Perjalanan beliau pertama menuju Gunung Dumalung di Hyang yang disebut gunung Hyang atau Dewata. Namun disana sudah ada pertapaan Sang Ida putra Rsi Trenawindhu yang merupakan murid dari Sang Hyang Maharsi
Agastya. Yang telah bertapa di tanah Jawa dan telah berbaur dengan Sapta Rsidi sana.
Dan itulah sebabnya Hyang Mahayogi Merkandeya pergi ke tempat lain yaitu Gunung Raung, Jawa timur. Disana beliau bertapa dan membangun pesraman, dan pada suatu hari Belau mendengar Sabda Dari
Akasa dan melihat sinar menjulang ke Akasa,
Sabda didengar dari leluhur
Beliau Hyang Jagatnatha, dan Sabda itu memerintahkan Mahayogi Markandeya pergi ke arah timur yaitu Bali pulina. Sebelah timur Tanah jawa, dan di Sabdalan itu karena di Bali Pulina ada Stana Para Dewa yaitu di Gunung
Tohlangkir (Gunung Agung).Yang pada saat itu disebut Giri Raja,
Dalam Sabda beliau mendengar bahwa Gunung itu adalah potongan Gunung Maha Meru yang di bawa hyang Pasupati untuk memngunci Dunia saat itu.
Akhirnya Mhayogi markandeya pergi kea rah Timur Bali sesuai sabda dengan pengikutnya 800 orang.
Beliau berkehendak berdharmayatra menyebarkan ajaran ajaran Tri Sakti paksa, terutama Waisnawa Paksa segala aturan Tatacara upacara dan upakaranya.
JEJAK MAHARSI MARKANDEYA DI BUMI PARHYANGANPura Murwa
(Purwa) Bhumi menjadi tonggak pertama kali Maharsi Markandeya menyebarkan ilmu keagamaan, menularkan ilmu teknologi pertanian pada orang Aga yang tinggal di Payangan.
Kecamatan Payangan yang berlokasi di belahan barat laut, Kabupaten Gianyar, selama ini lebih banyak dikenal sebagai daerah pertanian, terutama penghasil buah leci. Satu identitas yang sulit ditampik kenyataannya. Mengingat hanya di Payangan jenis tanaman yang menurut cerita masyarakat Payangan berasal dari ngeri Tirai Bambu, Cina, banyak bertumbuhan.
Di balik potensi pertanian yang dimiliki, kawasan yang berada sekitar 500 meter dari permukaan laut ini ternyata memiliki banyak tempat suci tergolong tua. Satu di antaranya Pura Murwa Bhumi.
Lokasi pura tua ini tak jauh dari pusat kota kecamatan. Kalau Anda berangkat dari Denpasar hendak menuju Kintamani dan mengambil jalur jalan raya Payangan, maka di satu tempat sebelah timur jalan, kurang lebih 500 meter sebelum Pasar Payangan, coba sempatkan melihat ke arah kanan jalan
(arah timur). Di sana terpampang dengan jelas papan nama Pura Murwa Bhumi atau masyarakat sekitar ada menyebut Purwa Bhumi.
Dalam penjelasan Kelian Dinas Pengaji sekaligus menjadi Kepala Desa Melinggih Kelod, I Made Suwardana, pura yang diempon warga Desa Pengaji ini memiliki pertalian dengan kisah perjalanan seorang tokoh suci Maharsi Markandeya, di tanah Bali Dwipa.
Seperti banyak tersurat dalam lontar atau Purana, di antaranya
lontar Markandeya Purana, bahwa sang yogi Markandeya yang kawit hana saking Hindu
(yogi Rsi Markandeya berasal dari India), melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang—kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng, berlokasi di Jawa Tengah.
Dari Gunung Dieng Rsi Markandeya meneruskan perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang terletak di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Di Gunung Rawung sempat membangun pasraman, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bali.
Di pulau mungil ini Maharsi bersama pengikutnya merabas hutan dan membangun banyak tempat suci. Di antaranya Pura Murwa Bhumi.
Mengenai Pura Murwa Bhumi, tradisi lisan di Payangan dan sekitarnya menyebutkan, tempat suci ini konon menjadi tempat pertama kali Maharsi Markandeya memberikan pembelajaran kepada para pengikutnya. Penegasan yang cukup masuk diakal, terutama bila dikaitkan dengan nama tempat di mana pura tersebut dibangun, yakni Desa Pengaji.
Tugas mulia Maharsi Markendya selama berada di Payangan, yakni sebagai guru pengajian yaitu memberi pengajian (pembelajaran) pada orang-orang. “Kehadiran Pura Murwa Bhumi ada tercatat di dalam prasasti,” sebut Cokorda Made Ranayadnya, tetua dari Puri Agung Payangan, sekaligus pangempon di Pura Murwa Bhumi.
Satu di antaranya tertulis dalam prasasti Pura Besakih yang termuat di Buku
Eka Dasa Ludra. Dalam buku itu disebutkan secara singkat bahwa ada pura di Payangan bernama Pura Murwa Bhumi. Dulu, warga sekitar sering menyebut Pura Dalem Murwa.
Tak beda jauh dengan penjelasan Cok Ranayadnya. Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di hutan.
Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di
Desa Adat Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar.
Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa marana, tarmalupengpuja samadhi, Dewayajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para
pandita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta
weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara
Dewa yajnya dan
Bhuta yajnya, serta memuja Pertiwi.
Setelah selesai melakukan pangaci-aci (melakukan upacara yadnya), maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.
Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandeya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar.
Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa
(serba) dan ada, Jadilah serba ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada.
Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi kemudian melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah barat. Pada satu lokasi yang masih asri. Di tempat baru itu Beliau mendapat inspirasi (kahyangan) dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan, dan kini disebut Payangan.
Tempat di mana rohaniwan mengelar pertapaan dibuat sebuah mandala srta didirikan sebuah sebagai tempat memuja para
dewa. Pura dimaksud diberi nama Murwa yang artinya permulaan.
Belum benderang betul kenapa pura yang diberi nama Purwa atau Murwa
(kini bernama Murwa Bhumi) disebut sebagai permulaan. Tiada tanda jelas yang bisa dijadikan bukti otentik.
Tapi, bila ditelaah lebih jelas, kata Purwa sama dengan timur atau yang pertama. Di timur pertama kali matahari mulai memancarkan sinarnya yang benderang. Di timur pula bulan kali pertama terbit.
Jika dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Payangan, boleh jadi di Pura Murwa Bhumi-lah dijadikan tempat pertama oleh Maharsi Markandeya bertapa sekaligus memberikan pembelajaran bagi para pengikut menyangkut agama dan cara-cara berteknologi guna memperoleh kemakmuran. Makmur yang dimaksud zaman dulu, jelas menyangkut cara bertani yang baik dan benar sehingga mampu mendapat hasil bagus.
Tempat suci yang diempon warga Desa Pakraman Pengaji, menurut Bandesa Pakraman Pengaji Dewa Ngakan Putu Adnyana, masih memiliki beberapa peninggalan.
Di antaranya palinggih babaturan dan Gedong Bang yang menjadi stana Ida Rsi Markandeya. “Dulu ada peninggalan terbuat dari batu yang dinamakan Bedau. Bentuknya menyerupai perahu,” kata Ngakan Adnyana.
Dari Bedau itu terus keluar air yang biasa dimohon oleh warga guna dijadikan sarana pengobatan, terutama bila ada ternak yang sakit. Sayang, tinggalan tua itu telah rusak dan sebagai pengingat saja, warga mengganti dengan perahu batu baru.
Selain tinggalan tua berupa palinggih, di Pengaji sampai saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad (delapan tingkatan), mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah.
Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang.
TAPAK-TAPAK SUCI SANG MAHARSIJejak perjalanan Rsi Markandeya menelusuri tanah Bali dwipa, banyak meninggalkan atau ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman.
Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandeya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung
(Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandeya menanam
kendi yang berisi
Panca Datu, lima jenis logam mulia.
Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lama kelamaan komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih.
Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung.
Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.
Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandeya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan
(perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali.
Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandeya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar.
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. Nah, di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan.
Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan
Ubud, Rsi Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada ditegaskan:Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa....”
Artinya : di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan
(Payangan), sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandeya juga membangun tempat suci Murwa
(Purwa) Bhumi.
Pura dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali (Purwa) memberikan proses pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian.
Setelah berhasil memberikan pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan sukses dalam mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat suci yang diberinama Sukamerih (mencapai kesukaan). Letaknya tepat di seberang jalan Pura Murwa Bhumi.
Sesuai penjelasan Bandesa Pakraman Pengaji, Dewa Ngakan Putu Adnyana, kedua pura tadi oleh warga Pengaji diyakini ada saling keterkaitan. Maka, upacara atau yadnya keagamaan juga dilaksanakan secara bersamaan.
Pura Pucak Payogan, adalah Tempat Yoga Semadi Mahayogi Markandeya. Dan Tempat ini tempat beliau
moksa sebagai akhir penjalanan
Dharmayatra beliau.
Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro – Tegal Lalang, Gianyar, sekarang) kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.
Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun,
bunga, buah, air, dan api disebut “Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro.
Lama kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali).