Minggu, 13 November 2016

Panca Klesa.







doa yang sering diucapkan pendeta saat pembersihan, yaitu “Sarwa Klesa Winasa ya”.

Panca Klesa.
lima Klesa yang menghambat pencapaian tujuan, pelepasan atma untuk menyatu ke asalnya.

Klesa itu, berasal dari bahawa sansekerta yang artinya ‘penyakit’, penderitaan atau hal-hal yang tidak baik yang menghalang pada pelepasan seseorang. Singkatnya klesa adalah penyebab orang sulit mencapai pelepasan dirinya sebagai tujuan hidup umat hindu.
Awidya adalah kebodohan.
Asmita adalah pandangan yang salah
Raga adalah nafsu
Dwesa adalah kebencian
Abinewesa adalah rasa takut akan kematian

Jadi dengan doa Sarwa Klesa Winasa ya, artinya berdoa agar segala penghalang, segala sakit yang merintangi kita untuk mencapai tujuan, atau pelepasan


Rai Djendra, Ida Bagus, “Hindu Agama Universal”, Paramita, Surabaya, 2013.




- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



 

Jumat, 11 November 2016

SANG KALA TIGA





Om Swastyastu
APA DAN SIAPA yang dimaksud Sang Kala Tiga yang menggoda manusia tatkala hendak mencapai Kemenangan
....???
1. Sang Kala Galungan artinya "berperang",
2. Sang Kala Dungulan = "menundukkan".
3. Sang Kala Amangkurat = "menguasai".
Galungan bermakna peperangan melawan sifat adharma, dan ketika telah ditundukkan lalu dikuasai, maka dirayakan dalam bentuk puja puji syukur kehadapan Dewa Dewi dan para leluhur sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma.
DUMOGI NGEMANGGIHIN GALANG rikala GALUNGAN. Suksma. Ampura. Gama Bali / Hindu Bali / Gama Tirtha.

REINKARNASI: SAMSARA/KELAHIRAN DAN KEMATIAN BERULANG KALI




Hindu adalah agama tertua di dunia yang meyakini kelahiran dan kematian terjadi berulang kali (reinkarnasi) dalam hal ini, Veda menyebutnya sebagai Samsara atau Punarbhawa. Tadi sore, saya ditanya panjang lebar oleh sahabat mengenai reinkarnasi, apakah ada studi ilmiahnya? Saya jawab dengan tulisan ini. Jadi sahabat pelan-pelan bacanya ya..hehee
Seorang yang bernama Conel Albert de Rochas pada tahun 1980, yang merupakan seorang ilmuwan kebangsaan Perancis mulai mempelopori sains untuk studi reinkarnasi. Sejatinya metode keilmuwan yang dipergunakan untuk meneliti kehidupan masa lalu ini sudah dijalankan oleh seorang dokter bernama Franz Anton Mesmer yang berkebangsaan Austria. Dalam bentuk regresi hipnotis yang si pasien akan bertutur tentang kehidupan masa lalunya dengan gamblang.
Kemudian beberapa decade berikutnya, Dr. Raymond Moody mengakui bahwa apapun yang dituturkan oleh seorang yang menjadi subyek sain reinkarnasi ini menuturkan dengan jelas dan dapat dibuktikan dengan benar setiap perkataannya. Ini menjadi bukti sains ilmiah yang kemudian hari memperkuat keyakinan Hindu tentang perpindahan jiwa dari satu badan ke badan yang lainnya.
Dalam beberapa pandanga, reinkarnasi tidak diakui, Namun agama timur seperti Hindu meyakini reinkarnasi sebagai sebuah siklus hukum karmaphala (sebab-akibat). Beberapa decade setelahnya, sederetan ilmuwan dunia tampil dengan penelitian reinkarnasi dan fakta akurat yang kemudian mengukuhkan bahwa keyakinan ini benar adanya dan merupakan hal yang ilmiah.
Teknik dalam mencari kehidupan masa lalu yang merupakan perjalanan jiwa dari satu bentuk kehidupan ke kehidupan yang lainnya disebut dengan far age regression atau kembali ke masa lalu. Teknik ini kemudian dipergunakan oleh banyak ahli psikiater dan psikologis lainnya seperti Dr. Hellen Wambach dan Dr. Alexander Cannon. Lebih dari 1000 kasus telah ia selidiki, dan dia menyatakan bahwa reinkarnasi benar-benar ada.
Beberapa dari ilmuwan dunia kemudian mulai menuliskan buku dari hasil penelitian mereka tentang reinkarnasi seperti Dr. Brian L Weis M.D. dengan judul “many Life Many Master” ada banyak kehidupan dan banyak guru. jiwa berpindah dari satu badan ke badan lain dengan periode waktu yang sangat lama. Maka kehidupan manusia adalah sudah terjadi milyaran kali, bahkan tak terhitung jumlahnya.
Dalam agama Hindu, reinkarnasi itu adalah jawaban logis mengapa ada banyak orang baik, kemudian dalam kehidupan ini mereka sengsara. Dan ada banyak orang jahat mereka bahagia dan kaya raya dalam kehidupan sekarang. Ini disebabkan karena mungkin orang tadi, masa lalunya berbuat jahat sehingga dalam kehidupan sekarang dia menerima hasil karmanya. Demikian sebaliknya.
Bahkan reinkarnasi itu dapat berpindah dari satu badan laki-laki menuju badan wanita. Atau badan manusia menuju hewan (seperti kisah Jadabharata dalam kitab Vishnu-Purana). Pada tahun 1953, seorang peneliti bernama Dr. Stevenson seorang ahli psikiatri dari Fakultas Kedokteran Universitas Virginia AS, menjadikan reinkarnasi sebagai obyek penelitian ilmiah dan dikaji dalam sudut pandang Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi secara keilmuwan. Hasilnya sangat mengagumkan. Kemudian dia mulai merintis “The American Associantion of the Advancement” asosiasi ilmuwan terbesar di dunia tentang sains reinkarnasi. Sudah ada 69 judul buku tentang reinkarnasi.
Nah, para Balian kita di Bali di juga sudah eksis membicara dan meyakini reinkarnasi sejak ribuan tahun lamanya dan kini sedang masuk dalam dunia reinkarnasi dengan intuisi mereka masing-masing. Cuma metode mereka lebih magis dan gaib. Sebab menerawang dengan masuk meminjam sukma atau badan halus seseorang untuk mencari tahu, siapakah bayi yang lahir ini?
Jawabannya beragam. Ada yang menyatakan sang buyut lahir untuk memperbaiki karma (ngidih nasi). Ada yang lari dari hukuman di Yama Loka (akibatnya sang bayi meninggal ketika lahir). Ada yang belum lunas hutangnya pada yasa kerti kehidupan sebelumnya, maka dia lahir untuk itu. Atau karena pituduh Mbang, suatu ketika anak ini akan memangku tangggung jawab (maka ada bayi baru lahir sudah kesambut Widhi jadi jero mangku).
Maka kita akan menemukan ada banyak fakta yang nyata tentang ini. artinya, jauh-jauh hari sebelum sederetan nama ilmuwan dunia itu berikrar tentang penelitian mereka dalam reinkarnasi, para balian di Bali sudah menyatakan itu dengan gaya yang berbeda. Bahkan rakawi kita menuliskannya dalam kitab Aji Palayon dalam bahasa Jawa-Kuna bagaimana perjalanan jiwa lepas dari badan dan akan mencari badan baru kembali.
Ketika anda menyadari bahwa anda sudah berbuat baik, rajin sembahyang, metirtha yatra sangat rajin, medana punia rajin, dan ngayah rajin. Tapi hidup anda dirundung susah saja, maka jangan katakan Bhatara Guru tidak adil pada anda. Itu disebabkan karena kehidupan masa lalu anda berbuat jahat, maka anda terima balasannya dalam kehidupan sekarang.
Jadi, apa yang terjadi di kehidupan masa lalu dapat kita ketahui dari kehidupan kita sekarang, dan apa yang akan terjadi akan datang, dapat kita prediksi dari perbuatan kita sekarang.

CANANG




Kata "Canang" berasal dari Bahasa Kawi, terdiri atas dua suku kata yaitu: "Ca" yang berarti Indah, dan "Nang" berarti Tujuan, dengan demikian Canang dapat diartikan sebuah sarana yang bertujuan untuk memohon keindahan (sundharam) ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Bagian-bagian dari Canang adalah sebagai berikut:
1. Ceper
Merupakan alas dari sebuah Canang yang memiliki bentuk segi empat dan melambangkan angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk angga-sarira, yaitu Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra, sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari Windhu.
2. Beras atau Wija
Melambangkan Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ātma.
3. Porosan atau Peporosan
Terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang melambangkan Tri-Premana, yaitu Bayu (pikiran), Sabda (perkataan), dan Idep (perbuatan). Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas. Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma (gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
4. Jajan, Tebu, dan Pisang
Menjadi simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan Upetti, Stiti, dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta.
5. Sampian Uras atau Duras
Dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai yang melambangkan roda kehidupan dengan Asta Iswarya-nya (delapan karakteristik) yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.
6. Bunga
Diletakkan di atas sampian urasari melambangkan kedamaian dan ketulusan hati. Penyusunan bunga diurutkan sebagai berikut:
Bunga berwarna Putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.
Bunga berwarna Merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma.
Bunga berwarna Kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa.
Bunga berwarna Biru atau Hijau (Susah mendapatkan bunga berwarna hitam) disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu.
Kembang Rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.
7. Kembang Rampai
Kembang rampai diletakkan di atas susunan bunga dan memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Bermacam-macam bunga ada yang harum dan ada yang tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah. Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan.
8. Lepa atau Boreh Miyik
Merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik. Perilaku menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang.
9. Minyak wangi atau Miyik-Miyikan
Menjadi lambang ketenangan jiwa atau pengendalian diri. Dalam menata kehidupan, manusia hendaknya menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Rabu, 09 November 2016

Kisah Sang Hyang Anantaboga




ANTABOGA, SANG HYANG, atau Sang Sang Nagasesa atau Sang Hyang Anantaboga adalah dewa penguasa dasar bumi. Dewa itu beristana di Kahyangan Saptapratala, atau lapisan ke tujuh dasar bumi. Dari istrinya yang bernama Dewi Supreti, ia mempunyai dua anak, yaitu Dewi Nagagini dan Naga Tatmala. Dalam pewayangan disebutkan, walaupun terletak di dasar bumi, keadaan di Saptapratala tidak jauh berbeda dengan di kahyangan lainnya.
Sang Hyang Antaboga adalah putra Anantanaga. Ibunya bernama Dewi Wasu, putri Anantaswara.
Walaupun dalam keadaan biasa Sang Hyang Antaboga serupa dengan ujud manusia, tetapi dalam keadaan triwikrama, tubuhnya berubah menjadi ular naga besar. Selain itu, setiap 1000 tahun sekali, Sang Hyang Antaboga berganti kulit (jw. m1ungsungi). Dalam pewayangan, dalang menceritakan bahwa Sang Hyang Antaboga memiliki Aji Kawastrawam, yang membuatnya dapat menjelma menjadi apa saja, sesuai dengan yang dikehendakinya. Antara lain ia pernah menjelma menjadi garangan putih (semacam musang hutan atau cerpelai) yang menyelamatkan Pandawa dan Kunti dari amukan api pada peristiwa Bale Sigala-gala.
Putrinya, Dewi Nagagini, menikah dengan Bima, orang kedua dalam keluarga Pandawa. Cucunya yang lahir dari Dewi Nagagini bernama Antareja atau Anantaraja.
Sang Hyang Antaboga mempunyai kemampuan menghidupkan orang mati yang kematiannya belum digariskan, karena ia memiliki air suci Tirta Amerta. Air sakti itu kemudian diberikan kepada cucunya Antareja dan pernah dimanfaatkan untuk menghidupkan Dewi Wara Subadra yang mati karena dibunuh Burisrawa dalam lakon Subadra Larung.
Sang Hyang Antaboga pernah dimintai tolong Batara Guru menangkap Bambang Nagatatmala, anaknya sendiri. Waktu itu Nagatatmala kepergok sedang berkasih-kasihan dengan Dewi Mumpuni, istri Batara Yamadipati. Namun para dewa gagal menangkapnya karena kalah sakti. Karena Nagatatmala memang bersalah, walau itu anaknya, Sang Hyang Antaboga terpaksa menangkapnya. Namun Dewa Ular itu tidak menyangka Batara Guru akan menjatuhkan hukuman mati pada anaknya, dengan memasukkannya ke Kawah Candradimuka. Untunglah Dewi Supreti, istrinya, kemudian menghidupkan kembali Bambang Nagatatmala dengan Tirta Amerta.
Batara Guru juga pernah mengambil kulit yang tersisa ketika Sang Hyang Antaboga mlungsungi dan menciptanya menjadi makhluk ganas yang mengerikan. Batara Guru menamakan makhluk ganas Aji Candrabirawa.
Sang Hyang Antaboga, ketika masih muda disebut Nagasesa. Walaupun ia cucu Sang Hyang Wenang, ujudnya tetap seekor naga, karena ayahnya yang bernama Antawisesa juga seekor naga. Ibu Nagasesa bernama Dewi Sayati, putri Sang Hyang Wenang.
Suatu ketika para, dewa berusaha mendapatkan Tirta Amerta yang membuat mereka bisa menghidupkan orang mati. Guna memperoleh Tirta Amerta para dewa harus mengebor dasar samudra. Mereka mencabut Gunung Mandira dari tempatnya, dibawa ke samudra, dibalikkan sehingga puncaknya berada di bawah, lalu memutarnya untuk melubangi dasar samudra itu. Namun setelah berhasil memutamya, para dewa tidak sanggup mencabut kembali gunung itu. Padahal jika gunung itu tidak bisa dicabut, mustahil Tirta Amerta dapat diambil. Pada saat para dewa sedang bingung itulah Nagasesa datang membantu. Dengan cara melingkarkan badannya yang panjang ke gunung itu dan membetotnya ke atas, Nagasesa berhasil menjebol Gunung Mandira, dan kemudian menempatkannya di tempat semula. Dengan demikian para dewa dapat mengambil Tirta Amerta yang mereka inginkan. Itu pula sebabnya, Nagasesa yang kelak lebih dikenal dengan nama Sang Hyang Antaboga juga memiliki Tirta Amerta.
Jasa Nagasesa yang kedua adalah ketika ia menyerahkan Cupu Linggamanik kepada Batara Guru. Para dewa memang sangat menginginkan cupu mustika itu. Waktu itu Nagasesa sedang bertapa di Guwaringrong dengan mulut terbuka. Tiba-tiba melesatlah seberkas cahaya terang memasuki mulutnya. Nagasesa langsung mengatupkan mulutnya, dan saat itulah muncul Batara Guru. Dewa itu menanyakan kemana perginya cahaya berkilauan yang memasuki Guwaringrong. Nagasesa menjawab, cahaya mustika itu ada pada dirinya dan akan diserahkan kepada Batara Guru, bilamana pemuka dewa itu mau memeliharanya baik-baik. Batara Guru menyanggupinya, sehingga ia mendapatkan Cupu Linggamanik yang semula berujud cahaya itu.
Cupu Linggamanik sangat penting bagi para dewa, karena benda itu mempunyai khasiat dapat membawa ketentraman di kahyangan. Itulah sebabnya semua dewa di kahyangan merasa berhutang budi pada kebaikan hati Nagasesa.
Karena jasa-jasanya itu para dewa lalu menghadiahi Nagasesa kedudukan yang sederajat dengan para dewa, dan berhak atas gelar Batara atau Sang Hyang. Sejak itu ia bergelar Sang Hyang Antaboga. Para dewa juga memberinya hak sebagai penguasa alam bawah tanah. Tidak hanya itu, oleh para dewa Nagasesa juga diberi Aji Kawastram yang membuatnya sanggup mengubah ujud dirinya menjadi manusia atau makhluk apa pun yang dikehendakinya.
Untuk membangun ikatan keluarga, para dewa juga menghadiahkan seorang bidadari bernama Dewi Supreti sebagai istrinya.
Perlu diketahui, cucu Sang Hyang Antaboga, yakni Antareja, hanya terdapat dalam pewayangan di Indonesia. Dalam Kitab Mahabarata, Antareja tidak pernah ada, karena tokoh itu memang asli ciptaan nenek moyang orang Indonesia.
Sang Hyang Antaboga pernah berbuat khilaf ketika dalam sebuah lakon carangan terbujuk hasutan Prabu Boma Narakasura, cucunya, untuk meminta Wahyu Senapati pada Batara Guru. Bersama dengan menantunya, Prabu Kresna, yang suami Dewi Pertiwi, Antaboga berangkat ke kahyangan. Ternyata Batara Guru tidak bersedia memberikan wahyu itu pada Boma, karena menurut pendapatnya Gatotkaca lebih pantas dan lebih berhak. Selisih pendapat yang hampir memanas ini karena Sang Hyang Antaboga hendak bersikeras, tetapi akhimya silang pendapat itu dapat diredakan oleh Batara Narada. Wahyu Senapati tetap diperuntukkan bagi Gatotkaca.
Nama Antaboga atau Anantaboga artinya (naga yang) kelokannya tidak mengenal batas. Kata ‘an’ atau artinya tidak; kata ‘anta’ artinya batas; sedangkan kata ‘boga’ atau ‘bhoga’ atinya kelokan. Yang kelokannya tidak mengenal batas, maksudnya adalah ular naga yang besarnya luar biasa.

Duasa nganten


Dagang Banten Bali



Dewasa Ayu Nganten atau Hari baik Pawiwahan (Upacara Pernikahan Hindu Bali) dimana dalam melakukan ritual/Pawiwahan ini selalu menggunakan dewasa ayu (hari baik).

Pernikahan Hindu Bali selalu mempertimbangkan dan menggunakan pedoman Dewasa Ayu Nganten (Nikah Adat Bali) adalah Wuku, Sasih, Penganggal/Pangelong, Ingkel, jejepan, Triwara, Tika (kala temah dan kala kingkingan). Untuk pati paten, kala Tampak, kala Mertyu, Naga Naut, Sampar Wangke dan Geni Agung, masih diabaikan, sehubungan dengan proses perumusan.

Dewasa Ayu Nganten, Hari Baik Pawiwahan Berdasarkan Wuku, Sasih, dan Penanggal;

Wuku


Berdasarkan Wuku, ada 3 (tiga) kelompok wuku yang dihindari dalam memilih dewasa ayu nganten, diantaranya:

Rangda Tiga, yang artinya Cerai dan menjanda/menduda hingga tiga kali.
Carik walangati, carik yang bermakna selesai, masalah keluarga akibat pihak ketiga, fitnah, dan/atau tidak memiliki anak/keturunan.
Tanpa Guru, yang artinya anak/keturunan sering menentang orang tua, seperti tidak memiliki orang tua (guru).
Uncal Balung, yang artinya keluarga yang dibangun bersama (suami-istri dan keturunannya) menemui sengsara, seperti halnya tulang yang dihancurkan.



Pada WUKU diatas, itu hanya wuku-wuku yang HALA (berdampak buruk).

Sasih

Sasih yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan:

Sasih Katiga (bulan ke-3), banyak anak/keturunan
Sasih Kapat (bulan ke-4), banyak harta dan sahabat
Sasih Kalima (bulan ke-5), banyak rejeki
Sasih Kapitu (bulan ke-7), mendapatkan keselamatan
Sasih Kadasa (bulan ke-10), hidup rukun bahagia


Sedangkan, Sasih yang dihindari diantaranya:

Sasih Kasa (bulan ke-1), anak/keturunan sengsara
Sasih Karo (bulan ke-2), miskin
Sasih Kaenem (bulan ke-6), tiada pasangan, janda/duda
Sasih Kawulu (bulan ke-8), miskin
Sasih Kasanga (bulan ke-9), sengsara, lara-pati
Sasih Jyesta (bulan ke-11), mendapatkan malu
Sasih Sadha (bulan ke-12), kesakitan, sengsara



Penganggal/Pangelong

Penanggal yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan:

Penanggal 1, Selamat sentosa
Penanggal 2, disayang sanak keluarga
Penanggal 3, banyak anak
Penanggal 5, selamat sentosa
Penanggal 7, hidup bahagia
Penanggal 10, kaya dan disegani
Penanggal 13, hidup senang



Penanggal yang dihindari:

Penanggal 4, janda/duda
Penanggal 6, susah dan sengsara
Penanggal 8, sering mendapatkan halangan
Penanggal 11, kesulitan, sulit mendapatkan kaselamatan
Penanggal 12, hidup sengsara
Penanggal 14, bertengkar, cerai
Penanggal 15, hidup sengsara



Itulah Dewasa Ayu Nganten dari Wuku, Sasih dan Penanggal yang Baik. Semoga bermanfaat.

Jumat, 04 November 2016

Sanggah Kemulan sebagai stananya Sanghyang Triatma






Dalam lontar Usana Dewa juga telah disebutkan bahwa Sanggah Kemulan sebagai stananya Sanghyang Triatma. Yaitu sebagai berikut :
ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh….” (Rontal Usana Dewa, lembar 4)
Artinya :
”Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).”
Demikian juga lontar Gong Wesi, yaitu sebagai berikut:
….. ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga….” (Rontal Gong Wesi, lembar 4b)
Artinya :
“…… nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud”
Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang berstana pada sanggah kemulan adalah Sanghyang Triatma, yaitu;
Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa),
Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana)
dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu).
Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).
Sanggah Kemulan sebagai Stana Leluhur
Dalam lontar Purwa Bhumi disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewa Pitara dan juga distanakan di sanggah kemulan. Yang mana dalam lontar tersebut dijelaskan sebagai berikut dalam terjemahan :
Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.
Dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa sanghyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan berstana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”.
Sanggah Kemulan sebagai konsep dalam pemujaan atman para leluhur kita sebagai bentuk penghormatan kepada beliau, disebutkan perkembangannya :
diawali dengan pembuatan Sanggah Turus Lumbung sebagai tempat suci pekarangan rumah
dan setelah penghuninya agak mampu, barulah mereka membuat bangunan ini untuk mengganti turus lumbung itu dengan bangunan rong tunggal dan rong tiga yang disebut dengan kemulan.
Sanggah Kemulan sebagai Pemujaan Sang Hyang Widhi
Jika renungkan lebih mendalam, mengenai Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Lontar Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
Pada Hakekatnya yang dipuja pada sanggah kemulan adalah Tuhan/ Sang Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Maka dari itu secara umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan stana Bhatara Guru/Hyang Guru.
Jenis Sanggah Kemulan
Sanggah Kemulan biasanya tidak semuanya sama, dapat dibedakan sesuai dengan tempat ataupun kondisinya, yaitu sebagai berikut:
Turus Lumbung, adalah Sanggah Kemulan darurat, karena satu dan lain hal belum mampu membuat yang permanent. Bahannya dari turus kayu dapdap (kayu sakti). Fungsinya hanyalah untuk ngelumbung atau ngayeng Hyang Kemulan atau Hyang Kawitan. Satu tahun setelah membuka karang baru diharapkan sudah membangun Kamulan yang permanen.
Sanggah Penegtegan, adalah kemulan yang berfungsi hanya sebagai tempat negtegang (membuat ketentraman) dengan memuja Hyang Kawitan bagi mereka yang baru berumah tangga. kemulan sejenis ini banyak kita jumpai di daerah Kabupaten Bangli bagian atas. Setiap mereka yang baru kawin diwajibkan membangun sebuah Sanggah rong tiga, sehingga dalam satu pekarangan akan berdiri beberapa yang telah berumah tangga.
Kemulan Jajar, sesuai dengan namanya, kemulan ini memiliki dua saka (tiang) yang berjajar dimuka yang menancap langsung pada bebaturan (palih batur). Disamping itu, Kemulan jenis ini, disamping mempunyai ruang tiga yang berjajar, juga terdiri dari tiga bagian, yaitu : bebaturan, ruang lepitan, dan ruang gedong sampai atapnya. Ruang lepitan letaknya dibawah rong tiga yang berjajar itu. Jadi kalau disimpulkan Kemulan jajar ini terdiri dari jajar horisontal dan jajar vertikal, sebagai simbolis dari Hyang Murti dan Tri Purusa.
Jadi dapat disimpulkan Sanggah Kemulan merupakan stana para atman leluhur, Dewa Pitara / Dewa Hyang ataupun Bhatra Hyang Guru. Kita sujud dan bakti kepada-Nya, merenung dan memohon agar hidup kita ini direstui-Nya dengan kesentosaan.