Senin, 03 Agustus 2015

MENUKAR ”ANUGRAH” DENGAN ”BABI GULING”





Entah kapan dimulainya masyarakat Hindu di Bali sangat umum melakukan persembahan ”Babi Guling” dalam suatu acara, apakah piodalan, hari baik, atau sekedar Nawur Sesangi (bayar janji). Kenapa Nawur sesangi? Umumnya ketika umat ini menghadapi suatu masalah, atau ada keinginan tertentu seperti naik pangkat, anak dapat sekolah, atau sehat dari sakit, dll maka kepasrahan rupanya tidak cukup jadi perlu perjuangan atau menjanjikan sesuatu kepada sang Pencipta, atau agar tidak dibilang tidak tahu terima-kasih, maka Hyang Whidi dijanjikan Babi Guling, padahal semua yang ada didunia ini termasuk kita adalah ciptaan beliau, kenapa harus dipersembahkan babi guling ini kepada beliau?. Waktu berjalan dan suatu saat tercapai niatnya, maka pada hari yang dianggap baik dipersembahkanlah Babi Guling, ibaratnya Anugrah diterima, babi guling dipersembahkan, ini seperti barter anugrah ditukar dengan babi guling. Bentuk lain adalah persembahan babi guling ditujukan kepada ”Penunggun Karang/Penglurah” yang sebenarnya Bhuta (Bhuta Dewa/satpam para Dewa), jika ini dilakukan maka sudah tidak percayakah umat pada Hyang Whidi sehingga harus meminta pada Bhuta. Fenomena seperti ini sudah berlangsung secara turun temurun dan menjadi kebiasaan sehingga umat banyak yang tidak tahu atau tidak perlu tahu apakah cara-cara itu dibenarkan menurut ajaran Hindu. Yang menjadi pertanyaan apakah sudah seperti itu pola pikir masyarakat akan makna persembahan, sebebelum sampai kesitu coba kita simak kenapa ada persembahan Babi Guling kepada Hyang Whidi atau Penunggun Karang.
Seperti diketahui jaman dulu kita belum mengenal nama Hindu seperti sekarang ini, yang ada adalah sebuah Mazab/Sekte/Pakse yang merupakan penonjolan Ista Dewata tertentu, sehingga ada : Sekte Siwa, Sekte Waisnawa, Sekte Bhairawa, juga ada sekte Budha, dll dimana pada abad XI oleh Mpu Kuturan di Bali sudah di-fusi menjadi satu dengan pemujaan Ista Dewara Tri Murti dalam bentuk Pelinggih Kemulan Rong Tiga dan ditingkat desa berupa Desa Pakraman dengan Pura Desa, Dalem, dan Puseh. Rupanya fusi ini tidak otomatis menghilangkan salah satunya atau memunculkan sesuatu yang baru sama sekali karena ciri khas sekte itu masih ada, sebut saja : Sekte Bhairawa yang disebutkan dalam persembahyangan perlu mabuk, sehingga yang masih bisa dilihat sekarang Caru dengan tuak/arak, pemotongan binatang/darah binatang, persembahan Babi Guling, bahkan lawarpun konon peninggalan dari para penganut sekte Bhairawa, sehingga sekarang ini tidak mudah memisahkan hal itu dari kebiasaan masyarakat. Apakah kemudian kita berhenti makan lawar atau berhenti mempersembahkan Babi Guling? tentunya sebelum memutuskan itu alangkah baiknya disimak dulu apa sebenarnya makna persembahan bagi kita? Kepada siapa persembahan itu ? Hyang Whidi, Ista Dewata, Bhatara, Leluhur, atau Bhuta Penunggun karang/Panglurah. Coba kita lihat pertama dari sikap, itu saja sudah dibedakan, sikap pada Hyang Whidi, Ista Dewata atau Bhatara dengan tangan dicakupkan didahi menghadap keatas, sementara kepada leluhur didepan hidung, kepada sesama didada, dan kepada bhuta didada menghadap kebawah. Selanjutnya sarana sembahyang bagaimana ?. Disebut dalam Bhagawad-Gita sbb : ”patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, Tad aham bhakty-upahrtam asmani prayatatmanah “ (Kalau seseorang mempersembahkan daun,bunga,buah atau air, dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya. Bhagavad-Gita 9.26), jadi tidak pernah tersurat disana persembahan dengan binatang atau babi guling. Kita lihat lagi sarana persembahan : “Banten Pejati”, menekankan kesejatian bhakti kita, “banten suci” mengandung pesan hati yang suci diwaktu bersembahyang, “Pareresik (Byekaon,durmenggala,prayascita)” mengandung makna pensucian tiga alam Bhur-Bwah-Swah loka, pada diri manusia Bhur=pusar kebawah, Bwah=pusar sampai leher, Swah=kepala, dan bentuk sarana lainnya seperti Canang, dan lain-lain, semua persembahyangan itu justru merupakan pesan kesucian bagi para penyembah (Bhakta). Lalu bagaimana yang punya kemampuan menari mempersembahkan tarian, yang bisa menabuh dengan megamel, atau yang punya pohon mangga mempersembahkan mangga, dll bukankah itu juga dipersembahkan kenapa boleh, itu semua merupakan “ucapan terima-kasih” karena Hyang Whidi telah memberikan anugrah buat kita berupa pengetahuan dan hasil bumi. Kalau begitu benar bukan, kalau Babi guling juga dipersembahkan? Untuk ucapan terima-kasih terkait dengan hewan termasuk Babi, ada “tumpek kandang” namanya, tetapi pada hari itu tidak ada penyembelihan hewan tersebut ! Memang ada disuatu desa yang penulis tahu sehubungan dengan babi mereka beranak-pinak, maka dipersembahkan babi yang terkecil untuk dipersembahkan (di-guling), tetapi sebenarnya itu tidak sejalan dengan makna tumpek kandang, jadi hanya dikai-kaitkan agar dapat mempersembahkan babi guling atau bisa makan babi guling. Kalau kita tanya bagi sebagian umat yang mempersembahkan babi guling, umumnya mereka tidak mengerti itu pengaruh sekte Bhairawa, atau tidak mempertanyakan itu ada dasar sastranya atau tidak, yang mereka tahu mereka masih suka makan babi guling dan sebelum dimakan maka dipersembahkan dulu kepada Hyang Whidi sehingga lungsuran/prasadam yang dimakan jadi tidak makan dosa. Sekilas kelihatannya benar, namun ada cara yang lebih mengena, sebelum memotong babi lakukan permohonan “tirta pengentas” agar si Babi dikelahiran nanti bisa menjadi lebih baik, misalnya menjadi manusia karena kita umat Hindu percaya dengan re-inkarnasi, dan ketika akan menikmatinya boleh saja bersembahyang dulu atau panjatkan doa ucapan terima-kasih karena telah dianugrahi babi sehingga bisa disantap dengan benar (bukan menyantap dosa). Penulis berharap walau tidak dipaksakan, secara pelan-pelan kesenangan makan daging termasuk babi guling sebaiknya dikurangi kalau bisa dihilangkan, karena ketika makan daging sesungguhnya sifat-sifat raksasa yang masih ada pada diri manusia menjadi dominan, seharusnya sifat-sifat dewata yang dominan sehingga kita tidak perlu menyantap daging, jika memungkinkan yang dimakan adalah “Catur Kahuripan yaitu : daun, buah, bunga, akar/umbi, karena makanan tersebut secara ilmu kesehatan adalah makanan sehat apalagi bagi yang sudah usia diatas 40 tahun. Selanjutnya sesuai ajaran Catur Asrama kita bisa menapak fase ketiga (Wanaprastha) dengan mulai banyak belajar Weda, mulai sering tirta-yatra ke pura-pura atau petilasan, atau melakukan japa dirumah. Dengan pola seperti ini kita juga telah mendukung “Global Warming” karena mereka menyebutkan penyembelihan hewan dan makan daging hewan juga termasuk yang ikut andil terhadap pemanasan global. Akhirnya apapun yang kita lakukan akan ada pahalanya sesuai ajaran Kharma Phala, jika yang suka makan daging atau yang tidak makan daging bahkan vegetarian, akan mendapat pahala masing-masing, minimal dari sisi kesehatan yang tidak bisa ditukar dengan babi guling, beda halnya engan hari raya Galungan umat di wajibkan memakai sesajen daging babi untuk di persembahkan kepada sangyang kala tiga, (karena kesehatan adalah terkait dengan pola hidup khususnya pola makan. Semoga semua mahluk saling menyayangi .. Aum


Dagang banten bali


Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini



Selasa, 28 Juli 2015

Anak petani jadi TNI terbaik

Letnan Dua Angger Panduyuda, putra petani asal Gunungkidul, Yogyakarta, menjadi lulusan terbaik Akademi Militer tahun 2015.

"Orangtua saya petani," kata Angger ketika dijumpai di Akademi Kepolisian Semarang, Senin (27/7/2015)

Angger merupakan satu dari ratusan lulusan empat akademi di TNI-Polri yang akan dilantik kelulusannya oleh Presiden Joko Widodo.

Pendidikan militer putra pasangan Iswandi dan Dwi Supriyanti tersebut berawal ketika dirinya diterima di Sekolah Taruna Nusantara Magelang. "Setelah ikut olimpiade nasional diterima masuk ke Taruna Nusantara. Kemudian dapat beasiswa KSAD," ungkap Angger.

Menurut dia, kelancaran dan kesuksesan dalam menempuh pendidikannya ini tidak lepas dari dukungan kedua orangtua. Angger merupakan satu dari empat lulusan terbaik masing-masing akademi TNI dan Polri yang akan memperoleh penghargaan Adhi Makayasa.

 http://www.hindugaul.com/index.php/anak-muda-hindu/97-ini-dia-anak-petani-yang-jadi-lulusan-terbaik-akademi-militer-ri


 22



 semoga jadi pejabat dan tidak masuk penjara


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Pura Mekah

  http://kanduksupatra.blogspot.com/
 
Pura Mekah berada di kawasan Denpasar, tepatnya di Banjar Binoh Kaja, desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Barat. Di sebelah selatan jalan  Tohjaya, Denpasar. Pura ini terletak di pemukiman penduduk, pengemongnya yang berjumlah kurang lebih 25 KK. Pura Mekah ini tidaklah terlalu luas, namun memiliki jeroan dan jaba pura. Di bagian jeroan terdapat pelinggih gedong Hyang, gedong Ratu Gede, penglurah, tajuk pepelik, bale pawedan, dll. Pintu masuk ke jeroan pura adalah sebuah candi kurung yang memang sedikit unik, dimana di bagian atasnya berbentuk kejawen.

Dagang Banten Bali


Seorang penglingsir keluarga pengempon menceritakan hal ikwal pura Mekah. Namun ia secara jujur mengakui tidak banyak yang dapat ia ceritakan mengenai keberadaan pura tersebut. Ia sudah mewarisi apa yang mereka lakukan selama ini. “Saya tidak tahu banyak tentang nama Mekah sebagai nama pura tersebut. Yang jelas bukan berarti kiblat“. Demikian kata seorang penglingsir pura tersebut. Namun narasumber yang dapat menjelaskan keberadaan pura ini sudah tidak ada lagi, ditambah dengan tidak adanya sumber tertulis yang memuat kisah tersebut, maka ia mencoba untuk menanyakan hal tersebut kepada orang pintar. Dan didapat sebuah bawos atau penika bahwa pura tersebut konon bukan mekah tetapi megah atau megeh yang artinya besar atau tinggi. Hanya sampai di situ saja. Dan didapat pula bahwa pura tersebut adalah penyungsungan dari warga keturunan Arya Kepakisan.


KISAH NYATA dari Jepang




KISAH NYATA
Di Jepang dulu pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke hutan.
Mereka yg dibuang ialah orang tua yg sudah tidak berdaya sehingga tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya.
PADA s/ hari, ada seorang Pemuda yg berniat membuang ibu-
nya ke hutan, itu karena si ibu sudah lumpuh dan agak pikun.
Si Pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya. Si Ibu yg kelihatan tak berdaya berusaha
menggapai setiap ranting pohon yg bisa diraihnya lalu mematah-
kannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yg mereka lalui.
Sesampai di dalam hutan yg sangat lebat, si anak menurunkan
ibu tsb dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha me-
nahan sedih karena ternyata dia tidak menyangka tega melakukan
perbuatan ini terhadap ibunya.
Justru si Ibu yg tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata,
"Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Sejak kecil sampai dewasa,
Ibu selalu merawatmu dg segenap cintaku.
Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikit pun.
Tadi Ibu sudah menandai sepanjang jalan yg kita lalui dg ranting-
ranting kayu. Ibu takut kamu tersesat, ikutilah tanda itu agar kau
selamat sampai di rumah."
Setelah mendengar kata-kata tsb, si anak menangis dg sangat
keras, kemudian langsung memeluk ibunya dan kembali menggen-
dongnya u/ membawa si Ibu pulang ke rumah.
Pemuda tsb akhirnya merawat Ibu yg sangat mengasihinya sampai
ibunya meninggal.
Orang tua BUKAN BARANG RONGSOKAN yg bisa dibuang atau
diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. Karena saat engkau sukses a/ saat engkau dalam keadaan susah, hanya orang tua yg
mengerti kita dan bathinnya akan menderita kalau kita susah.
'Orang tua' tidak pernah meninggalkan kita, bagaimana pun keadaan kita, walau pun kita pernah kurang ajar kepada orang tua.
Namun 'orang tua' kita akan tetap mengasihi kita sampai kapan pun.



- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Berjapha



Rumah Dharma - Hindu Indonesia
18 jam ·
copas
Rumah Dharma mendapatkan beberapa permintaan dari saudara-saudara dharma untuk meringkas tata cara japa mantra dari e-book Mantra Yoga. Inilah tata cara japa mantra dalam bentuk yang paling seringkas-ringkasnya.
1. MENGUNDANG.
Undanglah kehadiran Ista Dewata pengayom dan pelindung pribadi kita, atau kalau tidak tahu, undang kehadiran Ista Dewata yang paling kita suka atau paling menginspirasi kita. Caranya ambil japa-mala yang kita kalungkan di leher. Tampilkan mudra namaskara [mencakupkan tangan di dada] sambil memegang japa mala. Duduk tenang dalam posisi meditasi, pejamkan mata dan kita konsentrasi melakukan dhyanawidhi [melakukan visualisasi atau membayangkan]. Visualkan di hadapan kita terbentang langit biru dan awan-awan putih yang indah. Visualkan atau bayangkan Ista Dewata hadir disana, dengan wujud Ista Dewata hidup dan berpendar cahaya. Sebagaimana tertulis di dalam kitab-kitab suci Hindu bahwa siapapun yang memikirkan Ista Dewata dengan kuat, akan mengundang kehadiran Beliau. Rasakan dengan hati dan dengan sraddha [keyakinan] bahwa Beliau hadir di hadapan kita.

Dagang Banten Bali


2. MEMOHON.
Tampilkan mudra puja mencakupkan tangan di kening dan sampaikan doa atau permohonan kita. Ini kita sampaikan dengan kata-kata sendiri, sambil tetap melakukan visualisasi [membayangkan] kehadiran Ista Dewata di langit biru dan awan putih di hadapan kita. Jika kita sedang bersedih, bukalah hati kita dengan semua perasaan duka dan sakit yang kita rasakan. Silahkan curhat kepada Beliau tentang masalah yang kita alami dan benar-benarlah minta pertolongan. Jika kita sedang bahagia, sampaikan bahwa kita mempersembahkan karma baik dari penjapaan mantra kita untuk orang lain [mungkin untuk keluarga, orang dekat, atau siapapun]. Ini bertujuan untuk menumbuhkan dan membangun hati belas kasih dan tidak mementingkan diri sendiri.
3. MEMANGGIL.
Pegang dan gunakanlah japa-mala di dada dengan cara penjapaan mantra, sambil tetap melakukan visualisasi [membayangkan] kehadiran Ista Dewata di langit biru dan awan putih di hadapan kita, serta ucapkan mantra Ista Dewata dengan sepenuh hati. Misalnya [contoh] Dewi Saraswati, japakan mantra OM AIM SARASWATYAI NAMAHA. Atau misalnya Dewa Shiwa, japakan mantra OM NAMAH SHIWAYA. Mantra-mantra suci Ista Dewata yang telah digunakan selama ribuan tahun oleh jutaan mahluk sebagai sumber kesembuhan jiwa, pemurnian dan perlindungan. Ketahuilah bahwa di alam-alam suci para Ista Dewata selalu ada untuk kita. Mendengarkan kita, memahami kita dengan belas kasih tanpa syarat, tanpa pernah menghakimi kita.
4. MALINGGIHKAN ISTA DEWATA DI DALAM DIRI
Setelah selesai menjapakan mantra, tangan tetap di dada memegang japa mala. Visualkan seluruh tubuh Ista Dewata memancarkan cahaya suci berwarna putih sangat terang dan kemudian wujud Beliau lebur sepenuhnya menjadi cahaya suci. Lalu cahaya suci putih terang ini bergerak diatas kita dan masuk ke dalam diri kita melalui chakra sahasrara atau chakra mahkota. Cahaya suci ini terserap menyatu dengan diri kita. Membuat badan kita sepenuhnya lebur ke dalam wujud cahaya suci putih terang benderang. Yang menyembuhkan jiwa kita, memurnikan kita, mengalirkan kekuatan belas kasih dan kebijaksanaan-Nya dan mengubah semua kesedihan kita menjadi ketenangan dan kedamaian. Terus pertahankan visual badan kita menjadi wujud cahaya suci putih terang benderang-Nya, sampai kita dapat merasakan bahwa antara diri kita dengan Ista Dewata menjadi satu.
Lakukan semua latihan sadhana Mantra Yoga ini setiap hari berulang kali dengan tekun. Mengundang Beliau, menjapakan mantra suci-Nya dan meleburkan diri kita dengan kekuatan suci-Nya. Seiring waktu nanti perlahan-lahan kesengsaraan dan kegelapan bathin kita akan dileburkan ke dalam ketenangan dan kedamaian. Kita akan menyadari dengan kesadaran bahwa Ista Dewata tidak berada diluar diri kita, Beliau selalu hadir bersama kita.
Selengkapnya silahkan buka :
tattwahindudharma.blogspot.com