SEGEHAN: Garam yang ada dalam segehan adalah sarana mujarab untuk menetralisasi berbagai energi yang merugikan manusia . (ISTIMEWA)
BALI EXPRESS, DENPASAR - Segehan adalah tingkatan kecil atau sederhana dari upacara Bhuta Yadnya. Sedangkan tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur. Kata segehan, berasal kata 'Sega' yang berarti nasi.
Banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi yang biasa dimakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan.
Wujud segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti bawang merah, jahe, garam, dan lain-lainnya. Dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tetabuhan air, tuak, arak serta berem.
Segehan artinya 'Suguh' atau menyuguhkan. Dalam hal ini, segehan dihaturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu dan juga ancangan iringan para Bhatara dan Bhatari, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan, dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisasi dan menghilangkan pengaruh negatif dari limbah tersebut.
“Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan),” ujar, Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) beberapa waktu lalu.
Dijelaskan lebih lanjut, segehan biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di bawah atau sudut- sudut natar merajan, pura, halaman rumah dan di gerbang masuk, bahkan ke perempatan jalan. Segehan dan juga caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.
Terdapat beberapa segehan yang dikenal di Bali, yakni segehan kepel putih yang merupakan segehan paling sederhana dan biasanya dihaturkan setiap hari. Sama seperti segehan putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning. Biasanya segehan putih kuning ini dihaturkan di bawah palinggih.
Adapun doanya sebagai berikut : Om Sarwa Bhuta Preta Byo Namah (Hyang Widhi izinkanlah hamba menyuguhkan sajian kepada bhuta preta seadanya).
Berikutnya segehan kepel warna lima (manca warna) . Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi lima, yakni putih, merah, kuning, hitam, dan brumbun.
Penempatan warna memiliki tempat atau posisi yang khusus, sebagi contoh warna hitam menempati posisi Utara, warna putih menempati posisi Timur, merah menempati posis Selatan, kuning menempati posisi Barat, sedangkan Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna menempati posisi di tengah tengah, yang bisa dikatakan Brumbun tersebut sebagai pancernya.
Segehan manca warna ini biasanya diletakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh pemedal) atau di perempatan jalan. Adapun doa dari segehan manca warna ini yakni : Om Sarwa Durga Preta Byo Namah ( Hyang Widhi izinkan hamba menyuguhkan sajian kepada Durga Preta seadanya ).
Selanjutnya adalah segehan Cacahan. Segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. Sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau sembilan buah tangkih. Kalau menggunakan tujuh tangkih, di mana lima tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di Timur, Selatan, Barat, Utara, dan Tengah. Dan, satu tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam. Satu tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras. Kemudian di atas disusun dengan canang genten.
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Jika menggunakan sembilan tangkih sebagai tempat nasi yang posisinya mengikuti arah mata angin. Satu tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya, yaitu bawang, jahe dan garam. Dan satu tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras. Kemudian di atas disusun dengan canang genten.
“Keempat jenis segehan tersebut dapat dipergunakan setiap kajeng kliwon atau pada saat upacara–upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan,” jelasnya.
Selanjutnya ada segehan agung yang merupakan tingkat segehan terakhir. Segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, panyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara Bhuta Yadnya yang lebih besar lainnya.
Adapun isi dari segehan agung ini, yakni alasnya ngiru atau ngiu yang di tengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas, tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, dilengkapi dengan tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tapak dara).
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Adapun tata cara saat menghaturkan segehan adalah pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, diletakkan mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam diputuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor kemudian dipecahkan 'diayabin' kemudian ditutup dengan tetabuhan.
Doa dalam menghaturkan segehan ini yakni Om sarwa kala preta byo namah (Hyang Widhi izinkanlah hamba menyuguhkan sajian kepada kala preta seadanya).
Setiap menghaturkan segehan lalu disiram dengan tetabuhan. Tetabuhan ini bisa menggunakan air putih yang bersih, atau tuak, brem, dan arak. Dengan cara mengelilingi segehan yang dihaturkan. Ketika menyiram atau menyiratkan kita ucapkan doa Om ibek segara, ibek danu, ibek bayu, premananing hulun. "Artinya, Hyanng Widhi semoga hamba diberkahi bagaikan melimpahnya air laut, air danau, dan memberi kesegaran jiwa dan batin hamba," tutup Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.
(bx/gus /yes/JPR)