Rabu, 01 Juli 2015

Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara ngerorasin bayi

 





Upacara Ngelepas Hawon atau upacara bayi umur 12 hari


Di pulau Bali penduduknya sebagian besar beragama Hindu tidak dapat terlepas dari upacara adat keagamanya. Dalam ajaran agama Hindu ada 5 macam upacara yang disebut dengan Panca Yadnya, salah satunya merupakan Manusa Yadnya. Manusa Yadnya adalah upacara yang dilakukan untuk/pada manusia. Upacara Manusa Yadnya telah dilaksanakan saat seseorang manusia pertama kali berada di dalam kandungan. Di Bali upacara ini dikenal dengan sebutan Megedong-Gedongan, yang maknany untuk memohon keselamatan atas janin yang ada di dalam kandungan ibunya. Selanjutnya ketika bayi tersebut telah lahir, ada beberapa upacara kecil yang dilakukan di rumah. Upacara ini seringkali berbeda-beda tergantung dari kebiasaan masyarakat setempat namun maknanya tetap sama saja. Pada umumnya masyarakat Hindu di Bali biasanya melakukanya setelah bayi lahir adalah "upacara Ngerorasin", berasal dari kata roras yang dalam bahasa Bali artinya 12. Upacara ini dilakukan tepat saat bayi telah berumur 12 hari. Upacara ngerorasin atau "ngelepas hawon",.

Upacara Ngelepas Hawon adalah salah satu upacara dari beberapa banyak upacara yang sering dilakukan oleh para masyarakat Hindu Bali. Upacara ini mempunyai arti untuk melepaskan atau menghilangkan segala macam bentuk kotoran yang melekat pada tubuh bayi beserta ibunya secara lahir dan bathin, serta juga agar dapat dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa (Sanghyang Widhi Wasa). Upacara ini umumnya dilaksanakan pasca usia bayi mencapai 12 hari kelahirannya.

Upacara Ngelepas Hawon ini biasanya dipimpin oleh anggota keluarga yang dituakan atau bisa jugaoleh seorang Pemangku. Upacara ngerorasin dilakukan di pekarangan rumah yaitu di dapur (Brahma) dan sanggah kemulan. Tujuan dan makna upacara ngerorasin ini secara umum adalah untuk melakukan pembersihan terhadap ibu dan bayinya. Kejadian melahirkan secara niskala dianggap kotor / leteh. Sehingga setelah upacara ini ibu dan bayinya sudah bersih dan suci kembali. Umumnya, sebelum upacara ngerorasin sang ibu tidak diperkenankan memasuki daerah suci seperti masuk ke sanggah kemulan.

Setelah sang bayi berumur 12 hari lagi dibuatkan sebuah upacara dimana upacara tersebut dinamakan Upacara Ngelepas Hawon. Pada saat inilah biasanya sang anak baru diberi nama demikian juga halnya dengan sang Catur Sanak atau keempat saudaranya setelah dilukat atau disucikan maka  akan berganti nama.

Sang Catur Sanak meliputi:
1. Yeh nyom/ air ketuban yang melindungi bayi terhadap getaran dari luar, juga membantu gerak dan menumbuhkan menjadi lebih sempurna.
2. Darah yang membantu menyuplai sari-sari makanan yang berasal dari sang ibu.
3. LemakLemak yang membantu membungkus janin sang bayi saat berada dalam kandungan.
4. Ari-ari atau plasenta yang merupakan tempat melekatnya tali pusar guna menyerap sari makanan lewat darah.
Dari jenis upacara ini menggunakan sarama yang sangat mudah dalam sumber Budaya Bali yaitu upacara Ngelepas Hawon menerangkan bahwa sarananya adalah

Upakaranya pun sangat sederhana, yaitu:
Membuat banten kumara, ditaruh di kemara (plangkiran bayi)
Banten ari-ari (disanggahnya),
Benten tataban yang di tujukan untuk sang numadi, yang ditatab di bayi, ditaruh di tempat tidur, dan
Banten nunas tirta penglukatan di dapur/paon, ada pula yang nunas tirta di sumur/semer. Banten nunas tirta penglukatan ini juga dihaturkan di Bhatara Hyang Guru.

Upakara/banten nunas tirta ini sangat beragam, tergantung tempat, waktu dan keadaan daerah masing-masing. Bahkan ada yang hanya menggunakan canang sarisaja, dengan gelas berisi air dan didoakan dengan bahasa sendiri.

Dan banten itu, boleh dihaturkan oleh siapa saja yang dituakan dirumah itu, kecuali ibu-bapak sang bayi yang masih dianggap leteh (belum suci). Kemudian bayi dilukat dengan tirta tersebut. Selain itu upacara roras lemeng ini juga disebut “nama karma”, Karena pada saat sang bayi pada umur ini sang bayi dianggap telah dapat melalui masa-masa kritis.

Setelah melakukan upacara ngerorasin inilah, sang Ibu bayi sudah diperbolehkan untuk memasuki dapur untuk melakukan aktifitas sebagai ibu rumah tangga. demikian sekilas ritual Upacara Bayi 12 hari atau Ngerorasin (Nama Karma), semoga bermanfaa
Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini


Rerahinan


Rerahinan atau rahinan adalah hari suci yang bersifat sakral dan dilaksanakan pada saat hari raya dan piodalan di Bali.
    • dan untuk tetap mempererat tali persaudaraan sebagaimana yang tersirat dalam makna tradisi memunjung pada saat rerahinan ini.
Rerahinan sebagaimana juga dijelaskan dalam RPP SMP IX yang tersimpan pada dropbox.com, secara ethimologi disebutkan bahwa :
kata rerahinan atau rahinan disebutkan itu berasal dari kata rai yang berarti ujung atau puncak yang merupakan puncaknya hari.
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa rerahinan berarti hari – hari tertentu yang menjadi puncaknya hari dari keseluruhan hari yang ada.
Selain itu juga hari raya / rerahinan itu sering dianggap sebagai hari keramat atau hari yang disakralkan . 
Pada hari suci tersebut umat Hindu disebutkan wajib melaksanakan pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya. 
Hari suci sebagai hari yang diberkahi oleh Hyang Widhi, oleh karena itu hari suci merupakan hari yang sangat baik untuk melaksanakan Upacara Yadnya.
Inilah yang dianggap bahwa hakekat hari suci keagamaan sebagai alat pernyataan Sradha dan Bhakti bagi umat Hindu, sekaligus sebagai sarana komunikasi social, karena didalam pelaksanaannya, umat Hindu mengadakan persembahyangan bersama. 
Didalam persembahyangan bersama inilah terjadinya komunikasi social, seperti dengan adanya pengaturan tentang upakara-upakara yang dipersiapkan dan penentuan – penentuan 
untuk melaksanakan persembahyangan sampai dengan memohon tirta, agar terciptanya suasana aman dan damai di dunia ini.

tumpek landep



Tumpek Landep salah satu hari raya yang berdasarkan wuku, yang jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Landep. Hari raya ini masih berkaitan dengan hari raya Saraswati atau hari turunnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diturunkan saat saraswati, pada tumbek landep ini kembali diasah sehingga dapat diimplementasikan secara nyata yang dipergunakan untuk jalan dharma. Dalam hal ini tumpek landep merupakan perayaan untuk mengasah ketajaman pikiran, mental serta spiritual kita. Dalam lontar Sundarigama disebutkan Tumpek Landep merupakan pengastawan ring landeping idep. 

Pada rerahinan Tumpek Landep ini yang dipuja yaitu Tuhan dalam prabawa-Nya sebagai Hyang Siwa Pasupati. Secara etimologi, pasu artinya binatang (hewan) dan pati artinya menaklukkan. Jadi, Pasupati bisa diartikan Tuhan penakluk sifat-sifat kebinatangan. Karena itu barang siapa yang dapat menaklukkan sifat-sifat kebinatangannya, ialah sesungguhnya yang dapat ''bertemu'' dengan Tuhan. Sepanjang sifat kebinatangannya masih merajalela, umat tak dapat menemukan kebahagiaan lahir-batin. Dalam konteks Tumpek Landep, mengupacarai senjata yang merupakan simbolis dari manusia itu sendiri. Diupacarai untuk harapan supaya lebih tajam , Senjata yang diberikan Tuhan kepada umat manusia yaitu pikiran (main) merupakan senjata yang paling esensial. 

Pikiran itulah mesti terus ditajamkan,karena pikiran merupakan senjata yang luar biasa. Tetapi mesti disadari, senjata yang tajam itu bukan untuk menghancurkan, tetapi memberi kebahagiaan bagi semua makhluk. Karenanya, kemanusiaan seseorang bisa bermartabat, jika dapat mengabdi dengan ketajaman pikiran di bawah kendali-kendali kesucian Hyang Siwa Pasupati Pada masa ini, di Bali setiap perayaan Tumpek Landep segala jenis kendaraan, senjata ataupun segala benda yang terbuat dari besi dilakukan upacara. Hal ini maksudnya adalah untuk memanusiakan semuanya. Tetapi, sebelum memanusiakan semua benda yang disebutkan itu, perlu juga dilakukan memanusiakan diri sendiri terlebih dahulu. Dalam Memanusiakan adalah dengan cara bhakti, kasih dan sayang kepada semua benda tersebut. Karena setiap gerak atau segala sesuatu yang kita kerjakan memiliki karma, yang merupakan suatu persembahan. Dan dari karma tersebut nantinya akan ada phala Sarana Upacara Dalam setiap upacara; maka keberadaan upakara tentu tidak dapat dikesampingkan, demikian pula halnya ketika umat Hindu melaksanakan upacara Tumpek Landep ini. 

Adapun sarana/upakara yang dibutuhkan dalam Tumpek Landep, yang paling sederhana adalah canang sari, dupa, dan tirtha pasupati. Yang lebih besar dapat menggunakan upakara Peras, Daksina atau Pejati. Dan yang lebih besar biasanya dapat dilengkapi dengan jenis upakara yang tergolong sesayut, yaitu Sesayut Pasupati. Dari berbagai jenis upakara tersebut yang terpenting barangkali adalah Tirtha Pasupati; karena umat Hindu masih meyakini betapa pentingnya keberadaan tirtha ini. Tirtha Pasupati biasanya didapat melalui Pandita atau Pinandita melalui tatacara pemujaan tertentu. 

Tapi bagaimana halnya dengan individu-individu mat Hindu, apa yang mesti dilakukan jika ingin mendapatkan Tirtha Pasupati? Bisakah memohonnya seorang diri tanpa perantara Pinandita dan atau Pandita? Jawabannya tentu saja boleh…! Cukup menyiapkan sarana seperti di atas (seuaikan dengan desa-kala-patra). Misalnya dengan sarana canang sari, dupa dan air (toya anyar), setelah melakukan pembersihan badan (mandi dsb). Letakkan sarana/ upakara tersebut di pelinggih/ altar/ pelangkiran. Kemudian melaksanakan asuci laksana (asana, pranayama, karasudhana) dan matur piuning (permakluman) sedapatnya baik kepada leluhur, para dewa dan Hyang Widhi, ucapkan mantra berikut ini dengan sikap Deva Pratista atau Amusti Karana sambil memegang dupa dan bunga. 

Hakikat Tumpek Landep Setiap hari suci agama umat Hindu sesungguhnya tak hanya sekadar rerahinan rutin yang mesti dirayakan. Namun, didalamnya ada nilai filosofis yang penting dimaknai dalam kehidupan sehari-hari. Tumpek Landep, misalnya, memiliki nilai filosofi agar umat selalu menajamkan pikiran. Setiap enam bulan sekali umat diingatkan untuk melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan (disucikan) atau diasah agar tajam? Sebab, dengan pikiran yang jernih dan tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih jernih ketika harus melakukan analisis, lebih tepat menentukan keputusan dan sebagainya. Lewat perayaan Tumpek Landep itu umat diingatkan agar selalu menggunakan pikiran yang tajam sebagai tali kendali kehidupan. Misalnya, ketika umat memerlukan sarana untuk memudahkan hidup, seperti mobil, sepeda motor dan sebagainya, pikiran yang tajam itu mesti dijadikan kendali. Keinginan mesti mampu dikendalikan oleh pikiran. Dengan demikian keinginan memiliki benda-benda itu tidak berdasarkan atas nafsu serakah, gengsi, apalagi sampai menggunakan cara-cara yang tidak benar. Semua benda tersebut mestinya hanya difungsikan untuk menguatkan hidup, bukan sebaliknya, justru memberatkan hidup. Dulu, keris dan tombak serta senjata tajam lainnyalah yang digunakan sebagai sarana atau senjata untuk menegakkan kebenaran, kini sarana untuk memudahkan hidup dan menemukan kebenaran itu sudah beragam, seperti kendaraan, mesin dan sebagainya. 

Sehingga pada saat Tumpek Landep diupacarai dengan berbagai upakara seperti: sesayut jayeng perang dan sesayut pasupati, dengan maksud untuk memuja Tuhan, dan lebih mendekatkan konsep atau nilai filosofi yang terkandung dalam Tumpek Landep. Landep = Lancip/ Tajam Kata Landep dalam Tumpek Landep memiliki makna lancip atau tajam. Sehingga secara harfiah diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran. Dalam Tumpek Landep benda-benda tersebut diupacarai. 

Kini, pengertian landep sudah mengalami pelebaran makna. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda yang terbuat dari besi atau baja yang dapat mempermudah hidup manusia, di antaranya sepeda motor, mobil, mesin, komputer, radio dan sebagainya. Sementara secara konotatif, landep itu memiliki pengertian ketajaman pikiran. Pikiran manusia mesti selalu diasah agar mengalami ketajaman. Ilmu pengetahuanlah alat untuk menajamkan pikiran, sehingga umat mengalami kecerdasan dan mampu menciptakan teknologi. Dengan ilmu pengetahuan pulalah umat menjadi manusia yang lebih bijaksana dan mampu memanfaatkan teknologi itu secara benar atau tepat guna, demi kesejahteraan umat manusia. Bukan digunakan untuk mencederai nilai-nilai kemanusiaan. â€Å“tad viddhi pranipatena paripprasnena sevaya upadekshyanti te jnanam jnaninas tattvadarsina” (BhagavadgÄ«tā IV.34)

melaspasin mobil

 



Umat Hindu di Bali sangat lekat dengan upacara-upacara dan ritual-ritual adat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ada upacara khusus untuk peristiwa-peritiwa tertentu, salah satu contohnya adalah Melaspas. Seperti halnya ketika akan menempati bangunan atau rumah baru, kendaraan juga harus melalui Ritual Melaspas atau Pemelaspasan. Melaspas sendiri terdiri dari dua kata yaitu “Mala” yang berarti elemen jahat/buruk dan “Pas” yang berarti menyucikan atau membersihkan. Bila disatukan, Melaspas berarti menyucikan dari elemen-elemen buruk.

Upacara adat Melaspas kendaraan ini intinya adalah untuk memuja Dewa Pasupati. Oleh karena itu banten yang digunakan untuk upacara ini disebut banten sesayut Pasupati.

Upacara adat ini tidak hanya dilakukan pada saat membeli kendaraan baru,tetapi juga untuk kendaraan second atau bekas. Pada dasarnya kendaraan yang diuacari tersebut adalah kendaraan yang baru menjadi milik kita.

Ritual ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:

  1. Menghidupkan jiwa dari kendaraan tersebut sehingga kendaraan dapat “bekerja sama” dengan pemilik kendaraan, sehingga ke depannya kendaraan tsb tidak sring mengalami kerusakan yang tidak jelas atau sering mengalami kecelakaan.
  2. Membentuk kontak batin antara kendaraan dan pemilik kendaraan. Seandainya ada masalah terkait mesin kendaraan bias dideteksi oleh pemilik kendaraan sejak awal.
  3. Memperoleh keselamatan di jalan.
  4. Pemilik kendaraan dijauhi dari unsur-unsur yang ingin mengganggu saat mereka sedang memiliki kendaraan tersebut dan mengendarainya.

Dalam Ritual ini dibutuhkan beberapa peralatan seperti:

  1. Banten Pasupati, Banten atau seserahan ini terdiri dari Kulit Sayut, Tumpeng Barak, Raka – Raka dan Jaja, Kojong Balung, Sampian Nagasari, Penyeneng, Sampian Kembang, Pejati dan Peras, Canang (Bunga Merah), Lis/Buu Alit, Dupa (9 batang), Ayam Biying Mepanggang, dan Segehan Bang.
  2. Air Tirtha (air suci)Pasupati
  3. Biu Tembaga atau pisang berwarna merah tembaga yang bermakna agar kendaraan memiliki kekokohan sekuat tembaga.
  4. Canang sari
  5. Dupa Pasupati

Untuk upacara yang lebih besar biasanya dapat dilengkapi dengan kelengkapan sbb:

  1. Banten prayascita
  2. Sorohan alit
  3. Banten Durmanggala
  4. Pejati.

Ritual ini terdiri dari beberapa tahap, adapula tiap tahap dipimpin oleh seorang pemangku

  1. Ngastawa Tirta (Mengambil Kembang),
  2. Ngaturang Banten Pareresik
  3. Mapiuning
  4. Natab Banten Pasupati.

MANTRAM PASUPATI

Saat melakukan upacara melaspas kendaraan umat Hidu Bali membacakan mantra Masupati yang biasa digunakan saat Masupati. Berikut ini mantra Masupati yang biasa digunakan saat Masupati, di mana tanda titik-titik diisi permohonan yang hendak dipasupati.

Mantranya sebagai berikut:

“Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang Ya Namah Svaha. Om Brahma Astra Pasupati, Visnu AstraPasupati, Visnu AstraPasupati, Siva Astra Pasupati, Om Ya Namah Svaha.

Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati,tumurun maring Sanghyang Gana, angawe Pasupati maha sakti, angawe Pasupati maha siddhi, angawe Pasupati mahasuci, angawe pangurip mahasakti, angawe pangurip mahasiddhi, angawe pangurip mahasuci, angurip sahananing raja karya teka urip, teka urip, teka urip.

Om Sanghyang Akasa Pertivi Pasupati, angurip…….. Om Eka Vastu Avighnam Svaha, Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang Ang-Ung-Mang. Om Brahma Pasupati, Om Visnu Pasupati, Om Siva Sampurna Ya Namah Svaha”

 

Narasumber       :

  1. I Made Suda (87) dan I Made Sudana (56)

Jalan Pucuk No. 4, Abian Kapas, Denpasar, Bali (0361249807)

  1. I Ketut Martana (50)

Jalan Taman Malaka Utara Blok  D 18 No. 21, Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta  Timur, DKI Jakarta (08118009819)


Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini


Rsi Markandeya

 



Tempat suci yang berhubungan dengan Maha Rsi Markandeya di Bali adalah pendirian Pura terbesar di Bali yatu Pura Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem Bali.

Dikisahkan perjalanan suci dharma yatra Beliau ke Pulau Bali sebagai salah satu keturunan Hyang Jagatnatha bernama Sang Hyang Rsiwu, beliau seorang Mahayogi yang amat bijaksana mempunyai putra bergelar Sang Hyang Meru. Sang Hyang Meru mempunyai Putra Sang Ayati dan adiknya Sang Niata.
Sang Ayati mempunyai putra bernama Sang Prana, dan Sang Niata mempunyai putra bernama Sang Markanda. Sang Markanda memperistri seorang gadis cantik dan sempurna bernama Dewi Manswini. Inilah yang Melahirkan Sang Maharsi Markandeya.
Rsi Markandeya sangat tampan dan mempunyai banyak ilmu, Lama beliau membujang dan akhirnya memperistri Dewi Dumara. Dan mempunyai putra seorang bergelar Hyang rsi Dewa Sirah.Rsi Dewa sirah memperistri Dewi Wipari. Rsi Markadeya adalah titisan Dewa Surya yang berasal dari Negara Bharatawarsa (India Kuno dimana dahulu Raja Bharata berkuasa).
Dan Beliau berkeinginan mengembangkan ajaran Yoga beliau menuju daerah selatan India di bagian timur Nusantara dengan beberapa murid beliau yang telah siap turun gunung. 
Perjalanan beliau pertama menuju Gunung Dumalung di Hyang yang disebut gunung Hyang atau Dewata. Namun disana sudah ada pertapaan Sang Ida putra Rsi Trenawindhu yang merupakan murid dari Sang Hyang Maharsi Agastya. Yang telah bertapa di tanah Jawa dan telah berbaur dengan Sapta Rsidi sana.

Dan itulah sebabnya Hyang Mahayogi Merkandeya  pergi ke tempat lain yaitu Gunung Raung, Jawa timur. Disana beliau bertapa dan membangun pesraman, dan pada suatu hari Belau mendengar Sabda Dari Akasa dan melihat sinar menjulang ke Akasa, Sabda didengar dari leluhur

Beliau Hyang Jagatnatha, dan Sabda itu memerintahkan Mahayogi Markandeya pergi ke arah timur yaitu Bali pulina. Sebelah timur Tanah jawa, dan di Sabdalan itu karena di Bali Pulina ada Stana Para Dewa yaitu di Gunung Tohlangkir (Gunung Agung).Yang pada saat itu disebut Giri Raja,
Dalam Sabda beliau mendengar bahwa Gunung itu adalah potongan Gunung Maha Meru yang di bawa hyang Pasupati untuk memngunci Dunia saat itu.
Akhirnya Mhayogi markandeya pergi kea rah Timur Bali sesuai sabda dengan pengikutnya 800 orang.

Beliau berkehendak berdharmayatra menyebarkan ajaran ajaran Tri Sakti paksa, terutama Waisnawa Paksa segala aturan Tatacara upacara dan upakaranya.


JEJAK MAHARSI MARKANDEYA DI BUMI PARHYANGAN
Pura Murwa (Purwa) Bhumi menjadi tonggak pertama kali Maharsi Markandeya menyebarkan ilmu keagamaan, menularkan ilmu teknologi pertanian pada orang Aga yang tinggal di Payangan.

Kecamatan Payangan yang berlokasi di belahan barat laut, Kabupaten Gianyar, selama ini lebih banyak dikenal sebagai daerah pertanian, terutama penghasil buah leci. Satu identitas yang sulit ditampik kenyataannya. Mengingat hanya di Payangan jenis tanaman yang menurut cerita masyarakat Payangan berasal dari ngeri Tirai Bambu, Cina, banyak bertumbuhan.
Di balik potensi pertanian yang dimiliki, kawasan yang berada sekitar 500 meter dari permukaan laut ini ternyata memiliki banyak tempat suci tergolong tua. Satu di antaranya Pura Murwa Bhumi.
Lokasi pura tua ini tak jauh dari pusat kota kecamatan. Kalau Anda berangkat dari Denpasar hendak menuju Kintamani dan mengambil jalur jalan raya Payangan, maka di satu tempat sebelah timur jalan, kurang lebih 500 meter sebelum Pasar Payangan, coba sempatkan melihat ke arah kanan jalan (arah timur). Di sana terpampang dengan jelas papan nama Pura Murwa Bhumi atau masyarakat sekitar ada menyebut Purwa Bhumi.
Dalam penjelasan Kelian Dinas Pengaji sekaligus menjadi Kepala Desa Melinggih Kelod, I Made Suwardana, pura yang diempon warga Desa Pengaji ini memiliki pertalian dengan kisah perjalanan seorang tokoh suci Maharsi Markandeya, di tanah Bali Dwipa.
Seperti banyak tersurat dalam lontar atau Purana, di antaranya lontar Markandeya Purana, bahwa sang yogi Markandeya yang kawit hana saking Hindu (yogi Rsi Markandeya berasal dari India), melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang—kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng, berlokasi di Jawa Tengah.
Dari Gunung Dieng Rsi Markandeya meneruskan perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang terletak di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Di Gunung Rawung sempat membangun pasraman, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bali.
Di pulau mungil ini Maharsi bersama pengikutnya merabas hutan dan membangun banyak tempat suci. Di antaranya Pura Murwa Bhumi.

Mengenai Pura Murwa Bhumi, tradisi lisan di Payangan dan sekitarnya menyebutkan, tempat suci ini konon menjadi tempat pertama kali Maharsi Markandeya memberikan pembelajaran kepada para pengikutnya. Penegasan yang cukup masuk diakal, terutama bila dikaitkan dengan nama tempat di mana pura tersebut dibangun, yakni Desa Pengaji.
Tugas mulia Maharsi Markendya selama berada di Payangan, yakni sebagai guru pengajian yaitu memberi pengajian (pembelajaran) pada orang-orang. “Kehadiran Pura Murwa Bhumi ada tercatat di dalam prasasti,” sebut Cokorda Made Ranayadnya, tetua dari Puri Agung Payangan, sekaligus pangempon di Pura Murwa Bhumi.
Satu di antaranya tertulis dalam prasasti Pura Besakih yang termuat di Buku Eka Dasa Ludra. Dalam buku itu disebutkan secara singkat bahwa ada pura di Payangan bernama Pura Murwa Bhumi. Dulu, warga sekitar sering menyebut Pura Dalem Murwa.

Tak beda jauh dengan penjelasan Cok Ranayadnya. Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di hutan.

Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Adat Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar.

Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:

Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa marana, tarmalupengpuja samadhi, Dewayajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.

Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,


Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewa yajnya dan Bhuta yajnya, serta memuja Pertiwi.
Setelah selesai melakukan pangaci-aci (melakukan upacara yadnya), maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.
Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandeya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar.
Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa (serba) dan ada, Jadilah serba ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada.
Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi kemudian melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah barat. Pada satu lokasi yang masih asri. Di tempat baru itu Beliau mendapat inspirasi (kahyangan) dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan, dan kini disebut Payangan.
Tempat di mana rohaniwan mengelar pertapaan dibuat sebuah mandala srta didirikan sebuah sebagai tempat memuja para dewa. Pura dimaksud diberi nama Murwa yang artinya permulaan.

Belum benderang betul kenapa pura yang diberi nama Purwa atau Murwa (kini bernama Murwa Bhumi) disebut sebagai permulaan. Tiada tanda jelas yang bisa dijadikan bukti otentik.
Tapi, bila ditelaah lebih jelas, kata Purwa sama dengan timur atau yang pertama. Di timur pertama kali matahari mulai memancarkan sinarnya yang benderang. Di timur pula bulan kali pertama terbit.
Jika dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Payangan, boleh jadi di Pura Murwa Bhumi-lah dijadikan tempat pertama oleh Maharsi Markandeya bertapa sekaligus memberikan pembelajaran bagi para pengikut menyangkut agama dan cara-cara berteknologi guna memperoleh kemakmuran. Makmur yang dimaksud zaman dulu, jelas menyangkut cara bertani yang baik dan benar sehingga mampu mendapat hasil bagus.
Tempat suci yang diempon warga Desa Pakraman Pengaji, menurut Bandesa Pakraman Pengaji Dewa Ngakan Putu Adnyana, masih memiliki beberapa peninggalan.
Di antaranya palinggih babaturan dan Gedong Bang yang menjadi stana Ida Rsi Markandeya. “Dulu ada peninggalan terbuat dari batu yang dinamakan Bedau. Bentuknya menyerupai perahu,” kata Ngakan Adnyana.

Dari Bedau itu terus keluar air yang biasa dimohon oleh warga guna dijadikan sarana pengobatan, terutama bila ada ternak yang sakit. Sayang, tinggalan tua itu telah rusak dan sebagai pengingat saja, warga mengganti dengan perahu batu baru.
Selain tinggalan tua berupa palinggih, di Pengaji sampai saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad (delapan tingkatan), mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah.
Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang.

TAPAK-TAPAK SUCI SANG MAHARSI
Jejak perjalanan Rsi Markandeya menelusuri tanah Bali dwipa, banyak meninggalkan atau ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman.

Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandeya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandeya menanam kendi yang berisi Panca Datu, lima jenis logam mulia.
Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lama kelamaan komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih.
Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung.
Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.
Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandeya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali.
Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandeya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar.
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. Nah, di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan.

Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.

Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa....”
Artinya : di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.

Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan (Payangan), sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandeya juga membangun tempat suci Murwa (Purwa) Bhumi.

Pura dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali (Purwa) memberikan proses pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian.
Setelah berhasil memberikan pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan sukses dalam mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat suci yang diberinama Sukamerih (mencapai kesukaan). Letaknya tepat di seberang jalan Pura Murwa Bhumi.
Sesuai penjelasan Bandesa Pakraman Pengaji, Dewa Ngakan Putu Adnyana, kedua pura tadi oleh warga Pengaji diyakini ada saling keterkaitan. Maka, upacara atau yadnya keagamaan juga dilaksanakan secara bersamaan.

Pura Pucak Payogan, adalah Tempat Yoga Semadi Mahayogi Markandeya. Dan Tempat ini tempat beliau moksa sebagai akhir penjalanan Dharmayatra beliau.
Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro – Tegal Lalang, Gianyar, sekarang) kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.
Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut “Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro.

Lama kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali).
Like : Catatan MAHA YOGI RSI MARKANDEYA adalah Maha Guru Yoga Nusantara, oleh Guru Made Sumantra (ref)

Selain Besakih, beliau juga disebutkan sebagai salah satu dari enam tokoh suci dalam perkembangan agama hindu di Bali yang mengembangkan pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan.

Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa
  • warna merah sebagai simbol matahari, dan 
  • warna putih sebagai simbol bulan
yang digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa 
  • ider-ider, 
  • lelontek, 
  • dll. 
Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.


Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini