Senin, 06 Februari 2017

TAPAK DARA DAN SWASTIKA


Dagang Banten Bali

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Symbol Tapak Dara dan Swastika ditemukan di peradaban Lembah Sungai Indus, dari masa 2800 SM–1800 SM, merupakan suatu peradaban lawas yang hidup sepanjang Sungai Indus dan sungai Ghaggar-Hakra yang sekarang merupakan wilayah Pakistan dan India Barat. Peradaban ini sering juga dinamakan sebagai Peradaban Harappan Lembah Indus, karena kota penggalian pertamanya dinamakan Harappa, atau juga Peradaban Indus Sarasvati.
Symbol ini kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Nusantara.
Tidak elok bila kemudian kita menyebutnya symbol/ajaran import, sejatinya dulunya/awalnya dunia ini adalah satu spiritual, weda itu satu, agama itu satu, dharma itu satu, "tidak ada istilah ekspor impor ajaran yg akhir² ini diviralkan"
Tapak Dara dan Swastika itu simple penuh makna, mengajarkan kepada kita utk mengalirkan jiwa kedalam, bukan memperdebatkannya di sisi luar sbg ekspor impor.
Apa sebenarnya tapak dara itu ...?
Tapak dara bersumber dari bentuk Swastika yang menjadi simbol Agama Hindu di Bali juga merupakan simbol Dewa Ganesa, dalam sebuah penelitian iconografi di Subak Bubunan terhadap arca Ganesa dengan sikap Swastikasana yang berfungsi untuk menolak malapetaka dan simbol keharmonisan untuk mencapai kesejahteraan.
Simbol tapak dara dan Swastika ini kemudian diimplementasikan dalam Tri Hita Karana. Yaitu keseimbangan dan keharmonisan antara hubungan dengan Tuhan dengan sesama dan dngn alam.
Dengan demikian penggunaan tapak dara bertujuan untuk mendapat keselamatan secara sekala dan niskala
Tergantung sekarang situasi kondisi dan keperluan. Apabila ada wabah akibat hal hal gaib biasanya dipergunakan pamor . Pamor simbol Siwa / putih. dalam buku Upakara Yadnya dijelaskan penggunaan pamor sirih dan Gambir sebagai simbol Tri Murti sirih simbol Wisnu Gambir simbol Brahma dan Pamor simbol Siwa
Mengapa pamor digunakan untuk membuat tapak dara? karena Beliau yang menguasai para Ghana dan tapak dara sbg Simbol Ganesa karena Beliau yang memimpin para Ghana, yaitu pasukan Dewa Siwa yang terdiri dari berbagai mahluk halus raksasa pisaca roh dedemit dan sebagainya.
Dengan demikian ketika kita menggunakan pamor untuk membuat tapak dara maka kita secara tidak langsung memohon perlindungan Dewa Siwa dan Ganesa agar kita terhindar dari segala penyakit atau hal hal negatif yang diakibatkan oleh unsur bhuta atau Niskala lainnya

Minggu, 05 Februari 2017

Tuhan Asli Bali Purba

Dagang Banten Bali


//Pemujaan Datonta di Trunyan adalah contoh paling arkais, bahwa sebelum kedatangan dewa-dewa India, Bali telah memiliki kepercayaan asli. //
Bali Kuna ternyata memiliki sejarah peradaban Tuhan tersendiri sebelum ia kena pengaruh kebudayaan India. Istilah Brahma, Wisnu, dan Siwa yang kini lebih mengakar di Bali terang memiliki sejarah lain -- sebagai "hak milik yang didatangkan dari luar. Teks-teks tua semisal; Tantu Panggelaran, Kakawin Usana Bali, memberi penjelasan tidak langsung, bagaimana "aryanisasi" itu dilakukan di Bali, termasuk bagaimana "dewa-dewa luar" itu jenak di Bali, dan kini menjadi bagian utuh dari kepercayaan orang Bali.
Nun di abad purba, sebelum kebudayaan India mempengaruhi Bali, pulau ini bukanlah wilayah tanpa peradaban Tuhan. Pemujaan Datonta di Trunyan adalah contoh paling arkais, bahwa sebelum kedatangan dewa-dewa India, Bali telah memiliki kepercayaan asli. Datonta atau disebut juga Ratu Sakti Pancering Jagat, merupakan dewa tertinggi orang Trunyan, dianggap sebagai Batara Katon, dewa yang dapat dilihat.
Selain itu, orang Trunyan juga memuja Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar, permaisuri dari Ratu Sakti Pancering Jagat. Penduduk di Trunyan memahami ini sebagai Dewi Danu, karena memang bersama sang anak, Ratu Gde Dalem Dasar, sosok dewa ini dipercaya sebagai penguasa Danau Batur. Toh tidak cuma orang Trunyan memiliki dominasi Tuhan seperti itu, di seluruh Bali, di wilayah-wilayah peradaban lebih kuna senantiasa ada sebutan-sebutan untuk aspek kedewataan asli Bali. Sebut saja misalnya Ratu Maduwe Jagat, sebuatan untuk penguasa danau di Pura Batur.
Sebutan-sebutan kedewataan seperti Ratu Sunaring Jagat, panggilan untuk penguasa laut, atau sebutan Tuhan lokal semisal Ratu Manik Maketel, Ratu Mas Magelung, Ratu Gede Basang Bedel, Ratu Gede Purus Mandi, Ratu Gede Penyarikan, adalah contoh asli di mana aspek kedewataan itu sampai kini tetap akrab di Bali. Untuk pemujaan pada leluhur misalnya, orang Bali kuna kerap menyebut leluhurnya dengan Kaki Patuk untuk leluhur laki, Nini Patuk untuk leluhur wanita.
Tentu tak cuma aspek kedewataan saja yang bisa ditemukan dengan sebutan asli Bali. Ritual-ritual penting pun tetap bisa dirujuk ke wilayah paling kuna. Dalam upacara kesuburan, upacara penolak bala misalnya, dominasi Bali purba tetap dipraktikan utuh.
Banyak bukti bisa dirunut dari upacara pemujaan kesuburan zaman Bali purba. Dari amatan Made Sutaba, manakala manusia Bali purba memasuki masa bertani, upacara pemujaan pada dewi kesuburan jelas menjadi ritus utama dari ritus-ritus yang lain. Temuan tahta batu yang tersebar di sawah-sawah maupun tegalan di sejumlah desa-desa purba di Bali, menunjukkan betapa kuatnya pemujaan kesuburan kala itu. Di daerah Tabanan, semisal Desa Penebel tahta batu ini disebut pengrasak, di Buleleng disebut pepupun, sementara di Teja Kula, wilayah Buleleng timur dikenal dengan sebutan batu kukuk. Memasuki zaman lebih kemudian, pemujaan kesuburan dihadirkan dalam bentuk Celak Kontong Lugeng Luih. Berupa simbol kemaluan laki-laki dan wanita dalam adegan sanggama – yang dalam penamaan kemudian dihadirkan sebagai simbol lingga yoni, yakni personifikasi Siwa sebagai mahapencipta.
Laporan menarik dilakukan Purusa Mahaviranata (almarhum) berkaitan dengan ritus kesuburan di Desa Kayu Putih, Buleleng. Dikatakan, di Pura Desa Bale Agung desa setempat terdapat peninggalan berbentuk silinder yang diujungnya digambarkan bentuk kemaluan laki-laki secara naturalis kemudian dimasukkan ke dalam batu berlubang berbentuk lesung. Pelinggih ini mempunyai pemimpin upacara khusus disebut Kabayan. Pelinggih dan simbol batu yang dipuja di tempat ini disebut “Dewa Gede Celak Kontong,” mengingatkan orang pada pemujaan yang sama di Dalem Tamblingan. Palinggih ini sangat penting artinya dalam alam kepercayaan masyarakat, sehingga pada waktu upacara ‘ngusaba’ dan upacara ‘nangluk merana’ diadakan upacara dihadapan palinggih ini dan sebelumnya diadakan ‘mendak tirta’ ke Pura Munduk Luhur yang dianggap oleh masyarakat sebagai tempat memberikan kesuburan.
Di Bali selain pemujaan kesuburan lewat penghadiran Dewi Sri, pemujaan pada “tokoh” bernama Men Burayut, dengan atribut payu dara subur, dikerubuti banyak anak juga merupakan citra dari pemujaan kesuburan masyarakat Bali. Demikianlah ketika sistem kepercayaan orang Bali lebih tertata, hari pemujaan kesuburan dimasukkan dalam sistem kalender pawukon, datangnya setiap 210 hari, lazim disebut Tumpek Bubuh, diperuntukkan khusus untuk penghormatan pada tumbuh-tumbuhan. Sementara penghormatan untuk kesuburan binatang peliharaan dilakukan pada hari Tumpek Uye. Dari seni tampak kian jelas, bahwa kategori-kategori Indianisasi pada sejumlah upacara di Bali nyaris tiada berdasar. Justru sebaliknya, dilakukan penyegaran dan penamaan baru. Pemujaan kesuburan memang merupakan tradisi dunia, tidak menunjukkan dominasi kultur pendatang.
Upacara-upacara seminal ngusaba nini, bajang colong dalam upacara manusa yadnya, upacara kurban sapi yang lazim disebut jaga-jaga, dan banyak upacara khas Bali harus dirujuk hulunya pada peradaban Bali purba. Banyaknya temuan gundukan batu pemujaan, menhir, teras berundak, dan bentuk-bentuk pemujaan yang mempergunakan batu, semata menunjukkan peradaban Bali purba telah memiliki kepercayaan pada kekuatan –kekuatan alam – yang mana dalam peradaban Bali kemudian diterjemahkan sebagai kekuatan-dewa dewa penguasa alam. Maka berkomentarlah Dr Van der Hoop, tokoh terkemuka bidang arkeologis, bahwa pura-pura kuna di Bali tidak bisa ditelusuri asal-usulnya dari candi-candi India, tetapi harus dicari pada tempat-tempat suci atau tempat-tempat pemujaan berbentuk batu, megalitik.
Merujuk temuan paling purba di Pura Batu Madeg, Besakih, Made Sutaba membenarkan komentar Van der Hoop, bahwa cikal bakal Pura Batu Madeg adalah pemujaan batu megalitis, batu tegak sebagai simbul pemujaan roh leluhur, karena itu pura itu disebut Batu Madeg, batu tegak. Pura Besakih yang terdiri dari 86 gugusan pura-pura, pada awalnya merupakan pemujaan purba punden berundag-undag, tempat pemujaan roh leluhur. Menurut Sutaba, orang Bali purba sangat memulikan tempat-tempat tinggi, terutama gunung, karena orang Bali purba sangat percaya, bahwa di gunung yang tinggi itulah roh nenek moyang mereka bersemayam. Barangkali pemujaan pada Ratu Bukit dalam wujud laki-perempuan di teras teratas gugusan Pura Besakih merupakan palinggih tertua, bisa jadi tinggalan paling purba dari peradaban Besakih kini.
Kelenturan peradaban Bali purba menghadapi pengaruh asing ternyata tidak mengikis wajah aslinya. Maka akan keliru mencari rujukkan upacara asli Bali ke sumber-sumber teks India. Upacara semisal saba di Trunyan saba di Tigawasa jelas merujuk pada tradisi lampau, saat Bali belum kena pengaruh Hindu, lebih khusus lagi Hindu Majapahit.
Sepanjang sejarah masuknya pengaruh Hindu di Bali memang tidak menunjukkan ada tanda-tanda vandalisme, pemusnahan tradisi asli. Di Bali sebagaimana dikatakan Dr. A.J. Bernet Kempers, masa lampau dan masa sekarang adalah satu, utuh dalam paduan harmoni. “Dan orang Bali dahulu tidaklah lebih buta daripada kita terhadap pengaruh yang meluhurkan jiwanya,” kata Kempers penulis buku Bali Purbakala (1956).
Bali, menurut penilaian Kempers, yang kini masih sangat penuh akan kehidupan keagamaan dan kesenian, tentunya di masa lampau menjanjikan gambaran yang sangat menarik ketika cara-cara hidup Indonesia kuno berhadapan dengan kebudayaan Hindu, dan dapatlah sangat baik dibandingkan dengan sejarah kebudayaan Jawa dahulu: hanya tentu saja dengan coraknya sendiri. Untuk pengertian yang lebih baik dari apa yang dapat dinamakan “penghidupan secara Indonesia dengan secara Hindu” dan dari kebudayaan Indonesia pada umumnya, maka pengetahuan tentang Bali kuna ternyata tak dapat diabaikan.
Merujuk Bali Majapahit sebagai satu-satunya acuan berpikir dan tentu sama artinya dengan mengelebui peradaban. Dan sejarah tidak membuat orang kian cerdas ketika politik dominasi merajalela. Maka ketika orang bicara tentang peradaban Bali, sudilah menengok kearifan masa silam, di mana manusia Gilimanuk membangun peradaban sendiri – dan budaya agama kealaman kini belum tentu setara dengan pencapaian mereka.

Rabu, 11 Januari 2017

Sarasamuccaya


Dagang Banten Bali


Jangan Paksakan Kebenaran Satu Kelompok
KALAU kita mencermati ajaran Hindu lewat Kitab Sarasamuccaya terbukti ajaran itu sangat relevan untuk segala zaman. Ajaran yang ratusan tahun ada sebelum Masehi ini bisa menjangkau zaman kekinian. Misalnya, soal surga yang sesungguhnya adalah “alam pembebasan dari kesenggaraan”. Surga tak bisa dikapling-kapling oleh kelompok tertentu. Tak ada satu kelompok yang mengklaim bahwa surga untuk kelompoknya dan neraka untuk kelompok lain. Begitu pula tak ada agama yang menyebutkan hanya umatnya saja yang memperoleh surga, penganut agama lain tidak dapat surga.
Sloka 35 Sarasamuccaya berbunyi: Ekam yadi bhavecchastram sreyo nissamcayam bhavet’ bahutvadiha sastranam guham creyah pravesitam. Bagi yang suka dengan terjemahan bahasa Jawa Kuno (Kawi) begini bunyinya: Yan tunggalang kite Sang Hyang Agama, tan sangsaya ngwang irikang sinanggah hayu, swarga pawargaphala, akeh mara sira, kapwa dudu paksanira, sowang-sowang hetuning wulangun, tan anggah ring anggehakena, hana ring guhagahwara, sira sang hayu.
Yang dimaksudkan adalah sesungguhnya semua agama memiliki tujuan yang sama. Semua agama mengajarkan kebajikan atau kebenaran untuk mencapai alam surga dan pembebasan dari kesengsaraan hidup itu. Namun cara masing-masing dalam mencari kebenaran berbeda-beda. Cara yang berbeda ini seringkali membuat orang bingung karena adanya fanatisme sempit. Orang bingung itu bisa saja membenarkan sesuatu yang tidak benar. Apalagi kalau mereka hidup berkelompok maka apa yang dianggap kebenaran oleh kelompok itu seolah-olah menjadi kebenaran untuk semua orang. Sebaliknya yang dianggap tidak benar, seolah-olah itu juga berlaku untuk semua orang. Dan kelompok di luar itu pun dianggap melakukan sesuatu yang salah. Bahkan yang lebih tragis, Tuhan seolah hanya untuk kelompoknya saja.
Fenomena seperti ini yang sering terjadi sehingga memunculkan pergesekan dalam kehidupan sosial di negara yang penduduknya majemuk ini. Maka muncul istilah intoleransi, artinya sama sekali tidak menghargai kelompok lain, tidak toleran terhadap perbedaan yang ada. Pengakuan bahwa pihaknya saja yang benar, yang lain serba salah. Bukan cuma menyalahkan bahkan kadang ada tuduhan bahwa kelompok lain itu disebutnya sebagai kelompok sesat. Padahal sesat dan tidak sesat itu didasarkan pada penilaian dari kelompoknya saja.


Pada tataran yang lebih luas, ada pula istilah yang sesungguhnya berangkat dari ketidak-tahuan. Misalnya istilah ada agama bumi dan ada agama langit. Yang dimaksudkan dari istilah ini adalah agama langit itu ajarannya berdasarkan wahyu Tuhan yang dihimpun dalam suatu kitab. Sedangkah agama bumi adalah ajaran agama yang bukan dari wahyu Tuhan dan hanya hasil rekaan dari “orang suci” yang dihimpun dalam satu kitab.
Sikap penganut Hindu pada umumnya tak mempedulikan istilah itu, karena tak ingin masalah seperti ini diributkan. Anggap saja yang menuduh Hindu sebagai agama bumi datang dari mereka yang memang tak tahu ajaran Hindu. Kitab suci Hindu yakni Weda adalah himpunan ajaran yang memang merupakan wahyu dari Tuhan yang diterima oleh tujuh Maharsi.
Dalam kitab Sarasamuccaya yang merupakan sumber ajaran etika di dalam agama Hindu, sudah dengan gamblang dijelaskan hal ini agar umat Hindu tidak perlu bingung, di mana sumber ajaran kebenaran yang abadi itu. Jelas Weda adalah wahyu Tuhan. Masalahnya adalah Weda yang terdiri dari empat pokok besar itu (Atharwa Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan Reg Weda) terdiri dari ribuan sloka yang mungkin sulit untuk dipelajari tanpa melalui tahapan tertentu.
Karena itu dalam sloka 39 Sarasamuccaya disebutkan: Ithiasa purana bhyam wedam samupawrmhayet, bibhetyalpasrutadwedo mamayam pracarisyati. Maksudnya adalah wahyu Tuhan hendaknya dipelajari dengan benar dan sempurna, dengan jalan mempelajari terlebih dahulu Ithiasa dan Purana dengan segala tafsir-tafsirnya. Sebab Weda sebagai wahyu Tuhan jika dipelajari oleh mereka yang memiliki kedangkalan pemahaman dan sedikit pengetahuan, akan menjadi sesuatu yang menakutkan. Bisa jadi dengan pemahaman yang salah menimbulkan kesimpulan yang sempit.
Di agama mana pun sering terjadi gesekan ke dalam karena berbeda menafsirkan ajaran agama itu sendiri. Sumber kitab sucinya bisa sama, tetapi cara pemahamannya bisa berbeda. Beruntunglah umat Hindu dibekali dengan pelajaran etika sebagaimana dirangkum dalam kitab Sarasamuccaya itu. (*)

TAT TWAM ASI


Dagang Banten Bali



“Tat Twam Asi”. Selama beribu-ribu tahun, beribu-ribu brahmin dan berjuta-juta umat Hindu mengucapkan mantra pendek dalam Upanishad itu. Yang menarik, di abad ke-20 seorang yang bukan brahmin, bukan Hindu, seorang atheis, ikut meyakininya.
Edwin Schrödinger, salah satu tokoh fisika kuantum, ilmuwan Austria pemenang Hadiah Nobel di tahun 1933, menerbitkan “Mein Leben, meine Weltansicht” (Hidupku, Pandangan Hidupku), yang dikumpulkan dari tulisan-tulisan dari tahun 1925. Di dalamnya kita temukan tafsirnya atas “tat twam asi”:
“Kau bisa rebahkan tubuh rata ke atas tanah, terentang di atas Ibu Bumi, dengan keyakinan bahwa kau satu dengan dia dan dia dengan kau”.
“Tat Twam Asi”: aku-adalah-dia, kau-adalah-itu. Kau-aku-adalah.. selalu merupakan satu. Semua makhluk secara intim terhubung dengan energi semesta. Di abad ke-8, seorang pemikir Hindu, Adi Shankara, menggunakannya sebagai dasar ajarannya, Advaita Vedanta: tiap kita, tiap atom kita, adalah bagian Ia Yang Kekal, Luhur, Sempurna. Dengan kata lain Atman, diri, adalah Brahman, yang abadi.
Atman = Brahman; Schrödinger mengikuti “persamaan” ini. Ajaran “tat twam asi” ini memang pas bagi pemikirannya. Ia salah satu pionir fisika kuantum yang tak lagi berurusan dengan partikel sebagai butir-butir pejal, melainkan sebagai taburan elektron yang tak jelas di mana, yang tak punya “individualitas”, terkadang sebagai gelombang, terkadang bukan dan kemudian diketahui sebagai “medan” (fields).. Perilaku mereka lain dari logam dan air yang kita pelajari dulu dalam fisika SMA.
Dalam suratnya kepada Einstein di tahun 1935, Schrödinger berbicara tentang fenomena yang paling ganjil dari “dunia” ini, yakni “Verschränkung” (diterjemahkan sebagai entanglement): dua partikel yang saling berkelindan bagai bayi kembar, berperilaku persis sama meskipun terpisah beribu-ribu kilometer. Tak ada “lokalitas”.
Einstein, yang ilmunya bermula dalam fisika klasik, menganggap fisika kuantum belum menjelaskan keganjilan itu — yang ia ejek sebagai “spukhafte Fernwirkung” , gerak di kejauhan yang mirip hantu.
Schrödinger juga tak sepenuhnya mengikuti para pelopor fisika kuantum yang berkelompok di Kopenhagen di bawah Niels Bohr. Bagi mereka, tak ada hubungan antara dunia sehari-hari yang “makroskopik” dan wujud di tingkat kuantum, sementara Schrödinger masih menggunakan rumus-rumus matematika dari fisika klasik, berasumsi (atau “berharap”?) ada hubungan antara dunia sehari-hari dengan obyek yang ditelaah fisika kuantum..
Memang ada titik pertemuan antara Schrodinger dan Einstein: kedua fisikawan dari generasi yang berbeda itu menganggap alam semesta sebuah proses yang tak seluruhnya acak, tanpa sebab-akibat. Ucapan Einstein yang terkenal, “Tuhan tak bermain dadu”. Baginya ada dasar yang lebih dasar yang menyatukan yang acak-acakan. Jangan-jangan ada variabel yang tersembunyi.
Sampai hari ini anggapan Einstein belum terbukti.
Tapi “Tat Twam Asi”. Dengan atau tanpa variabel itu, Schrödinger memandang alam semesta tunggal. Sifat acak dan plural adalah ilusi. Kemajemukan itu hanya “maya” — “ilusi yang persis seperti yang dihasilkan sebuah galeri cermin”. Lihat, “Gaurisankar dan Gunung Everest ternyata puncak yang sama yang tampak dari lembah yang berlain-lainan.”
Schrödinger, seperti ajaran Advaita Vedanta, menafikan dualisme. Aku (sebagai kesadaran yang mengamati) dan dunia (yang diamati), sebenarnya tak terpisah sebagai subyek dan obyek. Tapi sains memisahkannya. Sains bekerja dengan tekad “obyektifitas”, sepenuhnya bebas dari pengaruh subyektif,.
Dalam “Nature and the Greek and Science and Humanism”, Schrödinger mengemukakan dua anggapan dasar sains. Pertama, anggapan bahwa “dunia bisa difahami”. Kedua, anggapan bahwa untuk memahami dunia yang rumit ini, sang subyek, “the subject of cognizance”, hanya memfokuskan diri sebagai intelek; ia menafikan sumbangan pancaindera dan tubuh buat pengetahuan.
Tapi perspektif itu berubah. Di abad ke-20, fisika kuantum memulihkan hubungan subyek dan obyek yang dikaburkan fisika klasik. Bohr dan Heisenberg menunjukkan, obyek tak terlepas dari subyek yang mengamatinya. Kedua fisikawan itu, kata Schrödinger, telah “mendorong ilmu fisika ke arah batas yang misterius antara subyek dan obyek, yang ternyata bukan batas yang tajam sama sekali”.
Kita tahu, Schrödinger menyetujui itu, meskipun ia tak menganggapnya penemuan baru. Yang baru adalah pengakuan bahwa ada jejak “yang tak terhindarkan dan tak terkendalikan” dari subyek ke dalam obyeknya dan sebaliknya. Itu tak berarti, menurut Schrödinger, beda subyek dari obyek niscaya “tergantung dari hasil kuantitatif ukuran fisika dan kimia”, dengan spektroskop, mikroskop teleskope, alat pengukur radiasi Geiger…
Kita kembali kepada “Tat Twam Asi”. Aku-Kita-Kau-Dia-Mereka=Satu. Sebuah pandangan yang, menurut penganut positivisme, “tidak ilmiah”
Positivisme melihat sains sesuatu yang terpisah — bahkan menyisihkan —filsafat. Tentu itu bukan satu-satunya kebenaran. Bagi fisikawan seperti Schrödinger sains adalah bagian usaha kita menjawab “satu pertanyaan filsafat yang penting”, yakni “Siapa gerangan kita”.
Memang, ada suara di Kopenhagen yang menjawab: jangan bertanya, hitung saja, bikin saja matematikanya! Tapi bisakah ilmuwan membungkam rasa ingin tahu, sebab dari situ juga sains tumbuh?

Zaman Mahabharata setelah berakhirnya Bharatayudha, bagaimana perbuatan memperolok orang suci berakibat besar untuk sebuah kerajaan.
Kisah ini diceritakan terjadi di Kerajaan Dwaraka, kerajaannya Sri Krishna. Saat itu Sri Krishna sudah berada di dalam kerajaannya, setelah selesai urusannya dengan para Pandawa dan sesudah penobatan Prabu Yudistira.
Diceritakan pada suatu hari ada rombongan tujuh resi agung melewati Kerajaan Dwaraka. Beberapa orang dari wangsa Yadawa, sebutan penduduk di Kerajaan Dwaraka, memperolok ke tujuh resi agung itu. Mereka ingin melecehkan para resi itu. Mereka mendandani seorang anak muda lelaki seolah-olah perempuan yang sedang hamil besar. Lalu kepada tujuh resi agung itu, seseorang bertanya: “Kapan bayi anak ini lahir dan apa kira-kira jenis kelaminnya?”
Orang-orang Yadawa berharap para resi akan menjawab anak itu lelaki atau perempuan. Apa pun jenis kelaminnya tentu tak penting bagi mereka, yang lebih penting para resi itu mau menjawabnya. Dan pastilah kalau jawaban para resi itu keluar, mereka akan tertawa terbahak-bahak, dan membuka kedoknya bahwa semua ini olok-olok karena orang yang seperti hamil itu adalah anak lelaki.
Ternyata tujuh resi agung itu serius berembug sebelum menjawab. Apa jawaban para resi? “Perempuan hamil ini akan melahirkan satu gada besar yang akan menghancurkan wangsa Yadawa dan menenggelamkan Kerajaan Dwaraka”. Orang-orang Yadawa kaget sebentar lalu tertawa terbahak-bahak. Ketika mereka mau memperolok para resi itu lebih lanjut, ternyata para resi sudah menghilang, tak tahu ke mana arahnya.
Tak berapa lama setelah wangsa Yadawa itu tertawa-tawa, tiba-tiba ada suatu keanehan yang mengagetkan mereka. Lelaki yang didandani seperti perempuan hamil itu, ternyata betul melahirkan sebuah gada baja. Mereka pun ketakutan dan bingung. Akhirnya gada yang keluar dari perut lelaki itu itu dibawanya kepada seseorang yang bernama Ugrasena, salah seorang tokoh dari klan Yadawa. Ugrasena lalu menggiling gada itu menjadi tepung dan membuangnya ke laut. Aneh tepung itu kembali lagi ke pantai dan berubah menjadi rumput ilalang yang setajam pisau. Sebagian serpihan gada yang dilempar ke laut ditelan oleh seekor ikan. Kemudian seorang nelayan yang bernama Jaras berhasil menangkap ikan itu. Jaras menemukan sekeping gada itu lalu diberikannya kepada sahabatnya, seorang pemburu. Kepingan gada itu dijadikan anak panah.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Inilah awal dari kehancuran wangsa Yadawa dan Kerajaan Dwaraka. Sri Krishna sudah tahu pertanda alam ini dan kepada Dewa Narada, Krishna sudah berpesan inilah saatnya tiba dia akan kembali ke alam dewata, kembali sebagai Wisnu setelah selesai menjalani tugas sebagai awatara.
Bagaimana wangsa Yadawa bisa punah? Berawal dari suatu pesta besar di tepi pantai. Tiba-tiba terjadi kerusuhan tanpa jelas sebabnya. Masing-masing orang saling menyerang menggunakan rumput ilalang menyerupai pisau itu. Perkelahian di antara para wangsa Yadawa menjadi demikian dasyat sehingga seluruh warga mati di tepi pantai itu.
Setelah mengetahui bahwa seluruh wangsa Yadawa telah meninggal, Sri Krishna pergi ke hutan dan berbaring di bawah sebatang pohon. Seorang pemburu sedang ada di hutan itu. Pemburu melihat jari kaki Krishna dan mengira itu seekor burung. Pemburu memanah



“burung” itu, dan darah pun mengucur. Darah Sri Krishna. Pemburu kaget dan bersimpuh di depan Krishna memohon pengampunan. Krishna tersenyum dan memberi tahu pemburu itu bahwa itulah jalannya untuk kembali menuju alam dewa, dari panah yang berasal dari gada. Dan ia mengingatkan kepada pemburu, Kerajaan Dwaraka akan segera tenggelam oleh air bah dari laut.

Oleh : mpujayaprema


Ida Bagus Parta Om Swastyastu Ida Mpu..
Para Rsi itukah yang menciptakan Gada itu ?
Apakah Makna Gada sebenarnya. ?
Apakah laki-laki itu sang Samba ?
Apakah tepung gada yang menjadi ilalang ada kaitannya dengan Nyasa Siwa Lingga dalam upacara agama ?
Apakah panah dari pecahan gada mampu membunuh krisna. ? Apa makna sesungguhnya.
Mohon pencerahannya
Om Shanti Shanti Shanti Om.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Senin, 02 Januari 2017

Cymatics Om


Dagang Banten Bali

Om Swatyastu, Semeton....
"Di antara para Maharishi, Akulah Bhrgu; di antara akshara-akshara suci, Akulah Om yang Maha Suci; di antara yajna, Akulah Japa (chanting); dan, di antara yang kukuh dan dan tak tergoyahkan, Akulah Himalaya."
(Bhagavad Gita 10:25)
"Pranava atau Sabda Awal Om adalah Ungkapan Verbal-Nya (Paramatma)"
(Yoga Sutra Patanjali I.27)
Seluruh umat Hindu mengetahui kebenaran ini. Bahwa dari keadaan yang tidak bisa dipikirkan dan dirasakan, ada Nada atau Sabda yang oleh para rishi didengar sebagai Om.
Om adalah sabda yang menghasilkan alam semesta, yang memeliharanya, dan yang mendaur-ulangnya. Sabda Om senantiasa terdengar hingga kini, "saling sahut-sahutan", seiring berbagai penciptaan dan daur-ulang yang secara konstan terjadi.
Disebut sebagai prana awal atau utama, Pranava, maka dari Sabda Om, muncul prana yang menjadi sumber energi penciptaan. Setelahnya, pikiran dan perasaan alam semesta terbentuk dari materi halus. Demikian, dari Om, muncul nada-nada lain yang pada akhirnya menciptakan pikiran dan perasaan manusia, serta Pancha Mahā Butha yang menghasilkan badan manusia.
Baru-baru ini, NASA berhasil membuat suara "desis lidah" matahari dapat didengar oleh telinga manusia. Dan itu terdengar sebagai Om.
Artinya, matahari (Surya) adalah sumber prana semua makhluk di bumi. Tanpa Om (dan prana) dari matahari, tak ada satu pun makhuk di bumi yang mampu bergerak.
Om juga memiliki bentuk geometri yang dapat dilihat oleh mata kita.
Dr. Hans Jenny mempopulerkan istilah cymatics yang bermakna "ilmu terapan yang membuat suara atau sound dapat terlihat oleh mata manusia".
Dalam usahanya, Dr. Hans menciptakan seperangkat alat, yang disebut tonoscope, yang bisa membuat suara terlihat wujudnya.
Dr. Hans mengundang beberapa schoolar-brahmin untuk penelitiannya terhadap Suara Om. Melalui tonoscope, para brahmin (brahmana) itu mengucapkan Suara Om.
Hanya setelah mengucapkan Om dengan tepat, dengan irama yang benar, tanpa sedikitpun disimpangkan bunyinya, maka terbentuk geometri Shri Yantra/Shri Chakra. Awalnya (saat suara A dan U yang berbunyi O dibunyikan) terbentuk lingkaran dan kubus. Tetapi saat suara "m" dari Om terucap, segitiga-segitiga mulai terbentuk menyusun geometri Shri Yantra.
Artinya, alam semesta ini sesungguhnya adalah wujud nyata dari geometri/yantra yang berwujud Shri Yantra. Ada penguasa atau Deva disetiap sudut dan disetiap segitiganya. Dan ada bindu di pusat yantra sebagai sumber Sabda Om dari Paramatma.
Tetapi, itu adalah sisi materi atau kebendaannya. Ada sisi lainnya, yaitu Om sebagai Shabda Paramatma atau Shabda Brahman. Brahman memiliki dua (2) aspek, yaitu Shabda Brahman, yang merupakan getaran Nada Om dan nada-nada turunannya, serta Prakash Brahman, yang merupakan materi alam semesta yang terlihat/visible.
Bukan berarti suara selain Om adalah salah. Tidak.Tetapi dari penelitian Dr. Hans, nyatanya hanya suara Om yang diuncarkan dengan tepat saja yang menghasilkan geometri yang indah. Yang artinya, membenarkan visi dari rishis masa lampau.
Om dan suara lain dari sebuah mantra adalah usaha manusia untuk men-dekodifikasi aspek-aspek tertentu dari pikiran dan perasaan alam semesta. Setiap mantra adalah suara yang berusaha mengakses bagian tertentu dari alam semesta.
Sedangkan untuk "kembali" pada Paramatma, sumber dari Om itu sendiri, pengulangan Om secara tepat di saat kita menghembuskan prana yang terakhir, "sudah cukup" untuk menghantar kita pada Moksha.
Om, dengan nada-nada lain pada mantra, menghantar kita pada segala aspek materi atau kebendaan. Om pula yang menghantarkan kita pada moksha.
Asalkan pengucapan kita tepat. Asalkan kita melatih diri seumur hidup, agar saat ajal menjemput, hal tersebut sudah otomatis terucap.
Om adalah sumber dari Shri Yantra, sumber dari kejayaan Peradaban Hindu Dharma.
Sampai jumpa lagi, Semeton....Matur Suksma.

Minggu, 01 Januari 2017

KETIKA ALAM MASIH KOSONG SAMPAI TRI LINGGA TURUN KE BALI



Om A No Bhadrah Kratawo Yantu Wiswatah,
Para pembaca yang budiman, sebelum saya mulai menghaturkan jalannya ceritera Betara Kasuhun Pasek Gelgel Pesawangan di Sawangan, khususnya leluhur kami (“Kaki Bongol dan Kaki Djelantik”), marilah kita heningkan pikiran sejenak, menghormat Kehadapan Betara Iswara, Betara Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya, Hyang Dewi Danuh, Betara Mpu Gni Jaya apriyangan di Lempuyang Madya, Betara Mpu Ghana apriyangan di Dasar Bhuwana, BetaraMpu Semeru apriyangan di Besakih, Betara Mpu Kuturan apriyangan di Silayukti dan Sang Hyang Aji Saraswati.
Memohon semoga Betara-Betari, asung lugraha dan asung kertha wara nugraha, kepada kita sapretisentananya, yang ingin mengetahui adanya Betara-Betari di Bali khususnya di Sawangan.
Sekali lagi, damuh Paduka Betara-Betari (Penulis), dengan hati yang penuh kesucian, mohon agung pangampura kehadapan Paduka Betara, karena damuh Paduka Betara-Betari berani (langgana) mengisahkan dan menyebut-nyebut nama-nama Paduka Betara-Betari, yang tiada lain karena tujuan suci, berbhakti kehadapan Betara-Betari, agar para damuh Paduka Betara-Betari, sama mengenal Paduka Betara-Betari.
‘Ksamakna hulun de Hyang Mami, mwang Dewa Bhatara makadi Hyang Kawitan, moghi hulun tan kneng upadrawa tulah pamidi, nimitaning hulun, ngutaráken katatwan ira, sang wusamungguh ring tmagawasa, lepihaning kawitan, kang wenang kasungsung de treh…………’. (Leluhur Orang Bali, Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, hal. 1).
Artinya :
‘Maafkanlah hamba oleh junjungan hamba, dan para dewa-dewa pelindung, seperti halnya para leluhur, semoga hamba tidak mendapat kutukan, lancang. Sebab hamba menuturkan prihalnya beliau, yang telah bersthana pada lempengan tembaga, lempiran Leluhur, yang seterusnya dijunjung oleh turunan………’.
Semoga setelah sama mengenal Betara-Betari, akan segera ingat kembali kepada sumbernya, timbul suatu hasrat suci, berbhakti kehadapan Betara-Betari, setia mengemban lingning Bhisama, demikian juga setia mengemban Kahyangan dan selalu ingat kepada Pamujawalinya.
Selanjutnya, sebelum saya haturkan kisah Pasek Gelgel Sawangan Pratisentana Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, terlebih dahulu akan saya haturkan sedikit tentang turunnya Tri Lingga di Bali.
Seperti terungkap dalam Babad Pasek bahwa pada jaman bahari tahun Çaka 11 (tahun 89 M), Gunung Agung meletus dengan dahsyatnya, yang mengakibatkan rusaknya Nusa Bali. Hyang Harimbawa sangat mudahnya menggoyahkan Nusa Bali dan Seleparang (Lombok). Pasca bencana alam tersebut, di Bali hanya masih tersisa 4 gunung (Catur Loka Pala) yaitu di Timur Gunung Lempuyang, di sebelah Barat Gunung Watukaru, di sebelah Selatan Gunung Andakasa, dan di sebelah Utara Gunung Beratan. Karena demikian rusaknya Nusa Bali, maka Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Semeru, sangat prihatin melihatnya, maka Hyang Pasupati berkenan membongkar sebagian di bagian barat dari lereng Gunung Semeru, untuk dipindahkan ke Bali dan Seleparang (Lombok).
Perintah Hyang Pasupati ; Ki Bedawang Nala diperintahkan sebagai dasar Gunung yang akan dipindahkan, Sang Naga Basukih dan Sang Ananta Boga menjadi tali pengikat, Sang Naga Taksaka yang menerbangkannya, lanjut diturunkan di Bali dan Seleparang, pada hari Wrhaspati (Kamis) Umanis, wara Merakih, panglong ping 15, Sasih Karo, Tenggek 1, Rah 1, Candra Sangkala Eka Tang Bhumi, tahun Çaka 11 (Bulan Agustus 89 M). Ketika membawa potongan gunung itu ada bagian-bagian yang tercecer. Bagian yang kecil menjadi Gunung Lebah (Gunung Batur terletak di Kintamani, Bangli) sedangkan bagian yang lebih besar menjadi Gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di daerahKarangasem. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu, mulai saat itulah awal mula NusaBali. Setelah terwujud kesemuanya itu, Hyang Pasupati di Gunung Semeru memanggil semua putra-putranya, setelah sama-sama berada di hadapan Hyang Pasupati, sabda Betara Kasuhun :
“ Wahai anakku bertiga, Agni Jaya, Putra Jaya dan Dewi Danuh, tidak lain anakku bertiga kusuruh pergi ke Bali, membangun kembali Nusa Bali dan nantinya anakku bertiga menjadi pujaan orang Bali”.
Betara Tiga menghaturkan sembah, serta haturnya : “Paduka Betara, hamba ini masih kanak-kanak, tidak tahu jalan menuju Nusa Bali dan belum sanggup memelihara Nusa Bali”.
Sabda Hyang Pasupati: “Anakku bertiga, jangan kamu bersusah hati aku akan memberi engkau bertiga wahyu, supaya kehendakmu semua tercapai, kamu bertiga adalah anakku tercinta, wajib nanti menjadi pujaan orang-orang Bali, sampai akhir jaman”.
Hyang Pasupati beryoga, memberikan anugrah kepada anaknya bertiga, segera juga Betara bertiga menghaturkan sembah penghormatan kehadapan Hyang Pasupati. Betapa ramainya suara genta pemberkatan dan suara genta penghormatan dari Betara bertiga (Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya dan Hyang Dewi Danuh) kehadapan Hyang Pasupati. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu.
Setelah Betara bertiga diberkati, segera digaibkan ke dalam seludang kelapa gading, dikirim/berjalan melalui dasar laut dan bumi. Demikian cepatnya, Betara bertiga telah sampai di Puncak Gunung Tohlangkir (Agung), pada hari Sukra (Jumat) Kliwon, wara Tolu, sasih Kelima, Penanggal ping 3, rah tenggek 13 (Bulan November) tahun Çaka 113 (191 M), Gunung Agung meletus sangat hebatnya, api menyembur keluar dari lubang kepundan Gunung Agung, gempa, kilat berkesinambungan tiada putus-putusnya. Ditambah pula dengan suara dentuman-dentuman letusan, hujan sangat lebatnya, lahar mengalir ke seluruh penjuru, kejadian ini berlangsung sampai dua bulan lamanya. Demikian suatu pertanda kehadiran Batara bertiga di Nusa Bali.
Tidak beselang lama, entah beberapa tahun kemudian, Betara bertiga sama-sama membagi tugas: Hyang Agni Jaya yang menjalankan tugas Kependetaan, ngemban Betara Iswara di Pura Sadkahyangan Agung Lempuyang luhur, Hyang Putra Jaya, yang mengemban tugas Kepemerintahan, apryangan di Gunung Agung (Tohlangkir), Hyang Dewi Danuh yang mengemban tugas Kemakmuran apryangan di Ulundanu Batur.
Hyang Pasupati di Gunung Semeru, mengutus lagi Putra Putrinya datang ke Bali, memperkuat kedudukan Betara bertiga, masing-masing yaitu : Hyang Tugu, Hyang Manik Gayang, Hyang Manik Gumawang dan Hyang Tumuwuh. Setibanya di Bali langsung menghadap Hyang Putra Jaya di Gunung Agung – Puncak Tohlangkir. Gunung Agung meletus pada waktu Sang Catur Purusa tiba di Bali. Setelah selesai penghadapan kehadapan Betara Tiga, Sang Catur Purusa ditugaskan:
1. Hyang Tugu ditugaskan apryangan di Gunung Andakasa.
2. Hyang Manik Gayang ditugaskan apryangan di Pejeng.
3. Hyang Manik Gumawang ditugaskan apryangan di Gunung Beratan.
4. Hyang Tumuwuh ditugaskan apryangan di Gunung Watukaru.
Demikianlah taatnya Sapta Dewata-Dewati menjalankan swadharmanya masing-masing, mulailah tenang keadaan Nusa Bali, Sang Harimbawa tidak dapat lagi menggoyahkan NusaBali dan Seleparang.
Pada suatu hari yang sangat baik, ketujuh Putra-Putri Hyang Pasupati, sama berkumpul pada suatu tempat yang suci di kaki Gunung Agung, berbincang-bincang. Adapun yang diperbincangkan tiada lain mengenai keadaan Nusa Bali, yang masih sunyi senyap. Bertalian dengan hal-hal tersebut diatas, ketujuh Putra-Putri Hyang Pasupati mengambil suatu keputusan, untuk menghadap kehadapan Hyang Pasupati ke Gunung Semeru. Tiada diceritakan hal-hal yang terjadi dalam perjalanan, karena telah sama-sama berbadan suci, begitu pergi begitu pula sampai di tempts tujuan. Segera saja menghadap Hyang Pasupati, dengan tata cara kedewataan, Hyang Maha Suci. Melihat Putra-Putrinya datang, memperkenankan mereka sama duduk lalu bersabda : “Wahai Putra-Putriku tercinta, apa gerangan tujuan anakku menghadap ayahanda”. Matur Betara-Betari semua, sambil mengucapkan mantra sucinya, sebagai dasar penghormatan kehadapan Hyang Pasupati : “Betara, anaknda datang menghadap ini, perlu menyampaikan adanya Nusa Bali yang sangat kosong, tiada seorang manusiapun yang menyungsung anaknda. Kiranya patut, hanugrahilah anaknda manusia ke Bali, untuk turut mengemban Nusa Bali dan menyungsung anaknda di Bali”.
Sabda Hyang Pasupati yang disertai dengan mantra sucinya: “Anakku semua, terimalah anugrahku, segala kehendak anaknda akan berhasil, tunggulah ayah di Nusa Bali”.
Betara Hyang Agni Jaya beserta adik-adiknya, menghormat menghaturkan puja kedamaian, bergema suara genta, bagaikan kumbang mengisap sari, lalu semuanya mohon diri pulang keBali. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu, Sapta Dewata-Dewati, semua sudah sama berbadan suci, begitu pamitan begitu pula sampai di Bali, serta langsung menuju Parhyangan masing-masing. Tiada beselang lama, di Gunung Semeru, Hyang Pasupati/ Hyang Premesti Guru menyusul turun ke Bali, diiringi oleh Dewata-Dewati, Rsi Gana dan Dewata Nawa Sanga, semua pergi ke Bali.
Betara Parameswara mempergunakan Padma Manik Anglayang diapit payung dan umbul-umbul, bergema suaranya genta serta doa puji-pujian, hujan kembang dari angkasa. Sedangkan Betara yang lain berbeda-beda kendaraannya, semua gembira mengiringi Hyang Pasupati. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu. Sedemikian cepatnya rombongan telah sampai di Bali/Puncak Tohlangkir, segera disambut oleh Hyang Agni Jaya beserta adik-adiknya, dengan tata cara kependetaan, ramai suara genta penyambutan.
Sabda Hyang Pasupati, setelah upacara penyambutan selesai : “Wahai anak-anakku semua, marilah kita sekarang pergi ke Ulundanu ke Kahyangan Dewi Danuh, disana kita semua beryoga semadhi, agar segera tercipta manusia yang anaknda cita-citakan”. Setelah bersabda lalu berangkat ke Ulundanu, begitu cepatnya akhirnya sampai di Kahyangan Hyang Dewi Danuh. Setelah selesai upacara penyambutan oleh Hyang Dewi Danuh, akhirnya semua Dewata-Dewati mencari suatu tempat yang suci, disana sama beryoga dengan sangat tekunnya, dihadapan api pedipaan, dengan harapan segera tercipta manusia.
Hyang Basundari (Tanah) diambil diyogai agar menjelma menjadi manusia. Tiba-tiba datang Betara Yamadipati, berwujud anjing hitam, tidak hentinya mengganggu yoga Betara Kabeh seraya berkata: “Betara-Betari, sekarang Betara berkehendak menciptakan manusia dari tanah, saya sangat sangsi, mustahil tanah itu akan menjadi manusia, saya akan bersumpah; saya akan sanggup memakan kotoran manusia itu bila tanah itu dapat menjadi manusia”.
Betara bersabda : “Apa katamu anjing, besar sekali kesanggupanmu kepadaku, sekarang dengarlah kataku baik-baik, bila aku tidak dapat menciptakan manusia, aku bukanlah kepala dari semua Dewa-Dewa. Patut aku ditenggelamkan ke dalam kotoran anjing”, terlalu sengit perdebatan itu.
Kemudian Betara beryoga, dengan tekunnya mempersatukan kekuatan bhatinnya, berkobar api dalam pemujaan, menjulang asapnya ke angkasa. Akhirnya setelah tercipta manusia, tiba-tiba manusia itu rusak, disaat itu, anjing hitam itu menggonggong; kong….kong…..kong suaranya. Kembali Betara beryoga, rusak lagi ciptaanya, anjingpun menggonggong lagi, hal ini terjadi sampai berulang-ulang, namun belum berhasil menciptakan manusia. Dewata-Dewati karena dikalahkan anjing, kembali beryoga dengan berbadankan Tri Loka, berkobar api pedipaan, Nusa Bali jadi bergetar, Sang Hyang Amerta keluar segera saja tercipta manusia ciptaan itu.
Betara Premesti Guru bersabda: “Hai anjing, sekarang kamu benar-benar telah kalah, ingatlah sumpahmu itu, mulai sekarang sampai seterusnya anjing harus memakan kotoran manusia”. Betapa malunya anjing itu menerima kutukan Betara, dia tiada menjawab apa-apa, kembali pulang dengan hati yang sangat sedih, menyesali akan perbuatannya, kembali berubah wujud menjadi Yamadipati, kembali pulang ke Yama Loka. Begitu tiba di Yama Loka, lalu berkata kepada seluruh rakyatnya, terutama kepada Ki Buta Kalika, katanya : “Hai Kalika dan para Kingkara Bala semua, kamu akan kuperintah turun ke dunia, menggantikan aku memakan kotoran manusia, turun-temurun, apa sebab demikian adalah karena aku kalah bertaruhan dengan Hyang Pasupati. Terimalah perintahku, gantilah diriku menjadi anjing, kelak apabila manusia telah meninggal, pada saat itu engkau bersama saudara-saudaramu menyiksa roh manusia yang berbuat jahat”. Demikian sabda Hyang Yamadipati, seluruh Kingkara Bala menunduk sambil berpikir, handainya menolak titah Betara Yamadipati itu, tentu akan dimusnahkan. Ki Buta kalika dan Kingkara Bala dengan sedih menuruti perintah Hyang Yamadipati.
Kembali kepada yoga Betara Ghuru, dalam menciptakan manusia dari serabut kelapa gading lahirlah dua orang manusia laki-perempuan, yang laki diberi nama Ki Ktokpita dan yang perempuan Ni Jnar. Kemudian mereka dikawinkan, berbahagialah perkawinan mereka, sangat baik suami istri, karena kehendak Dewata. Perkawinan mana menurunkan keturunan tidak putus-putusnya, laki atau perempuan. Selanjutnya Betara Kasuhun, beryoga kembali menciptakan manusia, akhirnya tercipta dua orang laki-perempuan, yang laki diberi nama Ki Abang dan yang perempuan diberi nana Ni Barak. Setelah mereka sama dewasa, lalu dikawinkan, lanjut menurunkan anak laki-perempuan. Banyaklah sudah manusia-manusia laki-perempuan ciptaan Betara di Bali, anak beranak kelanjutannya, yang terbanyak tinggal di Gunung Batur.
Hyang Premesti Ghuru, memerintahkan para Dewata-Dewati, agar sama turun ke Bali, mengajar apa-apa yang patut dilaksanakan manusia, lebih-lebih dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Manusia-manusia itu mulai merasa lapar, dahaga, kedinginan, maka mulailah mereka diajar bercocok tanam, bersawah, atau berladang. Daerah Danau Baturlah yang menjadi pusat pertanian yang kepertama, bagi orang-orang ciptaan Dewata di Nusa Bali. Karena Hyang Dewi Danuh memegang kekuasaan di bidang kemakmuran.
Ramailah sekarang orang-orang menyungsung Hyang Dewi Danuh di Ulun Danu Batur. Sedemikian cepatnya perkembangan orang-orang di Nusa Bali, terpencar menyungsung Dewata-Dewati Putra-Putri Hyang Pasupati.
Kembali kepada Ki Abang dan Ni Barak yang sudah berumah tangga, mereka suami istri pindah ke tepi Danau, karena tempat itu cocok untuk bercocok tanam, Ki Abang mempunyai lima orang anak; empat orang laki-laki dan seorang perempuan. Lama-lama tempat Ki Abang disebut Desa Abang. Tentramlah keadaan Nusa bali, Sapta Dewata Dewati sangat tekunnya menjalankan swadharmanya masing-masing, demi keselamatan Nusa Bali.
Manusia tidak putus-putusnya mempunyai keturunan, saling ambil keambil tehadap misan mindon. Adapun mata manusia pada saat itu adalah semua hitam, serta dapat melihat dan berbicara dengan Dewa-Dewa. Para Dewata tetap menuntun manusia-manusia, bercocok tanam, bersawah, berkebun dan menanam segala keperluan hidupnya. Tidak terkatakan subur tanam-tanamannya itu, hingga pada suatu senja, tatkala Betara Kasuhun sedang berjalan-jalan, melihat perkampungan orang-orang ciptaannya, demikian juga sawah ladangnya, terutama mengenai hasil pertanian mereka.
Kemudian Betara dilihat oleh orang-orang, dengan segera mereka matur dengan sangat hormatnya, diantaranya matur “Betara hendak pergi kemana, sekarang”; Betara bersabda : “Aku hendak berjalan-jalan melihat-lihat tanam-tanaman dan pertanianmu”. Seorang diantara mereka matur lagi; “Bila demikian Paduka Betara, hamba akan mempersembahkan hasil pertanian hamba, yang paduka Betara kehendaki”, Betara berdiam tiada bersabda apa-apa. Percakapan itu didengar oleh Ki Baluan, betapa marahnya Ki Baluan melihat manusia matur kehadapan Betara sambil buang air. Ki Baluan berkata dengan marahnya kepada manusia itu, katanya; “Ih kamu manusia, yang rendah budi, tidak tahu peraturan, matur kehadapan Betara sambil buang air, pantaslah kamu penjelmaan berasal dari tanah di kepal-kepal”. Manusia itu menjawab dengan kemarahan juga, katanya ; “Apa Baluan, terlalu kata-katamu, mengungkapkan asal-usulku, sungguh kamu juga sangat hina, pura-pura tahu tatwa sesana, tidak menyadari juga asal-usulmu dari kumatat-kumitit. Iri padaku pura-pura saleh, lihatlah Betara tidak merasa tersinggung kepadaku”. Balik Ki Baluan berkata : “Engkau manusia yang sangat dungu, hina rupa hina pikiran, semoga kamu menjadi orang desa seterusnya atas dosamu merendahkan Dewa”, demikian keluar kata-kata Ki Baluan, karena panas hatinya.
Oleh karena peristiwa tersebut, Betara memanggil manusia semua, setibanya di penghadapan mereka diperintahkan menengadah dan mendelik matanya, Betara segera menoreh matanya dengan Kapur disertai kutukan, bahwa mulai saat ini manusia tidak dapat melihat para Dewa lagi sampai seterusnya, karena dosanya matur sambil buang air. Demikian kutukan Betara kepada manusia.
Sabda Betara : “Ini ada anugrahku kepadamu, seandainya kamu berkehendak menemuiku, kamu akan dapat bertemu denganku, apabila ajalmu telah sampai”. Begitulah sabda Hyang Parama Wisesa. Semua hadirin menyembah Paduka Betara dan seterusnya pulang ke rumah masing-masing dengan hati yang sangat sedih. Demikianlah asal mula manusia tidak dapat melihat Para Dewa. Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan Ki Baluan. Manusia itu berkata kepada Ki Baluan, katanya: “Hai kamu Baluan, kebetulan kita bertemu lagi, aku bersumpah padamu, bahwa mulai sekarang sampai seterusnya manusia akan menjadi musuhmu, kelak keturunanku akan membunuh keturunanmu terus menerus”. Menjawab Ki Baluan; “Aku tidak menolak apa kata-katamu, tetapi ada pula sumpahku padamu. Pada waktu kajeng kliwon, waktu itu keturunanku akan membunuh keturunanmu dengan jalam menjilat mata kaki dan hulu hatinya sampai keturunanmu menemui ajalnya. Baiklah, hal ini kita akan sampaikan kepada turunan masing-masing”. Ki Baluan mohon anugrah Dewata, agar badannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan tempatnya, untuk mengelabui kejelasan pandangan manusia.
************************
"Salam penuh cinta kasih