mereka," bebernya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Lantas, ia berbagi cerita dengan Ida Nabe Giri Natha dari Griya Gede Penida Bangli. "Berkat tuntunan beliau lah saya akhirnya mantap menerima jalan ini,” ujarnya.


Dengan segala bentuk pertimbangan, keyakinan dan cobaan yang terus menerus datang, akhirnya Ida Mas Dalem Segara menerima takdirnya sebagai seorang Sulinggih. “Ada satu titik balik kenapa saya menerima ini sebagai jalan hidup saya. Ketika saya harus kehilangan segalanya, segala hal yang menurut saya sangat penting dalam hidup saya waktu itu. Kira – kira hampir setahun saya harus terpuruk, dan bertingkah seperti orang gila. Tapi perlahan saya bisa bangkit dan pasrah,” paparnya.


Titik balik yang dimaksud adalah ketika ia harus kehilangan beberapa orang yang dikasihinya.
“Saya sudah ngiring dari cenik, ketika kecil saya harus menerima kehilangan ayah sebagai tulang punggung. Setelah ayah tiada, otomatis ibu menggantikannya menjadi tulang punggung keluarga. Jadi, saya secara tidak langsung juga kehilangan kasih sayang ibu. Beranjak remaja, rasa kesepian yang dalam itu mulai terobati. Saya punya pacar ketika itu, sangat dalam rasa cinta saya. Tapi sayangnya memang tidak jodoh, nah dari situ lah saya merasa tidak punya harapan, dan merasa sangat hancur,” tuturnya.


Berbagai cara ia lakukan untuk mengobati rasa sakit dan kesepian. Pergi ke berbagai tempat untuk membersihkan diri dan berguru, namun tak juga hilang sepenuhnya berbagai masalah.

“Sampai satu titik akhirnya saya menemukan sebuah jawaban. Yah ini, memang harus begini yang saya jalani. Setelah bulat dengan keputusan saya, akhirnya saya menjalani setiap prosesnya. Saya akui sangat berat,” ungkapnya.


Menurutnya, pertimbangan terberat yang harus ia pikirkan sebelum melaksanakan proses Dwijati adalah anak dan istrinya. “Saya memiliki istri jauh sebelum proses madiksa dilakukan. Anak saya lahir pun, jauh sebelum saya melewati proses Dwijati," terangnya.


Dikatakan berat, lanjutnya, karena ia punya tanggung jawab terhadap keberlangsungan kebutuhan istri, anak, dan keluarga. "Ketika kita bersedia menjadi suci, artinya harus benar – benar melepas keduniawian. Kita harus benar – benar beryadnya kepada masyarakat," ujarnya. Dikatakannya, semua keraguan itu terjawab. "Ada saja rezeki, bahkan saya mampu ngayahin para pamedek dengan cara membuat upacara ngaben massal, mapandes massal gratis untuk masyarakat,” ungkapnya.


Dengan senyum teduh khas anak muda, Ida Mas Dalem Segara memang sudah mantap menjalankan tugasnya sebagai orang yang disucikan. “Saya memang masih muda. Namun saya percaya Tuhan tidak sembarangan memberikan jalan. Walaupun ada saja yang mencemooh, ada saja yang tidak setuju. Jika memang ini jalan saya, harus saya jalani. Saya sendiri pun tak kuasa menolaknya,” ujarnya.

Meski menuai banyak pro dan kontra, ia tetap yakin dan memegang teguh prinsip dalam menjalankan yadnya. Putra sulung dari dua bersaudara ini, sebelum memutuskan untuk madwijati ia sempat menjadi seorang pengusadha, membantu orang – orang di sekitarnya. Sulinggih murah senyum ini, dikenal sangat murah hati. Tak jarang ia tak menerima sasari dari upacara yang dipuputnya. Sebelum menjadi Sulinggih, Ida Mas Dalem Segara juga sempat didiksa menjadi Ida Bhawati.

Dengan menjalankan proses panjang, akhirnya ia melaksanakan proses madwijati yang dilaksanakan oleh Ida Nabe Giri Natha dari Griya Gede Penida Bangli, Ida Nabe dari Griya Medahan Gianyar, Ida Nabe Ratu Bagus dari Griya Muncan Karangasem, dan Ida Nabe Rsi Lokanantha dari Griya Agung Denpasar. Namun, hingga kini Ida Mas Dalem Segara belum menggunakan Bhawa, karena Ida mapulang lingga pada saat sasih kapat di bulan september 2017 di Griya Gede Penida Bangli. Jadi, saat ini statusnya masih Malingga Bhawati sampai pada saat waktu yang ditentukan karena mengikuti struktur dari trah Pasek.


Makanya, namanya masih Ida Mas Dalem Segara, di mana seharusnya ada nama Bhagawannya.
"Semua itu karena dalam struktur trah pasek, ikut trah dari nabe.Setelah jangka waktu yang ditentukan, baru bisa menggunakan Bhawa dan menyandang gelar Bhagawad," bebernya.

Mengungkap Misteri 108 Nasi Cacah Saat Tawur Kasanga






NASI CACAH: Wujud dan bentuk Nasi Cacah yang dihaturkan saat Tawur Kasanga. (istimewa)





Nyepi merupakan Hari Raya Umat Hindu yang diperingati tiap tahun. Sehari sebelum peringatan Tahun Baru Saka ini, dilaksanakan Tawur Agung Kasanga. Nah, dalam Tawur ini salah satu sarana ritual atau upakaranya adalah 108 Nasi Cacah yang dirangkai sedemikian rupa. Mengapa harus 108?


Menurut kajian Pasraman Sastra Kencana, angka tersebut bukanlah suatu kebetulan, melainkan berkaitan dengan rangkaian energi. Hal ini tak lepas dari konsep Aksara. Kelahiran angka 108 dari laba Nasi Cacah itu bersumber dari urip masing-masing aksara.




Mulai dari Ang dan Ah yang memiliki urip masing-masing 8. Kemudian aksara Sa, Ba, Ta, A, I, dengan urip 33. Lalu Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, dengan jumlah urip 59. “Maka total menjadi 108,” ungkap Guru Nabe Budiarsa, Pinisepuh Pasraman Sastra Kencana yang beralamat di Banjar Tegak Gede, Desa Yehembang Kangin, Mendoyo, Jembrana, belum lama ini.


PINISEPUH : Pinisepuh Pasaraman Sastra Kencana, Guru Nabe Budiarsa (istimewa)



CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Dijelaskan lebih lanjut, menurut tatwa filsafat Hindu Bali yang berdasarkan pada ajaran sastra Hindu Bali, yang bertitik tolak pada Wreastra, Dasa Aksara, dan Kanda Empat, dapat dijelaskan secara rinci dan detail tentang lahirnya kekuatan yang disebut dengan 108 Butha Kala.

Dikatakannya, 108 Bhuta Kala ini harus mendapat perlakuan dan stabilisasi atau harus dinetralisasi lewat Caru Tawur Agung Kasanga, khususnya di perumahan setiap umat Hindu di Bali. Tujuannya, agar alam Bali benar-benar suci menurut dasar keyakinan umat Hindu di Bali, khususnya.

Diterangkannya, angka 108 itu dapat ditemukan lewat kajian sastra Dasa Aksara dan Kanda Empat. “Dalam Dasa Aksara mengenal sastra Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya. Sedangkan dalam ajaran Kanda Empat mengenal sastra Sa, Ba, Ta, A, dan I,” paparnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Sastra Dasa Aksara, lanjutnya, adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang langit dan cakrawala, atau Bwah Loka dan Swah Loka. Bentuknya bulat kosong dan hampa, namun terdapat tebaran benda-benda langit, seperti matahari, bulan, bintang dan planet-planet yang memiliki sifat kekuatan dan pengaruh yang berbeda-beda. Ada yang memiliki energi panas, dingin, netral, dan sebagainya.

Dalam siklus perputaran Galaksi Antariksa yang dipengaruhi oleh energi benda-benda itu, langit melahirkan sifat-sifat energi yang berbeda. Di samping itu pula, dipengaruhi juga oleh energi bumi yang memiliki kekuatan lima unsur, yaitu angin, api, sinar, air, dan bumi itu sendiri.

Kelima energi ini dipengaruhi oleh energi panas bumi pada titik magma di dasar bumi. “Akibat dari adanya energi panas dasar bumi ini, maka kelima energi ini menjadi panas yang setiap waktu atau kala, akan mengalami peningkatan panas sampai titik pemanasan global, dan terbentuklah lima energi panas di bumi ini, yaitu angin panas atau Gni Petak, api panas atau Gni Bang, sinar panas atau Gni Jenar, air panas atau Gni Ireng, dan tanah panas atau Gni Mancawarna,” terang Pinisepuh Perguruan Wahyu Siwa Mukti ini.

Panas bumi ini kemudian memengaruhi energi langit yang juga memiliki sumber panas pada matahari. Nah, pertemuan panas inilah yang diberikan proses ritual agar bisa kembali netral dengan melakukan laba Tawur Kasanga, menurunkan energi langit ke muka bumi, agar bumi menjadi netral lalu disebut bersih dan suci.

“Dalam melakukan pembersihan dan penyucian di bumi ini, dilakukan dalam semua kegiatan tanpa kecuali, baik yang ada di Buana Agung maupun di Buana Alit,” katanya.

Pada Buana Agung, lanjutnya, tidak boleh melakukan kegiatan apapun terhadap alam, baik perusakan maupun menciptakan polusi terhadap alam. Lalu memberikan kesempatan pada bumi, langit dan cakrawala berevolusi melakukan proses sinergi antara energi langit dengan energi bumi.

Oleh karena itu, umat manusia, khususnya yang meyakini, terutama umat Hindu di Bali melakukan penghentian aktivitas apapun di atas bumi di bawah langit. Bahkan, gelombang energi yang menggunakan frekuensi satelit pun dibatasi dengan mengurangi penyiaran radio, televisi bahkan internet, demi tak terganggunya sinergi alam bumi dan langit.

Kemudian pada Buana Alit dilakukan pembersihan dan penyucian diri lahir-batin tanpa menikmati apapun, agar jiwa tenang dan terbebas dari nafsu. Lalu menghentikan aktivitas jasmani dengan istirahat total. Maka langkah Catur Brata Panyepian pun dilakukan.

Kembali ke sastra, energi langit dengan 10 unsur alam Akasa yang bertitik tumpu pada 7 lapisan langit atau Sapta Loka dipaparkan oleh sastra Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa Ya. Setiap sastra dinyatakan memiliki kekuatan atau kehidupan yang disebut dengan urip.

 

Sa memiliki urip 5, Ba urip 9, Ta urip 7, A urip 4, I urip 8, Na urip 8, Ma urip 3, Si urip 1, Wa urip 6, dan Ya urip 8. Sehingga total urip adalah 5 + 9 + 7 + 4 + 8 + 8 + 3 + 1 + 6 + 8 = 59. “Itulah urip dari Dasa Aksara. Karena sastra ini belum mendapatkan kekuatan sinar dari matahari, bulan, dan bintang, maka sastra ini belum memiliki sinar atau kekuatan suci.

Sinar itu sama dengan Div (diw), dan Div itu sama dengan Dewa. Karena itu disebut sastra Butha atau sastra yang belum memiliki sinar kekuatan suci,” jelasnya.

Maka, lanjut Guru Nabe, dari unsur Dasa Aksara energi langit yang terkontaminasi oleh energi bumi yang panas, menimbulkan pengaruh negatif pada alam. Lalu ke-10 energi alam langit ini yang memiliki 59 kekuatan disucikan secara ritual.

Karena 10 kekuatan langit ini yang disatupadukan di merajan, dari 10 sastra menjadi 5 sastra, dan dari 5 sastra disatupadukan menjadi 3 sastra, maka lahirlah sastra Ang, Ung, Mang dengan kekuatan Api, Air, dan Angin dengan masing-masing dewanya, yaitu Brahmana, Wisnu, dan Iswara.

Lantaran energi langit turun ke bumi, maka 10 sastra, salah satunya menyatu menjadi 9 sastra, lalu disebut Nawa Sanga. Pengaruh negatif dari Nawa Sanga ini disebut Butha Nawa Sanga dan pengaruh positifnya disebut Dewa Nawa Sanga.

“Dewa Nawa Sanga menyatu menjadi Tri Dewata, Buta Nawa Sanga menjadi Butha Angga Tiga Sakti,” ucapnya. Berkenaan dengan itu, di merajan dinetralisasi dengan laba 9 tanding yang merupakan perwujudan dari Butha Nawa Sanga dengan kekuatan atau urip 59.

"Butha Nawa Sanga ini berputar sesuai siklus alam selama 24 jam yang merupakan satu putaran alam penuh. Perputaran ini melahirkan pengaruh positif dan negatif yang merupakan Bala Bela Langit Niskala lalu disimbolkan dengan istilah Sang Kala Bela atau Sang Kala Bala,” katanya.

Jadi, pengendali dari Butha Nawa Sanga ini adalah Sang Kala Bala atau Sang Kala Bela. Dikarenakan sebagai pengendali langit yang memiliki 8 penjuru, maka urip atau kekuatan dari Sang Kala Bela itu adalah 8 dan memiliki unsur langit atau Maha I Bapa. “Maka pada unsur langit memiliki kekuatan Butha Nawa Sanga dengan urip 59 dan Sang Kala Bela dengan urip 8,” jelasnya.

Selanjutnya di bumi ada 5 unsur energi yang berpusat pada Sapta Petala dan bertitik tumpu di dasar bumi, yang memiliki kekuatan api sangat panas pada titik magma, yang bila keluar ke permukaan bumi menjadi lava pijar penghancur nomor satu di muka bumi.

Panas ini memengaruhi energi lima unsur, yakni angin, api, sinar, air, dan bumi menjadi angin panas, api panas, sinar panas, air panas, dan bumi panas, lalu disebut Panca Brahma.

“Sifat panas ini bersumber dari Sapta Petala yang divisualisasikan dan sebagai unsur Dhurga, maka terciptalah istilah Sapta Dhurga. Lima Dhurga yang memengaruhi lima unsur menjadi Panca Dhurga. Penyatuan lima unsur Dhurga menjadi Bhatari Dhurga. Sedangkan pancaran sinar panas dari Bhatari Dhurga ini disebut Dewi Dhurga,” paparnya.

Dikatakan Guru Nabe, di bumi ini ada kekuatan ratu atau rajanya panas. Dikarenakan panas itu bersumber dari lima cikal bakal energi, maka energi ini diistilahkan dengan Panca Maha Butha. Kekuatan Panca Maha Butha ini merupakan perwujudan Butha yang keluar sewaktu-waktu atau kala tertentu sesuai siklusnya, sehingga disebut dengan istilah Butha Kala.

“Kekuatan tertinggi dari Butha ini dinyatakan sebagai Raja dan Ratunya Butha, dari kata Raja dan Ratu ini muncul istilah Ratu Ayu dan Raja Butha,” terangnya.

Kemudian, Butha yang ada di bumi, akibat pengaruh energi langit menyebabkan Panca Maha Butha ini sangat kuat. Energi langit yang datang dari 8 penjuru menjadi satu kesatuan pada energi bumi 5 unsur. Oleh karena itu, Raja Butha ini memiliki kekuatan urip 8 penjuru, maka lahir istilah Sang Kala Raja dengan urip 8.

Sedangkan Sang Panca Maha Buthanya memiliki urip, yakni Sa, berupa angin, letaknya di Timur dengan urip 5. Lalu Ba, berupa api, letaknya di Selatan dengan urip 9. Ta, berupa sinar, letaknya di Barat dengan urip 7. A, berupa air, letaknya di Utara dengan urip 4. I, berupa pertiwi, letaknya di tengah dengan urip 8. Sehingga 5 + 9 + 7 + 4 + 8 = 33. Lalu urip Sang Kala Raja adalah 8, maka urip bumi menjadi 33 + 8 = 41. Akibat perpaduan urip bumi dan urip langit maka, 33 + 8 = 41. Lalu 59 + 8 = 67. Sehingga 41+ 67 = 108.


Berdasarkan perhitungan tersebut, maka di lebuh atau pintu pekarangan rumah dekat jalan dibuat nasi cacah dengan ketentuan, paling bawah unsur bumi, 8 Nasi Cacah menjadi 1 tanding. Di atasnya Panca Maha Bhuta, 33 Nasi Cacah jadi 1 tanding. “Itu semua unsur bumi, Sang Kala Raja kairing sang Panca Maha Butha dari manca desa, lalu di pempatan mendapat Caru Manca Sata,” ujarnya.

Kemudian untuk unsur langit, Butha Nawa Sanga dengan urip 59 dibuatkan nasi cacah isi 59 jadi satu atau dapat pula dipecah. Satu isi 33 satu lagi isi 26, lalu Nasi Cacah urip 8 untuk Sang Kala Bela. Maka jika disusun dalam bentuk laba Nasi Cacah, menjadi Nasi Cacah 8, Nasi Cacah 33, Nasi Cacah 59, dan kembali Nasi Cacah 8. Sehingga jumlahnya 108 Nasi Cacah.

Di atas Nasi Cacah ini, kemudian disatukan oleh Caru Ayam Brumbun sebagai unsur penyatuan bumi dan langit, penyelarasan unsur 10 menjadi 5 agar bumi dan langit bisa bersinergi.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Unsur langit dinyatakan Maha I Bapa dengan sastra Ah dan unsur bumi disebut Maha Ibu dengan sastra Ang. “Hal ini tidak boleh salah apalagi keliru. Kalau salah, maka pembentukan energi akan berubah, dari niat ingin menghilangkan energi panas malah menjadi tambah panas,” tegasnya.

Dengan menggabungkan keseluruhan urip itu akan ketemu angka 108 sebagai perwujudan Butha kala, yang mana para Butha Kala itu diilustrasikan dan divisualisasikan dalam wujud makhluk-makhluk gaib, seperti Jin, Samar, Gamang, memedi, atau Setan, Iblis, dan Berhala. Karena Bhuta Kala itu masuk dalam kelompok Gamang, maka nasi cacah itu sering disebut Nasi Gamang.

Dijelaskan Guru Nabe, sesungguhnya persembahan adalah sebuah rangkaian sastra untuk melahirkan energi. Hal ini sangat kelihatan pada proses paringkesan sastra Dasa Aksara menjadi Panca Aksara untuk menciptakan dua sifat kelompok energi. Yakni kelompok energi panas disebut Panca Brahma, dan kelompok dingin disebut Panca Amerta atau Panca Tirta atau Panca Suda.

“Jika ini tak dipahami, maka kita akan mengatakan Butha Kala itu makan enak dan lahap tak boleh kurang. Kalau kurang bisa ngamuk kesurupan. Padahal sesungguhnya kita salah merangkai upacara ataupun merangkai doa, akibat kurang pahamnya sifat-sifat energi secara sastra," ujarnya.

Ketika unsur api kurang, lanjutnya, maka bisa saja minta api perapak atau api dupa. "Ketika butuh unsur air bisa saja minta babi butuhan atau ayam hitam, begitu seterusnya,” pungkasnya.



(bx/adi/rin/JPR)