Senin, 30 November 2020

Asta Brata di Keraton Surakarta Hadiningrat Solo

 Pada mulanya kraton Surakarta Hadiningrat dibangunsecara bertahap, tiap raja yang memerintah sesudah Paku Buwono II mengganti, menambah atau mengubah bangunan yang dirasa kurang cocok, disamping menambah beberapa perlengkapan yang belum ada. Panggung SONGGO BUWONO dibangun oleh raja Paku Buwono III terletak di dalam kompleks kraton serta berdekatan dengan Kori Sri Manganti. Pendirian Panggung Songgo Buwono bersamaan dengan pembangunan Kori Brojonolo dan Kori Sri Manganti. Panggung Songgo Buwono ditandai dengan titi mangsa yang menjadi tetenger atau tanda Sengkala yang terdapat dibagian atas bangunan tersebut sebagai "Nogo Muluk Tinitihan Jamna" disamping itu pada bagian atap terdapat hiasan "Nogo/ular dinaiki manusia" Sekala tulisan Jawa tersebut berarti : Nogo = 8, Muluk = 0, Nitih = 7, Jamna/manusia = 1, angka yang terkumpul adalah 8071 akan tetapi untuk dapat dipergunakan sebagai angka petunjuk tahun susunan tadi harus di balik menjadi 1708 tahun jawa atau 1782 tahun Masehi. Nama panggung Songgo Buwono tersebut juga merupakan suatu Candra Sengkala tersendiri yaitu : panggung = 8, duwur = 0, sangga = 7, buwono = 1 sehingga didapatkan 8071 dan harus di balik jika dipergunakan seabagai angka petunjuk tahun yaitu 1708 Jawa atau tahun 1782 Masehi, (Sudharta, 2015:viii).





Pura Tirtha Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Panggung Songgo Buwono merupakan penggambaran dari 8 sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja yang berkuasa agar dapat menjalankan pemerintahan secara baik. Kedelapan sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja tersebut terkenal sebagai ASTA BRATA yang merupakan suatu ajaran dari Prabu Ramawijaya kepada Bharata sebelum diwisuda menjadi raja. Asta Brata merupakan 8 pedoman pokok yang sangat ideal bagi raja yang berkuasa, kedelapan ajaran utama tersebut adalah:

1. Watak Matahari: matahari mempunyai sifat panas dan berfungsi sebagai pemberi sarana kehidupan. Seorang raja harus dapat berfungsi sebagai matahari yang dapat memberikan semangat dan kehidupan bagi rakyatnya.

2. Watak Bulan: Bulan berwujud indah serta menerangi dalam kegelapan. Seorang raja harus dapat berfungsi seperti bulan yaitu memberi penerangan serta dapat membimbing rakyatnya yang berada dalam kegelapan.

3. Watak Bintang: Bintang mempunyai bentuk yang manis serta dapat menjadi pedoman bagi mereka yang kehilangan arah. Dalam hal ini raja harus dapat berfungsi sebagai contoh/teladan serta menjadi panutan bagi masyarakat.



4. Watak Angin: Angin bersifat mengisi ruangan kosong. Seorang raja harus dapat bertindak secara teliti dan bijaksana disamping harus dapat menyelami kehidupan masyarakat.

5. Watak Mendung: Mendung merupakan sifat menakutkan akan tetapi bila hujan telah turun dapat bermanfaat bagi masyarakat. Seorang raja harus dapat berwibawa kepada rakyatnya.

6. Watak Api: api mempunyai sifat tegak serta dapat membakar apa saja. Seorang raja harus dapat bertindak adil, mempunyai prinsip disiplin, tegas dalam bertindak.

7. Watak Mamudra: Samudra bersifat luas dan mampu menampung segala macam bentuk isi. Seorang raja harus memiliki pandangan yang luas serta sanggup menerima segala macam persoalan. 

8. Watak Bumi : Bumi memiliki sifat suci serta sentosa. Dalam hal ini seorang raja harus mempunyai sifat yang jujur, berbudi luhur serta mau memberi anugerah kepada siapa saja yang telah berjasa kepada negara. 

Demikianlah 8 asas kepemimpinan yang terdapat dalam Asta Brata yang memiliki makna mendalam bagi setiap raja, sebab bila seorang raja tidak melaksanakan ASTA BRATA berarti dia sebagai raja yang tak bermahkota dan ini berarti dia sebagai raja yang tidak baik. 

Pendirian Panggung Songgo Buwono erat sekali hubungannya dengan ajaran Asta Brata ini, karena pendirian bangunan ini mengandung suatu tujuan untuk mengingatkan kepada raja yang memerintahkan akan adanya 8 sifat utama yang harus dimiliki. Pada bagian atas bangunan Panggung Songgo Buwono terdapat suatu ruangan yang disebut "Tutup Saji" di tempat ini merupakan tempat pertemuan antara raja Paku Buwono dengan Nyai Roro Kidul, (Sudharta, 2015:ix).

Dengan adanya perkawinan mistis tersebut kewibawaan raja menjadi bertambah besar. Adanya perkawinan ini telah menempatkan raja bukan hanya sebagai manusia biasa melainkan manusia yang memiliki kekuatan gaib "supra natural". Pembangunan Panggung Songgo Buwono tersebut erat sekali hubungannya dengan mithos tentang perkawinan antara Nyai Roro Kidul dengan raja-raja yang berkuasa di Surakarta. 


Demikianlah antara lain isi Kakawin Ramayana secara ringkas yang tidak sedikit mengandung ajaran-ajaran kesusilaan dan kebajikan. Di dalam 2.771 baitnya tersimpan ajaran-ajaran hidup yang sangat bernilai dalam bidang politik pemerintahan, strategi perang, amanat penderitaan rakyat, kehidupan sosial serta ajaran etika dan agama yang semuanya disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa wiracarita Ramayana merupakan satu sumber kepribadian bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Poerbatjaraka yang menyatakan bahwa dalam Ramayana "banyak pelajarannya, indah-indah perhiasannya, lagi gagah bahasanya. Seumur hidup belum pemah saya membaca kitab Jawa (Kuna) yang memadai kitab Ramayana", (Sudharta, 2015:ix).

Referensi:

Sudharta, Dr. Tjok Rai. 2015. Asta Brata di Abad Millenium. Denpasar: ESBE buku.

Pengertian Dāśa Mahāvidyā dan Bagian-Bagiannya

 CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Seperti halnya Śrī Visnu bertugas sebagai pemelihara turun ke dunia dengan mengambil peran sebagai avatāra. Śiva sebagai pelebur dengan 11 perbanyakan Rudranya. Begitu pula Śakti sebagai aspek kekuatan Brahman, personafikasi dari alam material, mother nature (prakriti) atau energi kosmos juga memiliki 10 perbanyakannya-sebagaimana dikumandangkan di dalam Markandeya Purāna dan Devī Bhāgavatam Purāna. 10 wujud devī ini diantaranya:
.

Foto; mutiarahindu.com

1. Kāli - Bentuk akhir dari Brahman, "Devourer of Time" (Hakekat Waktu)
.
2. Tārā - Devī sebagai Pemandu dan Pelindung, atau "Yang Menyimpan". Dalam tradisi Chinese Bhuddhist, Dewi Tārā dikenal sebagai Kwan Yin berpasangan dengan The Great Buddha, Avalokiteshvara.
.
3. Tripurā Sundari (Shodashi) - Sumber keberadaan keindahan dan kecantikan; "Tantric Parvati" atau "Moksha Mukta"
.
4. Bhuvaneshvari - Sebagai Ibu Dunia — alam kosmos ini adalah tubuh ilahi sang devī
.
5. Bhairavi - Penggambaran ibu Durga yang menakutkan.
.
6. Chinnamasta - Devī yang memenggal kepalanya sendiri dan juga meminum darahnya sendiri dari kucurannya. Sosok tubuh tanpa kepala adalah methapora yang digunakan dalam dunia spritual (methaphor yogic) dalam tantrisme.


.
7. Dhūmāvatī - Adalah kekuatan penderitaan (the power of suffering) — Dhūmāvatī muncul sebagai the negatif powers of life seperti: kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, ketidakjujuran, pertengkaran dan sejenisnya.
.
8. Bagalamukhi - Devī "penghipnotis", alam material ini ter-cover oleh ilusi (māyā) yang menyebabkan setiap insan hidup lupa akan kedudukan sejatinya.


9. Matangi - Inner knowledge, sumber pengetahuan; "Sarasvati devī"



10. Kamalatmika - Sebagai sumber dari kemahsyuran dan kemewahan; "Laksmī devī"
.
Guhyatiguyha-tantra dan Munda Mala Tantra mengkaitkan 10 Mahāvidyā dengan 10 Avatāra Visnu, dan menyatakan bahwa Mahāvidyā adalah sumber dari mana avatāra Visnu muncul.
.
1. Kāli = Krsna
2. Tārā = Rāma
3. Sundari = Kalki 
4. Bhuvaneshwari = Varaha 
5. Bhairavi = Narashima
6. Chinnamastha = Parasurama 
7. Dhūmāvathī = Vamana
8. Bhagalamukhi = Kurma
9. Mathangi = Buddha
10. Kamalathmika = Matsya



Reff https://www.mutiarahindu.com/2018/03/pengertian-dasa-mahavidya-dan-bagian.html
Filsafat Hindu
Markandeya Purāna dan Devī Bhāgavatam Purāna

Kisah Durga Mahishasura Mardini

 



Mahishasura Mardini adalah inkarnasi dari Devi Durga yang telah mengambil kelahiran membunuh RajaAsura, Mahishasura. Mahishasura adalah raja yang memerintah Kerajaan Mahisha atau Mahishaka. Dalam cerita pūraṇa, Mahisha adalah anak dari seorang asura, Raja Rambha, yang telah jatuh cinta dengan kerbau betina cantik bernama Shyamala. Shyamala adalah seorang putri yang menjadi kerbau karena kutukan. Rambha karena kekuatan gaibnya menjadi kerbau jantan. Mereka berubah rupa dan anak mereka, Mahisha, lahir dengan kepala kerbau dan tubuh manusia. Mahishasura memiliki kekuatan magis untuk mengambil bentuk kerbau dan manusia sesuai dengan keinginannya. Dalam bahasa Sanskṛta, mahisha berarti kerbau, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 130).

Baca: CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI






Mahishasura menghancurkan kehidupan manusia dan menaklukkan Bumi (Prithvi Lokam) serta Deva Loka (Swarga Lokam) dengan menyerang Deva Indra, Raja Deva. Semua deva dan devi mendekati Deva Viṣṇu untuk solusi. Dengan kekuasaan Tri Mūrti – Tri tunggal dari Deva Brahmā, Viṣṇu, dan Mahadeva, terjadilah penciptaan Devi Durga (Mahamaya).


Devi Durga yang menjelma dengan sepuluh lengan. Masing-masing lengan Devi Durga memiliki prajurit yang berbeda. Singa sebagai kendaraan Devi Durga menghancurkan Raksasa Mahisha. Devi Durga pergi bertarung dengan Mahisha dan pertarungan dimenangkan oleh Devi Durga. Kemenangan Devi Durga atas Mahishasura sehingga beliau dijuluki sebagai Mahishasuramardini (Orang yang membunuh iblis Mahisha). Devi Durga berhasil menyelamatkan dunia dari kehancuran. Devi Durga kemudian dikenal sebagai Bunda Alam Semesta yang mewujudkan sumber purba dari semua kekuasaan, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 131).


Dagang Banten Bali




Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/12/kisah-durga-mahishasura-mardini.html


Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.



RELATED:
Pengertian Budaya dan Jenis-Jenis Tari Keagaman
Pengertian dan Jenis-Jenis Tari Profan
Cerita Kalarau dan Terjadinya Bulan Terang (Purnama) dan Bulan Mati (Tilem)
Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Pengertian, Rangkaian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan

 



Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.





Hari raya Galungan merupakan hari suci agama hindu berdasarkan pawukon, deperingati setiap 210 hari (6 bulan) sekali yaitu pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan. Hari raya Galungan juga disebut hari Pawedalan Jagat mengandung makna untuk pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa karena telah diciptakan dunia dengan segala isinya. Selain itu juga Galungan merupakan hari kemenangan dharma melawan adharma. Hari raya Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sudah sejak abad XI. Hal ini didasasarkan antara lain :


Kidung panji malat rasmi dan pararaton kerajaan Majapahit. Perayaan semacam ini di India dinamakan hari raya Sradha Wijaya Dasami.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Di Bali sebelum pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, perayaan galungan pernah tidak dilaksanakan, oleh karena itu raja-raja pada jaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita dan umur raja-raja sangat pendek-pendek. Kemudian setelah Sri Haji Jaya Kusunu baik tahta dan juga setelah mendapatkan pawarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya, maka Galungan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan tidak ada Galungan Buwung atau tidak ada galungan batal.


Rangkaian Upacara Hari Raya Galunagan


1# Tumpek Wariga


Yaitu 25 hari sebelum Galungan yang jatuh pada hari sabtu kliwon Wuku Wariga. Tumpek wariga ini juga disebut dengan nama Tumpek Pengatag, pengarah, Bubuh, dan uduh, yang intinya mohon keselamatan pada semua jenis-jenis tumbuh-tumbuhan agar dapat hidup dengan sempurna dan dapat memberikan hasil bekal merayakan Galungan.


2# Hari Sugihan Jawa



Sugihan Jawa dilaksanakan setiap dua ratus sepuluh hari pada hari Kamis Wage wuku Sungsang yaitu 6 hari sebelum hari raya Galungan. Perayaan ini bermakna memohon kesucian terhadap bhuana agung(alam semesta). Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, jadi Hari Sugihan Jawa tersebut bukanlah hari Sugihan bagi para pengungsi leluhur-leluhur dari jawa pasca bubarnya Majapahit. Maksud sebenarnya adalah pembersihan Bhuana Agung - sekala-niskala. Dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.


3# Hari Sugihan Bali


Sugihan Bali dilaksanakan setiap 6 bulan skali pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu 5 hari sebelum perayaan Galungan. Perayaan ini bertujuan untuk memohon kesucian terhadap diri pribadi (bhuana Alit), sesuai dengan lontar Sundarigama: "Kalinggania amrestista raga tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.


4# Hari Penyeban


Penyekeban jatuh pada hari minggu/radite Paing Wuku Dunggulan yaitu 3 hari sebelum Galungan. Hari ini merupakan awal Wuku Dungulan yang bermakna patutu waspada, karena para bhuta kala (Sang Tiga Wisesa) mulai turun menggoda kemampuan dan keyakinan manusia dalam wujud bhuta Galungan. Dalam lontar sundarigama di sebutkan “anyengkuyung Jnana Sudha Nirmala” agar terhindar dari godaan-godaannya. Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang (biu) atau tape untuk bebantenan saja.


5# Hari Penyajaan Galungan


Hari penyajaan Galungan jatuh pada hari Senin Pon Wuku Dungulan, 2 hari sebelum hari raya Galunga. Hari ini dipergunakan sebagai hari persiapan membuat jajan. Juga dimaksudkan sebagai hari-hari yang patut diwaspadai terhadap godaan sangkala Tiga Wisesa dalam wujud Bhuta Dungulan. Hari penyajaan bermakna sebagai hari kesungguhan hati untuk menyambut dan merayakan Galungan. Pada hari ini umat mengadakan Tapa Brata Yoga Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajaan dalam lontar Sundarigama disebutkan : "Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.


6# Hari Penampahan Galungan


Penampahan Galungan jatuh pada hari Selasa Wage Wuku Dungulan yaitu sehari sebelum prayaan Galungan. Pada hari ini dilaksanakan untuk memotong hewan, membuat sate dan lawar untuk perlengkapan sesajen. Pada hari ini juga patut diwaspadai, karena merupakan hari terakhir bagi Sang Kala Tiga dalam wujud sebagai Amangkurat untuk menggangu manusia. Hindarkan diri dari pertengkaran agar terhindar dari godaannya. Bagi ibu-ibu dan remaja putri saat ini dipergunakan untuk mengatur sesajen yang akan dipersembahkan besoknya, sedangkan pada sore hari setelah selesai memasak diselenggarakan upacara Mabyakala yakni untuk memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri (Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll), dan bukan di luar diri kita termasuk sifat- sifat hewani tersebut.


Ini sesuai dengan lontar Sundarigama yaitu ; "Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri. Hari Penampahan Galungan inilah yang pada dewasa ini paling kehilangan makna spiritualnya yang paling penting. Konsentrasi kebanyakan keluarga membuat makanan yang enak-enak. Padahal ada upakara penting di Madya Mandala untuk Memohon Tirta dari Luhuring Akasa dalam rangka me-nyomia Buta Kala di Bhana Agung dan Alit yang sering terlewatkan. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri. Dan setelah itu dan lanjut para bapak-bapak atau pemudannya mulai memasang penjor.

Dagang Banten Bali


7# Hari Raya Galungan


Galungan jatuh pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan, merupakan puncak upacara peringatan kemenangan dharma melawan adharma sebagai hari Pawedalan Jagad dengan mempersembahkan upacara sesajen pada setiap tempat-tempat suci dilanjutkan dengan tempat sembahyang, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.


8# Manis Galungan


Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara mesima krama dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi pada hari ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia inilah misi umat Hindu Dharma. Cara menyampaikan ajaran kebenaran adalah dengan Satyam Vada yaitu mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.


9# Hari Pemaridan Guru


Pemaridan Guru jatuh pada hari Sabtu Pon Wuku Dungulan, hari terakhir Wuku Dungulan. Pada hari ini dipergunakan sebagai hari penyucian diri dan dilanjutkan dengan memohon keselamatan ditandi dengan memakan sisa yajna berupa tumpeng guru secara bersama-sama sekeluarga. Maknanya pada hari ini dilambangkan dengan kembalinya Dewata-dewati, pitara-pitari, para leluhur ke tempat payogannya masing-masing dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang, dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Di beberapa daerah dibali biasanya dilakukan dengan sarana banten "tegen-tegenan" yang berisi hasil bumi berupa padi, buah-buahan dan aneka rupa jajanan yang tujuannya diperuntukkan untuk memberikan bekal kepada para leluhur yang akan mantuk kembali ke sunya loka.


Pengertian Kuningan


Hari Kuningan merupakan hari suci agama Hindu yang dirayakan setip 6 bulan sekali atau 210 hari sekali, yaitu setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Kuningan, 10 hari setel;ah hari raya Galungan, dan Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditunjukan pada para dewa agar turun melaksanakan penycian serta mukti atau menikmati sesajen-sesajen yang dipersembahkan. Penyelenggaraan upacara kuningan disyaratkan supaya dilaksanakan semasih pagi dan tidak dibenarkan setelah matahari condong kebarat. Semua upacara sebagai simbul kesemarakan, kemeriahan, terdiri dari berbagai macam jejahitan yang mempunyai simbolis sebagai alat-alat perang yang diperadegkan seperti tamiyang kolem, ter, endogan, wayang-wayang, dan lain sejenisnya. Tujuan pelaksanaan upacara Kuningan ini adalah untuk memohon kemerosotan, kedirgahyun serta perlindungan dan tuntunan lahir batin.



RELATED:
Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati
Pengertian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu
Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu
Makna Hari Suci Galungan


Penjelasan Hari Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama, di mana hari raya ini dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata ‘Dungulan’ yang artinya menang atau unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan). Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.


Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.



Sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan, dan penampahan. Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu Budha Pon wuku Sungsang yang sering disebut Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut. Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah Sugian Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang yang bermakna sebagai media untuk menyucikan diri pribadi. Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan untuk memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan yang maknanya dalam hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Hari Raya Galungan. Perayaan ini biasanya diakukan persembahyangan di pagi hari dan setelah itu semua orang keluar ke jalan dengan berpakaian baru yang indah, mengunjungi sanak saudara dan handai tolan, sambil menikmati kebesaran hari raya tersebut dan bersyukur atas segala berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa.


Makna Hari Suci Kuningan


Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Di hari Raya Kuningan yang suci ini diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Masyarakat Hindu di Bali yakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan Pitara kembali ke sorga.


Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Ada beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.



Pada hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih kita sebagai umat manusia atas anugrah yang telah diberikan Hyang Widhi, sesajen itu berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Tamyang ini mengingatkan manusia pada hukum alam, bila alam lingkungan kita jaga dan pelihara itu semua akan mendatangkan anugerah dan kemakmuran, namun sebaliknya bila alam dirusak akan menimbulkan bencana dan petaka buat kita dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari Kuningan ini umat Hindu khususnya di bali, diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang Widhi.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Seluruh umat Hindu yang ada di Bali melakukan upacara adat Hari Raya Kuningan ini tidak di wajibkan melaksanakannya di pura, apa lagi bila jarak pura terlalu jauh dari tempat tinggal. Pelaksanaan upacara ini bisa dilakukan juga dirumah mengingat waktu nya yang terlalu singkat, kebiasaaan ini menjadi salah satu adat yang terus dilestarikan hingga saat ini, Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta bumi dan alam seisinya. Dengan demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari. Jadi inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri adalah memohon keselamatan, kemakmuran,kesejahteraan, perlindungan juga tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan terlaksana seijin Hyang Widhi.

Pengertian, Makna Dan Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan

 Sebagian besar umat Hindu Indonesia belum memahami ajaran agama sesuai dengan kerangka dasar agama Hindu yakni tatwa (filsafat), susila (etika) dan upakara (upacara). Salah satu contoh misalnya jika ditanya mengenai apakah itu Hari Raya Galungan? Jawaban yang paling terbanyak adalah “kemenangan Dharma Melawan Adharma”. Namun jika ditanya lebih lanjut tentang apa yang dimaksud kalimat tersebut. Kemungkinan, sebagian besar tidak dapat menjelaskan secara rinci. Untuk itu, dalam postingan artikel ini, kami berusaha untuk mejelaskan mengenai apa itu Galungan, makna dan tujuannya. Berikut ulasannya;




Pura Aditya Jaya Rawamangun: (foto; Mutiarahindu.com)



Pengertian Hari Raya Suci Galungan


Secara etimologi Galungan artinya “Peperangan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring), Galungan adalah hari raya umat Hindu Dharma setiap 210 hari sekali, jatuh pada hari Rabu Kliwon, dua kali dalam satu Tahun (KBBI Daring. 2018. Diakses 26 April, jam 22:11). Kemudian dalam Website PHDI.or.id, Galungan adalah hari raya besar bagi umat Hindu yang diperingati setiap 210 hari. Peringatan hari raya galungan menggunakan perhitungan Pawukon yang jatuh pada Rabu Pancawara Kliwon, Wuku Dungulan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dikatakan juga bahwa “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuno berarti “Menang / Bertarung”. Galungan juga sama penjelasannya dengan Dungulan yaitu Menang. Untuk itu wuku kesebelas di Jawa disebut Wuku Galunga dan di Bali disebut Wuku Dungulan.


Runtutan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan



Galungan sudah diperingati sejak abad ke-XI, hal ini di dasarkan atas kidung panji Malat Rasmi dan Pararaton kerajaan Majapahit (Tim Penyusun, 1995:137). Kemudian di dalam Lontar Purana Bali Dvipa disebutkan bahwa Galungan pertama kali dirayakan pada hari rabu Kliwon, wuku dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama Tahun 804 saka, saat itu pulau bali bagaikan Indra Loka, (Punang Aci Galungan Ika Ngawit Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur Tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya). Pada saat itulah hari raya galungan terus dilaksanakan. Perayaan hari raya galungan memiliki Sembilan tahapan, adapun ke-9 runtutan tersebut yakni sebagai berikut: 

Tumpek Warige
Hari Sugihan Jawa
Hari Raya Sugihan Bali
Hari Raya Penyekeban
Hari Penyajaan Galungan
Hari Penampahan Galungan
Hari Raya Galungan
Hari Pemaridan Guru, Ulihan dan Pemacekan Agung
Rabu Kliwon Pahang atau Upacara Akhir Galungan



Dari ke Sembilan (9) rangkaian Hari Raya Suci Galungan diatas mengandung makna yang luhur dalam upaya meningkatkan pembinaan mental spiritual umat Hindu guna terwujudnya umat yang tangguh dan tahan uji serta penuh tanggung jawab dalam menunaikan dharama agama dan dharma negara (Susila. Dkk. 2009:238).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan


Secara umum makna pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan adalah kemenangan dharama melawan adharma. Kemenanga dharma dapat berarti telah terlaksananya kewajiban dan pekerjaan-pekerjaan yang baik dalam upaya turut mensukseskann pembangunan Nasional (Susila. Dkk. 2009:236). Kemudian dalam lontar Sundarigama dijelaskan bahwa Hari Raya Suci Galungan umumnya dikaitkan kemenangan dharma (Kebaikan) melawan adharma (Ketidak Baikan), pandangan ini di kemungkinan didasarkan pada sarana upakara yang dipakai persembahan, terutama pada saat hari Panampahan, yakni adanya anjuran merapalkan japa mantra kekebalan (pragolan) dan mengenakan busana perang (saha bhusana ning paperangan) agar berhasil dalam peperangan (phalanya jaya prakoseng perang).


Ada kemungkinan peperangan yang dimaksud itu adalah peperangan kita melawan musuh-musuh di dalam diri kita, yang lasim disebut Sad Ripu yaitu enam musuh yang ada dalam diri manusia yakni Kama, Kroda, lobha, moha, mada dan matsarya sebagi wujud adharma. Dijelaskan juga bahwa:


“Galungan ngaran pabantenan, patitis ikang jnana galang apadang, muryakna sarwa byapara ning idep”


Artinya:



“Galungan adalah persembahan sesajen, pemusatan bathin menuju titik pusat yang terang benderang, melenyapkan segala kegalauan pikiran atau batin”


Dengan demikian, Makna pelaksanaan hari Raya Suci Galungan adalah melawan dan melenyapkan segala bentuk nafsu, kemarahan, kerakusan, kebingungan, kemabukan, irihari atau pun segala titah atau hendak (sakatuduh), cita-cita (saha citta), dan tindakan (saparikrama) dengan mengarahkan batin pada kebenaran tertinggi atau dharma (Suarka. 2014: 67-68).


Makna lain dari pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan adalah untuk mawas diri, kita harus terus merenungkan siapa diri kita sebenarnya karena rwa Bhineda akan selalu ada di dalam diri kita. Manusia akan selalu dilingkupi oleh sifat Deva ya, Manusa ya dan Bhuta ya. Untuk itu jiwa setiap manusia perlu di seimbangkan guna mencapai kehidupan anandam dan santi. Pada intinya, perayaan galungan merupakan bentuk keteguhan manusia untuk terus menegakkan kebenaran (dharma) dalam diri maupun di luar diri manusia.

Dagang Banten Bali


Jika kita melihat sejarah, maka Galungan juga bermakna untuk memohon kebahagian, kesejahteraan dan panjang umur. Hal ini merujut pada kejadian Tahun 1103 -1126 Saka dimana ketika Galungan tidak dirayakan, maka para raja berumur pendek. Untuk Raja Sri Eka Jaya sebagai pemegang tahtah kerjaan selanjutnya merasa heran kenapa pejabat sebelumnya berumur pendek. Maka beliau kemudian bersemedi dan mendapatkan petunjuk dari Dewi Durga bahwa penyebab leluhurnya berumur pendek karena tidak Merayakan Hari Raya Suci Galungan. Saat itulah galungan kembali dilaksanakan dengan tradisi memasang penjor sebagai tegaknya dharma.


Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan



RELATED:
Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati
Pengertian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu
Pengertian, Rangkaian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan
Ada pun tujuan dari pelaksanaan Hari Suci Galungan adalah mengucapkan rasa syukur karena kita telah mampu melewati rangkain pelaksanaan hari raya galungan dan terbebas dari godaan Sanghyang Kala Tiga. Selain itu, perayaan hari raya galungan juga bertujuan untuk memuja para dewa dan leluhur, karena diyakini bahwa pada saat Galungan para Dewa dan Roh Leluhur turun ke dunia Beryoga di berbagai tempat, seperti sanggar, Pura, di halaman rumah, di lumbung, di dapur, di jalan masuk rumah, tugu, penghulu kuburan, penghulu desa, penghulu sawah, di hutan, di gunung, di laut dan lain sebagainya. Pada saat ini umat Hindu akan melakukan persembahyangan dan membuat sesajen persembahan (Suarka. 2014: 67).


Perayaan Hari Raya Galungan juga bertujuan menghanturkan rasa syukur dan terimah kasih kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya kepada Umat. Baik itu berupa kehidupan, tempat tinggal, alam semesta, kebahagian dan lain sebagainya. Pada saat galungan juga sangat baik untuk memohon sesuatu terhadap para dewa dan leluhur serta mendoakan keluarga, saling mengunjungi satu sama lain, saling maaf memaafkan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kesimpulan


Inti dari pelaksanaan hari Raya Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani (dharma) agar terbebas dari pikiran tidak baik (adharma). Untuk itu pada saat galungan kita perlu mengarahkan pikiran ke hal-hal positif. Menjaga toleransi, dan mengendalikan enam musuh dalam diri manusia (Sad Ripu).


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/04/pengertian-makna-dan-tujuan-pelaksanaan.html
Ngurah Nala, I Gusti. Sudharta, Tjokorda Rai. 2009. Sanatana Hindu Dharma Ida Pedanda Gde Nyoman Jelantik Oka. Denpasar: Widya Dharma.
Tim Penyusun. 1995. Buku Pedoman Dosen Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha.
Suarka, I Nyoman. 2014. Sundarigama. Denpasar: ESBE
Susila, I Nyoman. Dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu

Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati

 



Secara etimologi Dewi Saraswati berasal dari dua kata yakni Dewi dan Saraswati. Dewi yaitu sosok perempuan yang suci atau bentuk feminim dari kata Dewa yang biasa disebut sakti. Dan Saraswati dalam bahasa sanskerta yang terdiri dari kata “saras” yang berasal dari urat kata “sr” yang artinya mata air, sesuatu yang terus mengalir. Sedangkan “wati” artinya yang memiliki. Jadi Saraswati dapat diartikan sesuatu yang memiliki sifat terus mengalir (air kehidupan dan Ilmu pengetahuan), (PHDI.2006. Online).


Saraswati (Susila. Dkk. 2009) dijelaskna bahwa terdiri dari kata “Saras” yang artinya sesuatu yang mengalir, ucapan. Sedangkan “Wati” yang berarti memiliki. Jadi Saraswati adalah sesuatu yang mempunyai sifat mengalir, sumber pengetahuan dan kebijaksanaan dengan gelar kehormatan-Nya adalah Dewi Saraswati, (Susila.dkk.2009:227).




Foto; Mutiarahindu.com
Kemudian Agastia (1997:6) menjelaskan bahwa Saraswati dalam bahasa sanskerta bermakna sesuatu yang mengalir, percakapan, kata-kata. Di dalam kitab suci weda dipuja sebagai dewi sungai dengan permohonan mendapatkan vitalitas hidup dan kesehatan. Posisinya sebagai Wach atau Dewa Kata-kata baru ditemui dalam kitab-kitab Brahmana, Ramayana, dan Mahabharata. Belakangan Saraswati dikenal sebagai “sakti” dewa Brahma atau Dewi kata-kata atau Dewi Ilmu Pengetahuan. Nama lain dari Saraswati adalah Bharati, Brahmi, Putkari, Sarada, Wagiswari (John Dowson, 1979: 285; Davane, 1968).


Di Bali, Dewi Saraswati disebut Hyangyangning Pangaweruh atau Dewa ning Pangaweruh yaitu dewa yang menguasai ilmu pengetahuan yang linggastana di Aksara atau huruf. Dewi saraswati yang dipuja sebagai penguasa ilmu pengetahuan yang linggastana-Nya adalah aksara, mempunyai berbagai keutamaan. Di dalam pustaka suci Weda terdapat beberapa puja dan pujian mengenai keutamaan Beliau. Seperti misalnya dalam Reg Veda I.3.10 yang berbunyi demikian.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Pavaka nah Saraswati Vajebhir Vajinivari Yajnam vastu dhiyavasuh”


Terjemahan:


“Semoga Saraswati, yang menyucikan, yang amat kaya, yang memiliki sumber ilmu pengetahuan, mendatangi persembahan kami”. (Agastia.1997:52)


Arti Simbol Atribut Dewi Saraswati



Di Indonesia, Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang puteri yang sangat Cantik, anggun dan menarik. Beliau membawa wina/rebab, ganitri, pustaka suci, teratai, duduk diatas angsa dan disampinynya terdapat burung merak (mayura). Adapun arti dan makna simbol-simbol tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Dewi, melambangkan kekuatan yang indah, dan lemah lembut.
Ganitri melambangkan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada habisnya untuk dipelajari sepanjang zaman.
Pustaka suci melambangkan sarana untuk mengabadikan ilmu-ilmu tersebut, sehingga dapat diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.
Wina/rebab melambangkan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi dan memperluas rasa estetika dan keindahan.
Teratai melambangkan ilmu pengetahuan itu suci. Mengapa bunga teratai, karena meskipun tubuhnya di dalam lumpur, ia tetap bersih. Selain itu teratai atau Padma ini akarnya di tanah, batang daunya di air dan bunganya di udara, melambangkan kemampuan hidup di tiga alam (bhur-bhuah-swah).
Angsa melambangkan kekuatan di tiga dunia (bhur-bhuah-swah), sebab ia dapat hidup pada ketiga unsur alam (di air, darat dan udara). Demikianlah ilmu-ilmu pengetahuan menguasai ketiga alam tersebut. Selain itu angsa juga melambangkan kearifan/kebijaksanaan untuk membedakan yang baik dan mana yang buruk. Meskipun ia mencari makan di tempat-tempat yang keruh, ia dapat membedakann mana yang boleh ia makan dan mana yang tidak. Angsa juga peka terhadap rangsangan dari luar. Demikian diharapkan bagi mereka yang berilmu.
Burung merak melambangkan kewibawaan. Burung merak itu memang terlihat anggun dan berwibawa. (Ngurah Nala dan Sudharta. 2009:177)

Mengenai makna simbol-simbol dan atribut Dewi saraswati juga dijelaskan dalam Kamus Istila Dalam Agama Hindu (Kondra.2015:121-122). Dikatakan bahwa Hari Saraswati atau Hari Dewanya Ilmu Pengetahuan juga sebut hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati. Beliau dilambangkan dengan seorang Dewi membawa wina, genitri, pustaka suci, serta duduk diatas angsa. Adapun arti simbul-simbul tersebut antara lain:

Dewi adalah simbol kekuatan yang indah, cantik, menarik, lemah lembut, dan mulia sebagaimana sifat dari ilmu pengetahuan itu.
Alat Musik (wina) adalah simbul seni budaya yang agung.
Genitri adalah simbul dari kekekalan dan tak terbatasnya ilmu pengetahuan itu.
Pustaka Suci adalah simbul dari ilmu pengetahuan suci.
Teratai adalah simbul kesucian ilmu pengetahuan yang bersumber dari Sang Hyang Widhi.
Angsa adalah simbul dari kebijaksanaan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa ilmu-ilmu kesucian dan pengetahuan tidak ada habis-habisnya. Meskipun manusia mampu mengumpulkan berbagai ilmu sebanyak-banyaknya sepanjang hidupnya, tetapi itu hanya sekelumit saja dari yang ada. Jadi kemampuan manusia hanya terbatas. Oleh karena itu, janganlah manusia menyia-nyiakan kehidupanya sebagai manusia. Kumpulkan sebanyak-banyaknya ilmu-ilmu yang menjadi minatnya, tidak hanya ketika manusia masih dalam masa brahmacarya, tetapi seterusnya, hingga tiba saatnya ke asalnya.

Dagang Banten Bali


RELATED:
Pengertian, Rangkaian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan
Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu
Pengertian, Makna Dan Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan
Semua pengetahuan kesucian dan ilmu pengetahuan adalah suci, sangat menarik, lemah-lembut, indah memperluas rasa aestetika, mengasah akal/kecerdasan, mempertinggi kemampuan bertindak arif/bijaksana, mendidik, berwibawa, dapat diteruskan ke generasi-generasi yang akan datang, tidak ada habis-habisnya sepanjang saman. Dengan demikian diharapkan, manusia akan makin mampu mewujudkan kehidupan Jagadhita tersebut.




Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/03/pengertian-dan-makna-simbol-atribut.html
Agastia. 1997. Saraswati Simbol Penyadaran dan Pencerahan. Denpasar: Warta Hindu Dharma.
Kondra, I Nengah. 2015. Kamus Istilah Dalam Agama Hindu. ….:…
Ngurah Nala, I Gusti dan Sudharta, Tjokorda Rai. 2009. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar: Widya Dharma.
Susila, I Nyoman. Dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu Modul 1-9. Jakarta: Depag RI Bimas Hindu

MISTERI ARYAKA DAN BUNGA LOTUS NAGAPUSPA DI ZAMAN BALI KUNO (BALI AGA)

 



Saya mulai mengungkap tentang keberadaan Aryaka (keturunan naga) di zaman Bali Aga di novel Haricatra Trilogi Kedua. Singkatnya, beberapa keluarga Bali Aga yang tinggal di kaldera Gunung Lesung-Sanghyang-Pohen adalah keturunan naga. Entah karena memang mereka menamai diri mereka keturunan naga atau memang secara denotatif mereka memiliki beberapa persen gen naga, saya belum meneliti sejauh itu.

Yang jelas, setiap manusia memiliki otak reptil di bagian bawah kelenjar pineal. Otak reptil ini mengontrol fungsi dasar tubuh dan naluri alamiah (hewani). Namun anehnya, otak reptil ini bisa memicu hormon tubuh sehingga tubuh bisa melakukan ‘penyembuhan diri sendiri’ apabila seseorang terkena infeksi atau serangan penyakit.

Para ahli yoga menggambarkan kelenjar pineal yang berkembang sebagai sebuah lotus yang mekar sempurna. Tatkala seseorang mampu melampaui keterikatan pada naluri dasarnya (kenikmatan lidah, perut dan kemaluan), maka kelenjar ini berkembang. Dalam Siva Samhita, sebuah kitab yoga yang terkenal, kelenjar pineal ini mengeluarkan cairan nektar yang disebut sebagai ‘bindu’ atau amerta (air keabadian). Apabila seseorang mengaktifkan kelenjar pineal-nya, maka air amerta ini akan menetes dari kelenjar pineal dan mengaktifkan fungsi sensori yang melampaui kemampuan manusia biasa.



Dahulu, menurut catatan babad yang samar-samar (bahkan mungkin sekarang sudah dilupakan), di zaman Bali kuno terdapat orang-orang yang memiliki fungsi kelenjar pineal yang mumpuni. Mereka disebut para Aryaka. Entah siapa yang menamai mereka Aryaka. Nama itu,—menurut sumber yang pernah saya baca—adalah nama salah satu klan naga kuno yang disebutkan dalam Mahabharata, bersama beberapa klan naga legendaris lain seperti Airavata, Sankhacuda, Taksaka, Vasuki dan Anantabhoga.


Apabila seseorang memiliki mata ketiga, dia bisa melihat perbedaan anak-anak keturunan Aryaka dan bocah-bocah biasa. Anak-anak Aryaka memiliki kening yang menyala di hari-hari tertentu, kemungkinan disebabkan oleh aktivitas kelenjar pineal mereka yang amat aktif. Karena itu, anak-anak Aryaka diburu pada masa lalu, dibantai dan diisap darahnya oleh para penganut ilmu hitam. 

Konon, hanya anak-anak Aryaka yang bisa melihat Lotus Nagapuspa,—lotus misterius yang tumbuh di atas batu dan mengeluarkan sari yang menyembuhkan segala penyakit. Raja Bali kuno, utamanya pada zaman Jayapangus, Masula-Masuli hingga Sri Tapolung (Astasura) merekrut beberapa Aryaka terpilih untuk menjadi penjaga Lotus Nagapuspa. Karena itu, kerajaan Bali amat sulit ditaklukkan.

Di wilayah Tamblingan sendiri, raja menghimpun para pembuat senjata, yang kini dikenal dengan nama klan Pande. Di Tamblingan sendiri ada beberapa klan pande yang terkenal, dan salah satunya adalah Pande Bangke Mong yang mampu membuat senjata beracun yang amat ampuh. Siapa pun yang terkena senjata itu akan langsung tewas dengan badan membusuk. Sungguh mengerikan.


Misteri para Aryaka rupanya menarik minat Majapahit untuk melakukan ekspedisi rahasia. Singkatnya, mereka berhasil menguasai Bali dengan terlebih dahulu menggempur Tamblingan. Sayang sekali, mereka tidak berhasil menemukan Nagapuspa. Demikian menurut cerita. 

Anak-anak Aryaka yang selamat kemudian diasingkan, lalu diambil kekuatannya oleh orang tua mereka. Ini yang dimaknai secara harfiah sebagai ‘nyilib wangsa’ ala Bali Aga. Padahal, tidak ada hirarki 'wangsa' pada zaman Bali kuno sebagaimana yang ada pada abad pertengahan. Nyilib wangsa’ secara harfiah berarti menyembunyikan identitas kebangsawanan seseorang agar tidak diserang oleh lawan. Namun, seapik apa pun seseorang menyembunyikan identitasnya, wajahnya tidak akan bisa disembunyikan (kecuali mereka operasi plastik). Nyatanya, nyilib wangsa pada zaman itu bisa jadi berarti ‘menyembunyikan kemampuan metafisik mereka dengan menghentikan aktivitas kelenjar pineal mereka yang memikat’.

Setelah kekuatan mereka dicabut, anak-anak Aryaka tidak lagi bisa melihat Nagapuspa. Namun karena mereka secara alami adalah keturunan naga, beberapa anak Aryaka hingga kini masih memiliki kemampuan metafisika yang khas, dan konon bisa melihat Nagapuspa di hutan-hutan gunung terpencil di Bali.

Sangat sulit menemukan keturunan Aryaka di zaman ini. Mereka disembunyikan sejak lahir. Jika seorang bayi ketahuan memiliki kelenjar pineal yang aktif, maka orang tua mereka cepat-cepat me-‘netral’-kannya agar cahaya di kening mereka itu tidak terdeteksi oleh orang-orang yang berniat jahat. Jika darah Aryaka sampai didapatkan, maka darah itu bisa melipatgandakan kekuatan sihir seseorang. Demikian menurut penuturan orang-orang tua.

Ada banyak peristiwa sejarah yang tidak dicatat dalam lembar sejarah,—atau malah sengaja disembunyikan dan dibuatkan versi yang lebih ‘aman. Barangkali Anda tidak percaya pada eksistensi para Aryaka. Ini wajar karena hal ini memang tidak pernah Anda dapatkan di pelajaran sejarah di sekolah. Jika Anda hanya mengandalkan buku-buku teks sejarah di sekolah, maka artikel ini saya kira kurang cocok buat Anda.

Semoga bermanfaat.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1801637783318766&id=100004176848490