Dahulu tidak semua orang tahu Weda khususnya yg berhubungan dgn bhakti yoga (ritual) dan Raja yoga (semadi) karena yoga2 dari catur yoga dilaksanakan secara spesifik beda keadaannya dgn sekarang yg lebih mengedepankan hak asasi dan kebebasan. Jaman dahulu masyarakat terikat dgn ketat disiplin (tapa) dan profesi warna. Orang yg memilih warna ksatria lebih dominan kpd karma yoga dan jnana yoga (kejujuran, keberanian, konsekwen), orang yg memilih warna wesyadan atau sudra tentu karma yoga lebih ditekankan. Orang dgn warna brahmana bhakti yoga, jnana dan raja yoga haruslah dominan dalam kehidupan sehari-hari karena kaum brahmana punya kewajiban untuk menjaga keselamatan negara dan rakyat melalui doa sehari-hari (puja surya sewana). Sekarang semuanya sudah rancu yg penting itu urusan pribadi kata orang sehingga antara warna/profesi dgn yoga/kegiatannya kadang2 tidak nyambung. .......
Label
- Bali inspiration
- Bali Masa Depan
- basa Bali
- Bersenang-senang dengan devanagari
- Bhagavad Gita
- Cafe Herbal
- Caru
- Dewa Yadnya
- English for kids
- Gamelan
- Hindu bilingual
- Jenis Banten
- Jual Banten
- Karya Ngenteg Linggih
- Macam-macam Banten
- Macam-macam Tebasan
- Manusa Yadnya
- Memukur
- Panca Sembah
- Pitra Yadnya
- pustaka
- Rerainan
- Sampyan
- saMskrtam
- Satua
- Sesayut
- Tetandingan
- Toko OnLiNe jualan onlain
- Upacara upakara
- Uparengga
- Yoga Bali
Minggu, 06 September 2015
tiga cara untuk menuju Moksa
Menurut ajaran Waisnawa ada tiga cara untuk menuju Moksa, yaitu Karma Marga, Bhati Marga dan Jnana Marga (Phalgunadi, 2006; 34). Dan harus berguru pada Yogi putus
.
Sejatinya pemujaan terhadap Wisnu sebagai pencipta dan pelindung alam semesta ini telah dikenal sejak Weda pertama diturunkan sekitar 6000 tahun Sebelum Masehi.
Reg Weda Sukta….. menyebutkan:
a. Ato Dewa awantu no yato Wisnurwicakrame perthiwyah sapta dhamabhih
b. Idam Wisnurwi cakrame tredha ni dadhe padam, samuhlamasya pamsure
c. Trini pada cakrame Wisnurgopa adabhya, ato dharmani dharayan
d. Wisnoh karmani pasyata yato wratani paspace Indrasya yujyah sakta
e. Tad Wisnoh param sada pacyanti surayah, diwiwa caksuratatam
f. Tad wipraso wipanyawo jagrwamsah samindhate. Wisnoryat parama padam
.
Artinya:
a. Semoga dewa-dewa mengasihi kami dari jauh, (dari) tempat Wisnu di alam (rohani) lapisan ke tujuh
b. Dari AlamNya Wisnu berjalan, kakiNya diayunkan, dan terciptalah Alam Ciptaan ini dari debu-debu kakiNya
c. Wisnu, sang pengawal, dia tidak pernah berbohong, dengan melangkah tiga langkah, Dia melaksanakan kekuasaan-Nya yang amat tinggi.
d. Lihatlah karya Wisnu, dengan demikian kawan dekat Indra itu, telah memperlihatkan karya suciNya
e. Para pemuja pandanglah terus tempat yang maha tinggi, tempat Wisnu, lihatlah seolah-olah dari mata langit (mata ketiga).
f. Inilah Singgasana Wisnu, yang Agung, para penyanyi selalu awas, pencipta nyanyian suci memuliakanNya.
.
Dari (mantra) doa pujaan ini dapat dimaknai:
• Singgasana Wisnu yang Agung ini ada di Alam tertinggi, Alam Rohani lapis ke tujuh (langit lapis ke tujuh); yaitu Satya Loka (Wilayah Kebenaran Sejati).
• Dari Alam Abadi, Wisnu datang, dan dengan mengayunkan kakinya melangkah 3 (tiga) langkah Dia menciptakan Tri Loka dan Alam Semesta ini dengan debu-debu kakinya.
• Wisnu adalah Kebenaran Sejati, kawan dekat Indra, menunjukan (menciptakan) kekuasaan Maha Suci dan tertinggiNya; sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pemralina.
• Para pemujanya dapat melihat, mendengarkannya dengan cara memusatkan perhatian terus pada yang bagaikan “Mata Langit” (mata ketiga/ batin), dengan cara selalu awas (jaga, tidak tertidur; mencapai Samadhi) dan pasti dimuliakan oleh Sang pencipta Sabda.
BANYU PINARUH
"Adbhirgatrani cuddhyanti manah satyena cuddhyati, widyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena cuddhyati.
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa disucikan dengan pelajaran suci dan tapa brata,kecerdasan dengan pengetahuan yang benar.
"Api ced asi papebhyah, sarwabheyah papa krt tamah, sarwa jnana peavenaiva urijinam santarisyasi.
Walau engkau paling berdosa diantara manusia yang memiliki dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan, lautan dosa akan dapat engkau sebrangi.
Menawa Dharmasasrta
Bhagavad Gita
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
BACA JUGA :
FILSAFAT ARI-ARI
Dagang Banten Bali |
Ketika terjadi sebuah kelahiran dalam keluarga Hindu Bali, sering kita jumpai sebuah tempat menanam ari-ari yang diatasnya diisi tabunan api dan sanggah cucuk.
Dalam lontar tutur rare angon disebutkan sebagai berikut:
“Nihan tegesin katatwaning ari-ari ika, pinaka sawa, karananing ari-ari ika kawangsuh den abersih, mabungkus antuk kasa madaging anget-anget, mawadah klapa, klapa ika mawak padma, raris mapendem, ring luhuring amendem madaging kembang wangi, ring sandingnya madaging baleman mwang sundar, sanggah”.
Artinya:
“Inilah makna filsafat ari-ari, ari ari itu diumpakan sebagai mayat, makanya ari-ari itu harus dicuci atau dimandikan hingga bersih, dibungkus dengan kain kafan (kasa) yang berisi rempah-rempah, berwadahkan kelapa, kelapa itu sebagai padma, lalu dipendam, diatas pendaman itu berisi kembang wangi, didekatnya berisi baleman (tabunan api) dan juga pelita, sanggah (sanggah cucuk)”.
Selanjutnya disebutkan:
“Sundar pawaking angenan, sanggah pawaking Prajapati, baleman pawaking pangesengan sawa, ari-ari pawaking sawa”.
Artinya:
“Sundar (pelita) itu simbul dari angenan (pelita pada mayat manusia ketika upacara ngaben), sanggah (sanggah cucuk) melambangkan Prajapati, baleman (tabunan api) simbul dari pembakaran mayat, ari-ari sebagai mayat”.
Selanjutnya disebutkan:
“Lawasnya anggawe baleman abulan pitung dina, yan tan samangkana, tan sida gseng sawa ika”.
Artinya:
“Adapun lama dari waktu pembuatan baleman tersebut adalah 1 bulan 7 hari (42 hari), apabila tidak demikian, tidak akan terbakar habis mayat itu”.
Dari pemaparan di atas jelas dikatakan adalah proses penanaman ari-ari dan disertai tabunan api diatasnya adalah proses ngeseng (pembakaran/kremasi) pada ari-ari, yang tidak ubahnya sebagai pembakaran mayat.
Lama waktu prosesnya adalah 42 hari, atau sampai akambuhan (prosesi bayi 42 hari). Dan biasanya pada prosesi bayi akambuhan diawali dengan caru, yang memiliki fungsi pembersihan segala hal negatif atas proses ngeseng ari-ari tersebut.
Tidak ada yang tahu persis kapan pastinya tradisi menggantung ari-ari ini dimulai. Konon katanya, tradisi ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Warga Bayunggede meyakini bahwa tradisi ini ada kaitannya dengan asal mula terbentuknya Desa Bayunggede. Dikisahkan manusia pertama di Bayunggede terlahir dari tued (kayu yang telah dipotong dan tersisa pangkalnya) yang kemudian dihidupkan oleh Tirta Kamandalu oleh kera putih yang merupakan putra dari Bhatara Bayu.
SANG NACHIKETA
Dikisahkan seorang anak yg bernama Nachiketa anak seorang Rsi yang bernama Wajasrawa. Ia adalah pemuja dewa kematian atau Yamadipati.
Ia kerap menghaturkan kurban anak perjaka pada hari-hari tertentu kepada Dewa Yama. Namun naas pada saat ini Rsi Wajasrawa kehabisan kurban untuk dihaturkan kepada sang dewa pujaan.
Ia gelisah tak menentu. Nachiketa tahu ayahnya gelisah binggung tak mendapatkan kurban yang akan dihaturkan kepada dewa kematian. Karena rasa bhakti yg tinggi kepada orang tuanya ia bersedia dikurbankan.
Singkat cerita, Sang Nachiketa berangkat menghadap Dewa Yama. Di depan pintu istananya ia dicegat oleh Jogormanik sang penjaga istana. Lalu ia bertanya; siapa kamu nak? Nachiketa pun menjawab, saya putra Rsi Wajasrawa yg akan dikorbankan untuk Dewa maut.
Sang Jogormanikpun tertegun akan sikap satria sang Nachiketa, seraya memberitahukan Dewa Yama tidak ada di istananya dan kebetulan beliau sedang melakukan yoga semadhi.
Selama 3 hari 3 malam sang Nachiketa menunggu tanpa diberi suguhan apapun. Sampai akhirnya Dewa Yama kembali keistananya dan dengan heran mendapati seorang anak belia yg menunggunya.
Dewa Yama pun bertanya, siapa kamu nak? dan Nachiketa pun segera menjawab, hamba Nachiketa paduka raja kematian, hamba putra Rsi Wajasrawa yang akan di korbankan untuk paduka.
Dewa Yama pun tertegun akan kepasrahan sang Nachiketa serta kagum akan rasa bhaktinya terhadap orang tua, ia rela dijadikan kurban karena rasa bhakti orang tuanya kepada dewa sesembahannya.
Akhirnya Dewa Yama urung menjadikan Sang Nachiketa sebagai kurban, dan berbalik malah memberikan ia hadiah. Bersabdalah Dewa Yama kepada Nachiketa. Wahai anak ku Sang Nachiketa, karena engkau tulus dan bhakti terhadap orang tuamu dan bersedia dengan sabar menungguku 3 hari 3 malam kau berpuasa tidak makan dan minum maka dengan ini aku akan memberikanmu hadiah.
Aku beri kau hadiah dan katakan permintaan apapun yang kau mau akan ku berikan, apa kau mau kekayaan yang berlimpah, dan istri cantik seperti bidadari kahyangan serta jabatan yang tinggi?
Lacur, Sang Nachiketa menolak hadiah yg disebutkan Dewa Yama itu. Mohon maaf paduka Raja Kematian, kalau paduka berkenan bukan hadiah itu yang hamba inginkan. Katakan apa yg engkau inginkan pasti aku kabulkan.
Mohon maaf paduka raja, kalau paduka berkenan hamba ingin tahu apa rahasia hidup dan mati itu? Waduh cilaka.... sang Nachiketa, apa tak ada permintaan yg lain selain itu, para dewata sekalipun tak pernah aku beri tahu akan hal itu... !!!
Karena sebagai raja dewa kematian harus satya wacana, maka berkenanlah beliau menceritakan dan mengajarkan rahasia hidup dan kematian yang menjadi cikal bakal ajaran Raja Yoga...... Seperti yg dikisahkan dalam Katha Upanisad
Selamat Hari Raya Idul Kurban bagi saudaraku yg merayakanya........
Pengertian Hari Raya Kuningan
.......................................
Hari Raya Kuningan yang dirayakan umat Hindu 10 hari setelah Hari Raya
Galungan ditandai dengan ciri khas sejumlah sarana, seperti tamiang,
endongan, ter atau pun sampian gantung. Sarana itu dipahami sebagai
simbol-simbol yang identik dengan alat-alat perang. Apa makna di balik
simbol alat-alat perang itu?
.............................................................................
Sarana paling khas dan paling simbolik dalam perayaan Kuningan tentu saja tamiang. Kata tamiang mengingatkan pada tameng, sebentuk alat perisai yang lazim digunakan dalam perang. Saat Kuningan, tamiang dipasang di pojok-pojok rumah dan di palingih-palinggih (bangunan suci).
Selain tamiang, ada juga sarana lain, yakni endongan. Menurut Kamus Bali-Indonesia (Dinas Pendidikan Dasa Provinsi Bali, 1991) kata endongan diartikan sebagai ‘tempat bekal dari tapis kelapa’.
.............................................................................
Tamiang kerap dimaknai sebagai simbol perlindungan diri. Tamiang, jika melihat bentuknya yang bulat, juga sering dipahami sebagai lambang Dewata Nawa Sanga yang menjadi penguasa sembilan arah mata angin. Tamiang juga melambangkan perputaran roda alam atau cakraning panggilingan yang merujuk pada pemahaman tentang kehidupan yang diibaratkan sebagai perputaran roda.
.............................................................................
Endongan biasanya dimaknai sebagai alat atau wadah untuk menempatkan perbekalan. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala.
.............................................................................
Sarana upacara yang identik dengan alat-alat perang ini memang sarat makna. Namun, pertanyaan yang kerap mengemuka, mengapa hari raya Kuningan diwarnai dengan sarana upacara yang identik dengan alat-alat perang?
.............................................................................
Bukan hanya hari Kuningan yang diwarnai dengan sarana yang merujuk pada perlengkapan perang. Hari Galungan yang dirayakan sepuluh hari sebelumnya juga sarat dengan simbol-simbol peperangan. Pemakanaan Galungan sebagai hari kemenangan atau hari kemenangan perang menegaskan hal itu. Pemasangan penjor juga merujuk pada simbol dipancangkannya panji-panji kemenangan.
.............................................................................
Hari raya memang dimaksudkan untuk senantiasa mengingatkan manusia tentang hakikat jati dirinya sebagai manusia sekaligus memahami hakikat kehadirannya dalam hidup dan kehidupan.
.............................................................................
Hidup pada hakikatnya memang sebuah peperangan. Sepanjang hidupnya, manusia tiada henti berhadapan sebuah peperangan panjang. Sejarah umat manusia pun, jika diselami, lebih dalam sejatinya adalah sejarah perang.
.............................................................................
Bagi Hindu, perang dalam kehidupan berwujud perang fisik di bhuwana agung (alam makrokosmos) maupun perang batin di bhuwana alit (alamt mikrokosmos). Justru, perang batin yang berkecamuk dalam hati itulah perang terbesar, terhebat dan terdahsyat. Inilah perang yang tidak pernah berhenti dan bahkan lebih sering menghadirkan kekalahan bagi manusia.
.............................................................................
Dalam konteks perang batin, manusia mesti membentengi diri dengan tamiang (tameng) yang tiada lain berupa pengendalian diri (indria). Kemampuan mengendalikan diri adalah cerminan kesadaran akan hakikat dan jati diri sang Diri (uning ‘tahu’ atau eling ‘sadar’). Mungkin itu sebabnya yang mendasari lahirnya nama hari raya Kuningan (kauningan). Pada hari Kuningan yang dipuja tiada lain Dewa Indra, manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa pengendalian dasa indria (sepuluh musuh dalam diri manusia). Saat hari Kuningan, manusia disadarkan untuk uning, eling dengan selalu mengendalikan indrianya.
.............................................................................
Namun, untuk senantiasa memenangkan “peperangan” dalam hidup, manusia harus memiliki bekal yang cukup. Bekal itu disimbolkan dengan endongan. Isi endongan tiada lain semesta hidup. Bekal itu dilengkapi juga dengan ter (panah) sebagai senjata. Senjata utama manusia dalam hidup tiada lain ketajaman pikiran atau kualitas pikiran. Ketajaman pikiran ditopang oleh jnana (ilmu pengetahuan).
.............................................................................
.............................................................................
Sarana paling khas dan paling simbolik dalam perayaan Kuningan tentu saja tamiang. Kata tamiang mengingatkan pada tameng, sebentuk alat perisai yang lazim digunakan dalam perang. Saat Kuningan, tamiang dipasang di pojok-pojok rumah dan di palingih-palinggih (bangunan suci).
Selain tamiang, ada juga sarana lain, yakni endongan. Menurut Kamus Bali-Indonesia (Dinas Pendidikan Dasa Provinsi Bali, 1991) kata endongan diartikan sebagai ‘tempat bekal dari tapis kelapa’.
.............................................................................
Tamiang kerap dimaknai sebagai simbol perlindungan diri. Tamiang, jika melihat bentuknya yang bulat, juga sering dipahami sebagai lambang Dewata Nawa Sanga yang menjadi penguasa sembilan arah mata angin. Tamiang juga melambangkan perputaran roda alam atau cakraning panggilingan yang merujuk pada pemahaman tentang kehidupan yang diibaratkan sebagai perputaran roda.
.............................................................................
Endongan biasanya dimaknai sebagai alat atau wadah untuk menempatkan perbekalan. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala.
.............................................................................
Sarana upacara yang identik dengan alat-alat perang ini memang sarat makna. Namun, pertanyaan yang kerap mengemuka, mengapa hari raya Kuningan diwarnai dengan sarana upacara yang identik dengan alat-alat perang?
.............................................................................
Bukan hanya hari Kuningan yang diwarnai dengan sarana yang merujuk pada perlengkapan perang. Hari Galungan yang dirayakan sepuluh hari sebelumnya juga sarat dengan simbol-simbol peperangan. Pemakanaan Galungan sebagai hari kemenangan atau hari kemenangan perang menegaskan hal itu. Pemasangan penjor juga merujuk pada simbol dipancangkannya panji-panji kemenangan.
.............................................................................
Hari raya memang dimaksudkan untuk senantiasa mengingatkan manusia tentang hakikat jati dirinya sebagai manusia sekaligus memahami hakikat kehadirannya dalam hidup dan kehidupan.
.............................................................................
Hidup pada hakikatnya memang sebuah peperangan. Sepanjang hidupnya, manusia tiada henti berhadapan sebuah peperangan panjang. Sejarah umat manusia pun, jika diselami, lebih dalam sejatinya adalah sejarah perang.
.............................................................................
Bagi Hindu, perang dalam kehidupan berwujud perang fisik di bhuwana agung (alam makrokosmos) maupun perang batin di bhuwana alit (alamt mikrokosmos). Justru, perang batin yang berkecamuk dalam hati itulah perang terbesar, terhebat dan terdahsyat. Inilah perang yang tidak pernah berhenti dan bahkan lebih sering menghadirkan kekalahan bagi manusia.
.............................................................................
Dalam konteks perang batin, manusia mesti membentengi diri dengan tamiang (tameng) yang tiada lain berupa pengendalian diri (indria). Kemampuan mengendalikan diri adalah cerminan kesadaran akan hakikat dan jati diri sang Diri (uning ‘tahu’ atau eling ‘sadar’). Mungkin itu sebabnya yang mendasari lahirnya nama hari raya Kuningan (kauningan). Pada hari Kuningan yang dipuja tiada lain Dewa Indra, manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa pengendalian dasa indria (sepuluh musuh dalam diri manusia). Saat hari Kuningan, manusia disadarkan untuk uning, eling dengan selalu mengendalikan indrianya.
.............................................................................
Namun, untuk senantiasa memenangkan “peperangan” dalam hidup, manusia harus memiliki bekal yang cukup. Bekal itu disimbolkan dengan endongan. Isi endongan tiada lain semesta hidup. Bekal itu dilengkapi juga dengan ter (panah) sebagai senjata. Senjata utama manusia dalam hidup tiada lain ketajaman pikiran atau kualitas pikiran. Ketajaman pikiran ditopang oleh jnana (ilmu pengetahuan).
.............................................................................
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
Mantra Untuk Menghindari dari Malapetaka
Mantra Untuk Menghindari dari Malapetaka
Mantra:Om Sarwa Papa Wina Sani Sarwa Papa Winasani Sarwa Klesa Winasanam Sarwa Bhotam Awapnuyat
Arti:Ya Tuhan Yang Maha Kuasa,terimalah semua persembahan kami,semoga semua penderitaan musnah,semua kotoran,hina hamba,kekeliruan dan dosa hamba diampuni dan semua bhuta-bhuti tidak mengganggu.
Langganan:
Postingan (Atom)